BADAI LAUT SELATAN : JILID-16


Memang dia adalah seorang pertapa, seorang pendeta Agama Budha yang berasal dari barat, dari daerah Sriwijaya. Dia sampai di lereng Lawu dalam usahanya mencari dan mengumpulkan daun-daun dan akar-akar obat karena Wiku Jaladara ini adalah seorang ahli pengobatan. Secara tidak disengaja ia bertemu dengan Kismoro yang sedang mencari daun penawar racun.
Terjadilah tanya jawab dan mendengar bahwa Kismoro sedang berusaha mencarikan obat bagi seorang yang menjadi korban racun. Wiku Jaladara segera menawarkan bantuannya. Tentu saja penawaran ini diterima dengan girang oleh Kismoro dan segera ia mengajak sang pertapa pulang ke pondoknya setelah mereka mengumpulkan daun-daun obat menurut petunjuk sang wiku.
Atas pandang mata penuh pertanyaan dari isterinya, Kismoro segera berkata, "Isteriku, inilah bapa Wiku Jaladara yang berkenan hendak menolong tamu kita."
"Wah, syukurlah... syukurlah...aku sudah khawatir sekali, kang. Tamu kita sejak pagi tadi merintih saja..."
Sang pertapa lalu diantar masuk ke dalam bilik. Benar saja laporan Wiyanti, setibanya di dalam bilik, mereka melihat Jokowanengpati rebah telentang dan merintih perlahan. Wiku Jaladara menghampiri dan memandang penuh perhatian, kemudian meraba lengan dan dahinya lalu mengangguk-angguk.
"Dia teracun perutnya. Aneh dia masih dapat bertahan. Eh, nini, lekas kau godok daun-daun ini sampai mendidih, biarkan airnya menguap tinggal setengahnya. Airnya beri tiga batok."
Wiyanti cepat melaksanakan permintaan pertapa ini. Sehari itu sang wiku berdiam di dalam pondok dan Jokowanengpati diberi minum jamu sampai enam kali, dilayani penuh perhatian oleh Wiyanti dan Kismoro. Menjelang senja, Jokowanengpati muntahkan darah hitam dan setelah itu ia dapat tidur nyenyak, napasnya teratur dan tenang, tubuhnya tidak panas lagi.
Dalam keadaan masih belum sadar ia disuapi nasi encer dan sayur asam oleh Wiyanti atas petunjuk Wiku Jaladara. Banyak sekali makannya pemuda itu sehingga Wiyanti dan suaminya tersenyum geli, juga girang karena ini merupakan tanda bahwa si tamu telah sembuh. Menjelang senja hari itu, untuk terakhir kalinya Wiku Jaladara datang ke bilik memeriksa keadaan Jokowanengpati yang masih tidur nyenyak. Ia meraba dahi dan dada, lalu menarik napas lega dan berkata kepada suami isteri yang berada di dalam bilik pula.
"Ia sudah sembuh, hanya tinggal istirahat dan dalam beberapa hari tentu sehat kembali. Saya akan pergi sekarang."
"Ah, bapa wiku yang mulia. Kami harap bapa sudi bermalam di sini," kata Kismoro menahan.
"Betul, bapa, kami khawatir kalau-kalau akan kambuh pula penyakit tamu kami," Wiyanti menyambung.
Wiku Jaladara tersenyum dan menggeleng kepala. "Malam ini terang bulan purnama, saya harus memetik beberapa macam kembang obat yang hanya mekar di waktu bulan purnama. Tentang orang ini, jangan khawatir, andai kata ada perubahan sesuatu kepadanya, boleh saja kau menyusulku ke hutan sebelah barat itu. Sampai besok aku masih akan berada di sana. Nah, selamat tinggal."
Wiku Jaladara berjalan keluar dari pondok diantar suami isteri itu yang tiada hentinya menghaturkan terima kasih. Percakapan itu didengar baik-baik oleh Jokowanengpati yang sudah setengah sadar. Akan tetapi ia perlu mengaso, perlu mengumpulkan tenaganya kembali, maka ia segera tidur lagi sampai semalam suntuk. Ia hanya tahu bahwa dirinya ditolong oleh sepasang suami isteri penghuni pondok ini, dan oleh seorang wiku tua tukang mencari obat di hutan barat.
