BADAI LAUT SELATAN : JILID-60
Mula-mula ketika ia dipeluk dari belakang dan diciumi rambutnya, semacam
perasaan aneh yang tak pernah dirasakannya, yang membuat jantungnya
berdebar, melemaskan seluruh tubuhnya dan ia merasa nikmat luar biasa
ketika ia menyandarkan kepalanya di atas dada yang bidang itu. Dada Joko
Wandiro. Dada pria yang oleh ayahnya telah dicalonkan menjadi suaminya!
Akan tetapi, perkembangan selanjutnya makin menjengkelkan hatinya.
Pertandingannya dengan Joko Wandiro, kenyataan bahwa ia tak mampu mengalahkan pemuda itu, menambah kejengkelan dan penasaran hatinya. Kemudian melihat betapa Ki Jatoko si buntung itu merobohkan Joko Wandiro secara curang, semua ini membuat Endang Patibroto uring-uringan dan marah-marah. Ingin ia menumpahkan kemarahannya itu, akan tetapi kepada siapa? Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi dan tampaklah belasan orang penunggang kuda. Endang Patibroto hendak pergi, akan tetapi terdengar teriakan yang sudah dikenalnya,
"Endang...! Endang Patibroto...!"
Itulah suara Pangeran Panjirawit! Endang Patibroto ragu-ragu, kemudian mengambil keputusan untuk menanti dan mendengarkan Apa yang hendak dikatakan pangeran yang menjadi sahabat baiknya itu. Kalau ia sudah tak terpakai lagi di Jenggala, mau Apa Pangeran Panjirawit menyusulnya? Ia tidak akan mudah dibujuk dengan kata-kata halus, biar oleh Pangeran Panjirawit sekali pun!
Benar dugaannya. Yang datang adalah Pangeran Panjirawit bersama empat orang pangeran lain dan para pengawal. Begitu melompat turun dari atas kuda, Pangeran Panjirawit lari menghampiri Endang Patibroto dan memegang tangannya.
"Endang, kenapa engkau pergi? Engkau harus menolong kami, harus menolong kanjeng rama!" kata Pangeran Panjirawit dengan napas terengah-engah. Juga empat orang pangeran yang lain maju pula membujuk. Endang Patibroto tersenyum mengejek dan pandang matanya dingin menyapu para pangeran itu.
"Hemm," katanya kemudian dengan suara dingin, "aku sudah tidak diperlukan lagi, mengapa paduka sekalian menyusul? Kalau ada urusan penting, bukankah di sana sudah ada dua orang wanita sakti yaitu Ni Durgogini dan Ni Nogogini? Sang prabu sama sekali tidak lagi membutuhkan bantuanku!"
"Ah, Endang, engkau sama sekali tidak tahu! Jangan kau menduga yang tidak-tidak terhadap kanjeng rama. Beliau sama sekali bukan tidak menghargai atau membutuhkan bantuanmu lagi. Bahkan sebaliknya, saat ini beliau dan kami semua amat membutuhkan bantuanmu."
"Hemm, ada perkara apakah, Gusti Pangeran Panjirawit?"
"Endang, menurut hasil para ponggawa setia yang melakukan penyelidikan, ternyata orang-orang sakti yang katanya membantu kanjeng rama, termasuk Ni Durgogini, Ni Nogogini, Cekel Aksomolo, Warok Gendroyono, Ki Krendroyakso, dan sekarang ditambah lagi dengan seorang brahmana tua yang amat sakti bernama Bhagawan Kundolomuko yang katanya adalah ayah dari Ni Durgogini dan Ni Nogogini, mengadakan persekutuan busuk untuk merampas Kerajaan Jenggala!"
Seketika perhatian Endang Patibroto tertarik dan lenyaplah kekeruhan wajahnya.
"Apa maksud paduka? Harap ceritakan yang jelas."
"Mereka itu bersekutu dengan Adipati Jagalmanik yang menjadi raja muda di Nusabarung, sebuah pulau di Laut Selatan. Sekarang Ni Durgogini dan Ni Nogogini telah berhasil mempengaruhi kanjeng rama, hal ini termasuk siasat yang mereka rencanakan. Karena kami tidak berani mengganggu kanjeng rama sedangkan tidak ada senopati atau pengawal yang kiranya dapat menanggulangi kesaktian dua orang wanita iblis itu, maka harap kau suka membantu kami. Masuklah ke taman sari dan tangkaplah Ni Durgogini dan Ni Nogogini, Endang."
"Bagaimana nanti kalau sang prabu marah kepada hamba?" Endang Patibroto meragu.
"Kami yang bertanggung jawab kalau rama prabu marah," kata Pangeran Panjirawit.
"Kanjeng rama sudah lupa segala, tidak pernah bersidang dan tidak pernah mau bertemu dengan siapa pun juga. Kami semua khawatir sekali," kata seorang pangeran lain.
"Baiklah. Hamba akan menghadapi dua orang nenek-nenek iblis itu. Para pengawal lain dan juga paduka sekalian harap jangan turut campur."
Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya berkelebat Endang Patibroto sudah lenyap dari depan mereka, membuat para pangeran dan pengawal, kecuali Pangeran Panjirawit yang merasa bangga, menjadi terlongong keheranan dan hati penuh kagum. Mereka lalu beramai-ramai pulang ke Jenggala.
Sebelum rombongan Pangeran Panjirawit ini tiba di istana Jenggala, pada senja hari itu terjadi peristiwa hebat di dalam taman sari keraton Jenggala. Pada senja hari itu, di taman sari yang indah itu sunyi sekali, sesunyi tanah kuburan. Semenjak Ni Durgogini dan Ni Nogogini berada di dalam keraton, semua pengawal yang menjaga taman sari, juga para emban pelayan, ditiadakan. Taman sari itu sunyi dan penuh dengan getaran hawa yang aneh, akan tetapi bagi sang prabu, agaknya merupakan sebuah taman Indraloka, surga yang penuh keindahan. Ditemani dua orang wanita itu, sang prabu merasa seakan-akan hidup di taman surga dikawani dua orang bidadari kahyangan yang cantik jelita!
Ketika Endang Patibroto menyusup memasuki taman sari mempergunakan aji kesaktiannya sehingga tidak menimbulkan suara dan tidak diketahui oleh tiga orang yang berada di taman sari, gadis ini segera dapat melihat bahwa di dalam taman sari telah terjadi hal-hal yang bukan sewajarnya. Hawa dingin penuh getaran kuat dirasainya dan ia maklum bahwa dua orang wanita iblis itu mempergunakan aji yang dahsyat dan memiliki pengaruh yang amat kuat. Ketika ia mengintai, makin jelaslah dan makin yakinlah hatinya bahwa sang prabu berada di dalam cengkeraman kedua orang iblis betina itu yang mempergunakan aji guna-guna yang memabokkan dan mempesona sang prabu.
Ia melihat betapa sang prabu sedang duduk setengah berbaring di sebuah bangku panjang. Ni Durgogini berlutut dan memijiti kedua kaki sang prabu, sedangkan Ni Nogogini menuangkan minuman keras dan memberi minum sang prabu dengan sikap genit sekali. Dengan gaya memikat ketika memberi minum, ia sengaja merapatkan dadanya pada pipi sang prabu. Juga Ni Durgogini memijat sambil mengusap-usap dan membelai mesra. Sang prabu kelihatan senang dan wajahnya amat pucat, pipinya cekung, sekitar matanya menghitam, dan mata itu sendiri setengah dipejamkan.
"Sayang tidak sejak dahulu kalian melayani aku semanis ini, manis!" kata sang prabu sambil membuang napas lega setelah minum, kemudian merebahkan kepala di atas pangkuan Ni Nogogini!
Endang Patibroto memandang dengan kedua pipi berubah merah. Belum pernah ia menyaksikan orang bermesra-mesraan dan bermain cinta, maka kini jantungnya berdebar dan mukanya merah. Akan tetapi saking herannya ia sejenak tak bergerak seperti arca. Jelas tampak olehnya betapa perubahan besar terjadi pada wajah kedua orang wanita itu. Dahulu mereka cantik molek dan kelihatan masih muda, takkan lebih dari tiga puluh tahun usia mereka.
Akan tetapi sekarang telah menjadi nenek-nenek yang peyot dan keriputan, nenek-nenek yang pantasnya berusia enam puluh tahun! Ia tidak tahu bahwa kedua orang wanita ini kehilangan daya ampuh obat Suket Sungsang setelah terkena pukulan tangan Joko Wandiro. Yang membuat Endang Patibroto terheran-heran adalah sikap sang prabu. Agaknya sang prabu tidak menganggap mereka itu buruk dan tua! Hemm, pasti terkena ilmu guna-guna yang amat kuat, pikir Endang Patibroto.
Dugaan gadis sakti ini memang benar. Kedua orang wanita itu boleh jadi kehilangan daya obat muda Suket Sungsang, namun mereka sama sekali tidak pernah kehilangan aji kesaktian mereka. Setelah mereka dikalahkan Joko Wandiro dan dibikin badar sehingga menjadi tua, mereka lari mencari ayah mereka yang bertapa di hutan Gumuk-mas dekat pantai selatan dari mana Pulau Nusabarung sudah tampak. Ternyata kemudian bahwa ayah mereka, Bhagawan Kundolomuko, telah bersekutu dengan sahabatnya, Sang Adipati Jagalmanik dari Nusabarung untuk menguasai Kerajaan Jenggala yang mereka anggap lemah.
Demikianlah, setelah mengadakan persekutuan dengan para pembantu sakti dari Jenggala dengan perantaraan Ni Durgogini dan Ni Nogogini, kedua orang wanita ini lalu mendekati sang prabu dan menjalankan siasat komplotan mereka, yaitu mempengaruhi sang prabu di Jenggala sehingga jatuh di bawah kekuatan mereka.
Secara kebetulan sekali kepala pengawal yang mereka segani, Endang Patibroto, sedang pergi bersama Pangeran Panjirawit dan Puteri Mayagaluh, maka usaha kedua nenek ini dapat dilaksanakan dengan lancar. Dengan aji pengasihan Guno Asmoro, dengan mudah sang prabu dibuat tak berdaya dan tergila-gila kepada dua orang nenek yang dalam pandangan sang prabu seakan-akan dua orang bidadari cantik jelita itu.
Biarpun keturunan langsung Sang Prabu Airlangga yang sakti mandraguna, namun Raja Jenggala ini sejak mudanya sudah menjadi hamba nafsunya dan bergaul dengan orang-orang yang tidak suci, maka mudah saja terkena pengaruh aji pengasihan yang amat ampuh itu. Ketika melihat betapa Ni Durgogini memeluk pinggang sang prabu sedangkan Ni Nogogini mencium pipinya, Endang Patibroto tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia melompat keluar sambil menepuk kedua tangannya dengan pengerahan Aji Wisangnoio dibarengi pekik sakti Sardulo Bairowo yang amat dahsyat.
Kedua tangannya mengeluarkan suara seperti halilintar menyambar disambung pekiknya yang memekakkan telinga. Hebat bukan main aji kesaktian gadis ini. Mendengar suara yang amat dahsyat itu, seketika sirna pengaruh aji pengasihan Guno Asmoro yang mencengkeram ingatan dan hati sang prabu. Seketika sang prabu menjadi sadar dan memandang dengan mata terbelalak kepada dua orang nenek itu, kemudian ia menjerit dan roboh pingsan di atas bangku!
Ni Durgogini dan Ni Nogogini terkejut setengah mati ketika melihat munculnya Endang Patibroto. Mereka tadinya sudah merasa berhasil dan aman. Setelah sang prabu dikuasai, siapa lagi berani mengganggu? Sama sekali tidak mereka sangka bahwa gadis ini sedemikian beraninya memasuki taman sari tanpa ijin sri baginda! Mereka berdua marah sekali, akan tetapi karena mereka maklum bahwa murid Dibyo Mamangkoro ini sama sekali tidak boleh dibuat main-main, mereka yang cerdik menahan kemarahannya dan mengambil sikap lunak.
"Ah, kiranya adinda kepala pengawal yang datang. Apakah sebabnya adinda mengganggu kami berdua yang sedang menghibur sang prabu?" bertanya Ni Durgogini dengan suara merdu dan halus.
"Ah, adinda sungguh main-main sehingga membuat sang prabu jatuh pingsan," Ni Nogogini juga menegur dengan suara halus.
Endang Patibroto membanting kakinya. Cih, perempuan-perempuan tua bangka tak tahu malu, menyebutnya adinda segala! Mereka itu patut menjadi neneknya! Ia tersenyum mengejek ketika berkata, "Kalian tak usah bersandiwara lagi, karena aku sudah tahu betapa kalian menjadi kaki tangan Adipati Jagalmanik di Nusabarung dan bertugas menguasai sang prabu."
Seketika pucat wajah Ni Durgogini dan Ni Nogogini dan secara tak sadar tangan mereka sudah meraba gagang senjata masing-masing. Namun Ni Durgogini masih bersiasat dan berkata dengan suara penuh bujukan,
"Endang Patibroto, terhadap seorang gadis sakti mandraguna dan cerdik pandai seperti engkau, memang tak perlu lagi kami bersandiwara. Memang Apa yang kaukatakan tadi benar. Akan tetapi, siapa pula orangnya yang sudi menghambakan diri kepada raja yang lemah ini? Kerajaan Jenggala amat lemah dan sudah pasti akan dicaplok Kerajaan Panjalu yang jauh lebih kuat. Kecuali kalau Jenggala berada di bawah pimpinan seorang yang kuat dan pandai seperti Adipati Jagalmanik, barulah dapat menghadapi Panjalu. Endang Patibroto, berpikirlah cerdik dan kiranya gurumu, paman Dibyo Mamangkoro juga akan sependapat dengan kami. Kalau kau membantu Adipati di Nusabarung, kelak engkau tentu akan mendapatkan kemuliaan dan..."
"Cukup! Tutup mulutmu yang beracun! Siapa sudi bersekutu dengan manusia-manusia rendah macam kalian? Saat ini kematian telah menanti kalian, kematian kalian sudah sejak dahulu kuidam-idamkan harus jatuh di tanganku!"
Dua orang wanita itu melompat bangun dan senjata mereka sudah berada di tangan. Ni Durgogini sudah mencabut senjatanya yang dahsyat, yaitu cambuk yang bernama pecut sakti Sarpokenoko. Sedangkan Ni Nogogini juga sudah mencabut keluar cundriknya yang ampuh dan mengeluarkan cahaya berkilat, yaitu cundrik Embun sumilir!
"Babo-babo, keparat Endang Patibroto! Sumbarmu seperti di dunia ini hanya engkau seorang wanita sakti! jangan dikira bahwa kami takut menghadapimu. Hanya karena melihat engkau masih muda dan murid paman Dibyo Mamangkoro maka kami masih bersikap sabar dan mengajakmu bekerja sama. Akan tetapi kalau engkau nekat menantang yuda, jangan mengira kami akan undur setapakpun. Hanya sebelumnya, katakanlah mengapa engkau menghendaki kematian kami di tanganmu."
Senyum yang menghias mulut yang indah bentuknya itu melebar sehingga tampak deretan gigi putih berkilauan. "Ni Durgogini dan Ni Nogogini, coba kalian ingat baik-baik, Apa yang kalian lakukan belasan tahun yang lalu di Pulau Sempu?"
Dua orang nenek itu saling pandang, kemudian Ni Durgogini memandang gadis itu dengan heran. "Di Pulau Sempu? Kami hanya satu kali mengunjungi Pulau Sempu, sebagai utusan sang prabu yang dahulu masih Pangeran Anom. Kami dan rombongan mencari pusaka Mataram yang hilang."
"Bagus kalau kalian masih ingat, kalian takkan mati penasaran. Tentu masih ingat akan perbuatan kalian mengeroyok Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo? Dengarlah, aku adalah cucunya"
"Aiiihhhh...!" Ni Durgogini berteriak.
"Tapi kenapa kau di Jenggala...?"
Ni Nogogini berseru pula, akan tetapi karena kedua orang wanita itu kini maklum bahwa pertandingan mati-matian tak dapat dicegah lagi, mereka berdua sudah menerjang maju sambil menggerakkan senjata masing-masing. Pecut Sarpokenoko di tangan Ni Durgogini menyambar-nyambar dan meledak-ledak di atas kepala Endang Patibroto seperti petir dan mengeluarkan hawa panas sekali, sedangkan cundrik Embun-sumilir di tangan Ni Nogogini berubah menjadi gulungan sinar kemilau yang mengeluarkan hawa dingin.
"Tar-tar-tar-tar...!" Cambuk itu meledak-ledak.
"Wuuut...siuuuutttt...!" Cundrik Embun-sumilir menyambar-nyambar.
Endang Patibroto maklum bahwa kedua orang lawannya ini bukan orang sembarangan sedangkan senjata-senjata mereka pun merupakan pusaka-pusaka ampuh. Namun ia tak mau mencabut Ki Brojol Luwuk. Gurunya yang merasa ngeri melihat keris pusaka Mataram itu berpesan agar dia tak menggunakan pusaka itu kalau tidak terlalu terpaksa dan Endang Patibroto adalah seorang gadis perkasa yang amat percaya kepada diri sendiri. Ia merasa sanggup menghadapi dua orang wanita ini, maka ia menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong. Tubuhnya berkelebat cepat sekali sehingga kadang-kadang ia lenyap dari pandangan kedua orang lawannya. Gadis ini telah mainkan ilmu gerak walet dan camar. Tubuhnya demikian ringan dan gesit sehingga ketika mengelak dan meloncat ke sana ke mari tiada ubahnya seekor burung beterbangan saja.
Sesungguhnya Ni Durgogini dan Ni Nogogini bukanlah wanita biasa saja. Di waktu mereka masih remaja puteri, mereka telah menerima gemblengan ilmu dari ayah mereka yang sakti, yaitu Bhagawan Kundolomuko yang dahulu tinggal di pantai Selat Bali. Biarpun waktu itu mereka hanya mewarisi sebagian kecil ilmu ayahnya, namun mereka sudah termasuk wanita-wanita digdaya. Kemudian, ketika Sang Prabu Airlangga yang ketika itu masih seorang pangeran yang melakukan perantauan dari Bali ke Pulau Jawa, dikawani sahabatnya yang setia Narotama, dua orang pria muda ini bertemulah dengan Ni Durgogini dan Ni Nogogini yang ketika itu masih bernama Ni Lasmini dan Ni Mandari. Terjalinlah cinta kasih antara mereka yang menciptakan janji.
Setelah Sang Prabu Airlangga menjadi raja di Kahuripan dan Narotama menjadi patihnya, kedua orang wanita cantik dari Selat Bali itu dijemput. Ni Mandari menjadi selir Sang Prabu Airlangga, sedangkan Ni Lasmini menjadi selir Ki Patih Narotama. Mereka berdua begitu cantik jelita, begitu pandai memikat hati pria sehingga baik Sang Prabu Airlangga maupun Ki Patih Narotama amat sayang kepada selir dari Selat Bali ini dan berkenan menurunkan beberapa ilmu kesaktian dan petunjuk.
Namun sebagai orang-orang waspada, mereka melihat dasar-dasar watak yang kurang bersih pada diri selir-selir ini maka yang diturunkan hanya sekedarnya saja. Betapa pun juga, tambahan ilmu dari dua orang ini telah membuat Ni Lasmini dan Ni Mandari menjadi wanita-wanita sakti. Setelah dua orang selir itu kemudian diusir karena keduanya tidak setia dan bermain gila dengan pangeran-pangeran muda, Ni Lasmini berganti nama menjadi Ni Durgogini dan bertapa di puncak Girilimut sedangkan Ni Mandari, adiknya, pergi ke pantai selatan dan berganti nama Ni Nogogini. Tentu saja setelah bertapa, ilmu kepandaian mereka makin menjadi hebat. Akan tetapi, selama puluhan tahun ini baru dua kali Ni Durgogini dan Ni Nogogini benar-benar kecelik dan terpukul. Pertama ketika mereka menghadapi Joko Wandiro yang sudah mewarisi ilmu kesaktian Ki Patih Narotama. Ke dua adalah sekarang ini ketika mereka mengeroyok Endang Patibroto yang telah mewarisi ilmu kesaktian Dibyo Mamangkoro.
Biarpun mereka berdua menyerang dengan senjata pusaka di tangan, sedangkan Endang Patibroto menghadapi mereka dengan tangan kosong, namun setelah lewat tiga puluh jurus, kedua orang nenek itu mulai terdesak hebat! Hal ini adalah karena selain menggunakan keringanan tubuhnya yang hebat, yang membuat ia mampu berjalan di atas permukaan air mempergunakan mancung kelapa, juga Endang Patibroto mulai membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh, yaitu Aji Wisangnolo.
Hawa pukulan Aji Wisangnolo ini demikian ampuhnya sehingga kedua orang wanita tua yang mengeroyoknya beberapa kali terdorong mundur kepanasan, bahkan ujung cambuk Sarpokenoko setiap kali bertemu dengan hawa pukulan Wisangnolo membalik dan melecut pemegangnya sendiri! Dua orang wanita itu selain kaget juga makin marah dan penasaran. Biarpun menjadi murid Dibyo Mamangkoro, gadis ini masih amat muda, patut menjadi cucu mereka! Masa mereka yang telah matang dalam pengalaman ini tidak mampu mengalahkannya.
Tiba-tiba Ni Durgogini mengeluarkan pekik melengking nyaring, juga Ni Nogogini menjerit keras, keduanya lalu menerjang dengan nekat sambil mengerahkan tenaga. Ujung cambuk Sarpokenoko berhasil menjerat pangkal lengan kanan Endang Patibroto dengan kuat. Selagi Endang Patibroto membetot lengannya berusaha melepaskan diri, Ni Nogogini sudah menusukkan cundrik Embun sumilir ke arah dada yang membusung itu.
Endang Patibroto tentu saja melihat datangnya cundrik, namun gadis itu hanya tersenyum saja sambil menyalurkan hawa sakti ke arah dada yang tertusuk sedangkan tangan kanannya bergerak ke pinggang kiri. Tangan kanan ini berkelebat dan sinar hitam menyambar ke depan, kemudian secepat kilat ia membiarkan dirinya terbetot cambuk, mendekat Ni Durgogini sambil mengerahkan tenaga melakukan pukulan Wisangnolo ke arah lambung dan lengan kanan Ni Durgogini. Cepat bagaikan kilat menyambar semua gerakan ini, sukar diikuti pandangan mata dan tahu-tahu terdengar jerit dua orang nenek itu, disusul darah menyemprot keluar, tubuh Ni Nogogini terguling dan Ni Durgogini terhuyung ke belakang sedangkan cambuk Sarpokenoko sudah berpindah ke tangan Endang Patibroto.
Apa yang teiah terjadi? Kiranya ketika cundrik Embun sumilir menusuk dada, terdengar suara "desss!" dan yang robek hanya baju Endang Patibroto karena cundrik itu meleset ketika bertemu dengan buah dadanya seolah-olah anggota badan gadis itu terbuat dari pada baja murni! Kemudian tangan Endang yang bergerak tadi telah melepaskan panah tangan yang tak dapat dihindarkan lagi menancap tepat di ulu hati Ni Nogogini. Nenek ini menjerit, cundriknya terlempar dan ia mendekap ulu hatinya yang tidak kelihatan terluka karena panah tangan itu menancap terus sampai lenyap! Hanya semprotan darah dari ulu hati yang menyatakan bahwa nenek itu terpanah secara hebat.
Matanya mendelik dan tubuhnya berkelojotan dalam sekarat! Gerakan selanjutnya dari gadis perkasa yang pangkal lengannya masih terlibat ujung cambuk Sarpokenoko adalah melangkah maju mendekati Ni Durgogini, kemudian langsung mengirim hantaman Wisangnolo. Diserang dari jarak begitu dekat, Ni Durgogini merasa seakan-akan ada gunung api menimpanya, ia tidak kuat menjerit dan melepaskan cambuknya, terhuyung-huyung ke belakang sampai punggungnya menabrak batang pohon. Dengan mata terbelalak penuh ngeri, Ni Durgogini melihat adiknya berkelojotan, kemudian menjadi ketakutan ketika melihat Endang Patibroto melangkah maju menghampirinya perlahan-lahan dengan mata dingin seperti es sedangkan cambuk Sarpokenoko tergoyang-goyang dan bergantung di tangannya.
"Tidak...tidak jangan..." kata Ni Durgogini dengan suara serak.
Agaknya melihat nenek itu ketakutan, Endang Patibroto menjadi senang. Bibirnya tersenyum lebar dan tiba-tiba..."tarrrr...!" cambuk itu melejit di udara dan di lain saat ujung cambuk telah membelit leher NI Durgogini seperti lilitan buntut seekor ular.
"Aaaah...aaauuughhh...auukkkk!"
Ni Durgogini mengerahkan tenaga, membetot-betot cambuk itu untuk melepaskan lilitan pada lehernya yang makin mencekik, membuat ia tak dapat bernapas. Namun sia-sia usahanya, lilitan makin erat dan makin erat sehingga mata nenek itu mendelik, lidahnya terulur keluar, kemudian ia roboh bergulingan, tangan kakinya berkelojotan seperti Ni Nogogini yang juga berkelojotan! Endang Patibroto kini menjadi beringas dan buas pandang matanya. Menyaksikan kedua orang musuhnya berkelojotan, senyum puas menghias bibirnya dan matanya mengeluarkan sinar seperti mata iblis. Kemudian ia mengerahkan tenaga, menarik gagang cambuk Sarpokenoko sekuat tenaga dan..."rrrrtttt!..."leher Ni Durgogini putus, membuat kepalanya terpisah dari tubuhnya!
Sambil tertawa-tawa Endang Patibroto lalu mengangkat gagang cambuk, sekali cambuknya digerakkan ke udara, terdengar suara meledak dan ujung cambuk kini melecut ke bawah, menyambar leher Ni Nogogini yang tubuhnya masih berkelojotan dan sekali sabet saja leher Ni Nogogini juga putus!
Bukan main hebatnya tenaga dan kepandaian Endang Patibroto, dan juga bukan main kejamnya jika menghadapi orang-orang yang dibencinya! Para pangeran dan pengawal yang mengintai dari jauh kini datang berlarian ke dalam taman sari. Mereka menjadi ngeri menyaksikan mayat kedua orang nenek itu. Pangeran Panjirawit yang bijaksana cepat-cepat memberi perintah kepada para pengawal untuk membawa pergi kedua mayat nenek itu dan dia sendiri bersama para pangeran lain lalu beramai-ramai menggotong tubuh sang prabu yang masih pingsan ke dalam keraton.
Ketika sang prabu sadar dari pingsannya, ia seperti orang yang baru bangun dari mimpi buruk. Dengan sabar dan hati-hati Pangeran Panjirawit lalu menceritakan tentang persekutuan itu, kemudian tentang usaha Ni Durgogini dan Ni Nogogini untuk mempengaruhi dan menguasai sang prabu.
"Sungguh mujur bahwa Endang Patibroto datang menolong kanjeng rama dan membunuh dua orang siluman betina itu."
Pangeran Panjirawit menutup ceritanya. Mendengar penuturan ini, sang prabu menjadi marah sekali. Ia segera memerintahkan para senopatinya untuk memimpin pasukan dan menggempur Nusabarung!
"Sebelum mereka turun tangan menyerbu, kita mendahului mereka menerjang ke sana dan membasmi Nusabarung!" teriak sang prabu yang selain marah juga merasa malu akan kelemahannya sendiri sehingga hampir saja mencelakakan kerajaannya.
Kemudian sang prabu memanggil Endang Patibroto dating menghadap, dan setelah memberi kata-kata pujian dan memberi hadiah emas permata, sang prabu minta agar gadis perkasa ini menyertai pasukan yang menyerbu ke Nusabarung untuk menghadapi pimpinan musuh yang memiliki kesaktian…..
********************
Jarum hitam yang menjadi senjata rahasia Ki Jatoko ampuh dan amat berbahaya. Jarum-jarum ini sengaja dibuat oleh Ki Jatoko dengan batang berlubang sehingga ketika ia merendamnya dengan racun ular racun itu memasuki lubang dan mengering di situ. Begitu jarum itu menancap di tubuh lawan, racun yang mengering ini terkena darah lalu ikut keluar dan meracuni darah dalam tubuh. Karena racun di setiap jarum itu banyak sekali, maka sebatang jarum kalau mengenai tubuh orang sama bahayanya dengan gigitan tiga ekor ular berbisa! Gigitan seekor ular berbisa saja sudah cukup untuk merenggut nyawa orang, apalagi tiga ekor!
Joko Wandiro telah terluka oleh sebatang jarum Ki Jatoko. Tepat di lehernya! Kalau bukan Joko Wandiro, tentu seketika akan tewas karena darahnya telah keracunan dan letaknya dekat kepala. Akan tetapi aneh sekali, mengapa ketika Endang Patibroto memeriksanya, pemuda ini tidak tewas, hanya pingsan? Betapa pun saktinya pemuda itu, dalam keadaan pingsan tentu ia tidak dapat mengeluarkan kesaktiannya untuk melindungi tubuh dari serangan racun. Bukan, bukan kesaktiannya yang membuat pemuda ini belum tewas. Melainkan darahnya sendiri.
Pemuda ini ketika dahulu berada di Pulau Sempu, setelah menyimpan patung kencana di atas pohon randu alas, telah digigit seekor ular yang sangat beracun. Dalam takut dan nyeri, ia berlari dan balas menggigit leher ular sambil menghisap darah ular sampai habis. Inilah yang membuat darah pemuda itu mengandung racun ular itu dan memberinya daya untuk menahan racun-racun ular sehingga biarpun kini ia terluka dan terkena racun, namun keadaannya tidak separah orang biasa. Racun itu tidak dapat bergerak cepat, tertahan di sekitar luka oleh racun darahnya sendiri yang kini bahkan menjadi semacam obat penawar atau penolak. Betapa pun juga, keadaannya bukan tidak berbahaya karena daya tolak itu hanya memperlambat saja menjalarnya racun dari jarum Ki Jatoko.
Joko Wandiro menggeletak pingsan di lereng Bukit Anjasmoro sampai malam tiba dan untung baginya bahwa pada saat ia pingsan itu tidak ada binatang buas yang mengetahui atau kebetulan lewat. Dalam keadaan seperti itu kalau ada seekor harimau menerkamnya, tentu ia akan mati konyol. Memang ada saja sebab atau jalan penyelamatan nyawa seseorang apabila Hyang Maha Wiscsa belum menghendaki kematian orang itu. Menjelang malam, secara tiba-tiba muncul enam bayangan orang.
Bayangan-bayangan ini amat cepat gerak-geriknya. Ada yang meloncat keluar dari balik rumpun alang-alang, ada yang melayang turun dari atas pohon. Mereka itu bertubuh langsing dan berambut panjang. Mereka semua adalah wanita-wanita muda yang amat cekatan. Akan tetapi anehnya, gadis-gadis yang berusia antara lima belas sampai dua puluh tahun ini hampir bertelanjang bulat. Hanya daun-daun dari kembang-kembang menutupi sebagian tubuh mereka.
Sebagai wanita-wanita muda belia, tentu saja wajah mereka cantik-cantik, akan tetapi kecantikan yang liar, buas, dan tidak terkekang sama sekali. Agaknya mereka ini tidak mengenal peraturan dan tata susila umum. Sampai lama mereka mengelilingi Joko Wandiro. Ada yang meraba-raba, dan ada yang menjambak rambutnya, bahkan ada yang mencium pipinya. Persis perangai serombongan monyet betina! Akan tetapi mereka dapat bicara seperti manusia biasa, sungguhpun bahasa mereka itu kaku.
"Matikah...?"
"Dia tampan...!"
"Dia terluka..."
"Bawa ke kak Dewi!"
"Ya, bawa ke kak Dewi."
Setelah ramai mengutarakan perasaan dengan kata-kata singkat dan kaku, mereka lalu menggotong tubuh Joko Wandiro sambil tertawa cekikikan, lalu berlari-lari membawa pemuda itu ke dalam hutan yang lebat di lereng Gunung Anjasmoro.
Ketika Joko Wandiro membuka matanya, ia menjadi terheran-heran dan mengira bahwa ia sedang bermimpi. Ia telah berbaring di atas sebuah pembaringan bambu bertilam anyaman daun pandan, di dalam sebuah pondok bambu yang sederhana namun bersih. Tubuhnya terasa sehat dan segar, akan tetapi perutnya amat lapar. Yang membuat ia merasa terheran-heran dan mengira dalam mimpi adalah ketika pandang matanya melihat tubuh dua orang gadis cantik duduk bersimpuh di atas lantai.....
