BADAI LAUT SELATAN : JILID-31
Ketika Pujo dan isterinya memasuki kamar, mereka melihat Resi Telomoyo
sudah berada di situ, duduk di bangku menggaruk-garuk tubuhnya.
Wisangjiwo juga duduk di dekat pembaringan dengan wajah yang pucat dan
muram, sedangkan Roro Luhito berlutut di dekat pembaringan sambil
menangisi ayahnya. Adipati itu tampak kurus dan pucat sekali, akan
tetapi matanya bersinar ketika ia melihat Pujo dan Kartikosari memasuki
kamar. Pujo dan Kartikosari segera duduk menghadapi si sakit.
"Nakmas Pujo... ahhh..." Si sakit berkata dengan napas terengah-engah dan agaknya ia harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk dapat bicara. Telunjuknya menuding ke arah Wisangjiwo ketika. Ia menyambung, "aku... aku tidak mengkhawatirkan dia ini... dia menghamba Pangeran Tua... akan tetapi..." Ia terengah-engah, menoleh dan menyentuh kepala Roro Luhito yang berlutut di dekatnya, "akan tetapi dia ini… dia akan terlantar... aku... aku... menyerahkan dia kepadamu... anakmas... kauterimalah anakku... ini..."
Sang adipati tidak kuat melanjutkan lagi, merebahkan lagi kepalanya di atas bantal, napasnya terengah-engah, matanya dipejamkan setalah ia memandang ke arah Pujo dengan pandang mata penuh permohonan. Sunyi sejenak di kamar itu, kecuali isak tertahan Roro Luhito. Pujo bangkit dari bangku, bingung memandang ke sekeliling, memandang kepada wajah semua orang. Kartikosari hanya menundukkan muka.
"Ini... ini... bagaimana ini...?" Ia menggagap, mukanya menjadi merah sekali. Ia memandang Wisangjiwo untuk minta bantuan. Wisangjiwo menggigit bibir dan mengangguk.
"Aku telah menyetujui, dan aku hanya mengharap kau akan suka memenuhi permintaan terakhir ayahku, adimas Pujo."
Akan tetapi... tetapi..." Pujo sukar sekali mengeluarkan isi hatinya yang penuh keraguan. Ia memandang ke arah Roro Luhito, kemudian menoleh ke arah isterinya. Keadaan menjadi hening dan tegang.
Adipati Joyowiseso masih memandang ke arah Pujo, menanti jawaban penuh pandang memohon. Wisangjiwo juga menoleh ke arah Pujo. Kini Roro Luhito juga menggerakkan kepala, menoleh dan menatap wajah Pujo melalui tirai air mata. Namun Pujo tidak bergerak, tetap memandang kepada isterinya yang masih menundukkan muka. Agaknya pandang mata suaminya dan keadaan hening yang mencekam itu memaksa Kartikosari mengangkat muka memandang.
Bertemulah pandang mata Kartikosari dengan sinar mata suaminya yang penuh dengan pertanyaan dan keraguan. Bibir yang merah itu merekah dalam senyum, pandang matanya penuh kasih dan rela, kemudian Kartikosari mengangguk memberi persetujuan kepada suaminya. Dalam detik-detik itu pandang mata suami isteri itu telah melakukan tanya jawab yang hanya dimengerti oleh mereka berdua.
Pujo bernapas lega dan gerak-gerik mereka ini diikuti oleh pandang mata semua orang, termasuk pandang mata Roro Luhito. Kalau semua orang masih belum tahu apa makna semua itu, Roro Luhito sudah mengerti. Dengan isak tertahan ia meloncat, menubruk dan merangkul leher Kartikosari, kemudian melepas rangkulannya dan lari keluar dari kamar itu! Kartikosari tersenyum dan mengusap air mata Roro Luhito yang membasahi pipinya ketika puteri adipati itu tadi mengambungnya.
Dengan anggukan kepala Kartikosari memberi isyarat kepada suaminya dan mereka berdua keluar dari kamar itu mengejar Roro Luhito. Roro Luhito duduk di atas sebuah bangku dalam taman sari, menyembunyikan mukanya dalam kedua tangan, menangis terisak-isak, sepasang pundaknya bergerak-gerak dan ia sama sekali tidak tahu betapa Pujo dan Kartikosari menghampirinya dari belakang dengan langkah perlahan, bergandengan tangan.
Kartikosari berhenti, melepaskan tangan suaminya, lalu mendorong-dorong pundak suaminya ke depan. Pujo meragu, berat rasa hatinya harus menyapa Roro Luhito dalam keadaan seperti itu, di depan isterinya yang tercinta. Akan tetapi dengan isyarat pandang mata, gerak bibir dan dorongan-dorongan, Kartikosari membujuknya. Pujo melangkah ke depan sampai dekat Roro Luhito. Dadanya berdebar, kerongkongannya serasa kering sehingga sukar sekali baginya mengeluarkan suara.
"Diajeng..." Akhirnya dapat juga ia bersuara.
Roro Luhito seketika berhenti terisak, tubuhnya tak bergerak, seakan-akan suara itu telah mencabut sukmanya. Kedua tangan masih menutupi muka, akan tetapi ia tidak menangis lagi, bahkan seakan tidak bernapas, agaknya tidak percaya akan mendengar suara Pujo. Pujo tadi sudah diajari isterinya bagaimana harus bicara kepada Roro Luhito, Kalimat itu sudah hafal olehnya, namun mulutnya sukar digerakkan, lehernya seperti tercekik.
Tentu saja ia bukan seorang laki-laki yang lemah, bukan pula pemalu. Hanya karena Kartikosari berada di situ, hal inilah yang membuat ia merasa sungkan, malu, dan tak enak hati. Betapa ia dapat berkasih sayang dengan wanita lain di depan isterinya, wanita satu-satunya di dunia ini yang dicintanya? Ia memaksa diri ketika melirik ke kiri dan melihat Kartikosari kembali mendorong-dorongnya dengan isyarat pandang mata dan gerak mulut.
"Diajeng Roro Luhito, mengapa kau menangis? Kalau... kalau sekiranya diajeng tidak setuju dengan usul paman adipati... jangan khawatir, diajeng, aku... aku dapat membatalkan..."
Belum habis Pujo mengucapkan kalimat hafalan yang didekte oleh Kartikosari itu tiba-tiba Roro Luhito menangis lagi dan wanita ini menjatuhkan diri berlutut dan merangkul kedua kaki Pujo yang berdiri terlongong seperti patung penjaga alun-alun keraton!.
"eh... nimas Sari... kalau sudah begini bagaimana ini...?"
Pujo tergagap bingung memandang isterinya dan menjaga keseimbangan tubuhnya agar jangan terguling karena kedua kakinya yang dirangkul itu mendadak menggigil...!
"Aduh, bodohnya laki-laki! Itu tandanya ia setuju!" kata Kartikosari menahan tawa.
Mendengar suara ini, Roro Luhito terkejut. Tak disangkanya bahwa Kartikosari berada di situ pula. Ia mengangkat muka, lalu ia melepaskan kaki Pujo, serta-merta ia berlutut di depan Kartikosari, sambil menangis tersedu-sedu.
"Duhai Dewata yang mulia... betapa mungkin Roro Luhito berlaku serendah ini...?" Roro Luhito menjerit lirih sambil menangis.
"Diajeng...!" Pujo dan Kartikosari berseru hampir berbareng karena kaget.
Roro Luhito mengangkat muka memandang mereka. Muka yang merawankan hati, agak pucat, matanya merah, air matanya berderai-derai.
"Kakangmas... mbokayu... kalian tentu tahu betapa cinta hatiku hanya tertuju kepada kakangmas Pujo. Aku rela mati demi cinta kasihku kepada kakangmas Pujo. Akan tetapi... kakangmas Pujo adalah suami mbokayu Kartikosari yang begitu baik kepadaku... yang melepas budi kepadaku... betapa mungkin aku berlaku serendah ini, menyakiti hati mbokayu Kartikosari...?"
Kartikosari terharu dan segera berlutut pula, merangkul Roro Luhito. "Diajeng, kau keliru. Aku tahu betapa suci murni cinta kasihmu terhadap kakangmas Pujo, dan aku tahu pula betapa baik dan bersih hatimu terhadap aku. Tahukan engkau, diajeng, bahwa aku telah mengajukan syarat kepada kakangmas Pujo? Syaratku kepadanya, aku hanya mau bertugas sebagai isterinya kembali, melakukan kewajiban, sebagai isteri yang melayani suami, hanya dengan syarat bahwa engkau harus menjadi maduku!"
Roro Luhito tersentak kaget, menjauhkan mukanya untuk dapat memandang wajah Kartikosari dengan jelas melalui air matanya, matanya dilebarkan. Kedua orang wanita itu saling pandang, keduanya mengeluarkan air mata dan akhirnya mereka berpelukan sambil menangis dan saling berciuman. Pujo yang masih berdiri itu hanya dapat memandang. Keningnya berkerut matanya termenung, mulutnya tersenyum-senyum bingung, dan melihat dua orang wanita itu berpelukan dan bertangisan, ia mengangkat pundaknya berkali-kali sambil meraba-raba kumisnya yang tipis. Tiba-tiba ia terperanjat ketika mendengar suara Kartikosari menegur,
"Kenapa kau berdiri seperti patung di situ, kakangmas?"
"Eh... habis... bagaimana ini... selanjutnya?" jawabnya gagap.
Kartikosari menarik Roro Luhito bangkit berdiri. Dengan pipi masih basah Kartikosari tersenyum kepada suaminya. "Apa kau tidak mau menerima diajeng Roro Luhito menjadi isterimu, kakangmas Pujo?"
Roro Luhito mengangkat muka pula, sepasang matanya memandang tajam kepada Pujo. Sepasang mata bintang, tajam jernih, indah! Pujo menelan ludah, sukar sekali menjawab pertanyaan yang diajukan isterinya seperti todongan ujung keris ini.
"Bagaimana? Kakangmas, seorang laki-laki harus berani mengambil keputusan tegas!" Kartikosari menegur.
"Betul ucapan mbokayu Kartikosari" Roro Luhito menyambung, suaranya juga tegas seperti suara Kartikosari.
"Kalau kakangmas merasa keberatan dan tidak tidak suka menerimaku, hendaknya berterus terang saja dan aku akan ikut dengan bapa resi guruku untuk menjadi seorang pertapa."
Ia menutup kata-katanya dengan isak ditahan. Kembali Pujo menelan ludah, kemudian ia menentang pandang mata kedua wanita itu, mengangkat dada dan menjawab lantang, "Aku mau!"
Jawaban ini dikeluarkan dengan suara yang amat lantang, terlalu lantang sehingga jelas tidak sewajarnya dan dibuat-buat untuk memberanikan hati. Keadaan ini amat lucu sehingga Kartikosari tidak dapat menahan ketawanya. Apalagi Roro Luhito, wanita yang pada dasarnya memang lincah dan gembira. Karena kini hatinya penuh dengan kebahagiaan, menyaksikan sikap calon suaminya yang memang sejak sepuluh tahun yang lalu telah menjadi pujaan hatinya ini, tak dapat menahan kegelian hatinya. Ia memeluk Kartikosari, menyembunyikan mukanya dan tertawa sampai terpingkal-pingkal dengan air mata membanjir keluar!
Pujo berbesar hati. Tadi ia bingung menyaksikan dua orang wanita itu bertangis-tangisan. Akan tetapi sekarang menyaksikan wajah isterinya penuh senyum yang manis dan cerah, melihat pula betapa Roro Luhito tertawa-tawa sambil menyembunyikan muka karena malu-malu, ia menjadi bangga. Dengan langkah lebar ia mendekat. Hanya tiga langkah dan ia sudah berada di depan mereka, kedua lengannya dikembangkan dan dua orang wanita itu sudah berada dalam rangkulan dan pelukannya. Dengan kedua lengannya yang kuat, ia memeluk dan mendekap mereka di atas dadanya. Kartikosari di dada kanan, Roro Luhito di dada kiri.
Kedua wanita itupun meramkan mata sambil balas memeluk, menyembunyikan muka di atas dada yang bidang, merasa aman sentosa dan bahagia. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti ini, tanpa bicara karena dalam saat seperti itu, kata-kata yang keluar dari mulut terlampau miskin untuk menyampaikan getaran rasa nikmat yang menggelora dan menggetar-getar dari dalam hati. Sebagai seorang wanita yang halus perasaannya, Kartikosari yang lebih dulu tergugah. Maklum betapa suaminya terbuai getaran cinta kasih yang menggelora, ia cepat berkata, suaranya halus tapi menekan,
"Kakangmas, kiranya cukuplah. Seorang satria harus teguh memegang janji. Belum tiba saatnya kita saling menumpahkan perasaan cinta kasih."
Pujo menarik napas panjang untuk menekan gelora hatinya yang benar-benar hampir terseret gelombang asmara yang amat hebat. Dengan kedua tangan di atas pundak kedua isterinya, ia mendorong mereka, menatap wajah mereka, lalu berkata, "Sekali lagi aku berjanji bahwa sebelum musuh besar kita bertiga terbalas, aku akan menahan diri dan tidak akan menuntut hakku sebagai suami terhadap kalian, kedua isteriku yang terkasih."
"Wah, enak saja dia ini menyebutmu sebagai isterinya, diajeng!" Kartikosari menggoda suaminya.
"Kakangmas Pujo, kau belum menjawab permintaan paman adipati. Beliau tentu menanti-nanti, hayo kau lekas ke sana memberikan jawabanmu."
Pujo meragu, memandang kepada Roro Luhito, seakan minta pertimbangan. Roro Luhito yang kini berseri-seri wajahnya sehingga menjadi makin cantik manis, mengangguk dan berkata, "Betul pendapat mbokayu Sari, kakangmas. Kau harus memberi jawaban kepada ayah."
Kartikosari makin lebar senyumnya, matanya menggoda, tangan kirinya memeluk pinggang Roro Luhito. Pujo hendak membantah, namun menghadapi dua orang wanita yang sependapat ini, akhirnya ia menghela napas, mengangkat kedua pundak, membalikkan tubuh dan melangkah pergi sambil mengembangkan kedua lengan ke depan. Wah, berat kalau begini, pikirnya di antara kebahagiaan hatinya. Kalau mereka berdua sudah bersatu padu, dia seakan-akan dihadapkan lawan yang luar biasa kuatnya. Ia tahu bahwa sejak saat itu, ia takkan dapat lagi merasa lebih tinggi dan lebih kuat dari pada Kartikosari ataupun Roro Luhito yang agaknya telah membentuk persekutuan yang amat erat dan kuat. Berpikir demikian, Pujo meringis dan mempercepat langkahnya menuju ke dalam kadipaten, ke dalam kamar di mana Adipati Joyowiseso sudah menanti-nanti kembalinya.
Tak tahu ia betapa Kartikosari dan Roro Luhito menutup mulut menahan ketawa melihat ia berjalan sambil mengembangkan lengan dan kepalanya bergeleng-geleng seperti itu! Dapat dibayangkan betapa lega dan girang Adipati Joyowiseso ketika Pujo menghadap dan menyatakan persetujuannya akan usul adipati itu tentang perjodohannya dengan Roro Luhito. Adipati Joyowiseso yang sudah tua dan keluarganya telah hancur berantakan itu merasa lega, karena sesungguhnya hanyalah keadaan puterinya ini yang menyusahkan hatinya. Seorang gadis yang sudah berusia dua puluh enam tahun, dinodai peristiwa aib karena perbuatan Jokowanengpati yang terkutuk. Akan bagaimanakah jadinya kelak kalau tidak cepat-cepat dijodohkan dengan seorang yang patut menjadi suaminya? Dan menurut pendapatnya, tidak ada yang lebih tepat menjadi suami Roro Luhito kecuali Pujo, laki-laki gagah perkasa yang juga menjadi idaman hati anaknya itu.
Atas desakan sang adipati, pernikahan dilakukan serentak tiga hari kemudian! Upacara pernikahan yang amat sederhana, terlalu sederhana bagi puteri seorang adipati. Adipati Joyowiseso tidak mengundang bangsawan-bangsawan lain, bahkan tidak pula mengundang kenalan-kenalan lain dari luar Selopenangkep. Upacara pernikahan itu hanya disaksikan oleh hamba-hamba setia kadipaten, dan dihadiri pula oleh penduduk Selopenangkep yang tua dan yang penting saja. Karena tidak mempunyai keluarga yang tua, Pujo dan Kartikosari mohon pertolongan Resi Telomoyo untuk menjadi wali pengantin pria. Dengan senang hati resi tua itu meluluskan permintaan Pujo, sedangkan yang menjadi wali pengantin wanita adalah ayahnya sendiri.
Adipati Joyowiseso mendadak tampak sehat kembali pada hari itu, mengenakan pakaian kebesaran dan wajahnya berseri gembira. Akan tetapi pengantin wanita menangis penuh keharuan karena teringat akan ibunya yang tewas dalam penyerbuan kadipaten. Tertawa dan menangis! Dua macam keadaan yang berlawanan inilah yang berselang-seling memenuhi kehidupan manusia. Di saat ini tertawa gembira bersuka ria, di saat lain menangis sedih berduka cita.
Dunia bagaikan panggung sandiwara dan manusia menjadi pelaku-pelaku, bahkan banyak muncul badut-badut setelah diperhamba nafsu dan perasaan. Ataukah lebih tepat disebut bahwa dunia bagaikan rumah gila? Bahwa manusia adalah makhluk-makhluk gila yang saling menonjolkan kegilaannya agar kelihatan bahwa dialah yang paling gila dari pada segala yang gila? Manusia mudah tertawa, mudah menangis. Mudah bersuka, mudah berduka.
Pada umumnya apabila keinginannya terlaksana, muncul senyum suka Sebaliknya, apabila keinginannya tidak terlaksana, muncul tangis duka. Sedangkan semua keinginan itu berputar kepada keuntungan untuk dirinya sendiri, berlandaskan nafsu menyenangkan diri pribadi. Mengharap, dapat, tertawa. Mengharap, luput, menangis. Tawa tangis,menjadi kebiasaan manusia yang sudah tidak mampu menguasai d irinya sendiri, yang sudah menjadi hamba dari pada nafsu sendiri. Tawa dan tangis adalah sepasang tangan dari badan yang satu. Tawa dan tangis adalah sepasang saudara kembar yang silih ganti bermunculan, saling berlomba untuk memperebutkan dan menguasai hati manusia.
Manusia yang sadar dapat menguasai mereka, di waktu suka berkunjung, dapat menjenguk dan melihat duka berdiri di ambang pintu, siap menanti gilirannya, dan demikian pula sebaliknya. Karenanya, seorang manusia yang sadar selalu akan tenang dan menerima segala kejadian di dunia yang menimpa dirinya sebagai kejadian yang wajar, yang semestinya dan yang tak dapat ia robah atau halangi seperti munculnya sang matahari Matahari muncul dan terjadilah panas terik. Ini sudah wajar. Sudah semestinya. Tidak ada suka, tidak ada duka, tidak ada tawa tidak ada tangis. Manusia sadar dapat menerima kewajaran ini sebagai kenyataan yang mengandung anugerah, dapat memetik manfaat dari padanya.
Mata seorang sadar dapat melihat bahwa di balik panas terik yang menyengat dan menghanguskan, terciptalah keteduhan nikmat di bawah pohon yang rindang! Melihat nikmat dalam nyeri, mengena! nyeri dalam nikmat. Mengenyam manis dalam pahit, merasai pahit dalam manis. Mencium ganda busuk dalam harum, mengenal harum dalam ganda busuk! Bahagialah selalu manusia yang sadar!
Hanya tiga hari kemudian semenjak upacara pernikahan, Adipati Joyowiseso menghembuskan napas terakhir, diiringi tangis Roro Luhito dan Wisangjiwo. Seperti juga pada upacara pernikahan antara Roro Luhito dan Pujo, upacara pemakaman sang adipati dilakukan dengan sederhana, dilayat oleh mereka yang tiga hari yang lalu menjadi tamu dalam upacara pernikahan!
Kalau dalam pertemuan pertama, Roro Luhito merupakan penghibur bagi Pujo dan Kartikosari sehingga dalam perjalanan mereka itu terdapat kegembiraan, adalah kini kedua orang inilah yang selalu menghibur Roro Luhito. Setiap hari tampak Roro Luhito dihibur oleh Pujo dan Kartikosari di dalam taman sari. Sebagai pengantin baru, sudah sepantasnya Pujo berlangen asmoro dengan kedua isterinya di dalam taman indah. Melihat mereka bertiga bermesra-mesraan di dalam taman, tentu semua orang akan menyangka demikian. Mengira Pujo berbulan madu dengan Roro Luhito, ditemani Kartikosari sebagai isteri pertama yang penuh toleransi!
Perkiraan ini membuat para pelayan tersenyum-senyum, membuat para dayang saling cubit menahan tawa, mengerling penuh arti. Padahal sesungguhnya, Pujo dan Kartikosari hanyalah menghibur hati Roro Luhito agar jangan terlalu dikuasai kedukaan. Mereka bertiga adalah orang-orang gemblengan yang tahan uji, tidak akan mudah dikuasai nafsu. Sekali dalam hati berjanji, sampai matipun akan dipegang teguh janji ini. Sebagai seorang laki-laki yang sehat, tentu saja sumpah atau janji mereka itu terasa amat berat. Kedua isterinya demikian ayu, demikian denok, dan bersikap mesra penuh kasih kepadanya. Ia harus mempergunakan seluruh kekuatan batinnya untuk membendung hasrat hendak mencurahkan seluruh kasih sayang dan rindu dendamnya kepada kedua isterinya, terutama sekali kepada Kartikosari. Namun, Pujo memaksa diri mempertahankan, karena ia kini maklum akan keadaan hati kedua isterinya.
Sebagai wanita-wanita utama, tentu saja mereka akan merasa rendah diri melayani suami sebagai isteri-isteri tercinta, apabila Jokowanengpati yang mendatangkan aib dan noda itu belum tewas di depan kaki mereka!. Sementara itu, Raden Wisangjiwo dibantu oleh Resi Telomoyo keluar dari kadipaten dan memimpin sendiri anak buahnya dalam usahanya mencari Raden Joko Wandiro, puteranya, dan Endang Patibroto, puteri Pujo. Namun hasilnya sia-sia belaka. Setiap kali kembali ke kadipaten, wajah Wisangjiwo makin keruh dan pucat. Namun segera ia berangkat lagi mencari ke lain jurusan.
Sebulan kemudian, utusan yang disuruh berangkat ke kota raja memberi laporan kepada Pangeran Sepuh tentang keadaan Kadipaten Selopenangkep, telah tiba kembali di kadipaten. Mereka membawa berita yang mengejutkan, yaitu bahwa perang telah terjadi secara terbuka antara pasukan Pangeran Sepuh dan pasukan-pasukan pengikut Pangeran Anom! Wisangjiwo juga dipanggil ke kota raja oleh Pangeran Sepuh karena perang saudara itu membutuhkan bantuan sebanyaknya. Juga utusan itu membawa berita bahwa di antara panglima yang membantu Pangeran Anom, terdapat senopati Jokowanengpati yang terkenal pandai mengatur pasukan dan sakti.
Panas sekali hati Wisangjiwo mendengar ini. Hatinya sedang risau karena usahanya mencari Joko Wandiro belum juga berhasil. Kini mendengar tentang Jokowanengpati, ia marah sekali dalam hati. Puteranya hilang adalah karena kebiadaban Jokowanengpati, demikian kata hatinya. Ia lalu menemui Pujo, Kartikosari, Roro Luhito, dan Resi Telomoyo.
"Aku harus berangkat segera ke kota raja," katanya. "Kalau perang antara kedua pangeran telah pecah, berarti perang saudara yang hebat. Pangeran Anom dibantu oleh banyak orang sakti seperti Cekel Aksomolo, Ni Durgogini, Ni Nogogini, Ki Warok Gendroyono, Ki Warok Krendoyakso dan anak buahnya yang buas. Juga Jokowanengpati si keparat merupakan tangan kanan Pangeran Anom. Oleh karena itu, kalau saja kalian bertiga, juga paman Resi Telomoyo suka, saya minta dengan hormat agar supaya ikut pula ke kota raja. Membantu Pangeran Sepuh berarti membantu keturunan Mataram. Pangeran Sepuh adalah putera Sang Dewi Sekarkedaton, cucu mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa, berdarah Mataram asli. Akan tetapi Pangeran Anom adalah pangeran yang berdarah keturunan Sriwijaya! Bukan tidak mungkin kalau Pangeran Anom yang menguasai Kahuripan, kelak kita semua akan menjadi orang jajahan Sriwijaya. Andai kata andika sekalian tidak tertarik akan hal ini, juga dengan membantu Pangeran Tua berarti menentang Pangeran Muda yang mempergunakan tenaga orang-orang jahat, berarti kita telah melakukan dharma satria membasmi kejahatan."
"Kakangmas Wisangjiwo. Hal-hal lain tidak menarik hati kami bertiga, akan tetapi dengan adanya si keparat Jokowanengpati di sana, kami bertiga tentu saja akan berangkat pula ke sana. Kalau dia membantu Pangeran Anom, dengan sendirinya kami akan membantu lawannya, yaitu Gusti Pangeran Sepuh," kata Pujo dan kedua orang isterinya mengangguk-angguk tanda setuju.
"Bagaimana dengan paman Resi Telomoyo?" Wisangjiwo bertanya penuh harapan, matanya menyinarkan kegirangan karena Pujo bertiga ikut pula membantu Pangeran Sepuh. Tenaga tiga orang ini amat hebat dan berguna dalam perlawanan menghadapi orang-orang sakti yang membantu Pangeran Anom.
"Hemmm, aku sudah tua, raden. Aku tidak suka akan perang bunuh membunuh antara manusia memperebutkan kemenangan. aku tidak butuh kemewahan, tidak pula butuh pahala. Akan tetapi, kalau pertapa-pertapa seperti Cekel Aksomolo dan yang lain-lain itu meninggalkan pertapaan mengejar keduniaan mengandalkan kesaktian, tentu keadaan akan menjadi miring dan berat sebelah. Terpaksa aku pun harus turun tangan menghalangi mereka. Mari kita berangkat!"
Girang hati Wisangjiwo mendengar ini dan ia tertawa melihat kakek itu menjadi bersemangat dan tergesa-gesa. "Harap paman resi bersabar karena saya masih menanti kembalinya pasukan yang saya utus pergi menjemput isteri saya di dusun Selogiri."
"Hahh? Selogiri di lereng timur Gunung Lawu?" Resi Telomoyo bertanya.
"Betul, paman." Wisangjiwo menarik napas panjang penuh penyesalan. "Semua gara-gara Jokowanengpati..." ia melirik ke arah Pujo. "Saya tertipu muslihatnya, mempercaya mulutnya. Karena kehilangan Joko Wandiro isteri saya Listyokumolo seperti berubah ingatannya. Saya... saya tadinya menyangka buruk terhadap adimas Pujo sehingga saya pulangkan isteri saya itu kepada ayahnya, lurah Selogiri. Saya menyesal, paman, dan sekarang saya menyuruh pasukan menjemputnya, akan saya ajak bersama ke kota raja. Kasihan isteri saya..." Wisangjiwo termenung.
"Ahh, saya mengaku salah alamat, saya telah menjadi seekor binatang buas, merampas puteramu sehingga membuat isterimu menjadi berduka "
"Sudahlah, dimas. Semua telah terjadi dan semua mempunyai kesalahan. Tinggal sekarang kita merubah segala kesalahan yang lalu. Mudah-mudahan saja nimas Listyokumolo sudah sembuh dan suka mengampunkan aku." Dua hari kemudian datanglah pasukan yang ditunggu-tunggu.
Wajah Wisangjiwo menjadi muram karena tidak melihat isterinya bersama mereka. Apalagi setelah ia mendengar laporan kepala pasukan, ia menjadi berduka sekali. Kiranya, menurut hasil penyelidikan pasukan itu, tidak lama semenjak Listyokumolo pulang ke dusun Selogiri, dusun itu dilanda malapetaka. Sekelompok perampok menyerbu Selogiri. Biarpun lurah Selogiri, ayah Listyokumolo, bersama para penduduk melakukan perlawanan, namun tidak kuat mereka menghadapi para perampok. Lurah Selogiri tewas, banyak penduduk laki-laki yang tidak sempat melarikan diri dibunuh, dusun dibakar dan banyak wanita terculik. Di antaranya, Listyokumolo dibawa lari oleh kepala rampok! Melihat kakaknya berwajah pucat dan menjambak-jambak rambut penuh penyesalan, Roro Luhito memegang pundak kakaknya sambil menangis.
"Kasihan nasib kangmbok Listyokumolo..."
Wisangjiwo menghela napas dan menengadahkan kepalanya. "Duh Dewata Yang Agung, inikah hukumanku? Biarlah, Luhito, biar impas semua dosaku, karena tiada kejahatan tanpa hukuman dan kalau kuingat akan kelakuanku yang lalu, sungguh belum seberapa hebatnya hukuman ini. Mari, adikku, mari kita berangkat, mari kita mencari si jahanam Jokowanengpati, biang keladi segala peristiwa pahit ini!"
Setelah meninggalkan sepasukan penjaga untuk menjaga Kadipaten Selopenangkep, berangkatlah mereka, Wisangjiwo, Pujo, Kartikosari, Roro Luhito, dan Resi Telomoyo berkuda, diiringkan pasukan yang kesemuanya berkuda. Biarpun wajahnya membayangkan kebesaran semangat dan kegembiraan seorang perajurit yang siap bertempur namun di dalam hatinya, Wisangjiwo menangisi isterinya. Teringat ia sekarang akan segala derita yang dialami Listyokumolo. Betapa dahulu, Listyokumolo gadis dusun yang cantik jelita dan bahagia itu terpaksa menyerah kepadanya dan hidup di dalam Kadipaten Selopenangkep. Betapa Listyokumolo dengan sepenuh jiwanya berusaha menyesuaikan diri, berusaha mencinta suaminya dan betapa Listyokumolo selalu bersabar digoda tingkah laku suaminya yang selalu mengejar-ngejar wanita cantik.
Teringat ia betapa kejam hatinya, tidak kasihan melihat isterinya seperti gila kehilangan putera, tidak menghiburnya malah mengusirnya pulang ke Selogiri! Kalau sekarang ia teringat betapa akan celaka nasib isterinya itu diculik kepala perampok, hatinya terasa ditusuk-tusuk ujung keris berbisa. Ia berjanji di dalam hati bahwa setelah selesai perang dan masih hidup, ia akan menggunakan sisa usianya untuk mencari isterinya, mencari Listyokumolo sampai dapat dan kalau isterinya itu sudah mati, ia akan membalas mereka yang menyakiti isterinya, terutama kepala perampok itu!
Pujo dan Kartikosari sama sekali tidak tahu bahwa pada saat mereka berangkat mengikuti Wisangjiwo bersama Roro Luhito dan Resi Telomoyo menuju ke kota raja, terjadi penyerbuan di Pulau Sempu terhadap Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo. Sama sekali tidak tahu betapa hampir saja Resi Bhargowo tewas oleh pengeroyokan jago-jago utusan Pangeran Anom yang ingin merampas pusaka Mataram. Juga tidak tahu betapa dua orang anak yang mereka cari-cari selama ini berada pula di Pulau Sempu dan dengan adanya penyerbuan menjadi cerai-berai.
Seperti kita ketahui, Endang Patibroto bertemu dengan seorang manusia yang luar biasa saktinya, ialah Dibyo Mamangkoro bekas senopati Kerajaan Wengker. Endang Patibroto kemudian ikut pergi dengan Dibyo Mamangkoro sebagai muridnya, pergi ke sebuah pulau yang pada waktu itu merupakan pulau gawat, penuh dengan iblis bekasakan sehingga terkenal sebagai tempat yang disirik (pantang) orang karena kabarnya orang yang masuk ke pulau itu tentu akan tewas dan tidak dapat keluar kembali. Bahkan para nelayan tidak ada yang berani mendekatkan perahu ke pulau itu di waktu mereka mencari ikan. Pulau itu bukan lain adalah Pulau Nusakambangan!
Dibyo Mamangkoro manusia yang wataknya seperti bukan manusia lagi itu, seorang sakti mandraguna yang sukar dicari tandingannya, tidak mempunyai putera maupun keluarga lain. Semua keluarga terbasmi habis ketika Kerajaan Wengker di mana ia mengabdi hancur dalam perang melawan Kahuripan sehingga ia sendiri melarikan diri dan bersembunyi di Nusakambangan.
Kini melihat Endang Patibroto, ia merasa amat suka. Anak perempuan ini memiliki dasar watak yang liar, ganas dan tidak pernah mau kalah, sebuah watak yang cocok dengan watak Dibyo Mamangkoro. Selain itu, anak ini memiliki tubuh yang amat baik, tulang seorang calon pendekar sakti. Di samping ini semua, Endang Patibroto pandai mengambil hati dan anak ini sendiripun suka berlatih ilmu serta rajin.
Inilah sebabnya mengapa Dibyo Mamangkoro melakukan hal yang selama hidupnya belum pernah ia lakukan, yaitu, mengambil murid dan setiap hari tekun melatihnya dengan rasa kasih sayang yang makin mendalam sehingga Endang Patibroto dianggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri. Kakek yang sakti mandraguna ini mengambil keputusan untuk menurunkan dan mewariskan seluruh kepandaiannya kepada Endang Patibroto…..!
********************
"Nakmas Pujo... ahhh..." Si sakit berkata dengan napas terengah-engah dan agaknya ia harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk dapat bicara. Telunjuknya menuding ke arah Wisangjiwo ketika. Ia menyambung, "aku... aku tidak mengkhawatirkan dia ini... dia menghamba Pangeran Tua... akan tetapi..." Ia terengah-engah, menoleh dan menyentuh kepala Roro Luhito yang berlutut di dekatnya, "akan tetapi dia ini… dia akan terlantar... aku... aku... menyerahkan dia kepadamu... anakmas... kauterimalah anakku... ini..."
Sang adipati tidak kuat melanjutkan lagi, merebahkan lagi kepalanya di atas bantal, napasnya terengah-engah, matanya dipejamkan setalah ia memandang ke arah Pujo dengan pandang mata penuh permohonan. Sunyi sejenak di kamar itu, kecuali isak tertahan Roro Luhito. Pujo bangkit dari bangku, bingung memandang ke sekeliling, memandang kepada wajah semua orang. Kartikosari hanya menundukkan muka.
"Ini... ini... bagaimana ini...?" Ia menggagap, mukanya menjadi merah sekali. Ia memandang Wisangjiwo untuk minta bantuan. Wisangjiwo menggigit bibir dan mengangguk.
"Aku telah menyetujui, dan aku hanya mengharap kau akan suka memenuhi permintaan terakhir ayahku, adimas Pujo."
Akan tetapi... tetapi..." Pujo sukar sekali mengeluarkan isi hatinya yang penuh keraguan. Ia memandang ke arah Roro Luhito, kemudian menoleh ke arah isterinya. Keadaan menjadi hening dan tegang.
Adipati Joyowiseso masih memandang ke arah Pujo, menanti jawaban penuh pandang memohon. Wisangjiwo juga menoleh ke arah Pujo. Kini Roro Luhito juga menggerakkan kepala, menoleh dan menatap wajah Pujo melalui tirai air mata. Namun Pujo tidak bergerak, tetap memandang kepada isterinya yang masih menundukkan muka. Agaknya pandang mata suaminya dan keadaan hening yang mencekam itu memaksa Kartikosari mengangkat muka memandang.
Bertemulah pandang mata Kartikosari dengan sinar mata suaminya yang penuh dengan pertanyaan dan keraguan. Bibir yang merah itu merekah dalam senyum, pandang matanya penuh kasih dan rela, kemudian Kartikosari mengangguk memberi persetujuan kepada suaminya. Dalam detik-detik itu pandang mata suami isteri itu telah melakukan tanya jawab yang hanya dimengerti oleh mereka berdua.
Pujo bernapas lega dan gerak-gerik mereka ini diikuti oleh pandang mata semua orang, termasuk pandang mata Roro Luhito. Kalau semua orang masih belum tahu apa makna semua itu, Roro Luhito sudah mengerti. Dengan isak tertahan ia meloncat, menubruk dan merangkul leher Kartikosari, kemudian melepas rangkulannya dan lari keluar dari kamar itu! Kartikosari tersenyum dan mengusap air mata Roro Luhito yang membasahi pipinya ketika puteri adipati itu tadi mengambungnya.
Dengan anggukan kepala Kartikosari memberi isyarat kepada suaminya dan mereka berdua keluar dari kamar itu mengejar Roro Luhito. Roro Luhito duduk di atas sebuah bangku dalam taman sari, menyembunyikan mukanya dalam kedua tangan, menangis terisak-isak, sepasang pundaknya bergerak-gerak dan ia sama sekali tidak tahu betapa Pujo dan Kartikosari menghampirinya dari belakang dengan langkah perlahan, bergandengan tangan.
Kartikosari berhenti, melepaskan tangan suaminya, lalu mendorong-dorong pundak suaminya ke depan. Pujo meragu, berat rasa hatinya harus menyapa Roro Luhito dalam keadaan seperti itu, di depan isterinya yang tercinta. Akan tetapi dengan isyarat pandang mata, gerak bibir dan dorongan-dorongan, Kartikosari membujuknya. Pujo melangkah ke depan sampai dekat Roro Luhito. Dadanya berdebar, kerongkongannya serasa kering sehingga sukar sekali baginya mengeluarkan suara.
"Diajeng..." Akhirnya dapat juga ia bersuara.
Roro Luhito seketika berhenti terisak, tubuhnya tak bergerak, seakan-akan suara itu telah mencabut sukmanya. Kedua tangan masih menutupi muka, akan tetapi ia tidak menangis lagi, bahkan seakan tidak bernapas, agaknya tidak percaya akan mendengar suara Pujo. Pujo tadi sudah diajari isterinya bagaimana harus bicara kepada Roro Luhito, Kalimat itu sudah hafal olehnya, namun mulutnya sukar digerakkan, lehernya seperti tercekik.
Tentu saja ia bukan seorang laki-laki yang lemah, bukan pula pemalu. Hanya karena Kartikosari berada di situ, hal inilah yang membuat ia merasa sungkan, malu, dan tak enak hati. Betapa ia dapat berkasih sayang dengan wanita lain di depan isterinya, wanita satu-satunya di dunia ini yang dicintanya? Ia memaksa diri ketika melirik ke kiri dan melihat Kartikosari kembali mendorong-dorongnya dengan isyarat pandang mata dan gerak mulut.
"Diajeng Roro Luhito, mengapa kau menangis? Kalau... kalau sekiranya diajeng tidak setuju dengan usul paman adipati... jangan khawatir, diajeng, aku... aku dapat membatalkan..."
Belum habis Pujo mengucapkan kalimat hafalan yang didekte oleh Kartikosari itu tiba-tiba Roro Luhito menangis lagi dan wanita ini menjatuhkan diri berlutut dan merangkul kedua kaki Pujo yang berdiri terlongong seperti patung penjaga alun-alun keraton!.
"eh... nimas Sari... kalau sudah begini bagaimana ini...?"
Pujo tergagap bingung memandang isterinya dan menjaga keseimbangan tubuhnya agar jangan terguling karena kedua kakinya yang dirangkul itu mendadak menggigil...!
"Aduh, bodohnya laki-laki! Itu tandanya ia setuju!" kata Kartikosari menahan tawa.
Mendengar suara ini, Roro Luhito terkejut. Tak disangkanya bahwa Kartikosari berada di situ pula. Ia mengangkat muka, lalu ia melepaskan kaki Pujo, serta-merta ia berlutut di depan Kartikosari, sambil menangis tersedu-sedu.
"Duhai Dewata yang mulia... betapa mungkin Roro Luhito berlaku serendah ini...?" Roro Luhito menjerit lirih sambil menangis.
"Diajeng...!" Pujo dan Kartikosari berseru hampir berbareng karena kaget.
Roro Luhito mengangkat muka memandang mereka. Muka yang merawankan hati, agak pucat, matanya merah, air matanya berderai-derai.
"Kakangmas... mbokayu... kalian tentu tahu betapa cinta hatiku hanya tertuju kepada kakangmas Pujo. Aku rela mati demi cinta kasihku kepada kakangmas Pujo. Akan tetapi... kakangmas Pujo adalah suami mbokayu Kartikosari yang begitu baik kepadaku... yang melepas budi kepadaku... betapa mungkin aku berlaku serendah ini, menyakiti hati mbokayu Kartikosari...?"
Kartikosari terharu dan segera berlutut pula, merangkul Roro Luhito. "Diajeng, kau keliru. Aku tahu betapa suci murni cinta kasihmu terhadap kakangmas Pujo, dan aku tahu pula betapa baik dan bersih hatimu terhadap aku. Tahukan engkau, diajeng, bahwa aku telah mengajukan syarat kepada kakangmas Pujo? Syaratku kepadanya, aku hanya mau bertugas sebagai isterinya kembali, melakukan kewajiban, sebagai isteri yang melayani suami, hanya dengan syarat bahwa engkau harus menjadi maduku!"
Roro Luhito tersentak kaget, menjauhkan mukanya untuk dapat memandang wajah Kartikosari dengan jelas melalui air matanya, matanya dilebarkan. Kedua orang wanita itu saling pandang, keduanya mengeluarkan air mata dan akhirnya mereka berpelukan sambil menangis dan saling berciuman. Pujo yang masih berdiri itu hanya dapat memandang. Keningnya berkerut matanya termenung, mulutnya tersenyum-senyum bingung, dan melihat dua orang wanita itu berpelukan dan bertangisan, ia mengangkat pundaknya berkali-kali sambil meraba-raba kumisnya yang tipis. Tiba-tiba ia terperanjat ketika mendengar suara Kartikosari menegur,
"Kenapa kau berdiri seperti patung di situ, kakangmas?"
"Eh... habis... bagaimana ini... selanjutnya?" jawabnya gagap.
Kartikosari menarik Roro Luhito bangkit berdiri. Dengan pipi masih basah Kartikosari tersenyum kepada suaminya. "Apa kau tidak mau menerima diajeng Roro Luhito menjadi isterimu, kakangmas Pujo?"
Roro Luhito mengangkat muka pula, sepasang matanya memandang tajam kepada Pujo. Sepasang mata bintang, tajam jernih, indah! Pujo menelan ludah, sukar sekali menjawab pertanyaan yang diajukan isterinya seperti todongan ujung keris ini.
"Bagaimana? Kakangmas, seorang laki-laki harus berani mengambil keputusan tegas!" Kartikosari menegur.
"Betul ucapan mbokayu Kartikosari" Roro Luhito menyambung, suaranya juga tegas seperti suara Kartikosari.
"Kalau kakangmas merasa keberatan dan tidak tidak suka menerimaku, hendaknya berterus terang saja dan aku akan ikut dengan bapa resi guruku untuk menjadi seorang pertapa."
Ia menutup kata-katanya dengan isak ditahan. Kembali Pujo menelan ludah, kemudian ia menentang pandang mata kedua wanita itu, mengangkat dada dan menjawab lantang, "Aku mau!"
Jawaban ini dikeluarkan dengan suara yang amat lantang, terlalu lantang sehingga jelas tidak sewajarnya dan dibuat-buat untuk memberanikan hati. Keadaan ini amat lucu sehingga Kartikosari tidak dapat menahan ketawanya. Apalagi Roro Luhito, wanita yang pada dasarnya memang lincah dan gembira. Karena kini hatinya penuh dengan kebahagiaan, menyaksikan sikap calon suaminya yang memang sejak sepuluh tahun yang lalu telah menjadi pujaan hatinya ini, tak dapat menahan kegelian hatinya. Ia memeluk Kartikosari, menyembunyikan mukanya dan tertawa sampai terpingkal-pingkal dengan air mata membanjir keluar!
Pujo berbesar hati. Tadi ia bingung menyaksikan dua orang wanita itu bertangis-tangisan. Akan tetapi sekarang menyaksikan wajah isterinya penuh senyum yang manis dan cerah, melihat pula betapa Roro Luhito tertawa-tawa sambil menyembunyikan muka karena malu-malu, ia menjadi bangga. Dengan langkah lebar ia mendekat. Hanya tiga langkah dan ia sudah berada di depan mereka, kedua lengannya dikembangkan dan dua orang wanita itu sudah berada dalam rangkulan dan pelukannya. Dengan kedua lengannya yang kuat, ia memeluk dan mendekap mereka di atas dadanya. Kartikosari di dada kanan, Roro Luhito di dada kiri.
Kedua wanita itupun meramkan mata sambil balas memeluk, menyembunyikan muka di atas dada yang bidang, merasa aman sentosa dan bahagia. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti ini, tanpa bicara karena dalam saat seperti itu, kata-kata yang keluar dari mulut terlampau miskin untuk menyampaikan getaran rasa nikmat yang menggelora dan menggetar-getar dari dalam hati. Sebagai seorang wanita yang halus perasaannya, Kartikosari yang lebih dulu tergugah. Maklum betapa suaminya terbuai getaran cinta kasih yang menggelora, ia cepat berkata, suaranya halus tapi menekan,
"Kakangmas, kiranya cukuplah. Seorang satria harus teguh memegang janji. Belum tiba saatnya kita saling menumpahkan perasaan cinta kasih."
Pujo menarik napas panjang untuk menekan gelora hatinya yang benar-benar hampir terseret gelombang asmara yang amat hebat. Dengan kedua tangan di atas pundak kedua isterinya, ia mendorong mereka, menatap wajah mereka, lalu berkata, "Sekali lagi aku berjanji bahwa sebelum musuh besar kita bertiga terbalas, aku akan menahan diri dan tidak akan menuntut hakku sebagai suami terhadap kalian, kedua isteriku yang terkasih."
"Wah, enak saja dia ini menyebutmu sebagai isterinya, diajeng!" Kartikosari menggoda suaminya.
"Kakangmas Pujo, kau belum menjawab permintaan paman adipati. Beliau tentu menanti-nanti, hayo kau lekas ke sana memberikan jawabanmu."
Pujo meragu, memandang kepada Roro Luhito, seakan minta pertimbangan. Roro Luhito yang kini berseri-seri wajahnya sehingga menjadi makin cantik manis, mengangguk dan berkata, "Betul pendapat mbokayu Sari, kakangmas. Kau harus memberi jawaban kepada ayah."
Kartikosari makin lebar senyumnya, matanya menggoda, tangan kirinya memeluk pinggang Roro Luhito. Pujo hendak membantah, namun menghadapi dua orang wanita yang sependapat ini, akhirnya ia menghela napas, mengangkat kedua pundak, membalikkan tubuh dan melangkah pergi sambil mengembangkan kedua lengan ke depan. Wah, berat kalau begini, pikirnya di antara kebahagiaan hatinya. Kalau mereka berdua sudah bersatu padu, dia seakan-akan dihadapkan lawan yang luar biasa kuatnya. Ia tahu bahwa sejak saat itu, ia takkan dapat lagi merasa lebih tinggi dan lebih kuat dari pada Kartikosari ataupun Roro Luhito yang agaknya telah membentuk persekutuan yang amat erat dan kuat. Berpikir demikian, Pujo meringis dan mempercepat langkahnya menuju ke dalam kadipaten, ke dalam kamar di mana Adipati Joyowiseso sudah menanti-nanti kembalinya.
Tak tahu ia betapa Kartikosari dan Roro Luhito menutup mulut menahan ketawa melihat ia berjalan sambil mengembangkan lengan dan kepalanya bergeleng-geleng seperti itu! Dapat dibayangkan betapa lega dan girang Adipati Joyowiseso ketika Pujo menghadap dan menyatakan persetujuannya akan usul adipati itu tentang perjodohannya dengan Roro Luhito. Adipati Joyowiseso yang sudah tua dan keluarganya telah hancur berantakan itu merasa lega, karena sesungguhnya hanyalah keadaan puterinya ini yang menyusahkan hatinya. Seorang gadis yang sudah berusia dua puluh enam tahun, dinodai peristiwa aib karena perbuatan Jokowanengpati yang terkutuk. Akan bagaimanakah jadinya kelak kalau tidak cepat-cepat dijodohkan dengan seorang yang patut menjadi suaminya? Dan menurut pendapatnya, tidak ada yang lebih tepat menjadi suami Roro Luhito kecuali Pujo, laki-laki gagah perkasa yang juga menjadi idaman hati anaknya itu.
Atas desakan sang adipati, pernikahan dilakukan serentak tiga hari kemudian! Upacara pernikahan yang amat sederhana, terlalu sederhana bagi puteri seorang adipati. Adipati Joyowiseso tidak mengundang bangsawan-bangsawan lain, bahkan tidak pula mengundang kenalan-kenalan lain dari luar Selopenangkep. Upacara pernikahan itu hanya disaksikan oleh hamba-hamba setia kadipaten, dan dihadiri pula oleh penduduk Selopenangkep yang tua dan yang penting saja. Karena tidak mempunyai keluarga yang tua, Pujo dan Kartikosari mohon pertolongan Resi Telomoyo untuk menjadi wali pengantin pria. Dengan senang hati resi tua itu meluluskan permintaan Pujo, sedangkan yang menjadi wali pengantin wanita adalah ayahnya sendiri.
Adipati Joyowiseso mendadak tampak sehat kembali pada hari itu, mengenakan pakaian kebesaran dan wajahnya berseri gembira. Akan tetapi pengantin wanita menangis penuh keharuan karena teringat akan ibunya yang tewas dalam penyerbuan kadipaten. Tertawa dan menangis! Dua macam keadaan yang berlawanan inilah yang berselang-seling memenuhi kehidupan manusia. Di saat ini tertawa gembira bersuka ria, di saat lain menangis sedih berduka cita.
Dunia bagaikan panggung sandiwara dan manusia menjadi pelaku-pelaku, bahkan banyak muncul badut-badut setelah diperhamba nafsu dan perasaan. Ataukah lebih tepat disebut bahwa dunia bagaikan rumah gila? Bahwa manusia adalah makhluk-makhluk gila yang saling menonjolkan kegilaannya agar kelihatan bahwa dialah yang paling gila dari pada segala yang gila? Manusia mudah tertawa, mudah menangis. Mudah bersuka, mudah berduka.
Pada umumnya apabila keinginannya terlaksana, muncul senyum suka Sebaliknya, apabila keinginannya tidak terlaksana, muncul tangis duka. Sedangkan semua keinginan itu berputar kepada keuntungan untuk dirinya sendiri, berlandaskan nafsu menyenangkan diri pribadi. Mengharap, dapat, tertawa. Mengharap, luput, menangis. Tawa tangis,menjadi kebiasaan manusia yang sudah tidak mampu menguasai d irinya sendiri, yang sudah menjadi hamba dari pada nafsu sendiri. Tawa dan tangis adalah sepasang tangan dari badan yang satu. Tawa dan tangis adalah sepasang saudara kembar yang silih ganti bermunculan, saling berlomba untuk memperebutkan dan menguasai hati manusia.
Manusia yang sadar dapat menguasai mereka, di waktu suka berkunjung, dapat menjenguk dan melihat duka berdiri di ambang pintu, siap menanti gilirannya, dan demikian pula sebaliknya. Karenanya, seorang manusia yang sadar selalu akan tenang dan menerima segala kejadian di dunia yang menimpa dirinya sebagai kejadian yang wajar, yang semestinya dan yang tak dapat ia robah atau halangi seperti munculnya sang matahari Matahari muncul dan terjadilah panas terik. Ini sudah wajar. Sudah semestinya. Tidak ada suka, tidak ada duka, tidak ada tawa tidak ada tangis. Manusia sadar dapat menerima kewajaran ini sebagai kenyataan yang mengandung anugerah, dapat memetik manfaat dari padanya.
Mata seorang sadar dapat melihat bahwa di balik panas terik yang menyengat dan menghanguskan, terciptalah keteduhan nikmat di bawah pohon yang rindang! Melihat nikmat dalam nyeri, mengena! nyeri dalam nikmat. Mengenyam manis dalam pahit, merasai pahit dalam manis. Mencium ganda busuk dalam harum, mengenal harum dalam ganda busuk! Bahagialah selalu manusia yang sadar!
Hanya tiga hari kemudian semenjak upacara pernikahan, Adipati Joyowiseso menghembuskan napas terakhir, diiringi tangis Roro Luhito dan Wisangjiwo. Seperti juga pada upacara pernikahan antara Roro Luhito dan Pujo, upacara pemakaman sang adipati dilakukan dengan sederhana, dilayat oleh mereka yang tiga hari yang lalu menjadi tamu dalam upacara pernikahan!
Kalau dalam pertemuan pertama, Roro Luhito merupakan penghibur bagi Pujo dan Kartikosari sehingga dalam perjalanan mereka itu terdapat kegembiraan, adalah kini kedua orang inilah yang selalu menghibur Roro Luhito. Setiap hari tampak Roro Luhito dihibur oleh Pujo dan Kartikosari di dalam taman sari. Sebagai pengantin baru, sudah sepantasnya Pujo berlangen asmoro dengan kedua isterinya di dalam taman indah. Melihat mereka bertiga bermesra-mesraan di dalam taman, tentu semua orang akan menyangka demikian. Mengira Pujo berbulan madu dengan Roro Luhito, ditemani Kartikosari sebagai isteri pertama yang penuh toleransi!
Perkiraan ini membuat para pelayan tersenyum-senyum, membuat para dayang saling cubit menahan tawa, mengerling penuh arti. Padahal sesungguhnya, Pujo dan Kartikosari hanyalah menghibur hati Roro Luhito agar jangan terlalu dikuasai kedukaan. Mereka bertiga adalah orang-orang gemblengan yang tahan uji, tidak akan mudah dikuasai nafsu. Sekali dalam hati berjanji, sampai matipun akan dipegang teguh janji ini. Sebagai seorang laki-laki yang sehat, tentu saja sumpah atau janji mereka itu terasa amat berat. Kedua isterinya demikian ayu, demikian denok, dan bersikap mesra penuh kasih kepadanya. Ia harus mempergunakan seluruh kekuatan batinnya untuk membendung hasrat hendak mencurahkan seluruh kasih sayang dan rindu dendamnya kepada kedua isterinya, terutama sekali kepada Kartikosari. Namun, Pujo memaksa diri mempertahankan, karena ia kini maklum akan keadaan hati kedua isterinya.
Sebagai wanita-wanita utama, tentu saja mereka akan merasa rendah diri melayani suami sebagai isteri-isteri tercinta, apabila Jokowanengpati yang mendatangkan aib dan noda itu belum tewas di depan kaki mereka!. Sementara itu, Raden Wisangjiwo dibantu oleh Resi Telomoyo keluar dari kadipaten dan memimpin sendiri anak buahnya dalam usahanya mencari Raden Joko Wandiro, puteranya, dan Endang Patibroto, puteri Pujo. Namun hasilnya sia-sia belaka. Setiap kali kembali ke kadipaten, wajah Wisangjiwo makin keruh dan pucat. Namun segera ia berangkat lagi mencari ke lain jurusan.
Sebulan kemudian, utusan yang disuruh berangkat ke kota raja memberi laporan kepada Pangeran Sepuh tentang keadaan Kadipaten Selopenangkep, telah tiba kembali di kadipaten. Mereka membawa berita yang mengejutkan, yaitu bahwa perang telah terjadi secara terbuka antara pasukan Pangeran Sepuh dan pasukan-pasukan pengikut Pangeran Anom! Wisangjiwo juga dipanggil ke kota raja oleh Pangeran Sepuh karena perang saudara itu membutuhkan bantuan sebanyaknya. Juga utusan itu membawa berita bahwa di antara panglima yang membantu Pangeran Anom, terdapat senopati Jokowanengpati yang terkenal pandai mengatur pasukan dan sakti.
Panas sekali hati Wisangjiwo mendengar ini. Hatinya sedang risau karena usahanya mencari Joko Wandiro belum juga berhasil. Kini mendengar tentang Jokowanengpati, ia marah sekali dalam hati. Puteranya hilang adalah karena kebiadaban Jokowanengpati, demikian kata hatinya. Ia lalu menemui Pujo, Kartikosari, Roro Luhito, dan Resi Telomoyo.
"Aku harus berangkat segera ke kota raja," katanya. "Kalau perang antara kedua pangeran telah pecah, berarti perang saudara yang hebat. Pangeran Anom dibantu oleh banyak orang sakti seperti Cekel Aksomolo, Ni Durgogini, Ni Nogogini, Ki Warok Gendroyono, Ki Warok Krendoyakso dan anak buahnya yang buas. Juga Jokowanengpati si keparat merupakan tangan kanan Pangeran Anom. Oleh karena itu, kalau saja kalian bertiga, juga paman Resi Telomoyo suka, saya minta dengan hormat agar supaya ikut pula ke kota raja. Membantu Pangeran Sepuh berarti membantu keturunan Mataram. Pangeran Sepuh adalah putera Sang Dewi Sekarkedaton, cucu mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa, berdarah Mataram asli. Akan tetapi Pangeran Anom adalah pangeran yang berdarah keturunan Sriwijaya! Bukan tidak mungkin kalau Pangeran Anom yang menguasai Kahuripan, kelak kita semua akan menjadi orang jajahan Sriwijaya. Andai kata andika sekalian tidak tertarik akan hal ini, juga dengan membantu Pangeran Tua berarti menentang Pangeran Muda yang mempergunakan tenaga orang-orang jahat, berarti kita telah melakukan dharma satria membasmi kejahatan."
"Kakangmas Wisangjiwo. Hal-hal lain tidak menarik hati kami bertiga, akan tetapi dengan adanya si keparat Jokowanengpati di sana, kami bertiga tentu saja akan berangkat pula ke sana. Kalau dia membantu Pangeran Anom, dengan sendirinya kami akan membantu lawannya, yaitu Gusti Pangeran Sepuh," kata Pujo dan kedua orang isterinya mengangguk-angguk tanda setuju.
"Bagaimana dengan paman Resi Telomoyo?" Wisangjiwo bertanya penuh harapan, matanya menyinarkan kegirangan karena Pujo bertiga ikut pula membantu Pangeran Sepuh. Tenaga tiga orang ini amat hebat dan berguna dalam perlawanan menghadapi orang-orang sakti yang membantu Pangeran Anom.
"Hemmm, aku sudah tua, raden. Aku tidak suka akan perang bunuh membunuh antara manusia memperebutkan kemenangan. aku tidak butuh kemewahan, tidak pula butuh pahala. Akan tetapi, kalau pertapa-pertapa seperti Cekel Aksomolo dan yang lain-lain itu meninggalkan pertapaan mengejar keduniaan mengandalkan kesaktian, tentu keadaan akan menjadi miring dan berat sebelah. Terpaksa aku pun harus turun tangan menghalangi mereka. Mari kita berangkat!"
Girang hati Wisangjiwo mendengar ini dan ia tertawa melihat kakek itu menjadi bersemangat dan tergesa-gesa. "Harap paman resi bersabar karena saya masih menanti kembalinya pasukan yang saya utus pergi menjemput isteri saya di dusun Selogiri."
"Hahh? Selogiri di lereng timur Gunung Lawu?" Resi Telomoyo bertanya.
"Betul, paman." Wisangjiwo menarik napas panjang penuh penyesalan. "Semua gara-gara Jokowanengpati..." ia melirik ke arah Pujo. "Saya tertipu muslihatnya, mempercaya mulutnya. Karena kehilangan Joko Wandiro isteri saya Listyokumolo seperti berubah ingatannya. Saya... saya tadinya menyangka buruk terhadap adimas Pujo sehingga saya pulangkan isteri saya itu kepada ayahnya, lurah Selogiri. Saya menyesal, paman, dan sekarang saya menyuruh pasukan menjemputnya, akan saya ajak bersama ke kota raja. Kasihan isteri saya..." Wisangjiwo termenung.
"Ahh, saya mengaku salah alamat, saya telah menjadi seekor binatang buas, merampas puteramu sehingga membuat isterimu menjadi berduka "
"Sudahlah, dimas. Semua telah terjadi dan semua mempunyai kesalahan. Tinggal sekarang kita merubah segala kesalahan yang lalu. Mudah-mudahan saja nimas Listyokumolo sudah sembuh dan suka mengampunkan aku." Dua hari kemudian datanglah pasukan yang ditunggu-tunggu.
Wajah Wisangjiwo menjadi muram karena tidak melihat isterinya bersama mereka. Apalagi setelah ia mendengar laporan kepala pasukan, ia menjadi berduka sekali. Kiranya, menurut hasil penyelidikan pasukan itu, tidak lama semenjak Listyokumolo pulang ke dusun Selogiri, dusun itu dilanda malapetaka. Sekelompok perampok menyerbu Selogiri. Biarpun lurah Selogiri, ayah Listyokumolo, bersama para penduduk melakukan perlawanan, namun tidak kuat mereka menghadapi para perampok. Lurah Selogiri tewas, banyak penduduk laki-laki yang tidak sempat melarikan diri dibunuh, dusun dibakar dan banyak wanita terculik. Di antaranya, Listyokumolo dibawa lari oleh kepala rampok! Melihat kakaknya berwajah pucat dan menjambak-jambak rambut penuh penyesalan, Roro Luhito memegang pundak kakaknya sambil menangis.
"Kasihan nasib kangmbok Listyokumolo..."
Wisangjiwo menghela napas dan menengadahkan kepalanya. "Duh Dewata Yang Agung, inikah hukumanku? Biarlah, Luhito, biar impas semua dosaku, karena tiada kejahatan tanpa hukuman dan kalau kuingat akan kelakuanku yang lalu, sungguh belum seberapa hebatnya hukuman ini. Mari, adikku, mari kita berangkat, mari kita mencari si jahanam Jokowanengpati, biang keladi segala peristiwa pahit ini!"
Setelah meninggalkan sepasukan penjaga untuk menjaga Kadipaten Selopenangkep, berangkatlah mereka, Wisangjiwo, Pujo, Kartikosari, Roro Luhito, dan Resi Telomoyo berkuda, diiringkan pasukan yang kesemuanya berkuda. Biarpun wajahnya membayangkan kebesaran semangat dan kegembiraan seorang perajurit yang siap bertempur namun di dalam hatinya, Wisangjiwo menangisi isterinya. Teringat ia sekarang akan segala derita yang dialami Listyokumolo. Betapa dahulu, Listyokumolo gadis dusun yang cantik jelita dan bahagia itu terpaksa menyerah kepadanya dan hidup di dalam Kadipaten Selopenangkep. Betapa Listyokumolo dengan sepenuh jiwanya berusaha menyesuaikan diri, berusaha mencinta suaminya dan betapa Listyokumolo selalu bersabar digoda tingkah laku suaminya yang selalu mengejar-ngejar wanita cantik.
Teringat ia betapa kejam hatinya, tidak kasihan melihat isterinya seperti gila kehilangan putera, tidak menghiburnya malah mengusirnya pulang ke Selogiri! Kalau sekarang ia teringat betapa akan celaka nasib isterinya itu diculik kepala perampok, hatinya terasa ditusuk-tusuk ujung keris berbisa. Ia berjanji di dalam hati bahwa setelah selesai perang dan masih hidup, ia akan menggunakan sisa usianya untuk mencari isterinya, mencari Listyokumolo sampai dapat dan kalau isterinya itu sudah mati, ia akan membalas mereka yang menyakiti isterinya, terutama kepala perampok itu!
Pujo dan Kartikosari sama sekali tidak tahu bahwa pada saat mereka berangkat mengikuti Wisangjiwo bersama Roro Luhito dan Resi Telomoyo menuju ke kota raja, terjadi penyerbuan di Pulau Sempu terhadap Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo. Sama sekali tidak tahu betapa hampir saja Resi Bhargowo tewas oleh pengeroyokan jago-jago utusan Pangeran Anom yang ingin merampas pusaka Mataram. Juga tidak tahu betapa dua orang anak yang mereka cari-cari selama ini berada pula di Pulau Sempu dan dengan adanya penyerbuan menjadi cerai-berai.
Seperti kita ketahui, Endang Patibroto bertemu dengan seorang manusia yang luar biasa saktinya, ialah Dibyo Mamangkoro bekas senopati Kerajaan Wengker. Endang Patibroto kemudian ikut pergi dengan Dibyo Mamangkoro sebagai muridnya, pergi ke sebuah pulau yang pada waktu itu merupakan pulau gawat, penuh dengan iblis bekasakan sehingga terkenal sebagai tempat yang disirik (pantang) orang karena kabarnya orang yang masuk ke pulau itu tentu akan tewas dan tidak dapat keluar kembali. Bahkan para nelayan tidak ada yang berani mendekatkan perahu ke pulau itu di waktu mereka mencari ikan. Pulau itu bukan lain adalah Pulau Nusakambangan!
Dibyo Mamangkoro manusia yang wataknya seperti bukan manusia lagi itu, seorang sakti mandraguna yang sukar dicari tandingannya, tidak mempunyai putera maupun keluarga lain. Semua keluarga terbasmi habis ketika Kerajaan Wengker di mana ia mengabdi hancur dalam perang melawan Kahuripan sehingga ia sendiri melarikan diri dan bersembunyi di Nusakambangan.
Kini melihat Endang Patibroto, ia merasa amat suka. Anak perempuan ini memiliki dasar watak yang liar, ganas dan tidak pernah mau kalah, sebuah watak yang cocok dengan watak Dibyo Mamangkoro. Selain itu, anak ini memiliki tubuh yang amat baik, tulang seorang calon pendekar sakti. Di samping ini semua, Endang Patibroto pandai mengambil hati dan anak ini sendiripun suka berlatih ilmu serta rajin.
Inilah sebabnya mengapa Dibyo Mamangkoro melakukan hal yang selama hidupnya belum pernah ia lakukan, yaitu, mengambil murid dan setiap hari tekun melatihnya dengan rasa kasih sayang yang makin mendalam sehingga Endang Patibroto dianggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri. Kakek yang sakti mandraguna ini mengambil keputusan untuk menurunkan dan mewariskan seluruh kepandaiannya kepada Endang Patibroto…..!
********************
Komentar
Posting Komentar