BADAI LAUT SELATAN : JILID-05
Ia telah terombang-ambing dalam permainan nafsu berahi yang merupakan
pantangan bagi seorang pengejar ilmu kesaktian. Hubungan yang wajar dan
bersih dari pada nafsu kotor dengan isterinya malah jarang terjadi
karena ia lebih senang berada di tempat gurunya dan inilah yang
merupakan racun yang memabokkan seperti madat. Karena merasa jengah dan
malu, ia menjadi marah.
"Kau sombong, orang tua. Biarlah aku mencoba mu dengan pukulan tangan tanpa senjata. Siap dan sambutlah ini!"
Raden Wisangjiwo lalu menerjang maju, gerakannya sigap dan pukulannya mendatangkan angin menderu. Pemuda ini tidak hanya hendak mendemonstrasikan kehebatan ilmu gurunya, juga hatinya panas dan ia ingin memberi hajaran kepada orang yang berani bersikap kurang ajar terhadap Ni Durgogini. Sama sekali ia tidak pernah mimpi bahwa yang ia hadapi ini adalah Narotama yang kini telah menjadi pepatih dalam di Mataram berjuluk Rakyana Patih Kanuruhan, sahabat baik Sang Prabu Airlangga dan kesaktiannya dalam olah prajurit hanyalah di bawah sang prabu sendiri!
Tentu saja ia tidak tahu karena nama Narotama tidak begitu terkenal, yang terkenal adalah Rakyana Patih Kanuruhan, maka ketika gurunya menyebut nama Narotama, ia sama sekali tidak tahu bahwa yang dilawannya adalah patih yang sakti mandraguna itu. Andai kata ia tahu, sebagai putera Adipati Selopenangkep dan berarti orang sebawahan patih ini, sudah tentu sampai matipun ia tidak akan berani melawan!
"Bagus!" seru Narotama sambil tersenyum.
Ia mengenal gerakan pemuda ini karena ilmu ketangkasan tangan kosong ini adalah pecahan yang dikembangkan dari ilmunya sendiri, yaitu ilmu silat Kukiko Sakti (Burung Sakti) yang pernah dahulu ia ajarkan kepada Lasmini. Ia menanti sampai pukulan itu datang dekat, lalu menggeser kaki ke kiri dan tangan kanannya ia gerakkan menangkis dengan tiba-tiba.
"Dukkkk!"
Perlahan saja tangkisan itu, namun akibatnya tubuh Raden Wisangjiwo terhuyung-huyung ke belakang. Pemuda Ini kaget dan lenyaplah perasaan hatinya yang tadi memandang rendah lawan tua ini. Ia melompat maju lagi dengan serangan yang lebih hebat, tubuhnya masih dalam lompatan, masih menyambar satu meter di atas tanah, tangan kanannya dibuka mencengkeram mata, tangan kiri disodokkan menghantam ulu hati sedangkan dengan gerakan cepat kaki kanannya menyusul dengan tendangan ke arah bawah pusar! Hebat sekali serangan ini, serangan maut karena berturut-turut kedua tangan dan sebuah kaki telah menyerang hebat dan satu saja di antaranya mengenai sasaran tentu akan membuat lawan terjungkal dengan luka parah atau mati!
"Ganas... ganas...!" Narotama berseru, diam-diam kagum juga karena ternyata pemuda ini memiliki bakat yang baik, sayangnya terbimbing oleh seorang yang berwatak ganas sehingga ilmu silatnya juga menjadi ganas sifatnya. Kembali ia berdiri diam saja menanti sampai serangan bertubi-tubi itu tiba dekat, tiba-tiba kedua tangannya bergerak Terdengar suara, "Plak-plak-plak!"
Tiga kali dan semua serangan itu dapat ia tangkis, akan tetapi kali ini tubuh Raden Wisangjiwo terlempar sampai tiga meter jauhnya dan roboh berdebuk di atas tanah hingga debu mengepul dari bawah pantatnya. Raden Wisangjiwo meringis kesakitan, akan tetapi ia menjadi amat penasaran. Darah mudanya bergolak. Dia, murid terkasih Ni Durgogini yang ditakuti orang, masa sekarang menghadapi seorang lawan tua yang tidak ternama harus menelan kekalahan demikian mudahnya?
"Jangan tertawa dulu, orang tua. Lihat seranganku!" bentaknya dan kini diam-diam ia telah menggenggam Kerang Merahnya di tangan kanan, lalu menerjang maju dengan dahsyat. Pukulannya mengandung Aji Tirto Rudiro yang ampuhnya menggila. Namun dengan senyum dikulum Narotama menghadapi pukulan ini dengan dada membusung dan mulut berkata, "Eh-eh, Lasmini, pukulan iblis apa yang kau ajarkan kepada muridmu ini? Biar kucoba menerimanya!"
Pukulan tiba, ke arah pusar Narotama. Patih yang sakti ini lalu menekuk lututnya, tidak berani sembrono menerima pukulan sedahsyat itu dengan pusar, maka ia memasang dadanya menjadi sasaran.
"Dessss...!"
Hebat sekali pukulan itu, tubuh Narotama sampai tergoyang-goyang seperti pohon beringin terlanda angin. Akan tetapi tubuh Raden Wisangjiwo mencelat seperti daun kering tertiup angin, jatuh terbanting dan bergulingan. Ia hanya mampu merangkak bangun dan tahu-tahu gurunya sudah berada di sampingnya. Cekatan sekali Ni Durgogini menekan punggung muridnya dan mengurut lengan kanannya di bawah pangkal dekat ketiak. Seketika Raden Wisangjiwo segar kembali.
"Pukulan keji!" kata Narotama. "Orang muda, lebih baik kau mempergunakan cambukmu. Bukankah kau telah menerima pelajaran ilmu Cambuk Sarpokenoko yang hebat itu?"
Raden Wisangjiwo meragu. Kini yakinlah hatinya bahwa lawannya adalah seorang sakti. Akan tetapi Ni Durgogini tertawa genit.
"Rakanda, kau benar-benar tidak mau mengalah terhadap orang muda. Mana dia mampu menandingi tenagamu? Eh, Wisangjiwo, jangan malu-malu menghadapi orang pandai. Saat ini adalah saat baik bagimu, dapat menambah pengalaman. Hayo serang lagi dia, kau gunakan cambukku ini."
Ni Durgogini menyerahkan cambuknya, Sarpokenoko yang ia pergunakan untuk menciptakan Ilmu Cambuk Sarpokenoko yang sangat dahsyat. Diam-diam wanita ini merasa penasaran bahwa muridnya dapat dikalahkan secara demikian mudah. Biarpun ia cukup maklum bahwa Narotama amat sakti, apa lagi muridnya, dia sendiripun takkan mampu menangkan, akan tetapi sebagai seorang guru ia merasa penasaran tak dapat memamerkan kepandaian muridnya. Ia cukup mengerti bahwa dalam hal ilmu silat tangan kosong tentu saja muridnya tidak akan berhasil seujung rambutpun, karena semua ilmu silat tangan kosong yang ia miliki sebenarnya bersumber dari ajaran Narotama.
Benar bahwa ilmu pukulan Tirto Rudiro yang dimiliki Wisangjiwo tidak dikenal Narotama, akan tetapi muridnya itu belum terlatih betul, tenaganya dalam ilmu itu masih lemah, maka tentu saja tidak akan ada gunanya. Berbeda dengan ilmu cambuknya. Ilmu ini adalah ciptaannya sendiri dan biarpun ia percaya bahwa Narotama tentu akan dapat mengatasinya, namun sedikit banyak Narotama akan berhadapan dengan ilmu yang asing dan tentu tidak akan dapat secara mudah saja mengalahkannya.
Dengan hati geram Raden Wisangjiwo menerima cambuk dari tangan gurunya. Ia cukup percaya akan keampuhan cambuk gurunya. Pernah ia melihat betapa dalam segebrakan saja cambuk di tangan gurunya ini mencabut nyawa lima orang bajak sungai yang berani mati menentang gurunya, padahal lima orang bajak Sungai Progo itu bukanlah lawan yang empuk, melainkan orang-orang digdaya pula. Begitu ia mencekal gagang cambuk, rasanya ia bertambah semangat dan dengan langkah gagah ia menghampiri lawan, cambuk Sarpokenoko diayun-ayun.
"Tar-tar-tar-tar-tar!" Cambuk itu melecut ke udara dan suara ledakannya nyaring sekali.
"Wah-wah, hebat benar cambuk Sarpokenoko!"
Orang tua itu memuji akan tetapi sikapnya tenang-tenang saja. Ia tahu akan keampuhan cambuk yang terbuat dari pada kulit ular itu, maklum bahwa cambuk ini mengandung racun yang berbahaya, jangankan terkena lecutan, baru terkena hawanya saja cukup dapat merobohkan orang. Ditambah lagi dengan permainan Ilmu Cambuk Sarpokenoko, benar-benar amat ampuh dan tepat sekali dengan namanya. Sarpokenoko berarti Kuku Ular, dan adalah nama adik Sang Prabu Dosomuko dalam cerita pewayangan Ramayana, adik perempuan yang mempunyai aji pada kukunya, yang sakti mandraguna dan ganas liar seperti iblis.
"Paman, lihat seranganku!" Raden Wisangjiwo berseru.
Pemuda ini cukup cerdik. Ia maklum bahwa orang tua yang tak dikenalnya ini adalah seorang kenalan gurunya, seorang yang sakti dan karenanya ia mulai bersikap lunak dan hormat, menyebutnya paman dan memberitahukan dulu sebelum menyerang. Hal ini tentu saja ia lakukan karena ia merasa ragu-ragu apakah ia akan dapat menang, biarpun ia bersenjatakan cambuk Sarpokenoko sedangkan lawannya bertangan kosong.
"Siuuuuttt... blarrrrr!"
Batu karang sebesar kepala kerbau hancur menjadi tepung ketika cambuk itu menyambar dan tahu-tahu tubuh Narotama lenyap dan sebagai gantinya, batu itu yang tadi berada di bawahnya menjadi korban hantaman cambuk. Raden Wisangjiwo cepat membalikkan tubuh. Entah bagaimana gerakan orang tua itu ia tidak melihat, akan tetapi tadi tahu-tahu lenyap dan kini sudah berada di belakangnya, tenang-tenang saja berdiri menanti datangnya serangan.
Kembali Raden Wisangjiwo menyerang, kini menggunakan gerakan memutar cambuk membentuk lingkaran-lingkaran di sekitar tubuh lawan, menghadang jalan keluar. Dari dalam lingkaran itu, ujung cambuk baru mematuk seperti paruh burung elang, mengarah bagian berbahaya seperti mata, leher, ulu hati, lambung, pusar dan sebagainya.
"Hebat...!" Narotama kembali memuji dan ia benar-benar kagum. Memang tak boleh dibuat permainan ilmu cambuk ini, terpaksa ia lalu mengeluarkan ajiannya, tiba-tiba tubuhnya berkelebat seperti terbang atau seperti bayang-bayang saja yang mengikuti gerakan cambuk, menyelinap di antara sinar cambuk dan anehnya, gerakannya ini mengeluarkan bunyi mengaung perlahan tiada hentinya. Inilah ilmu silat tangan kosong Bramoro Seto (Lebah Putih) yang merupakan sebuah di antara raja ilmu silat tangan kosong. Sampai berkunang kedua mata Raden Wisangjiwo mencari-cari lawannya dan mengikuti gerakan bayangan yang berkelebat itu, bayangan putih yang tak tentu ujudnya, tak tentu ke mana pindahnya.
Tubuhnya sudah lelah sekali karena ia telah mainkan semua jurus Ilmu Cambuk Sarpokenoko untuk menghantam bayangan itu, namun sia-sia, semua serangannya hanya mengenai angin belaka, sedangkan suara mengaung-ngaung seperti lebah besar beterbangan di sekitar kepalanya membuat ia menjadi panik dan pening. Apalagi karena lawannya itu bergerak-gerak bukan hanya untuk mengelak, melainkan membalas dengan tamparan-tamparan yang mendatangkan hawa panas, membuat Raden Wisangjiwo bingung mengelak ke sana ke mari, menyambarkan cambuknya ke kanan kiri, dan masih untung baginya bahwa lawannya tidak mau memukulnya, melainkan membikin bingung saja. Kalau memang lawan berniat buruk, sudah tadi-tadi ia kena pukul.
"Cukup, Wisangjiwo, lekas memberi hormat kepada gusti patih!" seru Ni Durgogini dan tahu-tahu cambuk di tangan pemuda itu sudah terampas oleh gurunya.
Narotama berhenti dan berdiri dengan wajah biasa, tenang dan tertawa ramah.
"Gusti... gusti patih...?" Wisangjiwo kebingungan, memandang gurunya dan orang tua itu berganti-ganti.
Ni Durgogini tertawa genit cekikikan.
"Anak bodoh, apakah kau tidak tahu bahwa rakanda Narotama adalah Gusti Rakyana Patih Kanuruhan, Patih Dalam Mataram yang terkenal sakti mandraguna?"
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Raden Wisangjiwo mendengar ini. Matanya terbelalak, mukanya pucat dan cepat sekali ia menjatuhkan diri berlutut sembah di depan Narotama sambil berkata, "Mohon beribu ampun, gusti patih. Karena hamba tidak tahu maka hamba telah berani bersikap kurang ajar dan tidak sopan di hadapan paduka."
"Tidak mengapa, orang muda. Andai kata engkau tahu sekali pun, tetap aku ingin menyaksikan kemajuan murid Ni Durgogini. Kepandaianmu lumayan, hanya kurang matang, dan.. dan ganas."
"Rakanda Narotama, kebetulan sekali kau datang. Aku minta kepadamu, demi mengingat hubungan antara kita dahulu, berilah bimbingan kepada muridku ini. Dia putera Adipati Selopenangkep, sudah sepatutnya ia menghamba di kerajaan dan kurasa kepandaiannya cukup memenuhi syarat. Kuharap kau suka menerimanya dan memberinya kedudukan di kota raja."
Narotama mengelus-elus jenggotnya. Di dalam hatinya, ia kurang cocok dengan pemuda ini karena ilmu-ilmunya amat ganas, tak pantas menjadi ilmu pegangan ksatria. Akan tetapi untuk menolak, ia pun merasa tidak enak kepada Ni Durgogini atau Lasmini. Lasmini yang dahulunya seorang puteri jelita kini telah berubah menjadi wanita iblis yang terkenal dengan nama Ni Durgogini, perubahan ini sebagian adalah dia yang menyebabkannya, maka diam-diam ia menaruh hati iba kepada Lasmini, bekas selirnya ini.
Ya, Lasmini dahulu adalah selirnya, selir yang tercinta, karena di antara para selirnya, Lasmini adalah selir yang paling tangkas dan pandai olah keperajuritan, seperti Srikandi, memiliki bakat yang amat baik sehingga dalam cinta kasihnya, Narotama telah menurunkan banyak ilmu kesaktian kepada selirnya itu. Akan tetapi, sayang sekali, Lasmini selain memiliki dasar ketangkasan, juga memiliki dasar yang tidak baik dan cabul. Terpaksa Narotama mengusirnya ketika selir itu terdapat melakukan hubungan gelap, berzina dengan seorang pangeran melalui perantaraan ki juru taman.
Karena peristiwa memalukan ini menyangkut diri seorang pangeran, dengan bijaksana Narotama tidak menimbulkan heboh, hanya secara diam-diam ia mengusir Lasmini. Tadinya ia mengira bahwa pangeran itu tentu akan menolong Lasmini dan mengambilnya sebagai selir, siapa tahu, Lasmini tersia-sia agaknya dan ternyata telah berubah menjadi wanita iblis berjuluk Ni Durgogini.
Setelah pertemuan ini barulah Narotama dapat menduga bahwa saudara Ni Durgogini yang sama terkenalnya, yaitu Ni Nogogini, tentulah si cantik Mandan pula, adik Lasmini yang pernah diselir Sang Prabu Airlangga sendiri, akan tetapi sudah lebih dahulu diusir karena sang prabu tidak suka akan perangai Mandari yang liar.
"Wisangjiwo, apakah kau setuju dengan usul gurumu itu? Inginkan kau menjadi ksatria di kota raja?"
Sebetulnya tidak pernah gurunya mengajaknya bicara tentang hal ini, akan tetapi siapa orangnya tidak ingin menjadi ksatria? Dan siapa pula tidak ingin memperoleh kesempatan mencari kemuliaan? Selain itu, ia merasa terancam keselamatannya setelah pertempurannya di Gua Siluman dan melukai anak dan mantu Resi Bhargowo, maka kiranya hanya di kota raja sajalah tempat yang aman baginya. Juga, di kota raja ia tahu banyak terdapat orang-orang sakti sehingga mudah pula untuk memperdalam ilmu-ilmunya sehingga ia kelak tidak takut menghadapi ancaman dari mana pun juga datangnya. Maka sambil berlutut dan menyembah ia pun menjawab tegas, "Hamba setuju dan hanya mengandalkan kemurahan hati dan kebijaksanaan paduka, gusti patih."
Narotama atau Rakyana Patih Kanuruhan mencabut keluar sebatang keris kecil berbentuk lurus yang disebut keris Kolomisani, memberikan keris itu kepada Wisangjiwo dan berkata, "Baiklah, kau boleh berangkat sekarang juga, bawa keris ini ke kepatihan, serahkan kepada kepala pengawal istana yang selanjutnya akan memberi petunjuk kepadamu."
Wisangjiwo menerima keris kecil itu, bersembah menghaturkan terima kasih, kemudian dengan hati girang ia minta diri, berpamit kepada gurunya untuk langsung pergi ke Mataram. Ia tidak peduli akan pandangan kecewa gurunya karena sesungguhnya Ni Durgogini tidak mengira bahwa muridnya yang terkasih itu akan berangkat sekarang juga! Ia tentu akan kehilangan dan kesepian, akan tetapi ia tidak tahu bahwa Wisangjiwo memang sengaja ingin lekas-lekas pergi agar jangan sampai terganggu oleh gurunya sendiri, karena ia harus mentaati pesan bibi gurunya untuk berlatih dengan tekun dan dengan pantangan mendekati wanita dan makan barang berjiwa.
Inilah kesempatan amat baik baginya, karena kalau tidak segera ia pergi, ia tak mungkin dapat mengharapkan kesempurnaan dalam melatih Ilmu Tirto Rudiro apabila ia berdekatan dengan Ni Durgogini!. Setelah pemuda itu pergi jauh, Narotama berkata, "Ni Lasmini, telah kukatakan tadi bahwa kedatanganku ke sini adalah kebetulan, karena aku sedang mencari Durgogini dan sama sekali tidak mengira akan bertemu denganmu di sini."
Durgogini mencibirkan bibirnya yang masih merah semringah, namun sepasang matanya kehilangan gairah cintanya yang dahulu terhadap patih ini. Sepuluh tahun lebih telah lalu dan kini sang patih bukan lagi seorang pria muda perkasa yang tampan gagah, melainkan seorang pria yang sudah setengah tua dengan rambut berwarna dua dan air muka dingin.
"Rakanda patih, setelah tahu bahwa Ni Durgogini adalah Lasmini, lalu bagaimana?" Ia tertawa terkekeh dan terheranlah Narotama betapa setelah lewat hampir tiga belas tahun, bekas selirnya ini masih tetap saja kelihatan muda, mukanya berseri, bibirnya merah membasah, giginya putih berkilau, tidak tampak sedikitpun keriput pada kulitnya yang masih halus.
Patih ini tentu saja tidak tahu bahwa Durgogini dan adiknya, Nogogini telah dapat menemukan Suket Sungsang, yakni semacam rumput laut yang langka, dan yang mengandung khasiat mustajab untuk membuat wanita awet muda. Inilah sebabnya maka Ni Durgogini dan Ni Nogogini, biarpun sudah berusia kurang lebih empat puluh tahun, masih tampak seperti gadis-gadis remaja berusia dua puluh tahun!
"Ni Lasmini, kepadamu aku lebih baik berterus terang, karena sedikit banyak engkau tentu masih memiliki perasaan setia kepada Mataram. Aku sedang memikul tugas berat, tugas yang kuterima langsung dari sang prabu sendiri. Ketahuilah bahwa sebulan yang lalu, secara tiba-tiba dan ghaib, patung emas Sang Batara Wisnu telah lenyap dari dalam istana. Sang prabu merasa prihatin sekali akan kehilangan ini, karena hal itu merupakan perlambang buruk bagi kejayaan Mataram. Oleh karena itulah maka aku sendiri diutus untuk pergi mencari dan mendapatkan kembali patung emas itu."
"Hemm, hanya sebuah patung kecil, mengapa perlu diributkan? Apa sukarnya bagi sang prabu untuk menitah para empu membuatkan kembali patung emas yang lebih indah dan besar?"
Narotama menarik napas panjang. "Engkau tidak tahu, Lasmini. Patung kencana itu sebuah benda keramat dan bertuah, dahulu menjadi ajimat dari Empu Lo Hapala yang kemudian bergelar Rakai Kayuwangi, hampir dua abad yang lalu. Pernah dahulu patung inipun lenyap dari istana Rakai Kayuwangi dan akibatnya, Kerajaan Mataram menyuram. Oleh karena itulah maka sang prabu menjadi prihatin dan akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kembali patung itu."
"Hemm!" Bibir merah itu mencibir; "Kalau begitu, mengapa engkau mencarinya ke sini? Apa kau kira aku yang mencuri patung itu?" Sepasang mata bening yang bersinar genit cabul itu mengeluarkan cahaya berkilat.
Narotama tersenyum lebar. "Engkau masih galak seperti dahulu, Lasmini! Tentu saja aku tidak berani menuduh siapa pun juga tanpa bukti. Akan tetapi menurut getaran yang kurasakan, patung itu pasti berada di sekitar pantai Laut Selatan. Aku sengaja mencari Ni Durgogini bukan untuk menuduh, melainkan untuk minta keterangan, barang kali saja Ni Durgogini mengetahui tentang patung ini."
"Hi-hik! Rakanda Narotama mengapa bicara berputar-putar? Aku bukan Lasmini lagi, akulah Ni Durgogini dan aku tidak tahu-menahu tentang patung itu. Agaknya rakanda salah perhitungan, maka sampai datang ke sini. Di antara sang prabu dan aku tidak ada urusan sesuatu, maka mengapa aku bersusah payah mencuri patung? Kalau rakanda pandai! mengapa tidak mencarinya pada orang yang memang ada urusan dan dendam dengan sang prabu?"
Narotama termenung sejenak, tiba-tiba ia menepuk dahinya sendiri.
"Aha! Kau benar, Ni Durgogini! Mengapa aku begini bodoh? Ni Mandari, adikmu! Agaknya ia lebih tahu..."
"Bukan niatku mengkhianati adik kandung! Pula, seperti juga Ni Lasmini, Ni Mandari telah mati, tidak ada lagi,, yang ada adalah Ni Nogogini!"
"Di mana dia? Di mana aku bisa bertemu dengan Ni Nogogini?"
Ni Durgogini terkekeh genit dan matanya tajam mengerling. "Sang patih yang arif bijaksana dan sakti mandraguna, apakah tidak malu bertanya-tanya, kepada seorang wanita yang tidak berdaya? Kau carilah sendiri, sepanjang pengetahuanku, Ni Nogogini bertahta di dalam istana yang letaknya di dasar Segoro Kidul (Laut Selatan), hi-hi-hik!"
Narotama tentu tahu bahwa bekas selirnya ini mempermainkannya, karena tidak mungkin seorang manusia biasa bertempat tinggal di dasar laut. Ia mengangguk dan berkata, "Sudahlah, Ni Durgogini, aku mohon diri. Akan kucari sendiri Ni Nogogini!" Ia membalikkan tubuhnya.
Tiba-tiba terdengar suara angin menyambar diiringi ketawa cekikikan yang menyeramkan dari arah belakangnya. Narotama terkejut dan cepat membalikkan tubuhnya lagi dan tangan kanannya bergerak dengan jari-jari terbuka, menghantam benda hitam yang menyambar dahsyat.
"Blarrrr...!" Batu karang yang besar itu pecah berantakan sampai mengepulkan debu.
"Ni Durgogini, apa maksudmu main-main seperti ini?" tegurnya, suaranya penuh wibawa.
"Hi-hi-hi-hik,siapa main-main, sang patih yang terhormat? Tiga belas tahun aku menderita dengan hati perih, mengingat betapa kejam seorang pria telah mengusir dan menghinaku! Narotama, apakah kau pura-pura lupa bahwa kaulah yang membunuh Ni Lasmini sehingga menjelma menjadi Ni Durgodini yang hidup terasing di Girilimut ini?"
Narotama menarik napas panjang, penuh sesal, "Nimas, kau salah paham. Semenjak dahulu aku tidak mendendam kepadamu, aku maklum akan kelemahanmu sebagai wanita muda. Aku dahulu sengaja membebaskanmu agar kau dapat melanjutkan langen asmoro (bermain cinta) dengan pangeranmu. Aku mengira bahwa sang pangeran tentu akan mengambilmu sebagai selir dalam, siapa tahu dia menyia-nyiakanmu. Aku selalu bermaksud baik kepadamu, nimas. Buktinya, putera adipati muridmu itupun kuterima dengan segala kerelaan hati."
"Tidak ada sangkut-pautnya denganku! Betapa pun juga, setelah kau datang ke sini, tak dapat aku membiarkan kau pergi begitu saja tanpa membuat beres perhitungan lama, Narotama!"
"Hemmmm, kalau begitu wawasanmu, terserah kepadamu, Ni Durgogini."
"Heh-heh-hi-hi-hik, jangan kira Lasmini dahulu sama dengan Durgogini sekarang, Rakyana Patih Kanuruhan. Terimalah pukulanku Aji Ampak-ampak ini!"
Wanita itu memekik dahsyat lalu menerjang maju dengan kedua tangan dipe tang, jari-jari tangannya terbuka dan mengirim pukulan yang mengandung hawa dingin, sedingin ampak-ampak (halimun) yang dapat membekukan darah dalam tubuh!
Melihat cahaya kebiruan keluar dari telapak tangan Durgogini, Narotama terkejut. Hebat ilmu pukulan ini, dan amatlah kuatnya. Bukannya ia tidak berani menghadapi keras lawan keras, akan tetapi ia tidak bermaksud melukai wanita yang sudah mendatangkan iba di hatinya ini. Kalau ia lawan dengan kekuatan hawa sakti pula, tentu seorang di antara mereka akan terluka hebat dan ia tidak menginginkan hal ini terjadi.
Maka Narotama lalu melesat menghindarkan pukulan-pukulan yang datangnya cepat bertubi, mempergunakan Ilmu Silat Dojro Dahono (Api Halilintar) untuk melawan Aji Ampak-ampak. Aji Bojro Dahono merupakan lawan setimpal Aji Ampak-ampak yang dingin, karena Bojro Dahono menimbulkan hawa panas seperti pusar Kawah Candradimuka.
Dari kedua telapak tangan sang patih keluar hawa bersinar kuning kemerahan dan setelah tangkis-menangkis puluhan jurus, Ni Durgogini tak kuat menahan pula, seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat saking panas hawa yang dideritanya.
"Wuuuttt, tar-tar-tar..."
Kini cambuk Sarpokepoko berada di tangannya dan menyambar-nyambar ganas. Biarpun Aji Bojro Dahono hebat, namun gerakan ilmu silat ini kurang tangkas kalau harus dipergunakan menghadapi Ilmu Cambuk Sarpokenoko yang amat cepat itu. Bagaikan seekor ular sakti, cambuk itu melingkar-lingkar, menyambar-nyambar dan ujungnya mematuk-matuk ke arah jalan darah dan bagian tubuh yang penting dan berbahaya, setiap gerak merupakan margapati (jalan maut).
Kembali Narotama menjadi kagum. Tadi ia sudah menyaksikan dan melawan Ilmu Cambuk Sarpokenoko ini ketika dimainkan Wisangjiwo, dan sudah menjadi kagum. Kini setelah ilmu cambuk ini dimainkan oleh sang pencipta sendiri, hebatnya berlipat ganda! Angin yang diakibatkan oleh pemutaran cambuk itu ikut berpusing, membentuk angin lesus yang berpusing-pusing membawa daun kering dan debu ke atas.
Ini semua masih ditambah lecutan-lecutan di udara yang menimbulkan suara ledakan, sehingga ketika Ni Durgogini mainkan ilmu Cambuk Sarpokenoko, keadaan di puncak Girilimut itu tiada ubahnya seperti ada angin lesus (angina puyuh) mengamuk disertai halilintar menyambar-nyambar!
"Nimas, apakah kau menghendaki nyawaku? Begitu tega...?" Narotama berkata penuh sesal.
"Hi-hi-hii...! Kau pun tega lara terhadapku, mengapa aku tidak tega pati terhadapmu?" Dengan kata-kata ini Ni Durgogini hendak mengatakan bahwa dahulu Narotama tega mengusirnya dan membuatnya bersengsara hati, maka sekarang ia pun tega hendak membunuh patih itu.
"Hebat ilmu cambukmu, nimas. Sayang kau pergunakan untuk membunuh orang secara ganas!" Narotama masih sibuk mengelak ke kanan kiri, menyelinap di antara bayangan cambuk.
"Babo-babo! Keluarkan semua keahlianmu, Narotama. Hendak kulihat, di samping pandai menghina wanita, apakah kau juga pandai mengalahkan aku Ni Durgogini, hi-hi-hik!"
Cambuk Sarpokenoko makin hebat amukannya dan sekali kain kepala Narotama tercium ujung cambuk. Robeklah ujung kain kepala itu, hancur berhamburan seperti dimakan api!
"Tingkahmu seperti ular saja, Durgogini!" Narotama mulai panas hatinya dan cepat ia mengerahkan Aji Kukilo Sakti (Burung Sakti), semacam ilmu silat yang amat cepat gerakannya, seperti seekor burung sakti beterbangan dan semua gerakannya tentu saja menindih gerakan cambuk Sarpokenoko yang berdasarkan gerakan seekor ular. Memang tidak ada yang lebih ampuh dari pada burung untuk menaklukkan ular. Tubuh Narotama kini berkelebat cepat, seperti melayang-layang, sukar sekali diikuti cambuk, bahkan pada saat Ni Durgogini menggoyang kepala mengusir kepeningannya, kesempatan ini tak disia-siakan Narotama dan secepat kilat jari tangannya menjepit ujung cambuk! Gerakan ini sekelebatan tepat seperti seekor burung yang mematuk seekor ular.
Ni Durgogini mengeluarkan pekik menyeramkan dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk membetot cambuknya, namun sia-sia belaka. Biarpun yang menjepit cambuk hanya tiga buah jari, yaitu ibu jari, telunjuk dan jari tengah, namun cambuk itu seakan-akan telah berakar pada jari dan tidak mungkin dapat dilepaskan lagi. Ni Durgogini marah, kakinya melangkah maju dan tangan kirinya dengan jari tangan berkuku panjang, mencakar muka dan mencokel mata. Melihat ini, Narotama berseru keras dan tiba-tiba ia mengerahkan tenaga sakti yang ia warisi dari eyang gurunya di Gunung Agung Bali Sang Begawan Setiadarma, lalu sekali ia menggereng, Ni Durgogini tak kuat bertahan lagi, tubuhnya berikut cambuknya terlempar ke udara seperti terbang!
Benar mengagumkan Ni Durgogini. Kalau lain orang yang dilontarkan macam itu, tentu akan terbanting di atas tanah berbatu dan akan hancur luluh tubuhnya. Karena Narotama tidak berniat membunuh, patih yang sakti ini sudah bersiap-siap untuk menyambut tubuh Ni Durgogini agar jangan terbanting, akan tetapi ia tercengang menyaksikan betapa di tengah udara dalam keadaan terlempar itu sampai setinggi pohon waru, tubuh Ni Durgogini dapat terjungkir balik sampai tiga kali dan turun ke atas tanah dalam keadaan berdiri seperti gerakan seekor burung walet saja ringannya! Turunnya agak jauh dari Narotama dan kini mereka berhadapan dalam jarak limabelas meter jauhnya.
Perlahan Ni Durgogini menyimpan cambuknya. Wajahnya tidak membayangkan kemarahan, bahkan ia tersenyum dan berseri-seri, matanya mengerling tajam, kemudian ia melangkah lambat-lambat menghampiri Narotama dengan lenggang seperti seorang penari. Pinggang yang kecil ramping itu meliuk-liuk dan pinggulnya melenggak-lenggok ke kanan-kini, langkahnya kecil-kecil dengan kaki merapat sehingga lututnya bersentuhan, pundaknya bergerak-gerak, juga lehernya, matanya setengah terpejam, ujung hidungnya berkembang-kempis, dadanya yang membusung bergelombang, bibirnya yang merah membasah setengah terbuka.
Narotama berdiri terpesona, jantungnya berdebar-debar aneh, getaran mujijat yang tidak sewajarnya membangkitkan gairah, darahnya berdenyar-denyar dan napasnya menjadi sesak oleh gejolak nafsu berahi. Hampir saja pendekar sakti ini tenggelam, hampir bertekuk lutut kalau saja ia bukan putera angkat Sang Wiku Darmojati dan murid Eyang Begawan Setyadarma, dua orang tokoh sakti di Bali. Batinnya yang sudah kuat itu membuat ia sadar bahwa keadaan ini bukan sewajarnya. Mengapa Ni Durgogini tiba-tiba tampak demikian cantik jelitanya dan bahkan memiliki daya penarik yang jauh lebih ampuh dari pada dahulu ketika menjadi selirnya?
Diam-diam Narotama mengerahkan hawa sakti dari dalam pusarnya, dan membaca mantera menolak pengaruh jahat sehingga ia dapat menguasai diri. Setelah lenyap pengaruh itu, kini tampaklah olehnya betapa lucu gerak-gerik Ni Durgogini. Akan tetapi dasar seorang bijaksana, ia tidak mau menghina, bahkan merasa iba hati dan terlontarlah pujian dari mulutnya, "Kau sungguh masih cantik jelita, nimas Lasmini!"
Bukan main girangnya hati Ni Durgogini. Setelah tadi semua ilmu kesaktiannya tidak berhasil mengalahkan Narotama, ia lalu mengerahkan ajiannya yang paling ampuh, yaitu ilmu Guno Asmoro. Biasanya, tidak ada seorangpun pria yang kuat menghadapi ajiannya ini, yang luar biasa ampuhnya, kuat merobohkan pertahanan hati seorang pertapa tua sekali pun. Dengan Ilmu Guno Asmoro inilah ia berusaha mengalahkan Narotama, karena dengan ilmu kesaktian dan ilmu ketangkasan, ia seolah-olah bertemu dengan gunya.....
"Kau sombong, orang tua. Biarlah aku mencoba mu dengan pukulan tangan tanpa senjata. Siap dan sambutlah ini!"
Raden Wisangjiwo lalu menerjang maju, gerakannya sigap dan pukulannya mendatangkan angin menderu. Pemuda ini tidak hanya hendak mendemonstrasikan kehebatan ilmu gurunya, juga hatinya panas dan ia ingin memberi hajaran kepada orang yang berani bersikap kurang ajar terhadap Ni Durgogini. Sama sekali ia tidak pernah mimpi bahwa yang ia hadapi ini adalah Narotama yang kini telah menjadi pepatih dalam di Mataram berjuluk Rakyana Patih Kanuruhan, sahabat baik Sang Prabu Airlangga dan kesaktiannya dalam olah prajurit hanyalah di bawah sang prabu sendiri!
Tentu saja ia tidak tahu karena nama Narotama tidak begitu terkenal, yang terkenal adalah Rakyana Patih Kanuruhan, maka ketika gurunya menyebut nama Narotama, ia sama sekali tidak tahu bahwa yang dilawannya adalah patih yang sakti mandraguna itu. Andai kata ia tahu, sebagai putera Adipati Selopenangkep dan berarti orang sebawahan patih ini, sudah tentu sampai matipun ia tidak akan berani melawan!
"Bagus!" seru Narotama sambil tersenyum.
Ia mengenal gerakan pemuda ini karena ilmu ketangkasan tangan kosong ini adalah pecahan yang dikembangkan dari ilmunya sendiri, yaitu ilmu silat Kukiko Sakti (Burung Sakti) yang pernah dahulu ia ajarkan kepada Lasmini. Ia menanti sampai pukulan itu datang dekat, lalu menggeser kaki ke kiri dan tangan kanannya ia gerakkan menangkis dengan tiba-tiba.
"Dukkkk!"
Perlahan saja tangkisan itu, namun akibatnya tubuh Raden Wisangjiwo terhuyung-huyung ke belakang. Pemuda Ini kaget dan lenyaplah perasaan hatinya yang tadi memandang rendah lawan tua ini. Ia melompat maju lagi dengan serangan yang lebih hebat, tubuhnya masih dalam lompatan, masih menyambar satu meter di atas tanah, tangan kanannya dibuka mencengkeram mata, tangan kiri disodokkan menghantam ulu hati sedangkan dengan gerakan cepat kaki kanannya menyusul dengan tendangan ke arah bawah pusar! Hebat sekali serangan ini, serangan maut karena berturut-turut kedua tangan dan sebuah kaki telah menyerang hebat dan satu saja di antaranya mengenai sasaran tentu akan membuat lawan terjungkal dengan luka parah atau mati!
"Ganas... ganas...!" Narotama berseru, diam-diam kagum juga karena ternyata pemuda ini memiliki bakat yang baik, sayangnya terbimbing oleh seorang yang berwatak ganas sehingga ilmu silatnya juga menjadi ganas sifatnya. Kembali ia berdiri diam saja menanti sampai serangan bertubi-tubi itu tiba dekat, tiba-tiba kedua tangannya bergerak Terdengar suara, "Plak-plak-plak!"
Tiga kali dan semua serangan itu dapat ia tangkis, akan tetapi kali ini tubuh Raden Wisangjiwo terlempar sampai tiga meter jauhnya dan roboh berdebuk di atas tanah hingga debu mengepul dari bawah pantatnya. Raden Wisangjiwo meringis kesakitan, akan tetapi ia menjadi amat penasaran. Darah mudanya bergolak. Dia, murid terkasih Ni Durgogini yang ditakuti orang, masa sekarang menghadapi seorang lawan tua yang tidak ternama harus menelan kekalahan demikian mudahnya?
"Jangan tertawa dulu, orang tua. Lihat seranganku!" bentaknya dan kini diam-diam ia telah menggenggam Kerang Merahnya di tangan kanan, lalu menerjang maju dengan dahsyat. Pukulannya mengandung Aji Tirto Rudiro yang ampuhnya menggila. Namun dengan senyum dikulum Narotama menghadapi pukulan ini dengan dada membusung dan mulut berkata, "Eh-eh, Lasmini, pukulan iblis apa yang kau ajarkan kepada muridmu ini? Biar kucoba menerimanya!"
Pukulan tiba, ke arah pusar Narotama. Patih yang sakti ini lalu menekuk lututnya, tidak berani sembrono menerima pukulan sedahsyat itu dengan pusar, maka ia memasang dadanya menjadi sasaran.
"Dessss...!"
Hebat sekali pukulan itu, tubuh Narotama sampai tergoyang-goyang seperti pohon beringin terlanda angin. Akan tetapi tubuh Raden Wisangjiwo mencelat seperti daun kering tertiup angin, jatuh terbanting dan bergulingan. Ia hanya mampu merangkak bangun dan tahu-tahu gurunya sudah berada di sampingnya. Cekatan sekali Ni Durgogini menekan punggung muridnya dan mengurut lengan kanannya di bawah pangkal dekat ketiak. Seketika Raden Wisangjiwo segar kembali.
"Pukulan keji!" kata Narotama. "Orang muda, lebih baik kau mempergunakan cambukmu. Bukankah kau telah menerima pelajaran ilmu Cambuk Sarpokenoko yang hebat itu?"
Raden Wisangjiwo meragu. Kini yakinlah hatinya bahwa lawannya adalah seorang sakti. Akan tetapi Ni Durgogini tertawa genit.
"Rakanda, kau benar-benar tidak mau mengalah terhadap orang muda. Mana dia mampu menandingi tenagamu? Eh, Wisangjiwo, jangan malu-malu menghadapi orang pandai. Saat ini adalah saat baik bagimu, dapat menambah pengalaman. Hayo serang lagi dia, kau gunakan cambukku ini."
Ni Durgogini menyerahkan cambuknya, Sarpokenoko yang ia pergunakan untuk menciptakan Ilmu Cambuk Sarpokenoko yang sangat dahsyat. Diam-diam wanita ini merasa penasaran bahwa muridnya dapat dikalahkan secara demikian mudah. Biarpun ia cukup maklum bahwa Narotama amat sakti, apa lagi muridnya, dia sendiripun takkan mampu menangkan, akan tetapi sebagai seorang guru ia merasa penasaran tak dapat memamerkan kepandaian muridnya. Ia cukup mengerti bahwa dalam hal ilmu silat tangan kosong tentu saja muridnya tidak akan berhasil seujung rambutpun, karena semua ilmu silat tangan kosong yang ia miliki sebenarnya bersumber dari ajaran Narotama.
Benar bahwa ilmu pukulan Tirto Rudiro yang dimiliki Wisangjiwo tidak dikenal Narotama, akan tetapi muridnya itu belum terlatih betul, tenaganya dalam ilmu itu masih lemah, maka tentu saja tidak akan ada gunanya. Berbeda dengan ilmu cambuknya. Ilmu ini adalah ciptaannya sendiri dan biarpun ia percaya bahwa Narotama tentu akan dapat mengatasinya, namun sedikit banyak Narotama akan berhadapan dengan ilmu yang asing dan tentu tidak akan dapat secara mudah saja mengalahkannya.
Dengan hati geram Raden Wisangjiwo menerima cambuk dari tangan gurunya. Ia cukup percaya akan keampuhan cambuk gurunya. Pernah ia melihat betapa dalam segebrakan saja cambuk di tangan gurunya ini mencabut nyawa lima orang bajak sungai yang berani mati menentang gurunya, padahal lima orang bajak Sungai Progo itu bukanlah lawan yang empuk, melainkan orang-orang digdaya pula. Begitu ia mencekal gagang cambuk, rasanya ia bertambah semangat dan dengan langkah gagah ia menghampiri lawan, cambuk Sarpokenoko diayun-ayun.
"Tar-tar-tar-tar-tar!" Cambuk itu melecut ke udara dan suara ledakannya nyaring sekali.
"Wah-wah, hebat benar cambuk Sarpokenoko!"
Orang tua itu memuji akan tetapi sikapnya tenang-tenang saja. Ia tahu akan keampuhan cambuk yang terbuat dari pada kulit ular itu, maklum bahwa cambuk ini mengandung racun yang berbahaya, jangankan terkena lecutan, baru terkena hawanya saja cukup dapat merobohkan orang. Ditambah lagi dengan permainan Ilmu Cambuk Sarpokenoko, benar-benar amat ampuh dan tepat sekali dengan namanya. Sarpokenoko berarti Kuku Ular, dan adalah nama adik Sang Prabu Dosomuko dalam cerita pewayangan Ramayana, adik perempuan yang mempunyai aji pada kukunya, yang sakti mandraguna dan ganas liar seperti iblis.
"Paman, lihat seranganku!" Raden Wisangjiwo berseru.
Pemuda ini cukup cerdik. Ia maklum bahwa orang tua yang tak dikenalnya ini adalah seorang kenalan gurunya, seorang yang sakti dan karenanya ia mulai bersikap lunak dan hormat, menyebutnya paman dan memberitahukan dulu sebelum menyerang. Hal ini tentu saja ia lakukan karena ia merasa ragu-ragu apakah ia akan dapat menang, biarpun ia bersenjatakan cambuk Sarpokenoko sedangkan lawannya bertangan kosong.
"Siuuuuttt... blarrrrr!"
Batu karang sebesar kepala kerbau hancur menjadi tepung ketika cambuk itu menyambar dan tahu-tahu tubuh Narotama lenyap dan sebagai gantinya, batu itu yang tadi berada di bawahnya menjadi korban hantaman cambuk. Raden Wisangjiwo cepat membalikkan tubuh. Entah bagaimana gerakan orang tua itu ia tidak melihat, akan tetapi tadi tahu-tahu lenyap dan kini sudah berada di belakangnya, tenang-tenang saja berdiri menanti datangnya serangan.
Kembali Raden Wisangjiwo menyerang, kini menggunakan gerakan memutar cambuk membentuk lingkaran-lingkaran di sekitar tubuh lawan, menghadang jalan keluar. Dari dalam lingkaran itu, ujung cambuk baru mematuk seperti paruh burung elang, mengarah bagian berbahaya seperti mata, leher, ulu hati, lambung, pusar dan sebagainya.
"Hebat...!" Narotama kembali memuji dan ia benar-benar kagum. Memang tak boleh dibuat permainan ilmu cambuk ini, terpaksa ia lalu mengeluarkan ajiannya, tiba-tiba tubuhnya berkelebat seperti terbang atau seperti bayang-bayang saja yang mengikuti gerakan cambuk, menyelinap di antara sinar cambuk dan anehnya, gerakannya ini mengeluarkan bunyi mengaung perlahan tiada hentinya. Inilah ilmu silat tangan kosong Bramoro Seto (Lebah Putih) yang merupakan sebuah di antara raja ilmu silat tangan kosong. Sampai berkunang kedua mata Raden Wisangjiwo mencari-cari lawannya dan mengikuti gerakan bayangan yang berkelebat itu, bayangan putih yang tak tentu ujudnya, tak tentu ke mana pindahnya.
Tubuhnya sudah lelah sekali karena ia telah mainkan semua jurus Ilmu Cambuk Sarpokenoko untuk menghantam bayangan itu, namun sia-sia, semua serangannya hanya mengenai angin belaka, sedangkan suara mengaung-ngaung seperti lebah besar beterbangan di sekitar kepalanya membuat ia menjadi panik dan pening. Apalagi karena lawannya itu bergerak-gerak bukan hanya untuk mengelak, melainkan membalas dengan tamparan-tamparan yang mendatangkan hawa panas, membuat Raden Wisangjiwo bingung mengelak ke sana ke mari, menyambarkan cambuknya ke kanan kiri, dan masih untung baginya bahwa lawannya tidak mau memukulnya, melainkan membikin bingung saja. Kalau memang lawan berniat buruk, sudah tadi-tadi ia kena pukul.
"Cukup, Wisangjiwo, lekas memberi hormat kepada gusti patih!" seru Ni Durgogini dan tahu-tahu cambuk di tangan pemuda itu sudah terampas oleh gurunya.
Narotama berhenti dan berdiri dengan wajah biasa, tenang dan tertawa ramah.
"Gusti... gusti patih...?" Wisangjiwo kebingungan, memandang gurunya dan orang tua itu berganti-ganti.
Ni Durgogini tertawa genit cekikikan.
"Anak bodoh, apakah kau tidak tahu bahwa rakanda Narotama adalah Gusti Rakyana Patih Kanuruhan, Patih Dalam Mataram yang terkenal sakti mandraguna?"
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Raden Wisangjiwo mendengar ini. Matanya terbelalak, mukanya pucat dan cepat sekali ia menjatuhkan diri berlutut sembah di depan Narotama sambil berkata, "Mohon beribu ampun, gusti patih. Karena hamba tidak tahu maka hamba telah berani bersikap kurang ajar dan tidak sopan di hadapan paduka."
"Tidak mengapa, orang muda. Andai kata engkau tahu sekali pun, tetap aku ingin menyaksikan kemajuan murid Ni Durgogini. Kepandaianmu lumayan, hanya kurang matang, dan.. dan ganas."
"Rakanda Narotama, kebetulan sekali kau datang. Aku minta kepadamu, demi mengingat hubungan antara kita dahulu, berilah bimbingan kepada muridku ini. Dia putera Adipati Selopenangkep, sudah sepatutnya ia menghamba di kerajaan dan kurasa kepandaiannya cukup memenuhi syarat. Kuharap kau suka menerimanya dan memberinya kedudukan di kota raja."
Narotama mengelus-elus jenggotnya. Di dalam hatinya, ia kurang cocok dengan pemuda ini karena ilmu-ilmunya amat ganas, tak pantas menjadi ilmu pegangan ksatria. Akan tetapi untuk menolak, ia pun merasa tidak enak kepada Ni Durgogini atau Lasmini. Lasmini yang dahulunya seorang puteri jelita kini telah berubah menjadi wanita iblis yang terkenal dengan nama Ni Durgogini, perubahan ini sebagian adalah dia yang menyebabkannya, maka diam-diam ia menaruh hati iba kepada Lasmini, bekas selirnya ini.
Ya, Lasmini dahulu adalah selirnya, selir yang tercinta, karena di antara para selirnya, Lasmini adalah selir yang paling tangkas dan pandai olah keperajuritan, seperti Srikandi, memiliki bakat yang amat baik sehingga dalam cinta kasihnya, Narotama telah menurunkan banyak ilmu kesaktian kepada selirnya itu. Akan tetapi, sayang sekali, Lasmini selain memiliki dasar ketangkasan, juga memiliki dasar yang tidak baik dan cabul. Terpaksa Narotama mengusirnya ketika selir itu terdapat melakukan hubungan gelap, berzina dengan seorang pangeran melalui perantaraan ki juru taman.
Karena peristiwa memalukan ini menyangkut diri seorang pangeran, dengan bijaksana Narotama tidak menimbulkan heboh, hanya secara diam-diam ia mengusir Lasmini. Tadinya ia mengira bahwa pangeran itu tentu akan menolong Lasmini dan mengambilnya sebagai selir, siapa tahu, Lasmini tersia-sia agaknya dan ternyata telah berubah menjadi wanita iblis berjuluk Ni Durgogini.
Setelah pertemuan ini barulah Narotama dapat menduga bahwa saudara Ni Durgogini yang sama terkenalnya, yaitu Ni Nogogini, tentulah si cantik Mandan pula, adik Lasmini yang pernah diselir Sang Prabu Airlangga sendiri, akan tetapi sudah lebih dahulu diusir karena sang prabu tidak suka akan perangai Mandari yang liar.
"Wisangjiwo, apakah kau setuju dengan usul gurumu itu? Inginkan kau menjadi ksatria di kota raja?"
Sebetulnya tidak pernah gurunya mengajaknya bicara tentang hal ini, akan tetapi siapa orangnya tidak ingin menjadi ksatria? Dan siapa pula tidak ingin memperoleh kesempatan mencari kemuliaan? Selain itu, ia merasa terancam keselamatannya setelah pertempurannya di Gua Siluman dan melukai anak dan mantu Resi Bhargowo, maka kiranya hanya di kota raja sajalah tempat yang aman baginya. Juga, di kota raja ia tahu banyak terdapat orang-orang sakti sehingga mudah pula untuk memperdalam ilmu-ilmunya sehingga ia kelak tidak takut menghadapi ancaman dari mana pun juga datangnya. Maka sambil berlutut dan menyembah ia pun menjawab tegas, "Hamba setuju dan hanya mengandalkan kemurahan hati dan kebijaksanaan paduka, gusti patih."
Narotama atau Rakyana Patih Kanuruhan mencabut keluar sebatang keris kecil berbentuk lurus yang disebut keris Kolomisani, memberikan keris itu kepada Wisangjiwo dan berkata, "Baiklah, kau boleh berangkat sekarang juga, bawa keris ini ke kepatihan, serahkan kepada kepala pengawal istana yang selanjutnya akan memberi petunjuk kepadamu."
Wisangjiwo menerima keris kecil itu, bersembah menghaturkan terima kasih, kemudian dengan hati girang ia minta diri, berpamit kepada gurunya untuk langsung pergi ke Mataram. Ia tidak peduli akan pandangan kecewa gurunya karena sesungguhnya Ni Durgogini tidak mengira bahwa muridnya yang terkasih itu akan berangkat sekarang juga! Ia tentu akan kehilangan dan kesepian, akan tetapi ia tidak tahu bahwa Wisangjiwo memang sengaja ingin lekas-lekas pergi agar jangan sampai terganggu oleh gurunya sendiri, karena ia harus mentaati pesan bibi gurunya untuk berlatih dengan tekun dan dengan pantangan mendekati wanita dan makan barang berjiwa.
Inilah kesempatan amat baik baginya, karena kalau tidak segera ia pergi, ia tak mungkin dapat mengharapkan kesempurnaan dalam melatih Ilmu Tirto Rudiro apabila ia berdekatan dengan Ni Durgogini!. Setelah pemuda itu pergi jauh, Narotama berkata, "Ni Lasmini, telah kukatakan tadi bahwa kedatanganku ke sini adalah kebetulan, karena aku sedang mencari Durgogini dan sama sekali tidak mengira akan bertemu denganmu di sini."
Durgogini mencibirkan bibirnya yang masih merah semringah, namun sepasang matanya kehilangan gairah cintanya yang dahulu terhadap patih ini. Sepuluh tahun lebih telah lalu dan kini sang patih bukan lagi seorang pria muda perkasa yang tampan gagah, melainkan seorang pria yang sudah setengah tua dengan rambut berwarna dua dan air muka dingin.
"Rakanda patih, setelah tahu bahwa Ni Durgogini adalah Lasmini, lalu bagaimana?" Ia tertawa terkekeh dan terheranlah Narotama betapa setelah lewat hampir tiga belas tahun, bekas selirnya ini masih tetap saja kelihatan muda, mukanya berseri, bibirnya merah membasah, giginya putih berkilau, tidak tampak sedikitpun keriput pada kulitnya yang masih halus.
Patih ini tentu saja tidak tahu bahwa Durgogini dan adiknya, Nogogini telah dapat menemukan Suket Sungsang, yakni semacam rumput laut yang langka, dan yang mengandung khasiat mustajab untuk membuat wanita awet muda. Inilah sebabnya maka Ni Durgogini dan Ni Nogogini, biarpun sudah berusia kurang lebih empat puluh tahun, masih tampak seperti gadis-gadis remaja berusia dua puluh tahun!
"Ni Lasmini, kepadamu aku lebih baik berterus terang, karena sedikit banyak engkau tentu masih memiliki perasaan setia kepada Mataram. Aku sedang memikul tugas berat, tugas yang kuterima langsung dari sang prabu sendiri. Ketahuilah bahwa sebulan yang lalu, secara tiba-tiba dan ghaib, patung emas Sang Batara Wisnu telah lenyap dari dalam istana. Sang prabu merasa prihatin sekali akan kehilangan ini, karena hal itu merupakan perlambang buruk bagi kejayaan Mataram. Oleh karena itulah maka aku sendiri diutus untuk pergi mencari dan mendapatkan kembali patung emas itu."
"Hemm, hanya sebuah patung kecil, mengapa perlu diributkan? Apa sukarnya bagi sang prabu untuk menitah para empu membuatkan kembali patung emas yang lebih indah dan besar?"
Narotama menarik napas panjang. "Engkau tidak tahu, Lasmini. Patung kencana itu sebuah benda keramat dan bertuah, dahulu menjadi ajimat dari Empu Lo Hapala yang kemudian bergelar Rakai Kayuwangi, hampir dua abad yang lalu. Pernah dahulu patung inipun lenyap dari istana Rakai Kayuwangi dan akibatnya, Kerajaan Mataram menyuram. Oleh karena itulah maka sang prabu menjadi prihatin dan akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kembali patung itu."
"Hemm!" Bibir merah itu mencibir; "Kalau begitu, mengapa engkau mencarinya ke sini? Apa kau kira aku yang mencuri patung itu?" Sepasang mata bening yang bersinar genit cabul itu mengeluarkan cahaya berkilat.
Narotama tersenyum lebar. "Engkau masih galak seperti dahulu, Lasmini! Tentu saja aku tidak berani menuduh siapa pun juga tanpa bukti. Akan tetapi menurut getaran yang kurasakan, patung itu pasti berada di sekitar pantai Laut Selatan. Aku sengaja mencari Ni Durgogini bukan untuk menuduh, melainkan untuk minta keterangan, barang kali saja Ni Durgogini mengetahui tentang patung ini."
"Hi-hik! Rakanda Narotama mengapa bicara berputar-putar? Aku bukan Lasmini lagi, akulah Ni Durgogini dan aku tidak tahu-menahu tentang patung itu. Agaknya rakanda salah perhitungan, maka sampai datang ke sini. Di antara sang prabu dan aku tidak ada urusan sesuatu, maka mengapa aku bersusah payah mencuri patung? Kalau rakanda pandai! mengapa tidak mencarinya pada orang yang memang ada urusan dan dendam dengan sang prabu?"
Narotama termenung sejenak, tiba-tiba ia menepuk dahinya sendiri.
"Aha! Kau benar, Ni Durgogini! Mengapa aku begini bodoh? Ni Mandari, adikmu! Agaknya ia lebih tahu..."
"Bukan niatku mengkhianati adik kandung! Pula, seperti juga Ni Lasmini, Ni Mandari telah mati, tidak ada lagi,, yang ada adalah Ni Nogogini!"
"Di mana dia? Di mana aku bisa bertemu dengan Ni Nogogini?"
Ni Durgogini terkekeh genit dan matanya tajam mengerling. "Sang patih yang arif bijaksana dan sakti mandraguna, apakah tidak malu bertanya-tanya, kepada seorang wanita yang tidak berdaya? Kau carilah sendiri, sepanjang pengetahuanku, Ni Nogogini bertahta di dalam istana yang letaknya di dasar Segoro Kidul (Laut Selatan), hi-hi-hik!"
Narotama tentu tahu bahwa bekas selirnya ini mempermainkannya, karena tidak mungkin seorang manusia biasa bertempat tinggal di dasar laut. Ia mengangguk dan berkata, "Sudahlah, Ni Durgogini, aku mohon diri. Akan kucari sendiri Ni Nogogini!" Ia membalikkan tubuhnya.
Tiba-tiba terdengar suara angin menyambar diiringi ketawa cekikikan yang menyeramkan dari arah belakangnya. Narotama terkejut dan cepat membalikkan tubuhnya lagi dan tangan kanannya bergerak dengan jari-jari terbuka, menghantam benda hitam yang menyambar dahsyat.
"Blarrrr...!" Batu karang yang besar itu pecah berantakan sampai mengepulkan debu.
"Ni Durgogini, apa maksudmu main-main seperti ini?" tegurnya, suaranya penuh wibawa.
"Hi-hi-hi-hik,siapa main-main, sang patih yang terhormat? Tiga belas tahun aku menderita dengan hati perih, mengingat betapa kejam seorang pria telah mengusir dan menghinaku! Narotama, apakah kau pura-pura lupa bahwa kaulah yang membunuh Ni Lasmini sehingga menjelma menjadi Ni Durgodini yang hidup terasing di Girilimut ini?"
Narotama menarik napas panjang, penuh sesal, "Nimas, kau salah paham. Semenjak dahulu aku tidak mendendam kepadamu, aku maklum akan kelemahanmu sebagai wanita muda. Aku dahulu sengaja membebaskanmu agar kau dapat melanjutkan langen asmoro (bermain cinta) dengan pangeranmu. Aku mengira bahwa sang pangeran tentu akan mengambilmu sebagai selir dalam, siapa tahu dia menyia-nyiakanmu. Aku selalu bermaksud baik kepadamu, nimas. Buktinya, putera adipati muridmu itupun kuterima dengan segala kerelaan hati."
"Tidak ada sangkut-pautnya denganku! Betapa pun juga, setelah kau datang ke sini, tak dapat aku membiarkan kau pergi begitu saja tanpa membuat beres perhitungan lama, Narotama!"
"Hemmmm, kalau begitu wawasanmu, terserah kepadamu, Ni Durgogini."
"Heh-heh-hi-hi-hik, jangan kira Lasmini dahulu sama dengan Durgogini sekarang, Rakyana Patih Kanuruhan. Terimalah pukulanku Aji Ampak-ampak ini!"
Wanita itu memekik dahsyat lalu menerjang maju dengan kedua tangan dipe tang, jari-jari tangannya terbuka dan mengirim pukulan yang mengandung hawa dingin, sedingin ampak-ampak (halimun) yang dapat membekukan darah dalam tubuh!
Melihat cahaya kebiruan keluar dari telapak tangan Durgogini, Narotama terkejut. Hebat ilmu pukulan ini, dan amatlah kuatnya. Bukannya ia tidak berani menghadapi keras lawan keras, akan tetapi ia tidak bermaksud melukai wanita yang sudah mendatangkan iba di hatinya ini. Kalau ia lawan dengan kekuatan hawa sakti pula, tentu seorang di antara mereka akan terluka hebat dan ia tidak menginginkan hal ini terjadi.
Maka Narotama lalu melesat menghindarkan pukulan-pukulan yang datangnya cepat bertubi, mempergunakan Ilmu Silat Dojro Dahono (Api Halilintar) untuk melawan Aji Ampak-ampak. Aji Bojro Dahono merupakan lawan setimpal Aji Ampak-ampak yang dingin, karena Bojro Dahono menimbulkan hawa panas seperti pusar Kawah Candradimuka.
Dari kedua telapak tangan sang patih keluar hawa bersinar kuning kemerahan dan setelah tangkis-menangkis puluhan jurus, Ni Durgogini tak kuat menahan pula, seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat saking panas hawa yang dideritanya.
"Wuuuttt, tar-tar-tar..."
Kini cambuk Sarpokepoko berada di tangannya dan menyambar-nyambar ganas. Biarpun Aji Bojro Dahono hebat, namun gerakan ilmu silat ini kurang tangkas kalau harus dipergunakan menghadapi Ilmu Cambuk Sarpokenoko yang amat cepat itu. Bagaikan seekor ular sakti, cambuk itu melingkar-lingkar, menyambar-nyambar dan ujungnya mematuk-matuk ke arah jalan darah dan bagian tubuh yang penting dan berbahaya, setiap gerak merupakan margapati (jalan maut).
Kembali Narotama menjadi kagum. Tadi ia sudah menyaksikan dan melawan Ilmu Cambuk Sarpokenoko ini ketika dimainkan Wisangjiwo, dan sudah menjadi kagum. Kini setelah ilmu cambuk ini dimainkan oleh sang pencipta sendiri, hebatnya berlipat ganda! Angin yang diakibatkan oleh pemutaran cambuk itu ikut berpusing, membentuk angin lesus yang berpusing-pusing membawa daun kering dan debu ke atas.
Ini semua masih ditambah lecutan-lecutan di udara yang menimbulkan suara ledakan, sehingga ketika Ni Durgogini mainkan ilmu Cambuk Sarpokenoko, keadaan di puncak Girilimut itu tiada ubahnya seperti ada angin lesus (angina puyuh) mengamuk disertai halilintar menyambar-nyambar!
"Nimas, apakah kau menghendaki nyawaku? Begitu tega...?" Narotama berkata penuh sesal.
"Hi-hi-hii...! Kau pun tega lara terhadapku, mengapa aku tidak tega pati terhadapmu?" Dengan kata-kata ini Ni Durgogini hendak mengatakan bahwa dahulu Narotama tega mengusirnya dan membuatnya bersengsara hati, maka sekarang ia pun tega hendak membunuh patih itu.
"Hebat ilmu cambukmu, nimas. Sayang kau pergunakan untuk membunuh orang secara ganas!" Narotama masih sibuk mengelak ke kanan kiri, menyelinap di antara bayangan cambuk.
"Babo-babo! Keluarkan semua keahlianmu, Narotama. Hendak kulihat, di samping pandai menghina wanita, apakah kau juga pandai mengalahkan aku Ni Durgogini, hi-hi-hik!"
Cambuk Sarpokenoko makin hebat amukannya dan sekali kain kepala Narotama tercium ujung cambuk. Robeklah ujung kain kepala itu, hancur berhamburan seperti dimakan api!
"Tingkahmu seperti ular saja, Durgogini!" Narotama mulai panas hatinya dan cepat ia mengerahkan Aji Kukilo Sakti (Burung Sakti), semacam ilmu silat yang amat cepat gerakannya, seperti seekor burung sakti beterbangan dan semua gerakannya tentu saja menindih gerakan cambuk Sarpokenoko yang berdasarkan gerakan seekor ular. Memang tidak ada yang lebih ampuh dari pada burung untuk menaklukkan ular. Tubuh Narotama kini berkelebat cepat, seperti melayang-layang, sukar sekali diikuti cambuk, bahkan pada saat Ni Durgogini menggoyang kepala mengusir kepeningannya, kesempatan ini tak disia-siakan Narotama dan secepat kilat jari tangannya menjepit ujung cambuk! Gerakan ini sekelebatan tepat seperti seekor burung yang mematuk seekor ular.
Ni Durgogini mengeluarkan pekik menyeramkan dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk membetot cambuknya, namun sia-sia belaka. Biarpun yang menjepit cambuk hanya tiga buah jari, yaitu ibu jari, telunjuk dan jari tengah, namun cambuk itu seakan-akan telah berakar pada jari dan tidak mungkin dapat dilepaskan lagi. Ni Durgogini marah, kakinya melangkah maju dan tangan kirinya dengan jari tangan berkuku panjang, mencakar muka dan mencokel mata. Melihat ini, Narotama berseru keras dan tiba-tiba ia mengerahkan tenaga sakti yang ia warisi dari eyang gurunya di Gunung Agung Bali Sang Begawan Setiadarma, lalu sekali ia menggereng, Ni Durgogini tak kuat bertahan lagi, tubuhnya berikut cambuknya terlempar ke udara seperti terbang!
Benar mengagumkan Ni Durgogini. Kalau lain orang yang dilontarkan macam itu, tentu akan terbanting di atas tanah berbatu dan akan hancur luluh tubuhnya. Karena Narotama tidak berniat membunuh, patih yang sakti ini sudah bersiap-siap untuk menyambut tubuh Ni Durgogini agar jangan terbanting, akan tetapi ia tercengang menyaksikan betapa di tengah udara dalam keadaan terlempar itu sampai setinggi pohon waru, tubuh Ni Durgogini dapat terjungkir balik sampai tiga kali dan turun ke atas tanah dalam keadaan berdiri seperti gerakan seekor burung walet saja ringannya! Turunnya agak jauh dari Narotama dan kini mereka berhadapan dalam jarak limabelas meter jauhnya.
Perlahan Ni Durgogini menyimpan cambuknya. Wajahnya tidak membayangkan kemarahan, bahkan ia tersenyum dan berseri-seri, matanya mengerling tajam, kemudian ia melangkah lambat-lambat menghampiri Narotama dengan lenggang seperti seorang penari. Pinggang yang kecil ramping itu meliuk-liuk dan pinggulnya melenggak-lenggok ke kanan-kini, langkahnya kecil-kecil dengan kaki merapat sehingga lututnya bersentuhan, pundaknya bergerak-gerak, juga lehernya, matanya setengah terpejam, ujung hidungnya berkembang-kempis, dadanya yang membusung bergelombang, bibirnya yang merah membasah setengah terbuka.
Narotama berdiri terpesona, jantungnya berdebar-debar aneh, getaran mujijat yang tidak sewajarnya membangkitkan gairah, darahnya berdenyar-denyar dan napasnya menjadi sesak oleh gejolak nafsu berahi. Hampir saja pendekar sakti ini tenggelam, hampir bertekuk lutut kalau saja ia bukan putera angkat Sang Wiku Darmojati dan murid Eyang Begawan Setyadarma, dua orang tokoh sakti di Bali. Batinnya yang sudah kuat itu membuat ia sadar bahwa keadaan ini bukan sewajarnya. Mengapa Ni Durgogini tiba-tiba tampak demikian cantik jelitanya dan bahkan memiliki daya penarik yang jauh lebih ampuh dari pada dahulu ketika menjadi selirnya?
Diam-diam Narotama mengerahkan hawa sakti dari dalam pusarnya, dan membaca mantera menolak pengaruh jahat sehingga ia dapat menguasai diri. Setelah lenyap pengaruh itu, kini tampaklah olehnya betapa lucu gerak-gerik Ni Durgogini. Akan tetapi dasar seorang bijaksana, ia tidak mau menghina, bahkan merasa iba hati dan terlontarlah pujian dari mulutnya, "Kau sungguh masih cantik jelita, nimas Lasmini!"
Bukan main girangnya hati Ni Durgogini. Setelah tadi semua ilmu kesaktiannya tidak berhasil mengalahkan Narotama, ia lalu mengerahkan ajiannya yang paling ampuh, yaitu ilmu Guno Asmoro. Biasanya, tidak ada seorangpun pria yang kuat menghadapi ajiannya ini, yang luar biasa ampuhnya, kuat merobohkan pertahanan hati seorang pertapa tua sekali pun. Dengan Ilmu Guno Asmoro inilah ia berusaha mengalahkan Narotama, karena dengan ilmu kesaktian dan ilmu ketangkasan, ia seolah-olah bertemu dengan gunya.....
Komentar
Posting Komentar