Ia hanya ingat samar-samar bahwa pertapa itu setengah tua berkepala gundul yang dibungkus kain kuning dengan pakaian kuning pula, petani itu masih muda dan isterinya berkulit kuning bersih dan manis! Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Jokowanengpati sudah bangun dari tidurnya. Ia merasa betapa tubuhnya segar dan sehat, tenaganya sudah pulih kembali. Bukan main girang dan lega hatinya.
Tiba-tiba ia teringat akan patung kencana. Ia cepat menengok dan melihat benda itu masih berada di atas balai-balai dekat kepalanya. Akan tetapi bungkusnya, sutera kuning itu sudah terbuka sehingga tampaklah patungnya yang terbuat dari pada emas murni amat indahnya. Berguncang jantung Jokowanengpati. Sutera itu terbuka, berarti tiga orang itu pasti telah melihatnya. Cepat ia meraih patung itu dan memeriksanya, lalu membungkusnya kembali. Celaka, pikirnya, tiga orang itu telah melihatnya! Ini berbahaya sekali. Tak seorangpun di dunia ini boleh tahu bahwa patung kencana Mataram itu berada di tangannya!
Tiba-tiba terdengar suara gerakan di luar bilik. Jokowanengpati terkejut dan cepat-cepat ia lalu meletakkan patungnya kembali dan merebahkan diri telentang di atas balai-balai sambil meramkan kedua matanya, akan tetapi diam-diam ia mengintai dari balik bulu matanya yang hitam panjang.
Terdengar langkah kaki halus dan ternyata yang memasuki biliknya adalah seorang wanita yang manis, Wiyanti! Wiyanti mendekati balai-balai, memandang penuh perhatian dan agak khawatir karena melihat dada tamunya itu bergelombang, mengira tamunya kumat lagi. Ia membungkuk dan hati-hati meraba dahi Jokowanengpati dengan tangan kanannya, sedangkan di tangan kirinya terdapat sepiring nasi encer untuk tamunya yang sakit.
Dari jarak dekat Jokowanengpati melihat wajah manis yang asli sederhana seperti setangkai mawar gunung segar bermandi halimun itu, melihat belahan dada lembut ketika Wiyanti membungkuk. Biarpun Jokowanengpati seorang muda yang memiliki dasar watak mata keranjang dan cabul, tak pernah dapat membiarkan wanita cantik lewat begitu saja, akan tetapi dalam keadaan biasa, agaknya ia masih enggan mengganggu wanita yang telah menolong nyawanya itu.
Akan tetapi, keyakinan hatinya bahwa wanitai itu telah melihat patung kencana, menggelapkan semua pikiran sehat dan pada saat itu juga lengan kirinya sudah merangkul leher yang membungkuk!
"Aaahhhhppp!"
Jokowanengpati menghentikan pekik yang keluar dari bibir Wiyanti itu dengan mulutnya. Piring nasi encer terlepas dan jatuh ke atas tanah. Wiyanti meronta-ronta namun sia-sia belaka. Tak mungkin ia dapat terlepas dari pagutan yang erat itu. Ia teringat akan tusuk sanggulnya, tangannya meraih ke rambut, dicabutnya penusuk sanggul, digerakkan tangannya untuk menusukkan senjata darurat ini, namun sambil tertawa dan tetap menutup mulut dengan mulut itu Jokowanengpati merenggutkan tangan Wiyanti yang memegang penusuk sanggul. Benda runcing kecil itu terlepas jatuh di atas balai-balai, sanggulnya terlepas mengurai, menyelimuti mereka berdua.
Kismoro memasuki pondoknya dengan muka dan kepala masih basah. Baru saja ia kembali dari anak sungai, tangan kirinya membawa tiga ekor ikan lele hasil mengail di pagi tadi. Tiba-tiba ia mendengar suara aneh di bilik, seperti orang dicekik dan napas terengah-engah. Ia kaget sekali, melempar ikannya di sudut lalu lari memasuki bilik. Tiba-tiba ia berdiri terpaku, mukanya menjadi merah, matanya melotot dan hampir ia tidak percaya apa yang dilihatnya, Wiyanti, isterinya yang tercinta, meronta-ronta dan bergumul dengan tamu mereka yang hendak memperkosanya. Rambut isterinya terurai, kainnya sudah robek semua, namun isterinya meronta dan melawan sekuat tenaga.
"Keparat...!" Kismoro memaki dan melompat maju hendak menolong isterinya.
"Werrr... ceppp!"
Tubuh Kismoro yang baru melompat itu tiba-tiba roboh terguling dan tepat di ulu hatinya menancap sebuah benda yang bukan lain adalah tusuk sanggul isterinya sendiri! Kiranya Jokowanengpati yang melihat masuknya Kismoro, telah menggunakan tusuk sanggul itu untuk mendahului menyerang. Karena kini tenaganya sudah pulih semua, sekali sambit saja ia mengirim tusuk sanggul itu memasuki ulu hati Kismoro yang roboh dan berkelojotan merintih-rintih tanpa dapat bangkit kembali.
"Aaiiihhhh...! Kakang... Kang Kismoro...! Aduuuhhh...!"
Wiyanti meronta-ronta sambil menoleh ke arah suaminya, memanggil-manggil dan menangis menjerit-jerit. Namun dia dan suaminya tinggal di tempat terpencil jauh tetangga. Jerit tangisnya itu mungkin hanya didengar oleh lutung-lutung dan monyet. Tak lama kemudian jerit tangisnya tak terdengar lagi dan ketika Jokowanengpati melangkah keluar dari pondok membawa bungkusan patung kencana, lalu berlari cepat seperti angin meninggalkan tempat itu, di dalam bilik pondok itu tubuh Wiyanti telah menjadi mayat!
Wanita inipun menjadi korban kebiadaban Jokowanengpati yang tidak merasa puas kalau hanya menodainya karena wanita inipun sudah melihat patung kencana, maka sehabis melakukan pemerkosaan, dengan jari tangannya ia menusuk pelipis wanita ini sehingga pecah dan tewas seketika. Kismoro masih mampu merangkak menghampiri balai-balai di mana isterinya menggeletak tak bernyawa.
Dengan susah payah ia berhasil bangkit, memeluki tubuh isterinya dengan penuh kasih sayang dan iba. Dalam keadaan hampir mati Kismoro tadi melihat betapa isterinya mati-matian mempertahankan kehormatannya. Ia tidak menyesal, ia kasihan pada isterinya dan karena terlalu banyak darah membanjir keluar, akhirnya Kismoro menghembuskan napas terakhir sambil rebah menelungkup memeluk isterinya, badan atas di balai-balai, badan bawah di atas tanah.
Jokowanengpati lari cepat menuju ke barat. Dia pun seorang manusia, maka dia pun masih diperingatkan hati nurani sendiri yang mencelanya atas pembunuhan yang ia lakukan terhadap suami isteri yang telah menolong nyawanya. Ia harus mengakui bahwa hanya berkat pertolongan kedua suami isteri itulah maka ia masih dapat bernapas hari ini. Kalau malam kemarin tidak ada Kismoro dan Wiyanti yang menolongnya, tentu ia sudah mati konyol!
"Mereka harus mati!" bantahnya sambil lari terus. "Juga wiku itu harus mati. Siapa suruh mereka bertiga melihat patung kencana? Kalau mereka bertiga tidak kubunuh, aku sendiri akan terancam hidupku!" Demikianlah bantahan hati Jokowanengpati terhadap teguran hati nuraninya. Ia menganggap bahwa perbuatannya itu benar. Benar karena ia anggap bahwa tiga orang itu kalau dibiarkan hidup, dapat merupakan bahaya baginya!
Dan demikian pula pandangan orang-orang sesat tentang kebenaran sehingga di dunia ini bermunculan KEBENARAN seperti jamur di musim hujan. Kebenaran yang timbul karena sifat egoism (mementingkan diri pribadi). Asal menguntungkan diri pribadi maka benarlah, yang merugikan diri pribadi tentu saja tidak benar! Maka timbullah macam-macam kebenaran. Memukuli dan menyiksa orang lain? Benar, karena orang lain itu jahat, katanya. Mencuri milik orang lain? Benar pula, karena untuk memberi makan anak isteri, katanya.
Bermacam-macamlah alasan untuk membenarkan diri. Kebenaran setan dan iblis. Kebenaran palsu. Inilah sebabnya manusia harus tetap eling (ingat) dan waspodo (waspada). Ingat akan kekuasaan dan kebesaran Tuhan sehingga kita benar-benar tunduk dan taat, kemudian waspada terhadap tindakan sendiri, agar jangan sampai kita terjebak oleh iblis dan setan yang pandai menyulap kepalsuan-kepalsuan menjadi semacam kebenaran!
Jokowanengpati yang merasa diri benar itu mempergunakan ilmunya berlari cepat sekali menuju ke hutan sebelah barat. Begitu memasuki hutan ini, hidungnya mencium sedapnya daun dan bunga. Matahari pagi mulai menyinari taman alam ini, menciptakan pemandangan yang indah. Hutan ini penuh dengan tetumbuhan beraneka warna. Pantas saja tempat ini menjadi gudang tanaman berkhasiat. Terdengar suara orang bersenandung. Ketika Jokowanengpati berjalan mendekat ke arah suara, tampaklah olehnya seorang laki-laki setengah tua berjubah kuning sedang memilih daun dengan hati-hati sambil membaca doa yang suaranya seperti orang bersenandung.
Daun-daun itu dikumpulkan dalam sebuah keranjang bambu dan agaknya wiku itu tidak tahu bahwa Jokowanengpati telah datang mendekat. Setelah Jokowanengpati mendehem (batuk kecil) barulah ia menengok, memandang penuh perhatian dan tampak tercengang.
"Pamankah yang mengobati saya dari keracunan?" Jokowanengpati bertanya untuk mencari kepastian.
Wiku Jaladara memandang ke arah bungkusan kain kuning, lalu mengangguk dan tersenyum. "Daun-daun inilah yang mengobatimu, orang muda, dan kekuasaan Yang Maha Mulia jualah yang menentukan, saya hanya alat dan perantara belaka..."
Tiba-tiba Wiku Jaladara terkejut bukan main karena pada saat itu, orang muda yang disangkanya mencarinya hanya untuk menghaturkan terima kasih itu telah menerjangnya dengan pukulan hebat dan gerakan cepat laksana kilat menyambar. Memang Jokowanengpati telah menyerangnya dengan gerakan Bayu Sakti dan pukulan Jonggring Saloko. Ia hendak berhasil dengan sekali pukul, karena betapa pun juga tidak enak hatinya harus membunuh pertapa ini.
"Aaahhh... bagaimanakah ini...?"
Wiku Jaladara cepat mengelak ke samping, akan tetapi biarpun pukulan itu sendiri tidak mengenainya, namun hawa pukulan yang maha dahsyat membuat tubuh sang wiku terguling Ketika Wiku Jaladara terhuyung hendak bangun, Jokowanengpati telah menerjangnya lagi tanpa memberinya kesempatan, kini menggunakan pukulan Siyung Warak dan mengarah kepala agar sekali pukul beres.
"Wuuuuuttt... dukkkk!"
Bukan Wiku Jaladara yang pecah kepalanya, bahkan tubuhnya masih tidak apa-apa, robohpun tidak, sebaliknya Jokowanengpati yang terpelanting dan cepat pemuda ini melompat bangun lagi sambil memandang dengan mata terbelalak. Pukulannya tadi ada yang menangkis dan kini orang yang menangkisnya, yang telah menolong Wiku Jaladara, telah berdiri di depannya.
Seorang laki-laki yang berwajah aneh sekali! Kulit mukanya kuning berkeriput, brocal-brocel (tidak rata) seakan-akan kulit itu bekas digerogoti semut, hidungnya hampir lenyap hanya tampak lubangnya, matanya tidak berbulu akan tetapi sinarnya tajam menembus jantung, mukanya yang buruk itu tidak berambut, akan tetapi rambut kepalanya yang putih menunjukkan bahwa laki-laki ini adalah seorang kakek tua.
Jokowanengpati memandang tajam dan tahulah ia bahwa orang berwajah mengerikan ini sebenarnya memakai topeng yang terbuat dari pada getah pohon karet, maka ia menjadi penasaran dan membentak marah, "Heh keparat, siapakah engkau berani mencampuri urusan kami?"
Akan tetapi si buruk rupa itu tidak menjawab bahkan tidak mempedulikannya, melainkan menghadapi Wiku Jaladara dan bertanya, "Sang wiku yang baik, apakah sebabnya orang muda ini menyerang anda?"
Wiku Jaladara merangkap kedua tangan di depan dada, menjawab dengan tenang, "Saya sendiri tidak tahu mengapa, kisanak, kemarin saya membawakan daun obat dan berhasil mengusir racun dari dalam perutnya, pagi ini dia datang mencari saya dan tahu-tahu telah menyerang saya tanpa sebab. Semoga dia diterangi cahaya kebenaran Sang Hyang Adhi Buddha, Sadhu!" Wiku Jaladara mengucapkan puja-puji.
Jokowanengpati menjadi panas sekali hatinya. Ia tidak tahu siapa si buruk rupa ini, akan tetapi melihat betapa tadi dapat menangkis pukulannya dengan tenaga sedemikian kuatnya, ia dapat menduga bahwa orang ini merupakan lawan yang cukup tangguh. Oleh karena itu, tanpa menanti orang itu menyerangnya dengan pukulan maupun kata-kata, ia telah mendahului membentak, "Orang lancang dan usil! Terimalah pukulanku ini!"
Ia menerjang dengan ganas, menggunakan kegesitan tubuhnya, mengerahkan Bayu Sakti dan menyerang sambil mainkan Aji Jonggring Saloko.
"Hemmm, bocah tersesat!" Orang bertopeng itu berkata perlahan, tubuhnya bergerak cepat pula dan dengan mudah menghindarkan pukulan Jokowanengpati yang bertubi-tubi. Lebih sepuluh kali Jokowanengpati memukul dengan tangan kanannya, menggunakan ilmu pukulan Jonggring Saloko, akan tetapi orang itu selalu mengelak dengan gesitnya. Mulai kaget dan heranlah hati Jokowanengpati.
"Engkau siapa?" bentaknya sambil melompat mundur.
Akan tetapi orang itu tidak menjawab, hanya mengeluarkan suara ketawa lirih. Jokowanengpati marah sekali. Ia tidak dapat menggunakan kedua tangannya karena tangan kirinya ia pakai mendekap patung kencana di dada. Namun biar hanya tangan kanannya yang bergerak, sebetulnya serangan-serangannya tadi hebat bukan main. Mengapa orang aneh ini dapat mengelakkannya demikian mudah?
"Mampuslah!" Kembali Jokowanengpati menerjangnya, kini ia menambah tenaga pukulannya, bahkan menggunakan aji tendangannya yang hebat. Bagaikan kitiran angin tangan kanannya dan kedua kakinya menerjang ganti-berganti, tidak memberi kesempatan kepada lawan. Namun aneh sekali, orang itu menghadapi semua serangannya dengan tenang dan dapat mengelak pada saat yang tepat.
"Keparat, balaslah! Kau kira aku takut terhadap balasan seranganmu?" Jokowanengpati berteriak ketika melihat betapa lawannya itu hanya mengelak terus sambil kadang-kadang mengeluarkan suara ketawa lirih. Kalau orang ini tidak menyerangnya, mana ia mampu mengenalnya? Dari gerak serangannya, mungkin ia akan dapat menduga siapa gerangan orang di balik topeng ini!
"Hemm, benar-benar tersesat engkau. Sambutlah ini!" Tiba-tiba orang itu balas menyerang dan alangkah kaget hati Jokowanengpati bahwa orang inipun menyerangnya dengan ilmu yang sama! Orang itu menggunakan serangan dengan ilmu pukulan Jonggring Saloko pula!
Gurunyakah? Empu Bharodokah? Menggigil tubuh Jokowanengpati ketika hatinya menduga demikian, akan tetapi ia cepat menggunakan Bayu Sakti untuk mengelak. Ia memandang lebih teliti. Bukan, bukan gurunya. Biarpun gurunya dapat bersembunyi di balik topeng sehingga ia takkan mengenali mukanya, namun gurunya tidak mungkin dapat merubah bentuk tubuhnya. Dan orang ini bentuknya tidak sama dengan gurunya. Gurunya lebih pendek dan leher gurunya tidak sepanjang itu. Bukan, orang ini bukan gurunya.
Akan tetapi ia tidak dapat berpikir lama-lama karena orang bertopeng itu sudah menerjangnya lagi dengan gerakan yang hebat. Jokowanengpati mengeluh. Orang ini gerakannya tidak kalah cepat olehnya, sedangkan ia sendiri merasa canggung karena tangan kirinya harus memeluk patung kencana. Ketika ia merasa angin pukulan menghantam leher, cepat ia menangkis karena untuk mengelak amat berbahaya.
"Dukkkk!"
Kembali ia terpelanting dan pada saat itu lawan sudah mencengkeram ke arah dadanya. Jokowanengpati membuang diri ke belakang dan gerakan ini membuat sutera kuning pembungkus patung berkibar dan tanpa disengaja terkena cengkeraman orang itu.
"Brettt!"
Sutera kuning itu terlepas dari patung kencana dan tampaklah kini pusaka keramat itu, sebuah patung Sri Batara Wishnu, terbuat dari pada emas, diukir amat indahnya seakan-akan patung itu hidup!
"Aahhhhhhh...! Pusaka Mataram...?" Orang bertopeng itu berseru lirih, sejenak terpesona, kemudian ia menggereng dan menerjang makin hebat. Jokowanengpti kewalahan. Ia hanya menggunakan tangan kanan saja untuk melawan, sedangkan dalam hal tenaga dan kecepatan, orang itu tidak kalah olehnya, maka ia terdesak dan pada saat ia menangkis sebuah pukulan, tangan orang itu telah berhasil menampar pundaknya.
"Aduhhh...!"
Hebat sekali tamparan itu. Panas rasanya dan diam-diam Jokowanengpati terheran. Terang bukan gurunya, karena tenaga yang dipergunakan dalam pukulan tadi bukanlah Siyung Warak, melainkan tenaga lain yang ampuhnya tidak kalah oleh Siyung Warak, yang membuat dadanya serasa dibakar. Celaka, pikirnya. Musuh ini amat tangguh dan kalau dilanjutkan sampai ia kalah, tentu patung ini akan terampas. Patung pusaka keramat! Pusaka Brojol Luwuk yang berada di dalam patung.
Teringat akan ini, Jokowanengpati lalu melompat jauh ke belakang, memutar-mutar bagian bawah patung yang segera terbuka dan ketika tangan kanannya merogoh ke dalam patung, ia mendapatkan sebatang keris yang warnanya abu-abu. Keris ini ujudnya biasa saja, malah tanpa ganja (dasaran keris) atau ganjanya bersambung dan rata dengan tubuh kerisnya, eluknya tujuh model Sempana, warnanya abu-abu namun memancarkan cahaya kehijauan yang luar biasa. Inilah pusaka Brojol Luwuk, pusaka Mataram yang semenjak jaman dahulu menjadi pusaka dan pujaan Raja-raja Mataram! Orang bertopeng itu terbelalak memandang pusaka, mundur-mundur seperti orang ketakutan.
"Brojol Luwuk...!" serunya kaget.
Melihat ini, besar hati Jokowanengpati. Kiranya keris inilah pusaka sebenarnya, adapun patung kencana itu hanyalah wadah (tempat) belaka. Maka agar gerakannya jangan terhalang, ia melemparkan patung yang sudah kosong itu ke atas rumput, kemudian dengan keris pusaka Brojol Luwuk di tangan kanan ia menyerbu sambil lari ke depan. Keris menyambar ke depan. Orang bertopeng itu melompat ke pinggir untuk mengelak, akan tetapi tiba-tiba ia terpelanting.
Hebat memang wibawa keris pusaka itu yang seakan-akan mengeluarkan hawa sakti yang amat panas. Menghadapi wibawa dan hawa sakti ini saja lawan sudah seakan-akan lumpuh dan hilang kedigdayaannya. Jokowanengpati girang sekali. Ia menubruk maju dengan kerisnya sambil berseru,"Mampus kau!"
Orang itu kembali mengelak, akan tetapi sekali lagi ia terguling seperti terkena dorongan yang amat kuat. Jokowanengpati menubruk ke bawah, kerisnya meluncur ke arah dada lawan. Orang itu mengeluh panjang dan menggulingkan tubuhnya cepat-cepat menghindar sehingga keris menancap tanah. Seketika tanah itu mengeluarkan suara mendesis dan mengebulkan asap! Bukan main! Tanah saja seperti tidak kuat menahan tusukan keris bertuah ini, apalagi kulit daging manusia. Pantas saja orang bertopeng itu ketakutan dan selalu menghindar. Jokowanengpati makin besar hatinya.
Setelah mencabut keris itu ia mengejar, sumbarnya, "Hayoh keluarkan kesaktianmu, keparat! Jangan lari kau!"
Bagaikan sebuah ndaru (bintang berekor) keris itu meluncur lagi menuju ulu hati orang bertopeng. Orang itu mengeluarkan keluhan panjang dan berusaha meloncat tinggi untuk melarikan diri. Namun hawa sakti keris pusaka Brojol Luwuk agaknya dapat mengejarnya sehingga dari atas ia terbanting jatuh lagi lalu bergulingan menjauhkan diri. Jokowanengpati girang sekali, tertawa-tawa mengejek dan mengejar terus.
"Sadhu-sadhu-sadhu... Kisanak, terimalah ini...!" Wiku Jaladara telah mengambil patung kencana dan kini ia melemparkan patung itu ke arah orang bertopeng. Patung kencana itu meluncur dan mengeluarkan sinar cemerlang, lalu diterima oleh orang bertopeng dengan wajah berseri.
"Terima kasih, sang wiku!"
Pada saat itu Jokowanengpati sudah datang lagi menerjang, keris pusakanya meluncur cepat sekali ke arah perut lawan. Orang bertopeng itu telah membuka bagian bawah patung. Dengan patung kencana di tangan, hawa sakti keris pusaka ampuh itu sama sekali tidak mempengaruhinya seakan-akan menjadi tawar oleh wibawa yang keluar dari patung kencana. Begitu keris pusaka itu menghunjam, orang bertopeng cepat menyambutnya dengan patung kencana yang dipegang dengan kaki di depan.
"Cepppp...!"
Tepat sekali keris itu memasuki patung kencana yang memang menjadi wadahnya, tepat dan persis seperti curiga manjing warangka (keris memasuki sarungnya)! Dan pada saat itu, orang bertopeng sudah menggerakkan tangan kirinya menghantam lengan kanan Jokowanengpati. Hebat bukan main hantaman jari-jari tangan kiri ini. Jokowanengpati merasa seakan-akan lengannya hancur, padahal ia telah mengerahkan Aji Siyung Warak. Ia menjerit kesakitan, tangan kanannya merasa lumpuh ketika ia melompat ke belakang.
Maklumlah pemuda ini bahwa tak mungkin ia akan menang kalau melanjutkan pertandingan, maka dengan mulut memekik penuh kecewa dan sesal ia lalu meloncat dan lari sambil mengerahkan Aji Bayu Saktinya. Sebentar saja ia lenyap dari dalam hutan itu.
"Jagad Dewa Batara...!" orang bertopeng itu mengeluh lirih sambil memandang patung kencana. "Berbahaya sekali...!"
Kemudian ia menoleh ke arah Wiku Jaladara yang masih berdiri di bawah pohon, menghampiri dan menjura penuh hormat. "Terima kasih atas bantuan sang wiku."
Wiku Jaladara balas menghormat sambil menyembah depan dada, lalu berkata dengan halus, "Sabhe satta avera hontu, sadhu-sadhu-sadhu (Semoga semua makhluk hidup damai)!"
Orang bertopeng itu tersenyum, menghela napas panjang dan berkata sebagai jawaban, "Kalau semua orang di dunia ini seperti anda, sang wiku yang bijaksana, kiranya perdamaian akan menyelimuti jagad. Akan tetapi selama orang-orang macam orang muda tadi masih berkeliaran di dunia, bagaimana kita dapat mengharapkan perdamaian?"
Selanjutnya orang bertopeng itu menjura lagi lalu pergi dari situ sambil mulutnya berkemak-kemik membaca mentera dan doa, meninggalkan Wiku Jaladara yang juga tiada hentinya berdoa sambil melanjutkan memetik daun dan bunga obat.
Setelah keluar dari dalam hutan, orang bertopeng itu lalu melucuti topengnya yang merupakan selembar getah kering pohon karet. Maka tampaklah kini wajah yang berwibawa dari seorang pertapa yang rambutnya sudah putih semua, yang bukan lain adalah Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo…..!
********************
Sang waktu lewat dengan pesatnya atau merayap dengan lambatnya tanpa dipengaruhi oleh apa pun yang terjadi di dunia ini. Semua tunduk kepada waktu. Semua melapuk dan rusak digerogoti waktu. Tiada kekuasaan didunia dapat mempercepat atau memperlambat jalannya waktu. Manusia hanya dapat menyumpahi kelambatannya kalau sedang tergesa-gesa, atau menyesali kecepatannya kalau sudah tua.
Sepuluh tahun lebih telah lewat sejak Pujo membawa lari Joko Wandiro dari tangan ibunya, ketika Pujo menculik isteri dan putera Wisangjiwo ke Gua Siluman. Kini Joko Wandiro sudah berusia dua belas tahun, seorang anak laki-laki yang berwajah tampan bertubuh kuat dan pada wajahnya terbayang kekerasan hati, sungguhpun kekerasan pada tarikan dagunya ini di lembutkan sinar matanya yang tajam dan bibirnya yang sering tersenyum ramah.
Joko Wandiro adalah seorang anak yang periang, nakal Jenaka. Seringkah ia bermain-main dengan anak-anak nelayan yang.kadang-kadang datang ke pantai tempat ia dan ayahnya tinggal, pantai yang sunyi sekali jauh dari perkampungan nelayan. Apabila anak-anak nelayan itu bermain-main di daerah sunyi ini, terdengar suara Joko Wandiro ikut bersorak-sorak gembira. Akan tetapi apabila ia sedang berlatih dengan ayahnya, tampaklah kesungguhan hatinya.
Pada suatu pagi, Joko Wandiro telah berlatih dengan Pujo yang selama ini telah menjadi "ayahnya". Dan memang sesungguhnyalah Pujo menyayangi anak ini seperti anaknya sendiri, makin besar anak itu, makin besar pula rasa sayangnya sehingga ia seakan-akan telah lupa bahwa anak itu adalah keturunan musuh besarnya. Lupa bahwa ia membesarkan dan mendidik anak ini dengan tujuan menyiksa hati Wisangjiwo, dan sengaja hendak mengadu anak ini dengan Wisangjiwo kelak. Kini ia menganggap Joko Wandiro sebagai putera atau murid sendiri yang dididik dengan tekun.
Di dekat muara Kali Lorog, di sepanjang pantai Laut Selatan yang banyak teluknya, di sanalah mereka berdua ini tinggal. Pada pagi hari itu, seperti biasa, Joko Wandiro telah berdiri di atas batu karang yang menonjol di permukaan laut. Di depannya, Pujo juga berdiri di atas batu karang lain yang jaraknya antara dua meter dari batu karang pertama. Kemudian Pujo bergerak perlahan, menggerakkan kaki tangan seperti orang menari, yang diikuti pula oleh Joko Wandiro.
Kadang-kadang terdengar teriakan Pujo yang mengiringi pukulan-pukulan tertentu, diturut pula oleh Joko wandiro dengan teriakan nyaring dan tinggi. Terus menerus mereka berlatih sampai keringat membasahi seluruh tubuh Joko Wandiro, sampai matahari naik tinggi dan sampai ombak air laut yang tadinya tenang itu mulai mengganas dan menyerbu batu karang yang mereka jadikan tempat berlatih!
Makin ganas ombak, makin cepat pula gerakan Pujo dan Joko Wandiro. Ternyata hantaman ombak ke lambung batu karang yang membuat air muncrat ke atas menyerang kedua orang itu, dipergunakan oleh Pujo untuk latihan kegesitan karena mereka itu menganggap seolah-olah percikan air itu merupakan pukulan dan serangan lawan! Kalau lidah ombak yang memukul itu tak dapat dielakkan lagi, mereka menggunakan kekuatan tubuh untuk melawannya, dan tubuh mereka seolah-olah batu karang, kokoh kuat tidak bergeming oleh hantaman ombak memecah.
Namun makin lama Joko Wandiro makin menderita karena tubuhnya belumlah sekuat Pujo. Pujo melihat ini, melihat betapa Joko Wandiro mulai terhuyung setiap kali lidah ombak datang melecut. Ia tersenyum dan berkata nyaring mengatasi debur, suara Ombak, "Cukup anakku!"
Tubuh Pujo melompat ke atas batu karang puteranya, lalu sekali sambar ia telah mengempit pinggang Joko Wandiro, kemudian dibawanya tubuh anak itu meloncat ke batu karang di pinggir. Mereka kini berjalan kaki sambil menghapus air laut dan peluh dari muka dan leher, menuju ke pondok yang menjadi tempat tinggal mereka, di bawah sekelompok pohon nyiur.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BADAI LAUT SELATAN (BAGIAN KE-03 SERIAL KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA)