BADAI LAUT SELATAN : JILID-01

Pujo berhenti melangkah dan menengok. Sejenak ia terpesona. Kartikosari telah sebulan lebih menjadi isterinya tapi setiap saat ia masih saja terpesona akan kejelitaan isterinya. Amboi... bisik hatinya kagum.
Di dunia ini tidak mungkin ada keduanya wanita seindah ini bentuk tubuhnya, sekuning halus ini kulitnya, secantik jelita ini wajahnya. Mulai dari ujung rambut yang hitam subur mengandan-andan dengan rambut sinom melingkar-lingkar di depan telinga dan atas dahi, sampai ke tumit kaki yang kemerahan, membuktikan kesempurnaan ciptaan Yang Maha Wenang sebagai anugerah.
Pujo berjongkok di depan isterinya. Ia tersenyum lebar dan wajahnya yang tampan berseri-seri, matanya yang tajam bersinar-sinar. la maklum bahwa telah kumat lagi penyakit isterinya, yaitu penyakit manja yang muncul semenjak mereka menikah. Perjalanan menuju Laut Selatan ini memang tidak mudah, bahkan terlalu sukar bagi manusia biasa, harus mendaki Pegunungan Seribu, naik turun puncak dan jurang, menerjang rumpun duri dan alang-alang. Akan tetapi, isterinya bukanlah wanita biasa, melainkan seorang wanita gemblengan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna, dan telah menerima pelajaran berbagai ilmu olah keperajuritan dan ilmu kesaktian.
Kartikosari adalah puteri tunggal Resi Bargowo yang sakti mandraguna. Tikaman segala keris biasa masih belum dapat menembus kekebalan kulit yang halus menguning itu. Masa sekarang berjalan di atas batu karang saja telapak kakinya menjadi sakit-sakit? Akan tetapi, tentu saja Pujo tidak melahirkan pengertian ini dalam bentuk kata-kata. Terlalu besar kasih sayangnya kepada isterinya sehingga ia jauhi benar sikap dan kata-kata yang akan menyinggung hati kekasih. Dengan penuh perhatian dan mesra ia membersihkan tanah lempung dari telapak kaki isterinya yang halus kemerahan itu, kemudian memijit-mijitnya untuk mengusir rasa lelah.
“Nimas Sari, kasihan sekali kakimu yang mungil. Biarlah kugendong engkau, nimas. Tapi upahnya kauberikan dulu, upah cium...
“lhhh...dasar...! Tiada bosan-bosannya ihh...!”
Pujo merangkul isterinya, dan menciumi kedua pipi yang kemerahan, mengecup keringat yang membasahi kening. Kartikosari memejamkan kedua matanya. Sudah sebulan lebih Pujo menjadi suaminya yang tak kunjung henti mencumbunya mesra, namun masih saja serasa ia terayun di awang-awang (angkasa) tiap kali Pujo mencium dan mencumbunya.
"Kau mustikaku, pujaan hatiku mana bisa bosan, kasih?" Pujo membelai rambut yang agak kusut, mengusapnya kebelakang dan membereskannya. Melihat setangkai bunga mawar merah kecil yang tumbuh liar di dekatnya, ia memetiknya dan menyelipkan bunga itu di antara rambut atas telinga kanan, lalu mencium telinga kanan isterinya yang tampak makin cantik.
"Tunggu saja kalau aku sudah menjadi nenek-nenek dan kau menjadi kakek-kakek, kalau gigi kita sudah ompong dan pipi kita sudah kempot peyot, apakah kau juga masih suka menci...!
Kartikosari malu-malu untuk mengucapkan kata-kata itu, lalu tertawa. Deretan giginya yang putih bersih berbaris rapi di dalam mulut yang merah, di balik sepasang bibir kemerahan yang bergerak-gerak patut, menciptakan kombinasi yang elok. Pujo, tak dapat menahan hatinya dan sekali lagi ia mencium isterinya, pada bibimya. Beberapa saat mereka berdekapan mesra, terbuai kasih sayang yang amat dalam, sampai terasa di tulang sungsum. Burung laut camar yang terbang di angkasa memekik-mekik nyaring, agaknya menyaksikan sepasang manusia yang berasyik-masyuk berkasih mesra di sebelah bawah, mendatangkan rasa iri dan rindu kepada betinanya. Angin laut bertiup lirih, silir dan sejuk menggerakkan rambut halus hitam Kartikosari menyapu-nyapu pipi dan leher suaminya.
