BADAI LAUT SELATAN : JILID-13
"Dukkk!"
Untuk kedua kalinya dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu di udara dan akibatnya hebat. Tubuh Resi Telomoyo terlempar ke belakang, terjengkang dan berjungkir balik beberapa kali dengan amat tangkasnya. Akan tetapi Cekel Aksomolo juga terdorong ke belakang, terhuyung-huyung hampir roboh. Keduanya terpental sampai lima meter ke belakang dan kini berhadapan dengan mata terbelalak kagum dan kaget.
"Uuh-huh-huh, kiranya bukan sembarang orang! Eh, kunyuk tua, sebelum mampus di tangan Cekel Aksomolo, mengakulah, siapa gerangan engkau ini dan apakah engkau tadi terlalu banyak minum arak maka tiada hujan tiada angin mengamuk seperti kera mabok?"
Tercengang Resi Telomoyo mendengar nama ini. Ia menggaruk-garuk belakang telinganya lalu terkekeh. "Wah-wah, kiranya bukan cekel sembarang cekel, bukan cantrik sembarang cantrik! Kusangka cantrik bujang Resi Bhargowo, siapa tahu ternyata Cekel Aksomolo si cantrik iblis! Heh, cekel bongkok, aku adalah Resi Telomoyo! Mengapa engkau melindungi si Pujo ini yang hendak kubawa untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya? Hayo, benar-benarkah kau hendak mengadu kesaktian, menguji ampuhnya mantera tebalnya aji?"
Kini giliran Cekel Aksomolo yang kaget. Belum pernah ia bertemu memang, baru kali ini, namun nama Resi Telomoyo sudah pernah ia dengar, dan menyaksikan akibat benturan tenaga sakti tadi, ia maklum bahwa manusia seperti monyet ini sama sekali tak boleh dipandang ringan. Sementara itu, Jokowanengpati ketika mendengar bahwa kakek itu adalah Resi Telomoyo yang kabarnya sakti mandraguna seperti Sang Hanoman di jaman Ramayana, juga menjadi terkejut.
Pemuda cerdik ini memang sedang berusaha mengumpulkan sekutu yang pandai-pandai, maka cepat ia berkata, "Mohon paman Resi Telomoyo sudi mengampunkan saya. Saya sama sekali bukanlah Pujo yang paman cari. Saya bernama Jokowanengpati, murid Empu Bharodo."
Resi Telomoyo tertegun, kecewa dan mendongkol. "Mengapa tidak dari tadi mengaku? Empu Bharodo saudara seperguruan Resi Bhargowo? Kalau begitu engkau sama busuknya dengan Pujo! Tampak pada kilatan matamu. Huh, walaupun pakaianmu pakaian satria, ilmu kepandaianmu ilmu satria, namun matamu mata jalang, kau tentu satria tukmisi satria batuk kelimis (dahi halus, dimaksudkan mata keranjang)!"
"Huh-huh-huh, celaka, tiada hujan tiada angin memaki-maki. Monyet mendem (mabok)! Terima sajalah, raden, hitung-hitung buang sebel (sial)! Dia kakek mabok, kalau dilayani bukankah sama maboknya?" Cekel Aksomolo berkata.
"Wah lagaknya si cekel bongkok! Kau inipun tua-tua tuanya keladi, makin tua? makin menjadi-jadi! Tua-tua kelapa, makin tua makin keras tempurungnya, makin banyak santannya! Kakek tuwek (tua) kurus kering bongkok juling seperti kau ini tentu masih suka mengejar-ngejar wanita ayu!"
Cekel Aksomolo mencak-mencak saking marahnya. "Heh keparat Resi Telomoyo, mulutmu bobrok asal njeplak (terbuka) saya memaki orang seenak perutnya. Rasakan tasbih keramat ini!"
Dengan amarah meluap-luap Cekel Aksomolo menerjang dengan tasbihnya, juga Jokowanengpati setelah mendapat kenyataan bahwa kakek putih itu tidak dapat diajak berteman, mencabut kerisnya dan ikut pula menerjang maju. Resi Telomoyo kaget sekali. Kalau dikeroyok dua, ia bisa celaka, maka ia lalu mengeluarkan teriak keras seperti seekor kera dan tubuhnya mencelat ke atas, tahu-tahu ia sudah menyambar ranting pohon dan sambil terkekeh-kekeh ia melarikan, diri dengan cara meloncat-loncat di atas pohon.
Akan tetapi sebelum meloncat jauh, ia membuka jubah bagian bawah dan menyambarlah "air hujan" dari atas menimpa Cekel Aksomolo dan Jokowanengpati!. Kedua orang itu cepat meloncat ke pinggir, akan tetapi tetap saja sebagian lengan mereka terkena air. Ketika itu tercium bau pesing dan tahulah mereka bahwa si kakek gila-gilaan itu sambil melarikan diri telah menyiram mereka dengan air kencing! Benar-benar persis Watak nakal seekor monyet.
Jokowanengpati merasa geli dan juga mendongkol sekali akan hinaan ini. Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat Cekel Aksomolo menggerak-gerakkan hidung mencium-cium, mukanya menjadi pucat sekali dan bibirnya berkata perlahan, "Untung tidak kena kepala...!"
"Kena kepalapun mengapa, eyang? Dapat dicuci!"
"Uuuh-huh-huh, sial dangkalan bertemu monyet tua bangka! Biarpun dapat dicuci, penghinaan ini sekali waktu harus kubalas! Awas dia, kelak kutangkap dan kupaksa ia minum air kencingnya sendiri!"
Akan tetapi diam-diam Jokowanengpati merasa bersangsi apakah kakek ini akan sanggup melaksanakan ancamannya, mengingat betapa si manusia kera itu benar-benar sakti, dan belum tentu kalah oleh Cekel Aksomolo. Pemuda ini sama sekali tidak mengira bahwa tadi hampir saja pertapa lereng Wilis itu membuka rahasianya sendiri. Seperti banyak ahli-ahli ilmu hitam yang selalu mempunyai pantangan, juga Cekel Aksomolo mempunyai semacam sirikan atau pantangan yang aneh, yaitu kepalanya tidak boleh tersiram air kencing.
Ini merupakan pengapesan atau kenaasannya. Makin bersih air kencing itu, makin celakalah dia. Air kencing anak-anak tentu akan membuatnya lumpuh seketika kalau mengenai kepalanya. Biarpun air kencing Resi Telomoyo tidak sebersih air kencing anak-anak, dan hanya mengenal lengannya bukan kepalanya, namun sudah cukup lumayan, membuat kepalanya pening sebentar dan mau muntah!
Dengan hati penuh kegemasan, Jokowanengpati terpaksa menolong anak buahnya, kemudian rombongan ini melanjutkan perjalanan pulang ke Kadipaten Selopenangkep dengan tubuh lemas. Usaha mencari Pujo tidak berhasil, malah mereka mendapat hinaan dari Resi Telomoyo! Bersungut-sungut Jokowanengpati dan Cekel Aksomolo memasuki Kadipaten Selopenangkep.
Orang-orang sama terheran melihat betapa pasukan yang ketika berangkat dahulu gagah-gagah itu kini pulang dengan pakaian kumal, wajah kesal dan pakaian kusut, bahkan ada yang masih mengerang-erang dan ada pula yang tertelungkup di atas punggung kudanya, terlukai seperti pasukan kalah perang. Akan tetapi, ada hiburan bagi Jokowangpati dan Cekel Aksomolo dalam kegemasan mereka, yaitu bahwa Kadipaten Selopenangkep sudah kedatangan tamu-tamu agung.
Selain Wisangjiwo yang datang bersama dua orang wanita sakti yang bukan lain adalah Ni Durgogini, dan Ni Nogogini, juga kedatangan beberapa orang sakti lain yang akan memperkuat persekutuan mereka diharapkan datang dalam beberapa hari, yaitu di antaranya Ki Warok Gendroyono dari Ponorogo dan Ki Krendoyakso dari Bagelen! Secara singkat Jokowanengpati menceritakan usaha mereka mencari Pujo dan Resi Bhargowo tidak berhasil, sebaliknya di tengah jalan bertemu dengan Resi Telomoyo dan terjadilah perselisihan yang mengakibatkan terlukanya para pengawal.
"Manusia kera yang tua itu benar-benar menjemukan sekali," Jokowanengpati mengakhiri ceritanya. "Tanpa alasan dia mencari keributan dengan kami. Tentu saja para perajurit bukan lawannya. Kami berdua sudah turun tangan dan tentu dia akan mampus kalau saja tidak lekas-lekas lari mempergunakan kegesitannya seperti monyet, meloncat-loncat ke atas pohon sukar dikejar."
"Uuh-huh-huh, lain kali tidak kuberi ampun si monyet tua dari Telomoyo!" Cekel Aksomolo ikut bicara.
"Aku pernah mendengar tentang Resi Telomoyo manusia monyet, kukira hanya dongeng belaka, kiranya benar-benar ada," Ni Nogogini ikut bicara dan matanya mengerling ke arah Wisangjiwo.
Akan tetapi Ni Durgogini agaknya tidak memperhatikan cerita itu. Ia sedang kesima memandangi wajah Jokowanengpati yang ganteng dan matanya menyinarkan api gairah. Kemudian Adipati Joyowiseso memperkenalkan kedua wanita sakti itu kepada Cekel Aksomolo dan Jokowanengpati.
"Waduh-waduh... sudah terlalu lama mendengar nama andika berdua yang hebat menjulang ke angkasa! Siapa sangka kedua nini yang sakti mandraguna jug amat cantik jelita seperti bidadari-bidadari kahyangan! Uh-huh-huh!" CekelAksomolo memuji.
Diam-diam Wisangjiwo merasa khawatir sekali kalau-kalau gurunya dan bibi gurunya akan menjadi marah. Akan tetapi ternyata tidak. Malah gurunya tersenyum manis sekali sambil mengerling ke arah Jokowanengpati dan berkata, "Paman Cekel Aksomolo terlalu memuji. Dan orang muda ini yang bernam Jckowanengpati? Pernah aku mendengar dari muridku Wisangjiwo bahwa kau adalah murid Empu Bharodo, betulkah, raden?" Suaranya manis sekali, seperti orang bertembang, sehingga Jokowanengpati yang ditanya sejenak tertegun ia ta dapat menjawab, terpesona. Bukan main kakangmas Wisangjiwo, pikirnya, punya guru begini ayu, begini denok, menggiurkan!
"Dimas Joko, kau ditanya guruku!" Wisangjiwo menegur geli, maklum betapa tamunya itu terpesona dan ada rasa bangga di hatinya.
"Oh... ah... betul, bibi! Tetapi hanya bekas murid... sekarang bukan muridnya lagi. Kami berselisih faham. Bapa Empu terlalu membela sri baginda sedangkan saya menentang kekuasaan orang Bali..."
Ni Durgogini dan Ni Nogogini saling pandang tanpa mengeluarkan kata-kata mendengar ucapan ini, hanya cuping hidung mereka bergerak sedikit. Tidak ada orang lain yang lebih dekat dengan sepasang orang Bali yang kini menjadi raja dan patih Mataram, dari pada mereka. Ni Durgogini dahulu adalah selir kinasih ki patih sedangkan Ni Nogogini selir kinasih (terkasih) sang prabu! Akan tetapi mereka pun mengandung dendam terhadap raja dan patih karena mereka telah diusir!
Adipati Joyowiseso lalu cepat-cepat mempersilakan mereka duduk di ruangan dalam dan memerintahkan para abdi (pelayan) untuk mengeluarkan hidangan yang memang telah disediakan. Suasana di kadipaten dalam pesta-pora untuk menghormat tamu-tamu agung dan didatangkanlah penari-penari dan penyanyi-penyanyi pilihan untuk menghibur mereka. Kamar-kamar terbaik dibersihkan dan dipersiapkan untuk para tamu.
Melihat betapa Ni Durgogini tertarik kepada Jokowanengpati, diam-diam Ni Nogogini girang hatinya. Terbukalah kesempatan baginya untuk mendekati Wisangjiwo yang amat lama ia rindukan itu. Di lain pihak, Wisangjiwo juga bisa menangkap arti kerling mata bibi gurunya yang semenjak setahun yang lalu di pantai Laut Selatan, tak pernah ia jumpai pula. Isteri Wisangjiwo, Listyokumolo yang bernasib malang, oleh putera adipati itu sudah lama dipulangkan kembali kepada ayahnya, seorang lurah dusun di sebelah timur Gunung Lawu.
Semenjak itu, Wisangjiwo merasa lebih bebas, sekarangpun karena di situ tidak ada isterinya, kedatangan Ni Durgogini dan Ni Nogogini benar-benar merupakan anugerah bagi kehausan nafsunya. Lirik dan senyum manis Ni Nogogini penuh arti dan memberi janji-janji banyak yang muluk-muluk. Karena di situ ada gurunya, tentu saja Wisangjiwo tidak berani banyak tingkah, dan ia hanya dapat menanti. Kalau tidak ada gerakan dari bibi gurunya sendiri, mana berani ia main-main? Ia hanya dapat menanti dan akan menanti sampai malam nanti. Harapan dan dugaan Wisangjiwo memang tidak meleset.
Menjelang tengah malam, pesta dibubarkan dan para tamu dipersilakan beristirahat di kamar masing-masing. Suasana menjadi sunyi sekali dan dalam kesunyian itulah Wisangjiwo menanti. Menanti untuk waktu sebentar saja karena tak lama kemudian jendela kamarnya terbuka dari luar dan bagaikan sehelai selendang sutera halus dan ringannya, melayanglah tubuh Ni Nogogini memasuki kamarnya!
Rindu dendam mereka sudah ditahan-tahan selama setahun, maka tanpa bicara lagi Wisangjiwo bangkit dan mengembangkan kedua lengannya menyambut dengan penuh kegembiraan dan berdekap ciumlah kedua insan budak hawa nafsu itu. "Bibi," Wisangjiwo berbisik perlahan ketika mendapat kesempatan, "ni guru berada di sini, aku... takut..."
Ni Nogogini tertawa lirih. "Takut? Hi-hi-hik! Kau mau tahu apakah yang saat ini sedang dilakukan oleh orang yang kautakuti itu? Mari... kau ikut aku sebentar dan kau akan melihat apakah kau perlu takut atau tidak kepada mbok-ayu Durgogini!"
Tak sempat Wisangjiwo membantah karena ia sudah dipeluk dan dibawa keluar kamarnya seperti seorang anak kecil saja. Ternyata Ni Nogogini membawanya ke kamar JokoWanengpati dan wanita sakti itu tanpa mengeluarkan suara membawanya mendekat jendela. Pada saat itu terdengarlah bisik-bisik di dalam kamar diseling suara ketawa lirih, suara gurunya!
"Cah bagus (anak tampan)... kenapa tanganmu ini kehilangan kelingkingnya...?" Suara Ni Durgogini lirih, merdu, dan manja. Hafal benar Wisangjiwo akan suara ini, suara gurunya kalau sedang bercinta!
"... eh, ini...? Digigit... ular..." jawab Jokowanengpati dengan suara tersendat-sendat.
"Ihhh, ular apa?"
"... anu ular kuning berlidah merah"
"Hemmm, dengan ular saja kau kalah sampai kehilangan kelingking? Aku tukang mempermainkan ular. Ular apa saja! Segala macam racun ular tidak akan mempan terhadapku!"
"Ah, tentu saja. Bibi seorang sakti mandraguna, ratu gunung dan hutan, tentu segala binatang si hutan takluk kepadamu..."
"Kau ingin belajar aji menaklukkan ular?"
"Tentu saja, kalau bibi sudi mengajarku..."
"Hi-hik, kita lihat saja. Kalau kau cukup manis dan pandai menyenangkan hatiku, mungkin..."
Wisangjiwo mengirik tangan Ni Nogogini yang tersenyum lebar dan sekali melompat Ni Nogogini sudah meninggalkan jendela sambil mengempit pinggang orang muda itu dalam gulungan lengan kirinya Beberapa detik kemudian mereka sudah kembali ke dalam kamar Wisangjiwo dilemparkannya pemuda itu di atas pembaringan dan ditubruknya. Mereka bergumul di situ sambil tertawa-tawa.
Setelah mendapat kenyataan bahwa gurunya sendiri bermain gila dengan Jokowanengpati, Wisangjiwo dapat melayani kehendak bibi gurunya dengan gembira dan tidak ragu-ragu lagi. Ia tidak marah kepada Jokowanengpati karena maklum bahwa tidak ada laki-laki yang dapat menolak kehendak gurunya itu.
Hanya ia merasa heran mengapa Jokowanengpati membohong tentang kelingkingnya yang putus, bukankah dahulu bercerita bahwa jari kelingking kirinya putus karena bacokan senjata ketika ia dikeroyok gerombolan! perampok? Mengapa pula sekarang mengatakan digigit ular? Yang mana yang benar? Akan tetapi sepak terjang Ni Nogogini yang ganas dan liar membuat ia segera lupa akan Jokowanengpati, lupa akan segala, tenggelam dalam lautan nafsu.
Memuakkan memang bagi mereka yang bersusila! Mengerikan bagi mereka yang tahu membedakan perbuatan baik dan buruk, bagi mereka yang belum bejat ahlaknya. Di Kadipaten Selopenangkep, di malam hari itu, terjadilah perbuatan mesum dan hina oleh dua pasang manusia yang tenggelam dalam perzinaan, menikmati perbuatan maksiat, tak sadar bahwa mereka menjadi hamba hawa nafsu dan berenang di tempat kotor.
Tiada ubahnya binatang-binatang kerbau yang bergelimang dalam lumpur, menikmati air lumpur kotor yang menempel di tubuh. Setiap ada kesempatan, siang maupun malam, kedua orang wanita sakti itu tentu akan menyeret kedua orang muda untuk memuaskan kehausan mereka yang tak kunjung padam.
Bagaimana dengan Cekel Aksomolo? Tiada bedanya! Maklum akan selera kakek itu, Adipati Joyowiseso sengaja memanggil beberapa orang abdi wanita yang cantik-cantik untuk melayani si kakek bandot tua. Karena pelayanan inilah maka tiga orang sakti yang sama mutunya ini merasa betah tinggal di kadipaten, menanti datangnya orang-orang sakti lain yang ditunggu-tunggu oleh Adipati Joyosiseso.
Adipati inipun maklum akan perbuatan Ni Durgogini dan Ni Nogogini, akan tetapi karena sepaham sekwalitas, adipati ini dapat memaklumi dan bahkan diam-diam merasa girang bahwa puteranya dan calon mantunya dapat melayani dua orang wanita sakti itu dengan baiknya. Dengan pelayanan-pelayanan memuaskan ini sudah boleh dipastikan bahwa tiga orang sakti itu takkan terlepas dari tangannya, akan merupakan pembantu-pembantu setia dan berguna bagi cita-citanya.
Beberapa hari kemudian berturut-turut datanglah tamu-tamu agung yang diundang dan lama dinanti-nanti itu. Pertama-tama yang datang adalah Ki Warok Gendroyono, seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang rambutnya sudah banyak ubannya, namun tubuhnya masih kekar penuh otot-otot, kaki tangannya seperti empat kaki singa, mukanya berkulit hitam terbakar sinar matahari, matanya bersembunyi di balik alis yang panjang, kalau memandang orang melotot seperti orang marah, bicaranya kasar dan apa adanya tanpa tedeng aling-aling, jujur mbejujur.
Pakaiannya serba hitam dengan celana sebatas lutut, kolor (ikat pinggangnya) besar sebesar ibu jari kaki, dua kali melilit pinggang tapi ujungnya masih panjang bergantungan di depan, pada ujungnya sekali disimpul besar. Kelihatan lucu kolor itu, akan tetapi jangan main-main dengan benda ini. Semua warok memusatkan ilmunya pada benda yang dapat dipergunakan sebagai senjata atau jimat inilah, dan kolor yang dipakai Ki Warok Gendroyono berwarna kuning dengan belang-belang hitam merah bukanlah kolor sembarang kolor, melainkan kolor sakti yang ampuh dan disebut Ki Bandot. Kabarnya, demikian ampuhnya Ki Bandot ini sehingga sekali saja simpul di ujungnya menghantam lawan, sama hebatnya dengan gigitan seekor ular Bandot yang berbisa!
Ki Warok Gendroyono tidak datang seorang diri, melainkan dengan seorang sahabatnya yang dikenal sebagai yang baurekso (penjaga) Danau Sarangan di lereng Lawu. Karena dari Ponorogo ke Selopenangkep melalui jalan ini, maka Ki Warok Gendroyono singgah di tempat tinggal sabahatnya, bicara tentang undangan Adipati Joyowiseso yang memusuhi Raja Mataram, dan Ki Tejoranu demikian nama sahabatnya itu, menjadi tertarik lalu ikut bersamanya.
Ki Tejoranu berusia hampir lima puluh tahun tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat seperti penderita penyakit kuning, matanya sipit dan bicaranya sukar sekali dan pelo (tak dapat menyebut R). Memang dia seorang perantau dari Tiongkok yang sejak mudanya bertapa di Danau Sarangan. Dia ahli silat tangan kosong dan yang amat terkenal adalah permainannya dengan sepasang golok.
Kemudian datang pula tamu dari barat, yaitu Ki Krendayakso. Hebat sekali tubuh kakek ini. Usianya kurang lebih empat puluh tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar melampaui ukuran manusia biasa, pantasnya seorang raksasa di jaman pewayangan! Matanya melotot lebar dan bundar, hidungnya besar pesek, mulutnya tak tampak tertutup cambang bauk yang hitam tebal dan kaku seperti kawat baja yang besar itu seakan-akan tidak kuat menahan tubuhnya seperti hampir pecah di sana-sini jika tubuhnya bergerak.
Di pinggangnya sebelah kanan tergantung sebuah senjata yang mengerikan, yaitu sebuah penggada yang terbuat dari pada baja, ujungnya berduri dua di kanan kiri seperti taring singa. Inilah dia Ki Krendayakso kepala rampok di Bagelen yang sudah terkenal namanya di mana-mana karena banyak sudah orang dari empat penjuru mengalami gangguan apabila lewat di daerahnya, yaitu hutan Mundingseto.
Kedatangan Ki Krendayakso ini diikuti oleh selusin anak buahnya yang kesemuanya tinggi besar, kasar-kasar dan kuat, karena memang mereka semua adalah "orang-orang hutan" yang tidak mengenal tata susila atau sopan santun. Namun Adipati Joyowiseso yang cerdik dan pandai bersiasat itu menerima mereka dengan ramah di taman, bahkan lalu memerintahkan para abdinya menyediakan tempat tersendiri untuk selosin orang anak buah Ki Krendayakso, memberi mereka hidangan-hidangan enak agar mereka tidak merasa bosan menanti kepala mereka yang menjadi tamu agung di kadipaten.
Dengan gembira Adipati Joyowiseso dibantu oleh Wisangjiwo dan Jokowanengpati, mengajak para tamunya ke ruang tamu di mana telah tersedia hidangan hidangan lezat. Maka duduklah mereka mengitari meja yang penuh makanan dan minuman. Adipati Joyowiseso diapit Wisangjiwo dan Jokowanengpati kemudian berturut-turut duduk Ni Durgogini, Ni Nogogini, Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono, Ki Tejoranu, dan paling ujung Ki Krendayakso.
Adipati Joyowiseso menghaturkan terima kasih atas kedatangan para tamu agungnya, kemudian ia menyinggung-nyinggung tentang keadaan Mataram yang kini dikuasai oleh seorang raja keturunan Bali yang kini telah menaklukkan seluruh daerah Mataram lama. Disinggungnya pula bahwa selain rajanya keturunan Bali, juga raja ini tidak menghargai orang jawa sehingga patihnya pun sahabatnya sendiri, seorang dari Bali pula.
"Terus terang saja," Adipati Joyowiseso melanjutkan kata-katanya, "saya sendiri seorang taklukan dan kini masih menjadi adipati adalah berkat kemurahan Sang Prabu Airlangga. Akan tetapi, hati siapa akan puas menyaksikan keadaan di istana? Biarlah kita terima kenyataan bahwa raja dan patihnya orang-orang Bali, akan tetapi siapa dapat menahan perih hati melihat kenyataan yang pahit tentang nasib sang prameswari puteri mendiang Prabu Teguh Dharmawangsa? Betapa pedih hati ini memikirkan puteri keturunan raja kita dahulu, yang kini rela mengundurkan diri menjadi pertapa karena mengalah sehingga kedudukannya tergeser dan dirampas oleh seorang puteri bekas musuh lama, puteri dari Sriwijaya!"
Semua orang terdiam, tak ada yang bicara setelah kata-kata Adipati Joyowieso ini berakhir. Hanya Ni Nogogini bekas selir Raja Airlangga, menjebikan bibirnya yang merah, akan tetapi kepalanya diangguk-anggukkan. Masing-masing terlelap dalam lamunan dan kenangan sendiri. Memang semua juga tahu akan keadaan di kerajaan. Tahu bahwa sang prameswari (permaisuri), puteri mendiang Prabu Teguh Dharmawangsa yang menjadi isteri pertama Prabu Airlangga, kini mengundurkan diri dan menjadi pertapa, bertapa dengan julukan Sang Panembahan Kilisuci
Sunyi setelah Adipati Joyowiseso menghentikan kata-katanya. Kemudian terdengar suara Ki Warok Gendroyono yang keras dan nyaring, dibarengi tangannya yang besar dan berat menggebrak meja, "Aku tidak tahu tentang urusan dalam istana raja dan aku tidak peduli dia hendak menceraikan semua isterinya atau kawin lagi! Bukan urusanku! Akan tetapi dua tahun yang lalu, karena membunuh tiga puluh orang musuh-musuhku, aku di tangkap oleh ki patih, kemudian dijatuhi hukuman penggal kepala. Ha-ha-ha! Segala macam pedang dan golok kanak-kanak di Mataram mana yang mampu memenggal leherku? Agaknya sang prabu gentar menyaksikan betapa golok dan pedang tidak berhasil menabas atau melukai batang leherku, maka aku dibebaskan. Akan tetapi aku selalu diawasi, dan semua ini merupakan penghinaan yang takkan dapat kulupakan, terutama sekali Ki Patih Kanuruhan!"
"Hi-hi-hik!" Ni Durgogini tertawa sambil memandang Ki Warok Gendroyono. "Ki Warok Gendroyono, aku pernah mendengar bahwa Rakyan Patih Kanuruhan adalah seorang yang digdaya sekali. Engkau sendiri tadi mengakui telah ditangkap olehnya. Bagaimanakah caramu hendak membalas dendam?"
Mata itu melotot ke arah Ni Nogogini ketika ia menjawab, "Betul bahwa dahulu aku kalah olehnya, akan tetapi apakah kau kira selama ini aku tinggal diam saja? Tidak, aku sudah memperdalam ilmu, mencari aji yang akan dapat kupakai untuk menandinginya. Lihat saja nanti, apakah ia akan kuat menadahi ke ampuhan Ki Bandot!"
Sambil berkata demikian, tangannya mengelus-elus ujung kolor yang berada di bawah perut di antara kedua pahanya, sehingga gerakan ini tentu saja nampak lucu dan tidak patut!
"Ki Warok benal...!" kata Ki Tejoranu mengangguk-angguk. "Bialpun ki patih lihai sekali, tentu ada yang lebih tinggi. Ilmu tidak ada batasnya, makin dikenal makin tinggi. Saya dengal banyak olang lihai di Matalam, kalau tidak sekalang ikut sobat-sobat mencoba kepandaian meleka, untuk apa kita belajal ilmu?
Biarpun kata-katanya pelo, namun semua yang hadir dapat menangkap artinya dan tahulah mereka bahwa pertapa Danau Sarangan ini adalah seorang petualang yang hanya tertarik akan mengadu ilmu. Akan tetapi Ki Warok Gendroyono yang jujur berkata sambil tertawa, "Wah, sahabatku Ki Tejoranu! Selain mencari korban kehebatan sepasang golokmu, apakah kelak kau tidak akan menerimanya apabila memperoleh pahala dan disodori kedudukan pangkat? Kalau begitu, biarlah kelak aku yang mewakilimu menerima semua pahala."
"Hayaaaa... bukan begitu, Ki Walok sobat baik! Kalau kalah saya mati kalau menang sudah patut telima hadiah." Ia tertawa meringis dan sepasang matanya menjadi makin sipit sehingga tinggal merupakan dua garis melintang saja.
Kini Adipati Joyowiseso menoleh ke arah kepala rampok dari Bagelen yang duduk di ujung meja dan tiada hentinya menggerogoti paha ayam sambil mendorong dari tenggorokan ke perut dengan arak ketan.
"Semua saudara sudah menyatakan pendapatnya, bolehkah kami mendengarkan pendapatmu tentang Mataram, kisanak?"
Menghadapi seorang perampok besar yang kasar dan liar ini, tidak ada sebutan lain yang lebih tepat. Ki Krendroyakso sendiri menyebut ki sanak (saudara) kepada siapa pun yang ia jumpai! Ki Krendroyakso mencuci mulut dan tenggorokannya dengan arak lebih dulu sebelum menjawab, matanya melotot lebar dan cambang bauknya bergerak gerak.
"Heemmmmm, kalau kalian mau menggempur Mataram, aku dan anak buahku siap setiap saat! Kami pernah digempur oleh pasukan Mataram, banyak anak buahku tewas. Raja Mataram yang sekarang adalah musuhku!" Setelah berkata demikian, kembali ia menyambar daging kambing dan melahapnya tanpa mempedulikan orang lain.
"Uuh-huh-huh, demi segala jin dan setan iblis peri gadungan, siluman banaspati tetekan! Bagus, bagus... semua telah menyatakan kebencian dan permusuhan terhadap si Raja Bali. Huh-huh tapi bagaimana pelaksanaannya? Mataram memiliki panglima-panglima dan senopati senopati yang sakti mandraguna! Apakah tenaga kita mencukupi? Uh-huh-huh kalau sampai gagal, kita semua tidak urung akan binasa...!"
"Bruuuukkkk!" Ki Warok Gendroyono menggebrak meja sampai tergetar dan piring-piring berloncatan. "Paman Cekel Aksomolo apakah takut?"
"Uh-huh-huh, sialan awakku, disangka takut. Bukan takut, Ki Warok, akan tetapi kita harus mengatur siasat, harus mengukur tenaga sendiri dan membandingkannya dengan tenaga calon lawan... "
"Paman Cekel Aksomolo berkata benar!" Tiba-tiba terdengar suara halus suara Ni Nogogini. "Memang harus berhati-hati dan sekali bertindak ceroboh selain usaha gagal juga kita akan binasa. Benar apa yang dikatakan mbokayu Ni Durgogini tadi. Baru Narotama Patih Kanuruhan itu saja kedigdayaannya sudah menggiriskan, apalagi kalau kita ingat akan Sang Prabu Airlangga sendiri yang sakti mandraguna! Seakan-akan Sang Batara Wisnu sendiri yang menjelma. Dalam kedigdayaannya, biarpun sang prabu ini saudara seperguruan ki patih, namun ilmunya jauh melampauinya! Karena itulah, selain kita harus berhati-hati, juga harus dapat melihat keadaan dan pandai memilih waktu."
"Sekaranglah waktunya!" tiba-tiba Ni Durgogini berkata. "Kalau mau memilih yang paling tepat, sekarang inilah!"
"Mbokayu, apa maksudmu?" Ni Nogogini bertanya, sedangkan yang lain-lain juga menengok memandang wajah ayu kemayu dan mata yang kocak bening itu. Bibir yang merah basah tanpa dubang (air kapur sirih) itu merekah membayangkan kilatan gigi yang putih.
"Kalian semua belum tahu bahwa pada saat ini Kerajaan Mataram kehilangan sebuah pusaka yang selama ratusan tahun menjadi lambang kejayaan Mataram, Patung kencana Sri Batara Wishnu telah lenyap dari keraton!"
Semua orang menyambut berita ini dengan kaget. Terdengar suara ah-ah-oh-oh dan semua mata memandang wajah ayu Ni Durgogini, bukan karena kagum oleh kecantikan melainkan oleh rasa ingin tahu yang besar. Wanita itu mengangguk-angguk.
"Pusaka keramat itu lenyap tak meninggalkan bekas. Sang prabu gelisah, bahkan mengutus ki patih sendiri untuk turun tangan keluar dari istana pergi mencari patung kencana yang hilang. Nah, pada saat pusaka keramat lenyap dan Kerajaan Mataram menyuram, apalagi ki patih tidak berada di keraton, bukankah saat ini adalah saat terbaik?"
"Uh-huh-huh, Jagat Dewa Batara! Semoga selalu jaya wijaya bagianku dan apes sial dangkal bagian musuh-musuhku! Uh-huh, aku pernah mendengar bahwa patung kencana itu amat bertuah, siapa mendapatkannya akan menerima wahyu (anugerah dewata) mahkota, berhak menjadi raja tanah Jawa! Aku mendengar pula bahwa di dalam patung kencana itu tersimpan pusaka Brojol Luwuk (keris tanpa ganja berwarna abu-abu), satu-satunya pusaka yang mampu menembus jantung raja yang sudah kehilangan wahyunya! Uh-huh-huh, yang paling perlu sekarang adalah mendapatkan patung kencana itu lebih dulu, baru menggulingkan Raja Bali di Kahuripan. Pusaka keris Brojol Luwuk dalam patung kencana menjadi ajimat sejak Prabu Sanjaya mendirikan Mataram, selalu menjadi patung bertuah selama Kerajaan Mataram berdiri. Ketika dahulu lenyap dari keraton, Mataram runtuh dan hampir terbasmi habis, ditaklukkan oleh Kerajaa Syailendra, Setelah pusaka itu didapatka kembali oleh Sang Rakai Pikatan, Mataram bangkit dan jaya kembali. Pernah hilang pada waktu Kerajaan Medang, baru didapatkan kembali oleh Raja Airlangga dari Bali yang kini disebut Raja Kahuripan. Uh-huh-huh, sekarang lenyap, bukankah itu berarti akan runtuhnya Kahuripan dan bangkitnya kembali Mataram yang dahulu?"
Mendengar ini semua orang termenung.....
Untuk kedua kalinya dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu di udara dan akibatnya hebat. Tubuh Resi Telomoyo terlempar ke belakang, terjengkang dan berjungkir balik beberapa kali dengan amat tangkasnya. Akan tetapi Cekel Aksomolo juga terdorong ke belakang, terhuyung-huyung hampir roboh. Keduanya terpental sampai lima meter ke belakang dan kini berhadapan dengan mata terbelalak kagum dan kaget.
"Uuh-huh-huh, kiranya bukan sembarang orang! Eh, kunyuk tua, sebelum mampus di tangan Cekel Aksomolo, mengakulah, siapa gerangan engkau ini dan apakah engkau tadi terlalu banyak minum arak maka tiada hujan tiada angin mengamuk seperti kera mabok?"
Tercengang Resi Telomoyo mendengar nama ini. Ia menggaruk-garuk belakang telinganya lalu terkekeh. "Wah-wah, kiranya bukan cekel sembarang cekel, bukan cantrik sembarang cantrik! Kusangka cantrik bujang Resi Bhargowo, siapa tahu ternyata Cekel Aksomolo si cantrik iblis! Heh, cekel bongkok, aku adalah Resi Telomoyo! Mengapa engkau melindungi si Pujo ini yang hendak kubawa untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya? Hayo, benar-benarkah kau hendak mengadu kesaktian, menguji ampuhnya mantera tebalnya aji?"
Kini giliran Cekel Aksomolo yang kaget. Belum pernah ia bertemu memang, baru kali ini, namun nama Resi Telomoyo sudah pernah ia dengar, dan menyaksikan akibat benturan tenaga sakti tadi, ia maklum bahwa manusia seperti monyet ini sama sekali tak boleh dipandang ringan. Sementara itu, Jokowanengpati ketika mendengar bahwa kakek itu adalah Resi Telomoyo yang kabarnya sakti mandraguna seperti Sang Hanoman di jaman Ramayana, juga menjadi terkejut.
Pemuda cerdik ini memang sedang berusaha mengumpulkan sekutu yang pandai-pandai, maka cepat ia berkata, "Mohon paman Resi Telomoyo sudi mengampunkan saya. Saya sama sekali bukanlah Pujo yang paman cari. Saya bernama Jokowanengpati, murid Empu Bharodo."
Resi Telomoyo tertegun, kecewa dan mendongkol. "Mengapa tidak dari tadi mengaku? Empu Bharodo saudara seperguruan Resi Bhargowo? Kalau begitu engkau sama busuknya dengan Pujo! Tampak pada kilatan matamu. Huh, walaupun pakaianmu pakaian satria, ilmu kepandaianmu ilmu satria, namun matamu mata jalang, kau tentu satria tukmisi satria batuk kelimis (dahi halus, dimaksudkan mata keranjang)!"
"Huh-huh-huh, celaka, tiada hujan tiada angin memaki-maki. Monyet mendem (mabok)! Terima sajalah, raden, hitung-hitung buang sebel (sial)! Dia kakek mabok, kalau dilayani bukankah sama maboknya?" Cekel Aksomolo berkata.
"Wah lagaknya si cekel bongkok! Kau inipun tua-tua tuanya keladi, makin tua? makin menjadi-jadi! Tua-tua kelapa, makin tua makin keras tempurungnya, makin banyak santannya! Kakek tuwek (tua) kurus kering bongkok juling seperti kau ini tentu masih suka mengejar-ngejar wanita ayu!"
Cekel Aksomolo mencak-mencak saking marahnya. "Heh keparat Resi Telomoyo, mulutmu bobrok asal njeplak (terbuka) saya memaki orang seenak perutnya. Rasakan tasbih keramat ini!"
Dengan amarah meluap-luap Cekel Aksomolo menerjang dengan tasbihnya, juga Jokowanengpati setelah mendapat kenyataan bahwa kakek putih itu tidak dapat diajak berteman, mencabut kerisnya dan ikut pula menerjang maju. Resi Telomoyo kaget sekali. Kalau dikeroyok dua, ia bisa celaka, maka ia lalu mengeluarkan teriak keras seperti seekor kera dan tubuhnya mencelat ke atas, tahu-tahu ia sudah menyambar ranting pohon dan sambil terkekeh-kekeh ia melarikan, diri dengan cara meloncat-loncat di atas pohon.
Akan tetapi sebelum meloncat jauh, ia membuka jubah bagian bawah dan menyambarlah "air hujan" dari atas menimpa Cekel Aksomolo dan Jokowanengpati!. Kedua orang itu cepat meloncat ke pinggir, akan tetapi tetap saja sebagian lengan mereka terkena air. Ketika itu tercium bau pesing dan tahulah mereka bahwa si kakek gila-gilaan itu sambil melarikan diri telah menyiram mereka dengan air kencing! Benar-benar persis Watak nakal seekor monyet.
Jokowanengpati merasa geli dan juga mendongkol sekali akan hinaan ini. Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat Cekel Aksomolo menggerak-gerakkan hidung mencium-cium, mukanya menjadi pucat sekali dan bibirnya berkata perlahan, "Untung tidak kena kepala...!"
"Kena kepalapun mengapa, eyang? Dapat dicuci!"
"Uuuh-huh-huh, sial dangkalan bertemu monyet tua bangka! Biarpun dapat dicuci, penghinaan ini sekali waktu harus kubalas! Awas dia, kelak kutangkap dan kupaksa ia minum air kencingnya sendiri!"
Akan tetapi diam-diam Jokowanengpati merasa bersangsi apakah kakek ini akan sanggup melaksanakan ancamannya, mengingat betapa si manusia kera itu benar-benar sakti, dan belum tentu kalah oleh Cekel Aksomolo. Pemuda ini sama sekali tidak mengira bahwa tadi hampir saja pertapa lereng Wilis itu membuka rahasianya sendiri. Seperti banyak ahli-ahli ilmu hitam yang selalu mempunyai pantangan, juga Cekel Aksomolo mempunyai semacam sirikan atau pantangan yang aneh, yaitu kepalanya tidak boleh tersiram air kencing.
Ini merupakan pengapesan atau kenaasannya. Makin bersih air kencing itu, makin celakalah dia. Air kencing anak-anak tentu akan membuatnya lumpuh seketika kalau mengenai kepalanya. Biarpun air kencing Resi Telomoyo tidak sebersih air kencing anak-anak, dan hanya mengenal lengannya bukan kepalanya, namun sudah cukup lumayan, membuat kepalanya pening sebentar dan mau muntah!
Dengan hati penuh kegemasan, Jokowanengpati terpaksa menolong anak buahnya, kemudian rombongan ini melanjutkan perjalanan pulang ke Kadipaten Selopenangkep dengan tubuh lemas. Usaha mencari Pujo tidak berhasil, malah mereka mendapat hinaan dari Resi Telomoyo! Bersungut-sungut Jokowanengpati dan Cekel Aksomolo memasuki Kadipaten Selopenangkep.
Orang-orang sama terheran melihat betapa pasukan yang ketika berangkat dahulu gagah-gagah itu kini pulang dengan pakaian kumal, wajah kesal dan pakaian kusut, bahkan ada yang masih mengerang-erang dan ada pula yang tertelungkup di atas punggung kudanya, terlukai seperti pasukan kalah perang. Akan tetapi, ada hiburan bagi Jokowangpati dan Cekel Aksomolo dalam kegemasan mereka, yaitu bahwa Kadipaten Selopenangkep sudah kedatangan tamu-tamu agung.
Selain Wisangjiwo yang datang bersama dua orang wanita sakti yang bukan lain adalah Ni Durgogini, dan Ni Nogogini, juga kedatangan beberapa orang sakti lain yang akan memperkuat persekutuan mereka diharapkan datang dalam beberapa hari, yaitu di antaranya Ki Warok Gendroyono dari Ponorogo dan Ki Krendoyakso dari Bagelen! Secara singkat Jokowanengpati menceritakan usaha mereka mencari Pujo dan Resi Bhargowo tidak berhasil, sebaliknya di tengah jalan bertemu dengan Resi Telomoyo dan terjadilah perselisihan yang mengakibatkan terlukanya para pengawal.
"Manusia kera yang tua itu benar-benar menjemukan sekali," Jokowanengpati mengakhiri ceritanya. "Tanpa alasan dia mencari keributan dengan kami. Tentu saja para perajurit bukan lawannya. Kami berdua sudah turun tangan dan tentu dia akan mampus kalau saja tidak lekas-lekas lari mempergunakan kegesitannya seperti monyet, meloncat-loncat ke atas pohon sukar dikejar."
"Uuh-huh-huh, lain kali tidak kuberi ampun si monyet tua dari Telomoyo!" Cekel Aksomolo ikut bicara.
"Aku pernah mendengar tentang Resi Telomoyo manusia monyet, kukira hanya dongeng belaka, kiranya benar-benar ada," Ni Nogogini ikut bicara dan matanya mengerling ke arah Wisangjiwo.
Akan tetapi Ni Durgogini agaknya tidak memperhatikan cerita itu. Ia sedang kesima memandangi wajah Jokowanengpati yang ganteng dan matanya menyinarkan api gairah. Kemudian Adipati Joyowiseso memperkenalkan kedua wanita sakti itu kepada Cekel Aksomolo dan Jokowanengpati.
"Waduh-waduh... sudah terlalu lama mendengar nama andika berdua yang hebat menjulang ke angkasa! Siapa sangka kedua nini yang sakti mandraguna jug amat cantik jelita seperti bidadari-bidadari kahyangan! Uh-huh-huh!" CekelAksomolo memuji.
Diam-diam Wisangjiwo merasa khawatir sekali kalau-kalau gurunya dan bibi gurunya akan menjadi marah. Akan tetapi ternyata tidak. Malah gurunya tersenyum manis sekali sambil mengerling ke arah Jokowanengpati dan berkata, "Paman Cekel Aksomolo terlalu memuji. Dan orang muda ini yang bernam Jckowanengpati? Pernah aku mendengar dari muridku Wisangjiwo bahwa kau adalah murid Empu Bharodo, betulkah, raden?" Suaranya manis sekali, seperti orang bertembang, sehingga Jokowanengpati yang ditanya sejenak tertegun ia ta dapat menjawab, terpesona. Bukan main kakangmas Wisangjiwo, pikirnya, punya guru begini ayu, begini denok, menggiurkan!
"Dimas Joko, kau ditanya guruku!" Wisangjiwo menegur geli, maklum betapa tamunya itu terpesona dan ada rasa bangga di hatinya.
"Oh... ah... betul, bibi! Tetapi hanya bekas murid... sekarang bukan muridnya lagi. Kami berselisih faham. Bapa Empu terlalu membela sri baginda sedangkan saya menentang kekuasaan orang Bali..."
Ni Durgogini dan Ni Nogogini saling pandang tanpa mengeluarkan kata-kata mendengar ucapan ini, hanya cuping hidung mereka bergerak sedikit. Tidak ada orang lain yang lebih dekat dengan sepasang orang Bali yang kini menjadi raja dan patih Mataram, dari pada mereka. Ni Durgogini dahulu adalah selir kinasih ki patih sedangkan Ni Nogogini selir kinasih (terkasih) sang prabu! Akan tetapi mereka pun mengandung dendam terhadap raja dan patih karena mereka telah diusir!
Adipati Joyowiseso lalu cepat-cepat mempersilakan mereka duduk di ruangan dalam dan memerintahkan para abdi (pelayan) untuk mengeluarkan hidangan yang memang telah disediakan. Suasana di kadipaten dalam pesta-pora untuk menghormat tamu-tamu agung dan didatangkanlah penari-penari dan penyanyi-penyanyi pilihan untuk menghibur mereka. Kamar-kamar terbaik dibersihkan dan dipersiapkan untuk para tamu.
Melihat betapa Ni Durgogini tertarik kepada Jokowanengpati, diam-diam Ni Nogogini girang hatinya. Terbukalah kesempatan baginya untuk mendekati Wisangjiwo yang amat lama ia rindukan itu. Di lain pihak, Wisangjiwo juga bisa menangkap arti kerling mata bibi gurunya yang semenjak setahun yang lalu di pantai Laut Selatan, tak pernah ia jumpai pula. Isteri Wisangjiwo, Listyokumolo yang bernasib malang, oleh putera adipati itu sudah lama dipulangkan kembali kepada ayahnya, seorang lurah dusun di sebelah timur Gunung Lawu.
Semenjak itu, Wisangjiwo merasa lebih bebas, sekarangpun karena di situ tidak ada isterinya, kedatangan Ni Durgogini dan Ni Nogogini benar-benar merupakan anugerah bagi kehausan nafsunya. Lirik dan senyum manis Ni Nogogini penuh arti dan memberi janji-janji banyak yang muluk-muluk. Karena di situ ada gurunya, tentu saja Wisangjiwo tidak berani banyak tingkah, dan ia hanya dapat menanti. Kalau tidak ada gerakan dari bibi gurunya sendiri, mana berani ia main-main? Ia hanya dapat menanti dan akan menanti sampai malam nanti. Harapan dan dugaan Wisangjiwo memang tidak meleset.
Menjelang tengah malam, pesta dibubarkan dan para tamu dipersilakan beristirahat di kamar masing-masing. Suasana menjadi sunyi sekali dan dalam kesunyian itulah Wisangjiwo menanti. Menanti untuk waktu sebentar saja karena tak lama kemudian jendela kamarnya terbuka dari luar dan bagaikan sehelai selendang sutera halus dan ringannya, melayanglah tubuh Ni Nogogini memasuki kamarnya!
Rindu dendam mereka sudah ditahan-tahan selama setahun, maka tanpa bicara lagi Wisangjiwo bangkit dan mengembangkan kedua lengannya menyambut dengan penuh kegembiraan dan berdekap ciumlah kedua insan budak hawa nafsu itu. "Bibi," Wisangjiwo berbisik perlahan ketika mendapat kesempatan, "ni guru berada di sini, aku... takut..."
Ni Nogogini tertawa lirih. "Takut? Hi-hi-hik! Kau mau tahu apakah yang saat ini sedang dilakukan oleh orang yang kautakuti itu? Mari... kau ikut aku sebentar dan kau akan melihat apakah kau perlu takut atau tidak kepada mbok-ayu Durgogini!"
Tak sempat Wisangjiwo membantah karena ia sudah dipeluk dan dibawa keluar kamarnya seperti seorang anak kecil saja. Ternyata Ni Nogogini membawanya ke kamar JokoWanengpati dan wanita sakti itu tanpa mengeluarkan suara membawanya mendekat jendela. Pada saat itu terdengarlah bisik-bisik di dalam kamar diseling suara ketawa lirih, suara gurunya!
"Cah bagus (anak tampan)... kenapa tanganmu ini kehilangan kelingkingnya...?" Suara Ni Durgogini lirih, merdu, dan manja. Hafal benar Wisangjiwo akan suara ini, suara gurunya kalau sedang bercinta!
"... eh, ini...? Digigit... ular..." jawab Jokowanengpati dengan suara tersendat-sendat.
"Ihhh, ular apa?"
"... anu ular kuning berlidah merah"
"Hemmm, dengan ular saja kau kalah sampai kehilangan kelingking? Aku tukang mempermainkan ular. Ular apa saja! Segala macam racun ular tidak akan mempan terhadapku!"
"Ah, tentu saja. Bibi seorang sakti mandraguna, ratu gunung dan hutan, tentu segala binatang si hutan takluk kepadamu..."
"Kau ingin belajar aji menaklukkan ular?"
"Tentu saja, kalau bibi sudi mengajarku..."
"Hi-hik, kita lihat saja. Kalau kau cukup manis dan pandai menyenangkan hatiku, mungkin..."
Wisangjiwo mengirik tangan Ni Nogogini yang tersenyum lebar dan sekali melompat Ni Nogogini sudah meninggalkan jendela sambil mengempit pinggang orang muda itu dalam gulungan lengan kirinya Beberapa detik kemudian mereka sudah kembali ke dalam kamar Wisangjiwo dilemparkannya pemuda itu di atas pembaringan dan ditubruknya. Mereka bergumul di situ sambil tertawa-tawa.
Setelah mendapat kenyataan bahwa gurunya sendiri bermain gila dengan Jokowanengpati, Wisangjiwo dapat melayani kehendak bibi gurunya dengan gembira dan tidak ragu-ragu lagi. Ia tidak marah kepada Jokowanengpati karena maklum bahwa tidak ada laki-laki yang dapat menolak kehendak gurunya itu.
Hanya ia merasa heran mengapa Jokowanengpati membohong tentang kelingkingnya yang putus, bukankah dahulu bercerita bahwa jari kelingking kirinya putus karena bacokan senjata ketika ia dikeroyok gerombolan! perampok? Mengapa pula sekarang mengatakan digigit ular? Yang mana yang benar? Akan tetapi sepak terjang Ni Nogogini yang ganas dan liar membuat ia segera lupa akan Jokowanengpati, lupa akan segala, tenggelam dalam lautan nafsu.
Memuakkan memang bagi mereka yang bersusila! Mengerikan bagi mereka yang tahu membedakan perbuatan baik dan buruk, bagi mereka yang belum bejat ahlaknya. Di Kadipaten Selopenangkep, di malam hari itu, terjadilah perbuatan mesum dan hina oleh dua pasang manusia yang tenggelam dalam perzinaan, menikmati perbuatan maksiat, tak sadar bahwa mereka menjadi hamba hawa nafsu dan berenang di tempat kotor.
Tiada ubahnya binatang-binatang kerbau yang bergelimang dalam lumpur, menikmati air lumpur kotor yang menempel di tubuh. Setiap ada kesempatan, siang maupun malam, kedua orang wanita sakti itu tentu akan menyeret kedua orang muda untuk memuaskan kehausan mereka yang tak kunjung padam.
Bagaimana dengan Cekel Aksomolo? Tiada bedanya! Maklum akan selera kakek itu, Adipati Joyowiseso sengaja memanggil beberapa orang abdi wanita yang cantik-cantik untuk melayani si kakek bandot tua. Karena pelayanan inilah maka tiga orang sakti yang sama mutunya ini merasa betah tinggal di kadipaten, menanti datangnya orang-orang sakti lain yang ditunggu-tunggu oleh Adipati Joyosiseso.
Adipati inipun maklum akan perbuatan Ni Durgogini dan Ni Nogogini, akan tetapi karena sepaham sekwalitas, adipati ini dapat memaklumi dan bahkan diam-diam merasa girang bahwa puteranya dan calon mantunya dapat melayani dua orang wanita sakti itu dengan baiknya. Dengan pelayanan-pelayanan memuaskan ini sudah boleh dipastikan bahwa tiga orang sakti itu takkan terlepas dari tangannya, akan merupakan pembantu-pembantu setia dan berguna bagi cita-citanya.
Beberapa hari kemudian berturut-turut datanglah tamu-tamu agung yang diundang dan lama dinanti-nanti itu. Pertama-tama yang datang adalah Ki Warok Gendroyono, seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang rambutnya sudah banyak ubannya, namun tubuhnya masih kekar penuh otot-otot, kaki tangannya seperti empat kaki singa, mukanya berkulit hitam terbakar sinar matahari, matanya bersembunyi di balik alis yang panjang, kalau memandang orang melotot seperti orang marah, bicaranya kasar dan apa adanya tanpa tedeng aling-aling, jujur mbejujur.
Pakaiannya serba hitam dengan celana sebatas lutut, kolor (ikat pinggangnya) besar sebesar ibu jari kaki, dua kali melilit pinggang tapi ujungnya masih panjang bergantungan di depan, pada ujungnya sekali disimpul besar. Kelihatan lucu kolor itu, akan tetapi jangan main-main dengan benda ini. Semua warok memusatkan ilmunya pada benda yang dapat dipergunakan sebagai senjata atau jimat inilah, dan kolor yang dipakai Ki Warok Gendroyono berwarna kuning dengan belang-belang hitam merah bukanlah kolor sembarang kolor, melainkan kolor sakti yang ampuh dan disebut Ki Bandot. Kabarnya, demikian ampuhnya Ki Bandot ini sehingga sekali saja simpul di ujungnya menghantam lawan, sama hebatnya dengan gigitan seekor ular Bandot yang berbisa!
Ki Warok Gendroyono tidak datang seorang diri, melainkan dengan seorang sahabatnya yang dikenal sebagai yang baurekso (penjaga) Danau Sarangan di lereng Lawu. Karena dari Ponorogo ke Selopenangkep melalui jalan ini, maka Ki Warok Gendroyono singgah di tempat tinggal sabahatnya, bicara tentang undangan Adipati Joyowiseso yang memusuhi Raja Mataram, dan Ki Tejoranu demikian nama sahabatnya itu, menjadi tertarik lalu ikut bersamanya.
Ki Tejoranu berusia hampir lima puluh tahun tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat seperti penderita penyakit kuning, matanya sipit dan bicaranya sukar sekali dan pelo (tak dapat menyebut R). Memang dia seorang perantau dari Tiongkok yang sejak mudanya bertapa di Danau Sarangan. Dia ahli silat tangan kosong dan yang amat terkenal adalah permainannya dengan sepasang golok.
Kemudian datang pula tamu dari barat, yaitu Ki Krendayakso. Hebat sekali tubuh kakek ini. Usianya kurang lebih empat puluh tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar melampaui ukuran manusia biasa, pantasnya seorang raksasa di jaman pewayangan! Matanya melotot lebar dan bundar, hidungnya besar pesek, mulutnya tak tampak tertutup cambang bauk yang hitam tebal dan kaku seperti kawat baja yang besar itu seakan-akan tidak kuat menahan tubuhnya seperti hampir pecah di sana-sini jika tubuhnya bergerak.
Di pinggangnya sebelah kanan tergantung sebuah senjata yang mengerikan, yaitu sebuah penggada yang terbuat dari pada baja, ujungnya berduri dua di kanan kiri seperti taring singa. Inilah dia Ki Krendayakso kepala rampok di Bagelen yang sudah terkenal namanya di mana-mana karena banyak sudah orang dari empat penjuru mengalami gangguan apabila lewat di daerahnya, yaitu hutan Mundingseto.
Kedatangan Ki Krendayakso ini diikuti oleh selusin anak buahnya yang kesemuanya tinggi besar, kasar-kasar dan kuat, karena memang mereka semua adalah "orang-orang hutan" yang tidak mengenal tata susila atau sopan santun. Namun Adipati Joyowiseso yang cerdik dan pandai bersiasat itu menerima mereka dengan ramah di taman, bahkan lalu memerintahkan para abdinya menyediakan tempat tersendiri untuk selosin orang anak buah Ki Krendayakso, memberi mereka hidangan-hidangan enak agar mereka tidak merasa bosan menanti kepala mereka yang menjadi tamu agung di kadipaten.
Dengan gembira Adipati Joyowiseso dibantu oleh Wisangjiwo dan Jokowanengpati, mengajak para tamunya ke ruang tamu di mana telah tersedia hidangan hidangan lezat. Maka duduklah mereka mengitari meja yang penuh makanan dan minuman. Adipati Joyowiseso diapit Wisangjiwo dan Jokowanengpati kemudian berturut-turut duduk Ni Durgogini, Ni Nogogini, Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono, Ki Tejoranu, dan paling ujung Ki Krendayakso.
Adipati Joyowiseso menghaturkan terima kasih atas kedatangan para tamu agungnya, kemudian ia menyinggung-nyinggung tentang keadaan Mataram yang kini dikuasai oleh seorang raja keturunan Bali yang kini telah menaklukkan seluruh daerah Mataram lama. Disinggungnya pula bahwa selain rajanya keturunan Bali, juga raja ini tidak menghargai orang jawa sehingga patihnya pun sahabatnya sendiri, seorang dari Bali pula.
"Terus terang saja," Adipati Joyowiseso melanjutkan kata-katanya, "saya sendiri seorang taklukan dan kini masih menjadi adipati adalah berkat kemurahan Sang Prabu Airlangga. Akan tetapi, hati siapa akan puas menyaksikan keadaan di istana? Biarlah kita terima kenyataan bahwa raja dan patihnya orang-orang Bali, akan tetapi siapa dapat menahan perih hati melihat kenyataan yang pahit tentang nasib sang prameswari puteri mendiang Prabu Teguh Dharmawangsa? Betapa pedih hati ini memikirkan puteri keturunan raja kita dahulu, yang kini rela mengundurkan diri menjadi pertapa karena mengalah sehingga kedudukannya tergeser dan dirampas oleh seorang puteri bekas musuh lama, puteri dari Sriwijaya!"
Semua orang terdiam, tak ada yang bicara setelah kata-kata Adipati Joyowieso ini berakhir. Hanya Ni Nogogini bekas selir Raja Airlangga, menjebikan bibirnya yang merah, akan tetapi kepalanya diangguk-anggukkan. Masing-masing terlelap dalam lamunan dan kenangan sendiri. Memang semua juga tahu akan keadaan di kerajaan. Tahu bahwa sang prameswari (permaisuri), puteri mendiang Prabu Teguh Dharmawangsa yang menjadi isteri pertama Prabu Airlangga, kini mengundurkan diri dan menjadi pertapa, bertapa dengan julukan Sang Panembahan Kilisuci
Sunyi setelah Adipati Joyowiseso menghentikan kata-katanya. Kemudian terdengar suara Ki Warok Gendroyono yang keras dan nyaring, dibarengi tangannya yang besar dan berat menggebrak meja, "Aku tidak tahu tentang urusan dalam istana raja dan aku tidak peduli dia hendak menceraikan semua isterinya atau kawin lagi! Bukan urusanku! Akan tetapi dua tahun yang lalu, karena membunuh tiga puluh orang musuh-musuhku, aku di tangkap oleh ki patih, kemudian dijatuhi hukuman penggal kepala. Ha-ha-ha! Segala macam pedang dan golok kanak-kanak di Mataram mana yang mampu memenggal leherku? Agaknya sang prabu gentar menyaksikan betapa golok dan pedang tidak berhasil menabas atau melukai batang leherku, maka aku dibebaskan. Akan tetapi aku selalu diawasi, dan semua ini merupakan penghinaan yang takkan dapat kulupakan, terutama sekali Ki Patih Kanuruhan!"
"Hi-hi-hik!" Ni Durgogini tertawa sambil memandang Ki Warok Gendroyono. "Ki Warok Gendroyono, aku pernah mendengar bahwa Rakyan Patih Kanuruhan adalah seorang yang digdaya sekali. Engkau sendiri tadi mengakui telah ditangkap olehnya. Bagaimanakah caramu hendak membalas dendam?"
Mata itu melotot ke arah Ni Nogogini ketika ia menjawab, "Betul bahwa dahulu aku kalah olehnya, akan tetapi apakah kau kira selama ini aku tinggal diam saja? Tidak, aku sudah memperdalam ilmu, mencari aji yang akan dapat kupakai untuk menandinginya. Lihat saja nanti, apakah ia akan kuat menadahi ke ampuhan Ki Bandot!"
Sambil berkata demikian, tangannya mengelus-elus ujung kolor yang berada di bawah perut di antara kedua pahanya, sehingga gerakan ini tentu saja nampak lucu dan tidak patut!
"Ki Warok benal...!" kata Ki Tejoranu mengangguk-angguk. "Bialpun ki patih lihai sekali, tentu ada yang lebih tinggi. Ilmu tidak ada batasnya, makin dikenal makin tinggi. Saya dengal banyak olang lihai di Matalam, kalau tidak sekalang ikut sobat-sobat mencoba kepandaian meleka, untuk apa kita belajal ilmu?
Biarpun kata-katanya pelo, namun semua yang hadir dapat menangkap artinya dan tahulah mereka bahwa pertapa Danau Sarangan ini adalah seorang petualang yang hanya tertarik akan mengadu ilmu. Akan tetapi Ki Warok Gendroyono yang jujur berkata sambil tertawa, "Wah, sahabatku Ki Tejoranu! Selain mencari korban kehebatan sepasang golokmu, apakah kelak kau tidak akan menerimanya apabila memperoleh pahala dan disodori kedudukan pangkat? Kalau begitu, biarlah kelak aku yang mewakilimu menerima semua pahala."
"Hayaaaa... bukan begitu, Ki Walok sobat baik! Kalau kalah saya mati kalau menang sudah patut telima hadiah." Ia tertawa meringis dan sepasang matanya menjadi makin sipit sehingga tinggal merupakan dua garis melintang saja.
Kini Adipati Joyowiseso menoleh ke arah kepala rampok dari Bagelen yang duduk di ujung meja dan tiada hentinya menggerogoti paha ayam sambil mendorong dari tenggorokan ke perut dengan arak ketan.
"Semua saudara sudah menyatakan pendapatnya, bolehkah kami mendengarkan pendapatmu tentang Mataram, kisanak?"
Menghadapi seorang perampok besar yang kasar dan liar ini, tidak ada sebutan lain yang lebih tepat. Ki Krendroyakso sendiri menyebut ki sanak (saudara) kepada siapa pun yang ia jumpai! Ki Krendroyakso mencuci mulut dan tenggorokannya dengan arak lebih dulu sebelum menjawab, matanya melotot lebar dan cambang bauknya bergerak gerak.
"Heemmmmm, kalau kalian mau menggempur Mataram, aku dan anak buahku siap setiap saat! Kami pernah digempur oleh pasukan Mataram, banyak anak buahku tewas. Raja Mataram yang sekarang adalah musuhku!" Setelah berkata demikian, kembali ia menyambar daging kambing dan melahapnya tanpa mempedulikan orang lain.
"Uuh-huh-huh, demi segala jin dan setan iblis peri gadungan, siluman banaspati tetekan! Bagus, bagus... semua telah menyatakan kebencian dan permusuhan terhadap si Raja Bali. Huh-huh tapi bagaimana pelaksanaannya? Mataram memiliki panglima-panglima dan senopati senopati yang sakti mandraguna! Apakah tenaga kita mencukupi? Uh-huh-huh kalau sampai gagal, kita semua tidak urung akan binasa...!"
"Bruuuukkkk!" Ki Warok Gendroyono menggebrak meja sampai tergetar dan piring-piring berloncatan. "Paman Cekel Aksomolo apakah takut?"
"Uh-huh-huh, sialan awakku, disangka takut. Bukan takut, Ki Warok, akan tetapi kita harus mengatur siasat, harus mengukur tenaga sendiri dan membandingkannya dengan tenaga calon lawan... "
"Paman Cekel Aksomolo berkata benar!" Tiba-tiba terdengar suara halus suara Ni Nogogini. "Memang harus berhati-hati dan sekali bertindak ceroboh selain usaha gagal juga kita akan binasa. Benar apa yang dikatakan mbokayu Ni Durgogini tadi. Baru Narotama Patih Kanuruhan itu saja kedigdayaannya sudah menggiriskan, apalagi kalau kita ingat akan Sang Prabu Airlangga sendiri yang sakti mandraguna! Seakan-akan Sang Batara Wisnu sendiri yang menjelma. Dalam kedigdayaannya, biarpun sang prabu ini saudara seperguruan ki patih, namun ilmunya jauh melampauinya! Karena itulah, selain kita harus berhati-hati, juga harus dapat melihat keadaan dan pandai memilih waktu."
"Sekaranglah waktunya!" tiba-tiba Ni Durgogini berkata. "Kalau mau memilih yang paling tepat, sekarang inilah!"
"Mbokayu, apa maksudmu?" Ni Nogogini bertanya, sedangkan yang lain-lain juga menengok memandang wajah ayu kemayu dan mata yang kocak bening itu. Bibir yang merah basah tanpa dubang (air kapur sirih) itu merekah membayangkan kilatan gigi yang putih.
"Kalian semua belum tahu bahwa pada saat ini Kerajaan Mataram kehilangan sebuah pusaka yang selama ratusan tahun menjadi lambang kejayaan Mataram, Patung kencana Sri Batara Wishnu telah lenyap dari keraton!"
Semua orang menyambut berita ini dengan kaget. Terdengar suara ah-ah-oh-oh dan semua mata memandang wajah ayu Ni Durgogini, bukan karena kagum oleh kecantikan melainkan oleh rasa ingin tahu yang besar. Wanita itu mengangguk-angguk.
"Pusaka keramat itu lenyap tak meninggalkan bekas. Sang prabu gelisah, bahkan mengutus ki patih sendiri untuk turun tangan keluar dari istana pergi mencari patung kencana yang hilang. Nah, pada saat pusaka keramat lenyap dan Kerajaan Mataram menyuram, apalagi ki patih tidak berada di keraton, bukankah saat ini adalah saat terbaik?"
"Uh-huh-huh, Jagat Dewa Batara! Semoga selalu jaya wijaya bagianku dan apes sial dangkal bagian musuh-musuhku! Uh-huh, aku pernah mendengar bahwa patung kencana itu amat bertuah, siapa mendapatkannya akan menerima wahyu (anugerah dewata) mahkota, berhak menjadi raja tanah Jawa! Aku mendengar pula bahwa di dalam patung kencana itu tersimpan pusaka Brojol Luwuk (keris tanpa ganja berwarna abu-abu), satu-satunya pusaka yang mampu menembus jantung raja yang sudah kehilangan wahyunya! Uh-huh-huh, yang paling perlu sekarang adalah mendapatkan patung kencana itu lebih dulu, baru menggulingkan Raja Bali di Kahuripan. Pusaka keris Brojol Luwuk dalam patung kencana menjadi ajimat sejak Prabu Sanjaya mendirikan Mataram, selalu menjadi patung bertuah selama Kerajaan Mataram berdiri. Ketika dahulu lenyap dari keraton, Mataram runtuh dan hampir terbasmi habis, ditaklukkan oleh Kerajaa Syailendra, Setelah pusaka itu didapatka kembali oleh Sang Rakai Pikatan, Mataram bangkit dan jaya kembali. Pernah hilang pada waktu Kerajaan Medang, baru didapatkan kembali oleh Raja Airlangga dari Bali yang kini disebut Raja Kahuripan. Uh-huh-huh, sekarang lenyap, bukankah itu berarti akan runtuhnya Kahuripan dan bangkitnya kembali Mataram yang dahulu?"
Mendengar ini semua orang termenung.....
Komentar
Posting Komentar