Pertandingannya dengan Joko Wandiro, kenyataan bahwa ia tak mampu mengalahkan pemuda itu, menambah kejengkelan dan penasaran hatinya. Kemudian melihat betapa Ki Jatoko si buntung itu merobohkan Joko Wandiro secara curang, semua ini membuat Endang Patibroto uring-uringan dan marah-marah. Ingin ia menumpahkan kemarahannya itu, akan tetapi kepada siapa? Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi dan tampaklah belasan orang penunggang kuda. Endang Patibroto hendak pergi, akan tetapi terdengar teriakan yang sudah dikenalnya,
"Endang...! Endang Patibroto...!"
Itulah suara Pangeran Panjirawit! Endang Patibroto ragu-ragu, kemudian mengambil keputusan untuk menanti dan mendengarkan Apa yang hendak dikatakan pangeran yang menjadi sahabat baiknya itu. Kalau ia sudah tak terpakai lagi di Jenggala, mau Apa Pangeran Panjirawit menyusulnya? Ia tidak akan mudah dibujuk dengan kata-kata halus, biar oleh Pangeran Panjirawit sekali pun!
Benar dugaannya. Yang datang adalah Pangeran Panjirawit bersama empat orang pangeran lain dan para pengawal. Begitu melompat turun dari atas kuda, Pangeran Panjirawit lari menghampiri Endang Patibroto dan memegang tangannya.
"Endang, kenapa engkau pergi? Engkau harus menolong kami, harus menolong kanjeng rama!" kata Pangeran Panjirawit dengan napas terengah-engah. Juga empat orang pangeran yang lain maju pula membujuk. Endang Patibroto tersenyum mengejek dan pandang matanya dingin menyapu para pangeran itu.
"Hemm," katanya kemudian dengan suara dingin, "aku sudah tidak diperlukan lagi, mengapa paduka sekalian menyusul? Kalau ada urusan penting, bukankah di sana sudah ada dua orang wanita sakti yaitu Ni Durgogini dan Ni Nogogini? Sang prabu sama sekali tidak lagi membutuhkan bantuanku!"
"Ah, Endang, engkau sama sekali tidak tahu! Jangan kau menduga yang tidak-tidak terhadap kanjeng rama. Beliau sama sekali bukan tidak menghargai atau membutuhkan bantuanmu lagi. Bahkan sebaliknya, saat ini beliau dan kami semua amat membutuhkan bantuanmu."
"Hemm, ada perkara apakah, Gusti Pangeran Panjirawit?"
"Endang, menurut hasil para ponggawa setia yang melakukan penyelidikan, ternyata orang-orang sakti yang katanya membantu kanjeng rama, termasuk Ni Durgogini, Ni Nogogini, Cekel Aksomolo, Warok Gendroyono, Ki Krendroyakso, dan sekarang ditambah lagi dengan seorang brahmana tua yang amat sakti bernama Bhagawan Kundolomuko yang katanya adalah ayah dari Ni Durgogini dan Ni Nogogini, mengadakan persekutuan busuk untuk merampas Kerajaan Jenggala!"
Seketika perhatian Endang Patibroto tertarik dan lenyaplah kekeruhan wajahnya.
"Apa maksud paduka? Harap ceritakan yang jelas."
"Mereka itu bersekutu dengan Adipati Jagalmanik yang menjadi raja muda di Nusabarung, sebuah pulau di Laut Selatan. Sekarang Ni Durgogini dan Ni Nogogini telah berhasil mempengaruhi kanjeng rama, hal ini termasuk siasat yang mereka rencanakan. Karena kami tidak berani mengganggu kanjeng rama sedangkan tidak ada senopati atau pengawal yang kiranya dapat menanggulangi kesaktian dua orang wanita iblis itu, maka harap kau suka membantu kami. Masuklah ke taman sari dan tangkaplah Ni Durgogini dan Ni Nogogini, Endang."
"Bagaimana nanti kalau sang prabu marah kepada hamba?" Endang Patibroto meragu.
"Kami yang bertanggung jawab kalau rama prabu marah," kata Pangeran Panjirawit.
"Kanjeng rama sudah lupa segala, tidak pernah bersidang dan tidak pernah mau bertemu dengan siapa pun juga. Kami semua khawatir sekali," kata seorang pangeran lain.
"Baiklah. Hamba akan menghadapi dua orang nenek-nenek iblis itu. Para pengawal lain dan juga paduka sekalian harap jangan turut campur."
Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya berkelebat Endang Patibroto sudah lenyap dari depan mereka, membuat para pangeran dan pengawal, kecuali Pangeran Panjirawit yang merasa bangga, menjadi terlongong keheranan dan hati penuh kagum. Mereka lalu beramai-ramai pulang ke Jenggala.
Sebelum rombongan Pangeran Panjirawit ini tiba di istana Jenggala, pada senja hari itu terjadi peristiwa hebat di dalam taman sari keraton Jenggala. Pada senja hari itu, di taman sari yang indah itu sunyi sekali, sesunyi tanah kuburan. Semenjak Ni Durgogini dan Ni Nogogini berada di dalam keraton, semua pengawal yang menjaga taman sari, juga para emban pelayan, ditiadakan. Taman sari itu sunyi dan penuh dengan getaran hawa yang aneh, akan tetapi bagi sang prabu, agaknya merupakan sebuah taman Indraloka, surga yang penuh keindahan. Ditemani dua orang wanita itu, sang prabu merasa seakan-akan hidup di taman surga dikawani dua orang bidadari kahyangan yang cantik jelita!
Ketika Endang Patibroto menyusup memasuki taman sari mempergunakan aji kesaktiannya sehingga tidak menimbulkan suara dan tidak diketahui oleh tiga orang yang berada di taman sari, gadis ini segera dapat melihat bahwa di dalam taman sari telah terjadi hal-hal yang bukan sewajarnya. Hawa dingin penuh getaran kuat dirasainya dan ia maklum bahwa dua orang wanita iblis itu mempergunakan aji yang dahsyat dan memiliki pengaruh yang amat kuat. Ketika ia mengintai, makin jelaslah dan makin yakinlah hatinya bahwa sang prabu berada di dalam cengkeraman kedua orang iblis betina itu yang mempergunakan aji guna-guna yang memabokkan dan mempesona sang prabu.
Ia melihat betapa sang prabu sedang duduk setengah berbaring di sebuah bangku panjang. Ni Durgogini berlutut dan memijiti kedua kaki sang prabu, sedangkan Ni Nogogini menuangkan minuman keras dan memberi minum sang prabu dengan sikap genit sekali. Dengan gaya memikat ketika memberi minum, ia sengaja merapatkan dadanya pada pipi sang prabu. Juga Ni Durgogini memijat sambil mengusap-usap dan membelai mesra. Sang prabu kelihatan senang dan wajahnya amat pucat, pipinya cekung, sekitar matanya menghitam, dan mata itu sendiri setengah dipejamkan.
"Sayang tidak sejak dahulu kalian melayani aku semanis ini, manis!" kata sang prabu sambil membuang napas lega setelah minum, kemudian merebahkan kepala di atas pangkuan Ni Nogogini!
Endang Patibroto memandang dengan kedua pipi berubah merah. Belum pernah ia menyaksikan orang bermesra-mesraan dan bermain cinta, maka kini jantungnya berdebar dan mukanya merah. Akan tetapi saking herannya ia sejenak tak bergerak seperti arca. Jelas tampak olehnya betapa perubahan besar terjadi pada wajah kedua orang wanita itu. Dahulu mereka cantik molek dan kelihatan masih muda, takkan lebih dari tiga puluh tahun usia mereka.
Akan tetapi sekarang telah menjadi nenek-nenek yang peyot dan keriputan, nenek-nenek yang pantasnya berusia enam puluh tahun! Ia tidak tahu bahwa kedua orang wanita ini kehilangan daya ampuh obat Suket Sungsang setelah terkena pukulan tangan Joko Wandiro. Yang membuat Endang Patibroto terheran-heran adalah sikap sang prabu. Agaknya sang prabu tidak menganggap mereka itu buruk dan tua! Hemm, pasti terkena ilmu guna-guna yang amat kuat, pikir Endang Patibroto.
Dugaan gadis sakti ini memang benar. Kedua orang wanita itu boleh jadi kehilangan daya obat muda Suket Sungsang, namun mereka sama sekali tidak pernah kehilangan aji kesaktian mereka. Setelah mereka dikalahkan Joko Wandiro dan dibikin badar sehingga menjadi tua, mereka lari mencari ayah mereka yang bertapa di hutan Gumuk-mas dekat pantai selatan dari mana Pulau Nusabarung sudah tampak. Ternyata kemudian bahwa ayah mereka, Bhagawan Kundolomuko, telah bersekutu dengan sahabatnya, Sang Adipati Jagalmanik dari Nusabarung untuk menguasai Kerajaan Jenggala yang mereka anggap lemah.
Demikianlah, setelah mengadakan persekutuan dengan para pembantu sakti dari Jenggala dengan perantaraan Ni Durgogini dan Ni Nogogini, kedua orang wanita ini lalu mendekati sang prabu dan menjalankan siasat komplotan mereka, yaitu mempengaruhi sang prabu di Jenggala sehingga jatuh di bawah kekuatan mereka.
Secara kebetulan sekali kepala pengawal yang mereka segani, Endang Patibroto, sedang pergi bersama Pangeran Panjirawit dan Puteri Mayagaluh, maka usaha kedua nenek ini dapat dilaksanakan dengan lancar. Dengan aji pengasihan Guno Asmoro, dengan mudah sang prabu dibuat tak berdaya dan tergila-gila kepada dua orang nenek yang dalam pandangan sang prabu seakan-akan dua orang bidadari cantik jelita itu.
Biarpun keturunan langsung Sang Prabu Airlangga yang sakti mandraguna, namun Raja Jenggala ini sejak mudanya sudah menjadi hamba nafsunya dan bergaul dengan orang-orang yang tidak suci, maka mudah saja terkena pengaruh aji pengasihan yang amat ampuh itu. Ketika melihat betapa Ni Durgogini memeluk pinggang sang prabu sedangkan Ni Nogogini mencium pipinya, Endang Patibroto tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia melompat keluar sambil menepuk kedua tangannya dengan pengerahan Aji Wisangnoio dibarengi pekik sakti Sardulo Bairowo yang amat dahsyat.
Kedua tangannya mengeluarkan suara seperti halilintar menyambar disambung pekiknya yang memekakkan telinga. Hebat bukan main aji kesaktian gadis ini. Mendengar suara yang amat dahsyat itu, seketika sirna pengaruh aji pengasihan Guno Asmoro yang mencengkeram ingatan dan hati sang prabu. Seketika sang prabu menjadi sadar dan memandang dengan mata terbelalak kepada dua orang nenek itu, kemudian ia menjerit dan roboh pingsan di atas bangku!
Ni Durgogini dan Ni Nogogini terkejut setengah mati ketika melihat munculnya Endang Patibroto. Mereka tadinya sudah merasa berhasil dan aman. Setelah sang prabu dikuasai, siapa lagi berani mengganggu? Sama sekali tidak mereka sangka bahwa gadis ini sedemikian beraninya memasuki taman sari tanpa ijin sri baginda! Mereka berdua marah sekali, akan tetapi karena mereka maklum bahwa murid Dibyo Mamangkoro ini sama sekali tidak boleh dibuat main-main, mereka yang cerdik menahan kemarahannya dan mengambil sikap lunak.
"Ah, kiranya adinda kepala pengawal yang datang. Apakah sebabnya adinda mengganggu kami berdua yang sedang menghibur sang prabu?" bertanya Ni Durgogini dengan suara merdu dan halus.
"Ah, adinda sungguh main-main sehingga membuat sang prabu jatuh pingsan," Ni Nogogini juga menegur dengan suara halus.
Endang Patibroto membanting kakinya. Cih, perempuan-perempuan tua bangka tak tahu malu, menyebutnya adinda segala! Mereka itu patut menjadi neneknya! Ia tersenyum mengejek ketika berkata, "Kalian tak usah bersandiwara lagi, karena aku sudah tahu betapa kalian menjadi kaki tangan Adipati Jagalmanik di Nusabarung dan bertugas menguasai sang prabu."
Seketika pucat wajah Ni Durgogini dan Ni Nogogini dan secara tak sadar tangan mereka sudah meraba gagang senjata masing-masing. Namun Ni Durgogini masih bersiasat dan berkata dengan suara penuh bujukan,
"Endang Patibroto, terhadap seorang gadis sakti mandraguna dan cerdik pandai seperti engkau, memang tak perlu lagi kami bersandiwara. Memang Apa yang kaukatakan tadi benar. Akan tetapi, siapa pula orangnya yang sudi menghambakan diri kepada raja yang lemah ini? Kerajaan Jenggala amat lemah dan sudah pasti akan dicaplok Kerajaan Panjalu yang jauh lebih kuat. Kecuali kalau Jenggala berada di bawah pimpinan seorang yang kuat dan pandai seperti Adipati Jagalmanik, barulah dapat menghadapi Panjalu. Endang Patibroto, berpikirlah cerdik dan kiranya gurumu, paman Dibyo Mamangkoro juga akan sependapat dengan kami. Kalau kau membantu Adipati di Nusabarung, kelak engkau tentu akan mendapatkan kemuliaan dan..."
"Cukup! Tutup mulutmu yang beracun! Siapa sudi bersekutu dengan manusia-manusia rendah macam kalian? Saat ini kematian telah menanti kalian, kematian kalian sudah sejak dahulu kuidam-idamkan harus jatuh di tanganku!"
Dua orang wanita itu melompat bangun dan senjata mereka sudah berada di tangan. Ni Durgogini sudah mencabut senjatanya yang dahsyat, yaitu cambuk yang bernama pecut sakti Sarpokenoko. Sedangkan Ni Nogogini juga sudah mencabut keluar cundriknya yang ampuh dan mengeluarkan cahaya berkilat, yaitu cundrik Embun sumilir!
"Babo-babo, keparat Endang Patibroto! Sumbarmu seperti di dunia ini hanya engkau seorang wanita sakti! jangan dikira bahwa kami takut menghadapimu. Hanya karena melihat engkau masih muda dan murid paman Dibyo Mamangkoro maka kami masih bersikap sabar dan mengajakmu bekerja sama. Akan tetapi kalau engkau nekat menantang yuda, jangan mengira kami akan undur setapakpun. Hanya sebelumnya, katakanlah mengapa engkau menghendaki kematian kami di tanganmu."
Senyum yang menghias mulut yang indah bentuknya itu melebar sehingga tampak deretan gigi putih berkilauan. "Ni Durgogini dan Ni Nogogini, coba kalian ingat baik-baik, Apa yang kalian lakukan belasan tahun yang lalu di Pulau Sempu?"
Dua orang nenek itu saling pandang, kemudian Ni Durgogini memandang gadis itu dengan heran. "Di Pulau Sempu? Kami hanya satu kali mengunjungi Pulau Sempu, sebagai utusan sang prabu yang dahulu masih Pangeran Anom. Kami dan rombongan mencari pusaka Mataram yang hilang."
"Bagus kalau kalian masih ingat, kalian takkan mati penasaran. Tentu masih ingat akan perbuatan kalian mengeroyok Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo? Dengarlah, aku adalah cucunya"
"Aiiihhhh...!" Ni Durgogini berteriak.
"Tapi kenapa kau di Jenggala...?"
Ni Nogogini berseru pula, akan tetapi karena kedua orang wanita itu kini maklum bahwa pertandingan mati-matian tak dapat dicegah lagi, mereka berdua sudah menerjang maju sambil menggerakkan senjata masing-masing. Pecut Sarpokenoko di tangan Ni Durgogini menyambar-nyambar dan meledak-ledak di atas kepala Endang Patibroto seperti petir dan mengeluarkan hawa panas sekali, sedangkan cundrik Embun-sumilir di tangan Ni Nogogini berubah menjadi gulungan sinar kemilau yang mengeluarkan hawa dingin.
"Tar-tar-tar-tar...!" Cambuk itu meledak-ledak.
"Wuuut...siuuuutttt...!" Cundrik Embun-sumilir menyambar-nyambar.
Endang Patibroto maklum bahwa kedua orang lawannya ini bukan orang sembarangan sedangkan senjata-senjata mereka pun merupakan pusaka-pusaka ampuh. Namun ia tak mau mencabut Ki Brojol Luwuk. Gurunya yang merasa ngeri melihat keris pusaka Mataram itu berpesan agar dia tak menggunakan pusaka itu kalau tidak terlalu terpaksa dan Endang Patibroto adalah seorang gadis perkasa yang amat percaya kepada diri sendiri. Ia merasa sanggup menghadapi dua orang wanita ini, maka ia menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong. Tubuhnya berkelebat cepat sekali sehingga kadang-kadang ia lenyap dari pandangan kedua orang lawannya. Gadis ini telah mainkan ilmu gerak walet dan camar. Tubuhnya demikian ringan dan gesit sehingga ketika mengelak dan meloncat ke sana ke mari tiada ubahnya seekor burung beterbangan saja.
Sesungguhnya Ni Durgogini dan Ni Nogogini bukanlah wanita biasa saja. Di waktu mereka masih remaja puteri, mereka telah menerima gemblengan ilmu dari ayah mereka yang sakti, yaitu Bhagawan Kundolomuko yang dahulu tinggal di pantai Selat Bali. Biarpun waktu itu mereka hanya mewarisi sebagian kecil ilmu ayahnya, namun mereka sudah termasuk wanita-wanita digdaya. Kemudian, ketika Sang Prabu Airlangga yang ketika itu masih seorang pangeran yang melakukan perantauan dari Bali ke Pulau Jawa, dikawani sahabatnya yang setia Narotama, dua orang pria muda ini bertemulah dengan Ni Durgogini dan Ni Nogogini yang ketika itu masih bernama Ni Lasmini dan Ni Mandari. Terjalinlah cinta kasih antara mereka yang menciptakan janji.
Setelah Sang Prabu Airlangga menjadi raja di Kahuripan dan Narotama menjadi patihnya, kedua orang wanita cantik dari Selat Bali itu dijemput. Ni Mandari menjadi selir Sang Prabu Airlangga, sedangkan Ni Lasmini menjadi selir Ki Patih Narotama. Mereka berdua begitu cantik jelita, begitu pandai memikat hati pria sehingga baik Sang Prabu Airlangga maupun Ki Patih Narotama amat sayang kepada selir dari Selat Bali ini dan berkenan menurunkan beberapa ilmu kesaktian dan petunjuk.
Namun sebagai orang-orang waspada, mereka melihat dasar-dasar watak yang kurang bersih pada diri selir-selir ini maka yang diturunkan hanya sekedarnya saja. Betapa pun juga, tambahan ilmu dari dua orang ini telah membuat Ni Lasmini dan Ni Mandari menjadi wanita-wanita sakti. Setelah dua orang selir itu kemudian diusir karena keduanya tidak setia dan bermain gila dengan pangeran-pangeran muda, Ni Lasmini berganti nama menjadi Ni Durgogini dan bertapa di puncak Girilimut sedangkan Ni Mandari, adiknya, pergi ke pantai selatan dan berganti nama Ni Nogogini. Tentu saja setelah bertapa, ilmu kepandaian mereka makin menjadi hebat. Akan tetapi, selama puluhan tahun ini baru dua kali Ni Durgogini dan Ni Nogogini benar-benar kecelik dan terpukul. Pertama ketika mereka menghadapi Joko Wandiro yang sudah mewarisi ilmu kesaktian Ki Patih Narotama. Ke dua adalah sekarang ini ketika mereka mengeroyok Endang Patibroto yang telah mewarisi ilmu kesaktian Dibyo Mamangkoro.
Biarpun mereka berdua menyerang dengan senjata pusaka di tangan, sedangkan Endang Patibroto menghadapi mereka dengan tangan kosong, namun setelah lewat tiga puluh jurus, kedua orang nenek itu mulai terdesak hebat! Hal ini adalah karena selain menggunakan keringanan tubuhnya yang hebat, yang membuat ia mampu berjalan di atas permukaan air mempergunakan mancung kelapa, juga Endang Patibroto mulai membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh, yaitu Aji Wisangnolo.
Hawa pukulan Aji Wisangnolo ini demikian ampuhnya sehingga kedua orang wanita tua yang mengeroyoknya beberapa kali terdorong mundur kepanasan, bahkan ujung cambuk Sarpokenoko setiap kali bertemu dengan hawa pukulan Wisangnolo membalik dan melecut pemegangnya sendiri! Dua orang wanita itu selain kaget juga makin marah dan penasaran. Biarpun menjadi murid Dibyo Mamangkoro, gadis ini masih amat muda, patut menjadi cucu mereka! Masa mereka yang telah matang dalam pengalaman ini tidak mampu mengalahkannya.
Tiba-tiba Ni Durgogini mengeluarkan pekik melengking nyaring, juga Ni Nogogini menjerit keras, keduanya lalu menerjang dengan nekat sambil mengerahkan tenaga. Ujung cambuk Sarpokenoko berhasil menjerat pangkal lengan kanan Endang Patibroto dengan kuat. Selagi Endang Patibroto membetot lengannya berusaha melepaskan diri, Ni Nogogini sudah menusukkan cundrik Embun sumilir ke arah dada yang membusung itu.
Endang Patibroto tentu saja melihat datangnya cundrik, namun gadis itu hanya tersenyum saja sambil menyalurkan hawa sakti ke arah dada yang tertusuk sedangkan tangan kanannya bergerak ke pinggang kiri. Tangan kanan ini berkelebat dan sinar hitam menyambar ke depan, kemudian secepat kilat ia membiarkan dirinya terbetot cambuk, mendekat Ni Durgogini sambil mengerahkan tenaga melakukan pukulan Wisangnolo ke arah lambung dan lengan kanan Ni Durgogini. Cepat bagaikan kilat menyambar semua gerakan ini, sukar diikuti pandangan mata dan tahu-tahu terdengar jerit dua orang nenek itu, disusul darah menyemprot keluar, tubuh Ni Nogogini terguling dan Ni Durgogini terhuyung ke belakang sedangkan cambuk Sarpokenoko sudah berpindah ke tangan Endang Patibroto.
Apa yang teiah terjadi? Kiranya ketika cundrik Embun sumilir menusuk dada, terdengar suara "desss!" dan yang robek hanya baju Endang Patibroto karena cundrik itu meleset ketika bertemu dengan buah dadanya seolah-olah anggota badan gadis itu terbuat dari pada baja murni! Kemudian tangan Endang yang bergerak tadi telah melepaskan panah tangan yang tak dapat dihindarkan lagi menancap tepat di ulu hati Ni Nogogini. Nenek ini menjerit, cundriknya terlempar dan ia mendekap ulu hatinya yang tidak kelihatan terluka karena panah tangan itu menancap terus sampai lenyap! Hanya semprotan darah dari ulu hati yang menyatakan bahwa nenek itu terpanah secara hebat.
Matanya mendelik dan tubuhnya berkelojotan dalam sekarat! Gerakan selanjutnya dari gadis perkasa yang pangkal lengannya masih terlibat ujung cambuk Sarpokenoko adalah melangkah maju mendekati Ni Durgogini, kemudian langsung mengirim hantaman Wisangnolo. Diserang dari jarak begitu dekat, Ni Durgogini merasa seakan-akan ada gunung api menimpanya, ia tidak kuat menjerit dan melepaskan cambuknya, terhuyung-huyung ke belakang sampai punggungnya menabrak batang pohon. Dengan mata terbelalak penuh ngeri, Ni Durgogini melihat adiknya berkelojotan, kemudian menjadi ketakutan ketika melihat Endang Patibroto melangkah maju menghampirinya perlahan-lahan dengan mata dingin seperti es sedangkan cambuk Sarpokenoko tergoyang-goyang dan bergantung di tangannya.
"Tidak...tidak jangan..." kata Ni Durgogini dengan suara serak.
Agaknya melihat nenek itu ketakutan, Endang Patibroto menjadi senang. Bibirnya tersenyum lebar dan tiba-tiba..."tarrrr...!" cambuk itu melejit di udara dan di lain saat ujung cambuk telah membelit leher NI Durgogini seperti lilitan buntut seekor ular.
"Aaaah...aaauuughhh...auukkkk!"
Ni Durgogini mengerahkan tenaga, membetot-betot cambuk itu untuk melepaskan lilitan pada lehernya yang makin mencekik, membuat ia tak dapat bernapas. Namun sia-sia usahanya, lilitan makin erat dan makin erat sehingga mata nenek itu mendelik, lidahnya terulur keluar, kemudian ia roboh bergulingan, tangan kakinya berkelojotan seperti Ni Nogogini yang juga berkelojotan! Endang Patibroto kini menjadi beringas dan buas pandang matanya. Menyaksikan kedua orang musuhnya berkelojotan, senyum puas menghias bibirnya dan matanya mengeluarkan sinar seperti mata iblis. Kemudian ia mengerahkan tenaga, menarik gagang cambuk Sarpokenoko sekuat tenaga dan..."rrrrtttt!..."leher Ni Durgogini putus, membuat kepalanya terpisah dari tubuhnya!
Sambil tertawa-tawa Endang Patibroto lalu mengangkat gagang cambuk, sekali cambuknya digerakkan ke udara, terdengar suara meledak dan ujung cambuk kini melecut ke bawah, menyambar leher Ni Nogogini yang tubuhnya masih berkelojotan dan sekali sabet saja leher Ni Nogogini juga putus!
Bukan main hebatnya tenaga dan kepandaian Endang Patibroto, dan juga bukan main kejamnya jika menghadapi orang-orang yang dibencinya! Para pangeran dan pengawal yang mengintai dari jauh kini datang berlarian ke dalam taman sari. Mereka menjadi ngeri menyaksikan mayat kedua orang nenek itu. Pangeran Panjirawit yang bijaksana cepat-cepat memberi perintah kepada para pengawal untuk membawa pergi kedua mayat nenek itu dan dia sendiri bersama para pangeran lain lalu beramai-ramai menggotong tubuh sang prabu yang masih pingsan ke dalam keraton.
Ketika sang prabu sadar dari pingsannya, ia seperti orang yang baru bangun dari mimpi buruk. Dengan sabar dan hati-hati Pangeran Panjirawit lalu menceritakan tentang persekutuan itu, kemudian tentang usaha Ni Durgogini dan Ni Nogogini untuk mempengaruhi dan menguasai sang prabu.
"Sungguh mujur bahwa Endang Patibroto datang menolong kanjeng rama dan membunuh dua orang siluman betina itu."
Pangeran Panjirawit menutup ceritanya. Mendengar penuturan ini, sang prabu menjadi marah sekali. Ia segera memerintahkan para senopatinya untuk memimpin pasukan dan menggempur Nusabarung!
"Sebelum mereka turun tangan menyerbu, kita mendahului mereka menerjang ke sana dan membasmi Nusabarung!" teriak sang prabu yang selain marah juga merasa malu akan kelemahannya sendiri sehingga hampir saja mencelakakan kerajaannya.
Kemudian sang prabu memanggil Endang Patibroto dating menghadap, dan setelah memberi kata-kata pujian dan memberi hadiah emas permata, sang prabu minta agar gadis perkasa ini menyertai pasukan yang menyerbu ke Nusabarung untuk menghadapi pimpinan musuh yang memiliki kesaktian…..
********************
Jarum hitam yang menjadi senjata rahasia Ki Jatoko ampuh dan amat berbahaya. Jarum-jarum ini sengaja dibuat oleh Ki Jatoko dengan batang berlubang sehingga ketika ia merendamnya dengan racun ular racun itu memasuki lubang dan mengering di situ. Begitu jarum itu menancap di tubuh lawan, racun yang mengering ini terkena darah lalu ikut keluar dan meracuni darah dalam tubuh. Karena racun di setiap jarum itu banyak sekali, maka sebatang jarum kalau mengenai tubuh orang sama bahayanya dengan gigitan tiga ekor ular berbisa! Gigitan seekor ular berbisa saja sudah cukup untuk merenggut nyawa orang, apalagi tiga ekor!
Joko Wandiro telah terluka oleh sebatang jarum Ki Jatoko. Tepat di lehernya! Kalau bukan Joko Wandiro, tentu seketika akan tewas karena darahnya telah keracunan dan letaknya dekat kepala. Akan tetapi aneh sekali, mengapa ketika Endang Patibroto memeriksanya, pemuda ini tidak tewas, hanya pingsan? Betapa pun saktinya pemuda itu, dalam keadaan pingsan tentu ia tidak dapat mengeluarkan kesaktiannya untuk melindungi tubuh dari serangan racun. Bukan, bukan kesaktiannya yang membuat pemuda ini belum tewas. Melainkan darahnya sendiri.
Pemuda ini ketika dahulu berada di Pulau Sempu, setelah menyimpan patung kencana di atas pohon randu alas, telah digigit seekor ular yang sangat beracun. Dalam takut dan nyeri, ia berlari dan balas menggigit leher ular sambil menghisap darah ular sampai habis. Inilah yang membuat darah pemuda itu mengandung racun ular itu dan memberinya daya untuk menahan racun-racun ular sehingga biarpun kini ia terluka dan terkena racun, namun keadaannya tidak separah orang biasa. Racun itu tidak dapat bergerak cepat, tertahan di sekitar luka oleh racun darahnya sendiri yang kini bahkan menjadi semacam obat penawar atau penolak. Betapa pun juga, keadaannya bukan tidak berbahaya karena daya tolak itu hanya memperlambat saja menjalarnya racun dari jarum Ki Jatoko.
Joko Wandiro menggeletak pingsan di lereng Bukit Anjasmoro sampai malam tiba dan untung baginya bahwa pada saat ia pingsan itu tidak ada binatang buas yang mengetahui atau kebetulan lewat. Dalam keadaan seperti itu kalau ada seekor harimau menerkamnya, tentu ia akan mati konyol. Memang ada saja sebab atau jalan penyelamatan nyawa seseorang apabila Hyang Maha Wiscsa belum menghendaki kematian orang itu. Menjelang malam, secara tiba-tiba muncul enam bayangan orang.
Bayangan-bayangan ini amat cepat gerak-geriknya. Ada yang meloncat keluar dari balik rumpun alang-alang, ada yang melayang turun dari atas pohon. Mereka itu bertubuh langsing dan berambut panjang. Mereka semua adalah wanita-wanita muda yang amat cekatan. Akan tetapi anehnya, gadis-gadis yang berusia antara lima belas sampai dua puluh tahun ini hampir bertelanjang bulat. Hanya daun-daun dari kembang-kembang menutupi sebagian tubuh mereka.
Sebagai wanita-wanita muda belia, tentu saja wajah mereka cantik-cantik, akan tetapi kecantikan yang liar, buas, dan tidak terkekang sama sekali. Agaknya mereka ini tidak mengenal peraturan dan tata susila umum. Sampai lama mereka mengelilingi Joko Wandiro. Ada yang meraba-raba, dan ada yang menjambak rambutnya, bahkan ada yang mencium pipinya. Persis perangai serombongan monyet betina! Akan tetapi mereka dapat bicara seperti manusia biasa, sungguhpun bahasa mereka itu kaku.
"Matikah...?"
"Dia tampan...!"
"Dia terluka..."
"Bawa ke kak Dewi!"
"Ya, bawa ke kak Dewi."
Setelah ramai mengutarakan perasaan dengan kata-kata singkat dan kaku, mereka lalu menggotong tubuh Joko Wandiro sambil tertawa cekikikan, lalu berlari-lari membawa pemuda itu ke dalam hutan yang lebat di lereng Gunung Anjasmoro.
Ketika Joko Wandiro membuka matanya, ia menjadi terheran-heran dan mengira bahwa ia sedang bermimpi. Ia telah berbaring di atas sebuah pembaringan bambu bertilam anyaman daun pandan, di dalam sebuah pondok bambu yang sederhana namun bersih. Tubuhnya terasa sehat dan segar, akan tetapi perutnya amat lapar. Yang membuat ia merasa terheran-heran dan mengira dalam mimpi adalah ketika pandang matanya melihat tubuh dua orang gadis cantik duduk bersimpuh di atas lantai.....
Komentar
Posting Komentar