“Sudahlah kangmas, dengar itu burung mentertawai kita. Dan lihat hidung dan bibirmu basah oleh keringatku..."
“Keringatmu sedap…"
“Iihhhh! Tunggu kalau aku sudah nenek-nenek kelak,” Kartikosari tertawa.
Dengan halus Pujo menarik tangan isterinya bangkit berdiri. "Sampai kau menjadi nenek-nenek dan aku menjadi kakek-kakek, aku akan tetap mencintamu nimas. Kau akan tetap cantik jelita bagiku, seperti Dewi Suprobo."
“lhhh... sudahlah. Takkan pernah sampai di tempat tujuan kita kalau begini. Kau gendong aku?”
"Tentu! Agar jangan kotor telapak kakimu yang halus bersih oleh lumpur."
Dengan sikap manja Kartikosari lalu-merangkul leher suaminya dari belakang dan ia meloncat duduk di atas punggung Pujo. Suami yang bahagia ini tertawa, lalu melangkah dengan cepat melanjutkan perjalanan, meloncat-loncat dari batu ke batu menuruni tebing yang curam dengan cekatan sekali. Kartikosari merangkul leher suaminya dan meletakkan pipi kanannya di atas bahu yang bidang dan kokoh kuat itu.
Pagi tadi suami isteri muda ini meninggalkan pondok Baymismo, tempat tinggal Resi Bhargowo yang bertapa di Sungapan, yaitu muara Sungai Progo di pantai Laut Selatan. Kartikosari adalah puteri tunggal Resi Bhargowo, adapun Pujo adalah murid pertapa itu. Murid tersayang yang kemudian menjadi mantunya. Dengan demikian, suami isteri ini adalah juga saudara tunggal guru. Di atas gendongan suaminya, Kartikosari merasa aman sentosa dan bangga. Bulu matanya yang lentik melengkung ke atas itu bergerak-gerak ketika matanya meram-melek nyaman. Jari-jari tangannya yang kecil meruncing mempermainkan rambut di atas tengkuk yang keluar dari balik destar suaminya.
"Kangmas" bisiknya manja di dekat telinga kanan.
“Hemm?” jawab Pujo sambil terus meloncat-loncat dengan tangkasnya."
"Apakah kangmas benar-benar mencintaku?"
"Ehh?" Pujo berhenti meloncat.
Mereka berdiri di puncak bukit terakhir. Pemandangan di depan amatlah indahnya, tampak Laut Selatan yang maha luas itu terbentang di depan mata, tanpa batas.
"Mengapa kau bertanya begitu, sayang? Tentu saja aku mencintamu, sepenuh jiwa ragaku!”
Ucapan penuh perasaan ini menyejukkan hati dan mendapat upah sebuah ciuman bibir yang mengecup pangkal telinga kanan.
"Seperti apa besamya cintamu, kangmas?"
Pujo menuding ke arah laut. "Kau lihat laut Selatan itu, nimas. Demikian luas dan besar. Seperti Laut Selatan itulah besarnya cinta kasihku kepadamu.
Kartikosari memandang ke arah laut bebas, lalu cemberut dan merajuk, kentara dari kedua betisnya yang bergerak-gerak tak puas di pinggang Pujo, kepalanya digeleng-gelengkan.
"Ah, tak senang aku Betapa pun besar dan luasnya, laut itu masih selalu berubah, kadang-kadang pasang kadang-kadang surut. Aku tidak suka kalau cintamu kadang-kadang surut pula, kangmas Dan lagi, laut itu terlalu ganas terlalu besar, aku takut akan tenggelam di dalamnya kalau cintamu seganas dan sebesar itu!"
"Ha-ha-ha-hal Kau lucu!, nimas. Eh, tahu aku sekarang hemmm, cintaku kepadamu sebesar kuku hitam!"
"Ihhhhh!"
Tiba-tiba Kartikosari melorot turun dari punggung suaminya dan ketika Pujo membalikkan tubuh, ia melihat isterinya berdiri dengan kedua tangan menolak pinggang, dada yang Sudah membusung itu dibusungkan lagi kepala dikedikkan, sepasang mata yang biasanya lembut bening sejuk mesra itu kini seakan-akan memijarkan bunga api kedua pipinya yang biasanya memerah jambu kini menjadi merah darah.!
"Apa? Cinta kasihmu hanya sekuku hitam? Terlalu! Lebih baik aku mati!" Wanita cantik yang menjadi isteri manja ini membanting-bantingkan kakinya yang bertelapak halus itu, akan tetapi batu terinjak bantingan kakinya menjadi hancur seperti tepung!
Menyaksikan kemarahan isterinya Pujo hanya tersenyum, akan tetapi cepat-cepat berkata, "Nimas pujaan hatiku. Aku tidak main-main ketika aku mengatakan bahwa cinta kasihku kepadamu sebesar kuku hitam. Tahukah engkau, nimas, bahwa biarpun kuku hitam itu kecil-kecil, akan tetapi tak pernah dapat musnah? Pagi dipotong sore tumbuh, sore dibuang pagi muncul. Demikianpun cinta kasihku, nimas, selalu akan tumbuh dan ia.."
"Aku tidak suka! Biarpun akan timbul lagi akan tetapi bisa hilang!"
Pujo mengerutkan keningnya, memutar otak. Wajahnya yang tampan itu tiba-tiba berseri dan ia cepat berkata, "Ah, tahu aku sekarang! Cinta kasihku kepadamu sebesar ujung rambut!"
"Apa? Malah lebih kecil lagi? Kakangmas, apakah kau tega menghina Sari?" Sepasang pelupuk mata itu sudah mulai merah, ibarat langit sudah mulai mendung akan hujan.
"Sama sekali tidak menghina, manis. Apakah yang dapat memusnahkan ujung rambut? Kalau laut akan surut, kuku hitam bisa dipotong, akan tetapi seribu kali orang memangkas rambut, tentu masih selalu akan ada ujungnya. Ujung rambut takkan pernah lenyap, takkan peenah surut selalu ada dan demikianlah cinta kasihku kepadamu!"
"Kalau digunduli?"
"Kepala digunduli pun masih akan ada akar rambutnya dan akar itupun ada ujungnya. Pendeknya, ujung rambut tak kan dapat lenyap, kecuali kalau kulit kepalanya dikupas Akan tetapi siapa mau mengupas kulit kepalanya? Tentu dia akan mampusi!"
Bukan main bahagia rasa hati Pujo melihat wajah isterinya berseri-seri lagi, matanya sejuk dan mesra pandangnya, akan tetapi dua titik air mata seperti mutiara tergenang lalu menggantung di bulu mata. la memeluk dan berbisik risau, "Mengapa menangis sayang?"
Kartikosari juga memeluk suaminya. "Karena bahagia, kakangmas!"
Mereka kembali berdekapan dan berciuman. Mesra! Mesra memang kasih sayang suami isteri muda ini. Kasih sayang pengantin baru. Dunia milik mereka. Surga milik mereka. Lupa akan segala sesuatu. Lupa bahwa mereka tenggelam dalam buaian asmara. sehingga tidak ingat bahwa tiada yang kekal di dunia ini. Cinta kasihpun tidak. Ada cinta ada benci, ada suka ada duka, seperti halnya ada siang tentu ada malam!
"Jangan gendong aku lagi, kangmas. Kasihan kau terlalu lelah. Mari kita lanjutkan perjalanan."
Mereka bergandeng tangan, lalu menuruni puncak bukit menuju ke tebing yang menjulang ke depan, amat curam di atas laut. Berdiri di pinggir tebing ini saja sudah mendatangkan rasa ngerl bagi yang tidak biasa. Bisa membuat tengkuk menebal dan bulu tengkuk meremang. Dari tebing ini memandang ke bawah, tampak ombak laut bercumbu dengan batu-batu karang raksasa, menghantam batu karang menimbulkan suara menggelegar lalu air pecah muncrat ke atas menjadi uap dan mencipta wama pelangi. Sebentar menghilang, disusul ombak berikutnya, terus-menerus begitu, siang malam tiada hentinya sehingga di sepanjang pantai air laut membuih putih. Dinding batu karang yang tinggi itu bentuknya aneh-aneh, berlubang-lubang seperti menjadi perkampungan tempat tinggal para jin dan iblis penghuni laut.
Di atas tebing, Pujo dan Kartikosari berdiri mengagumi pemandangan di bawah kaki mereka. Mereka kagum terpesona oleh keindahan dan kebesaran alam yang maha hebat. Apalagi bagi Kartlkosari yang belum pemah datang ke tempat ini. Tempat tinggal ayahnya terletak di Sungapan, di pantai yang datar dan rendah, tertutup pasir, di mana air Sungai Progo terjun ke laut, kembali kepada sumbernya. Yang mereka datangi ini adalah pantai yang berdinding gunung karang, di sebelah timur. Rambut dan ujung kain Kartikosari berkibar-kibar tertiup angin laut.
"Cancutkan kainmu, nimas. Kita turun ke bawah."
Kartikosari adalah seorang wanita gemblengan, yang tidak gentar menghadapi seekor harimau dengan tangan kosong. Akan tetapi melihat tebing yang curam itu, yang tingginya melebihi tiga puluh batang pohon kelapa, ia bergidik. Menuruni tebing securam itu? Sekali terpeleset dan terbanting ke bawah, tubuh akan melayang-layang dan batu-batu karang runcing tajam akan menyambut tubuh, lalu ombak dahsyat akan menghancur luluhkan tubuh dengan hempasan keras pada batu karang!
"Kau ngeri, nimas? Biarlah kugendong...”
"Tak usah kau gendong, kangmas. Akan tetapi perlukah kita turun?"
Pujo tersenyum. "Tentu saja. Kalau kita tidak turun ke sana, bagaimana kita mampu mendapatkan tiram kencana dan mutiara hijau?"
Kartikosari menarik napas panjang. Di dalam hati ia mengeluh. Mengapa ayahnya merasa begitu yakin bahwasanya kebahagiaan suami isteri hanya akan dapat kekal kalau mereka dapat memiliki mutiara hijau yang berada dalam tiram kencana? Bukankah cinta kasih antara dia dan suaminya dapat menjamin kebahagiaan yang kekal? Namun, ayahnya adalah seorang pertapa yang sidik permana, waspada dan bijaksana. Tak mungkin mereka dapat membantah kehendak orang tua itu.
"Di manakah kita akan mencari benda langka itu?” Kartikosari menjenguk ke bawah, tangan kirinya memegang tangan kanan suaminya karena ia merasa ingeri.
"Kaulihat di sana itu, batu yang menonjol itu, yang atasnya terdapat pohon besar, dibawah itulah letaknya Guha Siluman. di depan Guha Siluman itulah kita harus mencarl, karena. disana terdapat banyak batu-batu kecil dan segala macam jenis tiram, ketam, dan udang terdampar di sana. Akan tetapi, seperti pesan bapa resi, kita harus bersamadhi minta anugerah dewata, karena tanpa anugerah dan wahyu dewata, takkan mungkin kita dapat menemukan tiram kencana disitu."
Kartikosari tersenyum, pipinya menjadi merah sekali.
"Syaratnya untuk samadhi begitu aneh lagi"
"Pujo menarik napas panjang dan menggenggam jari tangan isterinya.
"Tidak saja aneh, nimas Sari, juga amat berat bagiku. Apakah aku akan kuat menahan dalam keadaan begitu bersamamu, hal Ini benar-benar masih kusangsikan. Aku ragu-ragu dan takut kalau-kalau aku akan gagal."
Keduanya saling pandang dan termenung. Kartikosari bertemu pandang dengan suaminya perlahan menundukkan mukanya. Ia maklum betapa berat syarat itu bagi suaminya yang amat mencintanya. Mereka berdua. adalah pengantin baru yang sedang diamuk badai asmara. Betapa mungkin mereka melakukan puja samadhi dengan syarat seperti itu.
"Kangmas Pujo, aku yakin kita bersama akan dapat melawan gelora nafsu yang merupakan godaan dan tantangan terberat. Latihan untuk kita sudah kita lakukan sejak kecil."
"Kau benar, sayang. Kau lihat, di sebelah timur Gua Siluman itu, yang ada batu karang menonjol seperti ikan, nah di sanalah letak Gua Celeng. Di kanan kiri Gua Siluman masih banyak terdapat gua-gua kecil seperti Gua Walet, Guha Kalong dan Guha Leter, dan di sebelah barat itu adalah Dwarawati."
"Wah, kau hafal benar keadaan di bawah sana, kangmas!"
"Dahulu aku sering kali turun ke sana, nimas. Indah bukan main disana, akan tetapi juga Serem dan gawat. Maklumlah, di bawah sana adalah tempat para laskar Laut Selatan bersenang-senang apabila mereka mendarat."
"Ihhh..."
"Kau takut?"
"Tidak, hanya ngeri. Manusia dapat dilawan, akan tetapi bangsa halus begitu.."
"Tak usah khawatir, kasih. Bukankah ada aku di sampingmu? Di samping itu, kita sudah hafal ajaran bapa resi untuk menyelamatkan diri dari gangguan makhluk halus."
"Widada Mantra?"
"Benar, marilah kita turun, nimas. Biarlah aku di depan dan kau berpegang dengan tangan kiriku. Tidak sukar, banyak akar pohon dan batu karang untuk tempat berpegang tangan atau berinjak kaki."
"Turunlah suami isteri muda ini berbimbingan tangan, melalui jalan yang tak patut disebut jalan karena mereka harus bergantung kepada akar-akar pohon dan meloncat kesana ke mari melalui batu karang yang licin dan ada pula yang tajam runcing. Kesukaran jalan yang mereka lalui ini ditambah lagi oleh kengerian kalau mereka menjenguk kebawah kaki di mana tampak kekosongan yang mengerikan dan jauh di sebelah bawah sana tampak batu karang runcing seperti barisan tombak yang siap menerima tubuh mereka kalau mereka terjatuh ke bawah.
Kiranya hanya sebangsa kera saja yang akan mampu melalui jalan turun ini dengan aman. Namun suami isteri Ini adalah orang-orang muda gemblengan yang tidak saja memiliki tubuh yang kuat, juga memiliki batin yang sentausa dan ketabahan besar. Sepuluh menit kemudian mereka telah tiba di bawah, berjalan di atas karang di antara tetumbuhan pandan berduri dan rumput laut. Kini terdengarlah oleh mereka gemuruh bunyi ombak memecah di pantai batu karang susul-menyusul seperti mendidih, diseling bunyi menggelegar di kala ombak besar menghantam karang yang menggetarkan dinding gunung karang di sekelilingnya.
Setelah berada di bawah, tampaklah oleh mereka betapa ombak yang dari atas tadi hanya kelihatan seperti air berkeriput, kini ternyata bahwa ombak itu amatlah dahsyat, dari tengah-tengah laut berlumba-lumba ke pinggir, makin lama makin besar sampai setinggi pohon kelapa, panjang dengan kepala keputihan seperti seekor naga bergulingan, untuk kemudian terhempas di batu karang dan pecah, porak-poranda menimbulkan uap air mengembun.
Tak tampak manusia lain di situ. Memang, tempat seperti ini tak patut didatangi oleh manusia, patutnya berpenghuni sebangsa jin dan iblis bekasakan. Tak mengherankan kiranya apabila di tempat seperti ini muncul makhluk-makhluk yang mengerikan dari dalam laut, makhluk-makhluk yang hanya akan muncul dalam mimpi buruk seorang yang terserang demam panas. Ombak yang tiada hentinya mengganas menggelora itu menimbulkan suasana seram, seakan-akan seperti inilah agaknya neraka jahanam yang siap menelan dan menyiksa roh-roh manusia jahanam.
"Mari, nimas, kita ke sebelah sana, ke Guha Siluman.” Kata Pujo menggandeng tangan. Kartikosari yang merasa dingin.
"Kau kenapa, sayang? Tanganmu dingin sekali!” Pujo membawa telapak tangan isterinya ke depan hidung dan menciuminya, seakan-akan dengan ciuman nya itu ia akan dapat menghangatkan tangan isterinya.
Namun Kartikosari menarik tangannya, wajahnya muram membayangkan kekhawatiran. "Entah, kangmas, aku merasa ngeri, tidak enak rasa hatiku."
"Ah, tidak apa-apa, nimas. Tempat begini indah. Mari kita ke guu!" la menarik tangan isterinya dan pergilah mereka kesebuah guha yang besar, gua yang merupakan sebuah mulut ternganga lebar, bentuknya seperti mulut raksasa dan kebetulan sekali, di atas gua, pada dinding gunung karang, terdapat dua buah batu hitam sehingga merupakan mata sedangkan di atas tumbuh sebuah pohon merupakan rambut raksasa. Dan agaknya kebetulan sekali, batu-batu yang dibentuk oleh tetesan air bergantungan dari atas dan menjungat di lantai, membentuk gigi dan caling yang mengerikan.
Gua Siluman inilah agaknya yang pada masa kini disebut Gua Langsey yang letaknya di sebelah timur atau di sebelah kiri Parangtritis dan sampai kini masih terkenal sebagai gua keramat di mana banyak orang datang untuk bertapa, meminta berkah, atau membayar kaul. Apalagi di dalam bulan Suro, teristimewa tanggal satu dan lima belas Suro, banyak orang dengan nekat melalui jalan yang amat sukar dan berbahaya menuruni tebing tinggi untuk datang bersujud atau bertapa di dalam Gua Langse.
Pujo dan Kartikosari sudah memasuki gua dan waktu itu menjelang senja di dalam gua sudah mulai gelap. Beberapa ekor burung walet beterbangan ke luar masuk gua mengeluarkan bunyi mencicit ramal. Gua itu amat dalam, makin ke dalam makin menurun ke bawah, seram dan gelap sekali. Terdengar bunyi air terjun dari dalam gua, akan tetapi, tidak tampak dari luar.
"Kita bersamadhi di mulut gua sepertl pesan bapa resi nimas Sari. Tiga hari tiga malam. Kemudian ke situlah kita mencari tiram kencana."
Kartikosari sudah duduk di mulut gua. Ia memandang kearah telunjuk suaminya menuding. Benar, di depan gua itu terdapat banyak sekali batu karang kecil, agak sebelah bawah karena memang gua itu tinggi letaknya, ada lima-belas meter dari permukaan laut. Di antara batu-batu itu tampaklah bermacam-macam benda laut kulit-kulit kerang, tiram dan sebangsanya. Airnya jernih bukan main sehingga tampak semua benda di dasamya, tidak dalam, akan tetapi selalu bergerak-gerak naik turun mengikuti datangnya ombak yang memecah pada batu karang besar di sebelah depan, seakan-akan batu karang besar ini menjadi penghalang amukan ombak ke tempat itu.
Kartikosari mengangguk.
"Nah kalau begitu kita mulai. Mari kita menanggalkan pakaian, taruh di sudut sini agar jangan sampai terbawa angin.” Sambil berkata demikian Pujo sudah menanggalkan destarnya dan mulai membuka baju. Tiba-tiba Kartikosari menghampirinya, merangkul terus menciumnya sambil terisak.
"Kangmas hatiku tidak enak kau jangan tinggalkan aku, ya?"
Pujo terpaksa tertawa, sungguhpun ia merasa tidak nyaman hatinya menyaksikan tingkah isterinya. Isterinya biasanya seorang yang tabah, seorang Srikandi tulen, mengapa kini menjadi begini lemah?
"Ah, apakah aku gila? Sampai matipun tak mungkin aku meninggalkanmu hal ini kau tentu sudah yakin, nimas." Ia balas mencium dan membelai rambut kekasihnya. Sampai lama mereka berpelukan, kemudian Pujo melepaskan rangkulan Isterinya sambil berkata dengan senyum.
"Ah... belum apa-apa kita sudah tenggelam lagi. Bagimana aku bisa menahan tiga hari tiga malam kalau begini?"
Kartikosari tertawa juga, lalu menjauhkan diri.
"Kita lihat saja, siapa yang tidak tahan, kau atau aku!” Kemudian Kartikosari memilih tempat di sudut kiri, sedangkan Pujo hanya menurut ke mana isterinya memilih tempat. Ia menghampiri dan suami isteri ini lalu menanggalkan seluruh pakaian Yang menempel di tubuh. Inilah syaratnya menurut petunjuk Resi Bhargowo hanya dengan cara demikian itulah, yaitu dengan duduk samadhi bersama dalam keadaan bertelanjang bulat, sepasang suami isteri akan dapat diterima oleh dewata dan mendapatkan wahyu untuk menemukan mutiara hijau dalam tiram kencana.
Suami Isteri Yang amat taat kepada orang tua. Dan ia kini sudah duduk berhadapan, duduk bersila dengan kedua telapak kaki menghadap ke atas. Mereka memilih sikap masing-masing seenaknya.
Kartikosari seperti biasa merangkap kedua telapak tangan membentuk sembah, menempelkan kedua ibu jari depan hidung dan memejamkan mata, duduk bersila dengan tegak dan lurus. Hebat bukan main! Seperti sebuah patung kencana yang cantik gemilang, patung dewi kahyangan terbuat dari pada kencana sedikitpun tidak ada cacatnya. Adapun Pujo Yang bertubuh tegap dan bidang duduk bersila dengan kedua telapak kaki menghadap ke atas pula, akan tetapi sikap kedua tangannya berbeda yaitu lengan kiri memeluk pusar melingkar ke kanan, lengan kanan memeluk pundak kiri, duduknya juga tegak lurus, matanya setengah terpejam dipusatkan ke puncak hidung. Suami isteri ini mengheningkan Cipta memusatkan panca indera mengerahkan daya cipta kearah satu yakni memohon anugerah dewata untuk memperoleh mutiara hijau.
Baik Kartikosari maupun Pujo adalah dua orang muda Yang sejak kecil sudah biasa bersamadhi. Biasanya sekali duduk bersila mengatur sikap, otomatis pernapasan mereka teratur sesuai dengan latiihan dan dalam waktu sekejap mata saja mereka sudah dapat hening. Akan tetapi kali ini, apalagi Pujo, mengalami siksaan dan godaan yang bukan main beratnya.
Kesadaran bahwa isterinya yang terkasih, isterinya yang cantik jelita isterinya yang memiliki bentuk tubuh menggairahkan tanpa cacat, duduk bersila berselimut rambut di depannya membuatnya sukar sekali memusatkan panca indera. Dengan pengerahan tenaga batinnya ia berusaha sampai berjam-jam sampai lewat tengah malam, namun hasilnya sia-sia. Berkali-kali ia terpaksa membuka mata untuk memandang bayangan isterinya yang duduk bersila di depannya merasakan tiupan halus pemapasan isterinya, menyadari sedalamnya akan kehadiran Kartikosari tak pernah dapat mengusir bau sedap keringat dan rambut isterinya.
Pujo Menjadi kesal hatinya, hampir putus asa dan diam-diam ia mulai mengerjakan pikirannya menyelami mengapa ayah mertuanya Resi Bhargowo yang sakti itu menyuruh mereka menjalani tapa seperti ini. Untuk memperoleh kebahagiaan kekal bersuami isteri, mengapa harus mendapatkan mutiara hijau dalam cara bersamadhi bersama dalam keadaan telanjang bulat seperti ini?
Menjelang pagi, barulah terdapat titik pertemuan dalam alam pikiran Pujo yang ruwet dan terputar-putar. Bukankah semua ini hanya merupakan lambang saja? Merupakan ujian bagi mereka? Ujian bagi kekuatan batin mereka sehingga mereka terlatih dan mendasari cinta kasih suami isteri tidak hanya dengan nafsu birahi, tidak hanya oleh tarikan daya dari kecantikan wajah dan keindahan tubuh belaka.
Karena, suami isteri yang mendasari kasih sayang hanya dengan nafsu berahi, dengan daya tarik badani maka kasih sayang seperti itu akan mudah luntur. Badan yang sudah tua kelak, mana ada daya penariknya lagi? Hal itu sudah disinggung isterinya dalam senda gurau siang tadi. Isterinya berpendapat bahwa kalau mereka sudah menjadi kakek-nenek, suami ini akan luntur cinta kasihnya.
Dan hal ini mungkin saja terjadi kalau cinta kasihnya terhadap Kartikosari hanya berdasar pada keindahan jasmani. Inikah kehendak Resi Bhargowo? Melatih mereka agar dapat mengekang nafsu, agar dapat terbuka alam kesadarannya bahwa yang indah dalam cinta kasih bukan pemuasan nafsu berahi karena keindahan tubuh semata?
Mereka disuruh berlatih menguasai diri, menolak daya tarik masing-masing jangan sampai terseret dan diperbudak hawa nafsu agar mencari dasar kasih sayang yang suci yang lebih mendalam, cinta kasih batin yang tentu saja akan mengekalkan cinta kasih mereka karena apa pun yang terjadi pada tubuh mereka, bahkan andai kata mereka menjadi manusia cacat sekali pun, cinta kasih mereka akan tetap kekal!
Agaknya itulah maksud perintah Resi Bhargowo agar mereka mencari mutiara hijau secara aneh ini. Setelah matahari mulai bersinar, barulah Pujo dapat mengendalikan panca inderanya. la menekan semua lamunan tentang kecantikan isterinya, mengubah kenangan akan isterinya itu lebih mendalam lagi membayangkan isterinya sebagai wanita yang sudah menjadi haknya, yang sudah bersandar kepadanya. Dan menjadi tanggung jawabnya sebagai wanita yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya menjadi kawan hidup selamanya bersama mendidik anak-anak. Sebagai teman hidup senasib sependeritaan, susah sama diderita, suka sama dinikmati. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.
Akhirnya ia terlelap dalam samadhinya, peerapasannya lambat teratur, wajahnya tenang tenteram dan ia berhasil. Deru ombak yang makin membesar sama sekali tidak mengganggu suami isteri yang sedang tekun dalam Samadhi itu. Juga cicit burung walet yang beterbangan keluar dari dalam gua untuk mencari makanan bagi anak-anak mereka, sama sekali tak tampak atau terdengar. Keduanya sudah tenggelam betul-betul dan seakan-akan ada cahaya manter (bersinar) dari ubun-ubun kepala mereka.
Tak tahu mereka bahwa ada anak-anak burung dalam sarang bercicit-cicit merengek-rengek dan menangis kelaparan karena ayah bunda tak pernah pulang semenjak kemarin, karena ayah bunda burung-burung itu telah berpindah kedalam perut elang yang menyambar mereka dan menjadikan mereka santapan anak-anak elang. Mengapa sepasang walet ini demikian buruk nasibnya? Dosa apa gerangan yang telah mereka lakukan?
Tak seorangpun akan dapat menjawabnya Suami isteri itupun tidak pernah tahu bahwa beberapa ekor ikan kecil dilempar ombak ke atas batu karang, berkelojotan berkelepekan disiksa terik sinar matahari, megap-megap menanti maut datang menjemput dalam keadaan tersiksa. Apakah dosa ikan-ikan ini sehingga mereka terhukum sedemikian rupa? Tak ada yang akan dapat menjawab pula.
Banyak sekali hal-hal yang gaib, hal-hal yang tampaknya ganjil, yang tampaknya menurut alam pikiran dan pendapat manusia tidak adil. Yang jahat hidup bahagia, yang baik hidup merana. Inilah rahasia besar yang hanya mampu diselami oleh kesadaran mereka yang tahu akan kuasa tertinggi. Dan apa yang akan menimpa sepasang suami isteri yang tekun bersamadhi itupun berada mutlak di tangan Yang Maha Wenang, tak seorangpun manusia mampu merubahnya!
Hari sudah menjelang senja lagi, ketika udara mendadak menjadi mendung. Awan hitam berkumpul dari atas darat menuju ke atas laut. Geledek menyambar-nyambar diseling kilat berkeredepan. Gemuruh suara halilintar menyaingi gemuruh ombak memecah di batu karang.
Lambat-laun air laut makin tenang dan deburan ombak tidak keras lagi menghantam karang. Seolah-olah air laut dengan ombaknya menyatakan takluk dan kalah terhadap guruh di angkasa, mengakui kekuasaan angkasa, yang dapat merubah keadaan laut. Tak jauh dari Gua Siluman, dekat Gua Leter, di bagian pantai yang datar dan tertutup pasir halus, ombak tak tertahan karang dan selalu mengalir sampai ke pasir.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BADAI LAUT SELATAN (BAGIAN KE-03 SERIAL KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA)