BADAI LAUT SELATAN : JILID-08


"Luhito, gilakah kau?" Adipati Joyowiseso membentak dan gadis itu sadar, lalu menundukkan muka dan berkata perlahan, "Apanya yang hebat? Haiii, para pengawal keroyok dia, bunuh di tempat!"
Akan tetapi kini Pujo sudah bangkit berdiri karena tambang-tambang yang mengikat kaki tangannya sudah terlepas dari kuda. Ia tertawa bergelak melihat para pengawal datang dengan senjata terhunus sehingga para pengawal itu menjadi jerih dan ragu-ragu. Melihat betapa orang hukuman yang amat perkasa itu hendak dikeroyok, para penonton menjadi tegang kembali dan tidak ada suara terdengar.
Maka suara Pujo terdengar jelas, "Ha-ha-ha-ha, Joyowiseso! Siapakah sekarang yang menjadi pengecut besar? Apakah kau lupa bahwa sang prabu di Mataram sendiri pernah membebaskan Ki Warok Gendroyono karena Ki Warok Gendroyono tidak terluka ketika dijatuhi hukum penggal lehernya? Sekali hukuman dilaksanakan, si terhukum telah menjalani hukumannya. Sekarang aku pun sudah menjalani hukuman. Salahkah aku kalau empat ekor kudamu itu lemah kurang makan? Ha-ha-ha, sekarang kau hendak mengerahkan anjing-anjingmu mengeroyokku? Boleh, boleh, aku tidak takut mati, akan tetapi kau akan tetap hidup sebagai seorang pengecut besar, ha-ha!"
Para penonton kembali menjadj gaduh, sebagian besar terpengaruh ole ucapan ini. Jokowanengpati bangkit berdiri mendekati Adipati Joyowiseso dan berbisik, "Paman adipati, tidak baik agaknya kalau dia dikeroyok dan dibunuh."
"Maksud anakmas...?" Joyowiseso memandang tajam.
"Jangan salah sangka, paman. Saya bukan membelanya, akan tetapi ucapan Pujo tadi patut direnungkan. Amat tidak baik bagi nama paman kalau pengeroyokan dilaksanakan. Percayalah kepada saya dan saya akan membereskan persoalan ini. Saya akan membujuknya agar dia suka menerangkan sebab permusuhannya dengan kangmas Wisangjiwo, kemudian, saya akan membunuhnya. Berilah saya waktu sampai malam nanti, paman adipati."
Adipati Joyowiseso mengangguk-angguk dan memberi tanda dengan tangan agar para pengawal dan algojonya mundur. Mereka merasa lega sekali dan mundur teratur. Jokowanengpati dengan gerakan indah dan ringan seperti burung terbang, telah melompat turun dari atas panggung dan berlari-lari menghampiri Pujo. Semua penonton menjadi makin tegang. Wah, tentu akan terjadi pertandingan puncak yang hebat sekarang, pikir mereka. Tentu akan lebih hebat menarik, lebih ramai dari pada keroyokan para pengawal yang tidak seimbang jumlahnya.
Agaknya Pujopun berpendapat bahwa turunnya Jokowanengpati tentu akan berusaha menangkapnya. Maka ia mengerutkan kening, bersiap siaga dan menegur dengan kata-kata dingin, "Kakang Jokowanengpati, malam tadi karena kecuranganmu aku tertawan! Apakah sekarang engkau hendak mengadu nyawa denganku?"
Jokowanengpati mengedipkan matanya lalu mendekat. "Adimas Pujo, kau benar-benar bodoh. Aku sedang menyelidiki adipati, kalau tidak membantunya tentu ia curiga. Mengapa engkau bersikeras hendak melawan? Betapa pun juga, menghadapi begini banyak orang kau tentu akan tewas. Kau mendendam kepada Wisangjiwo, bukan? Nah, mengapa nekat mencari mati sebelum berhasil membalas dendam? Percayalah, aku akan mencari akal. Aku sudah menipu adipati, mari kau pura-pura taat dan takluk kepadaku, kuantar kembali ke tempat tahanan tanpa belenggu. Nanti kuceritakan kepadamu bagaimana kau harus bertindak. Aku bersumpah kepada para dewata, malam ini kau pasti akan bebas dan balas dendammu berhasil!"
"Baik, kakang. Sekali ini aku hendak melihat bagaimana setia kawan adanya kakang Jokowanengpati."
Jokowanengpati lalu merenggut tambang panjang yang masih bergantungan pada kedua tangan dan kaki Pujo. Empat kali ia merenggut dan empat helai tambang yang besar dan kuat itu putus semua! Para penonton menjadi riuh karena memuji penuh kekaguman. Namun mereka kecewa ketika melihat betapa Jokowanengpati menggandeng tangan Pujo, diajak masuk ke halaman kadipaten! Juga Adipati Joyowiseso dan para pengiringnya tanpa bicara apa-apa lagi kembali ke dalam kadipaten. Penonton bubar dan alun-alun itu menjadi sunyi kembali menjelang datangnya malam.
Mereka duduk bersila di dalam kamar tahanan, berhadapan. Dengan suara berbisik-bisik dan singkat, Jokowanengpati menceritakan kepada Pujo bahwa ia hanya berpura-pura bertamu di Kadipaten Selopenangkep. Maksud sebenarnya adalah melakukan tugas rahasia dari Mataram untuk menyelidik, karena didengar berita rahasia bahwa Adipati Joyowiseso mempunyai niat untuk memberontak terhadap Mataram. Pujo hanya mendengarkan acuh tak acuh.
"Karena itulah maka malam tadi aku terpaksa turun tangan menangkapmu, dimas. Urusan tugas yang begini penting tidak boleh dirusak oleh urusan pribadimu. Sekarang ceritakanlah, mengapa kau begini nekat hendak membasmi keluarga Adipati Joyowiseso? Permusuhan apa yang terjadi antara kau dan Wisangjiwo?"
Pujo menunduk, menarik napas panjang. Biar kepada Jokowanengpati sekali pun tak mungkin ia menceritakan aib dan hina yang diderita oleh isterinya, "Wisangjiwo telah... membunuh isteriku..."
"Apa...? Diajeng Kartikosari dibunuh oleh Wisangjiwo? Akan tetapi... diajeng Kartikosari bukan seorang wanita lemah, bagaimana dia bisa..."
"Memang tidak begitu, akan tetapi...yah, pendeknya isteriku mati karena perbuatan Wisangjiwo. Aku datang ke sini hendak mencarinya, karena dia tidak ada, maka aku hendak bunuh ayahnya."
"Aaahh, mengapa begitu, dimas? Mengapa kau kurang sabar menanti? Carilah kesempatan yang lebih baik sampai kau dapat bertemu dengan Wisangjiwo. Atau... andai kata kau hendak membalas kepada keluarganya, seharusnya isteri dan anaknya yang kau cari, bukan ayahnya. Harap kau mengerti bahwa sekali Adipati Joyowiseso terbunuh, maka gagallah usahaku membongkar rahasia pemberontakan ini. Maka kuminta kepadamu sekarang, jangan kau ganggu Adipati Joyowiseso, dan aku akan membantu kau bebas dari sini, bukan itu saja... bahkan kubantu kau menculik isteri dan putera Wisangjiwo!"
Sepasang mata Pujo bersinar-sinar. Mengapa ia tidak ingat akan isteri dan anak Wisangjiwo. Isterinya harus ia culik? Inilah pembalasan yang paling tepat. Dan anaknya sekali. Hah, akan lebih hebat pukulan ini bagi Wisangjiwo, lebih hebat dari pada maut!
"Baiklah, kakang, dan terima kasih atas budimu."
"Mari, dimas, jangan terlambat."
Karena tempat tahanan itu atas permintaan Jokowanengpati dan atas perintah adipati tidak terjaga, maka mudah saja bagi dua orang muda yang berkepandaian tinggi ini untuk melesat keluar. Jokowanengpati yang sudah hafal akan keadaan di dalam kadipaten, membawa Pujo ke kamar Listyokumolo, isteri Wisangjiwo yang tidur bersama Joko Wandiro, puteranya yang baru berusia satu tahun.
Sore-sore Listyokumolo sudah tidur mengeloni puteranya, karena semua peristiwa yang terjadi di kadipaten benar-benar membuat hatinya merasa tidak enak. Sebagai seorang anak lurah yang biasa hidup tenteram di dalam dusun dan dianggap sebagai puteri raja kecil oleh penghuni dusun, Listyokumolo memang tidak begitu kerasan semenjak ia diperisteri Wisangjiwo, tidak kerasan tinggal di kadipaten. Apalagi ia dikawin putera adipati itu atas paksaan orang tuanya, dan watak Wisangjiwo yang suka berfoya-foya dan tidak menghargainya, sering memakinya sebagai perawan dusun, membuat Listyokumolo makin jauh dari pada kebahagiaan rumah tangga. Hanya puteranya, Joko Wandiro yang merupakan hiburan satu-satunya.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang di dalam kamarnya. Listyokumolo terkejut dan mengira bahwa ia bermimpi. Akan tetapi begitu ia bangkit duduk, lehernya serasa ditekan keras-keras dari belakang. Ia hendak berteriak, akan tetapi aneh, seakan-akan ia menjadi gagu karena tidak ada suara keluar dari kerongkongannya. Tubuhnya seketika menjadi lemas dan ia pingsan ketika melihat bahwa ia berada dalam pelukan seorang pemuda ganteng yang bukan lain adalah Pujo, orang yang dihukum perapat sore tadi! Bayangan lain menyambar dari dalam kamar, memondong Joko Wandiro, lalu Pujo bersama Jokowanengpati bayangan ke dua itu, melompat keluar jendela, terus keluar dari dalam kadipaten melalui tembok belakang mempergunakan ilmu kepandaian mereka, pergi tanpa diketahui seorangpun penjaga.
"Nah, di sini saja kita berpisah, dimas. Untung dia pingsan sehingga tidak sempat mengenaliku. Nah, kau bawa dia dan puteranya ini. Setelah mereka ini menjadi tawananmu, tak mungkin Wisangjiwo tidak akan pergi mencarimu."
"Terima kasih, kakang Jokowanengpati. Kau benar-benar seorang yang berhati mulia. Aku tidak akan melupakan kebaikan hatimu," jawab Pujo sambil menerima anak kecil yang masih tidur pulas karena aji sirep yang dikenakan Jokowanengpati kepadanya.
Sambil memondong Joko Wandiro dan memanggul tubuh Listyokumolo, Pujo berlari cepat di tengah malam buta, meninggalkan Selopenangkep. Adapun Jokowanengpati setelah berpisah dengan Pujo, menggunakan ilmunya Bayusakti, tubuhnya berkelebat cepat sekali seperti terbang, kembali ke kadipaten. Wajahnya yang tampan itu tersenyum-senyum, kadang-kadang, ia tertawa sendiri dengan hati girang. Ia merasa yakin sekarang bahwa Pujo tetap menyangka Wisangjiwo yang memperkosa isterinya di dalam gua, tepat seperti rencananya. Biarkanlah mereka bermusuhan, pikirnya.
Memang mudah kalau ia membantu adipati dan membunuh Pujo, akan tetapi di sudut hati kecilnya, pemuda ini merasa jerih terhadap paman gurunya, Resi Bhargowo. Ia tidak mau menempatkan dirinya menjadi musuh Resi Bhargowo, dan memang lebih aman baginya begini. Dia yang makan nangkanya, Wisangjiwo yang berlepotan getahnya! Ha-ha-ha, dengan penculikan anak dan isteri Wisangjiwo, permusuhan mereka akan makin mendalam dan dia akan berada makin jauh dari lingkaran permusuhan, aman dan selamat. Sayang, Kartikosari yang cantik jelita itu telah meninggal dunia. Wanita yang sukar dicari bandingnya di dunia ini, cantik bagai dewi kahyangan, harum bagai bunga mawar yang sedang mekar.
"Sayang kau telah mati..." bisiknya, "tetapi sudah meninggalkan kenang-kenangan manis, hemmm..." Ia meraba tangan kirinya yang telah kehilangan sebuah jari kelingking, tangan kiri yang hanya berjari empat buah saja, kemudian tersenyum dan mempercepat larinya, melompati tembok belakang kadipaten dan menyelinap di dalam gelap bagaikan setan.
Senyum iblis yang menghias mukanya yang tampan itu masih membayang, matanya berkilat-kilat ketika ia mengintai dari jendela sebuah kamar. Kamar Roro Luhito! Pelita kecil di kamar dara itu masih menyala dan Roro Luhito duduk melamun di atas pembaringannya, rambutnya kusut wajahnya lesu, diam tak bergerak seperti sebuah patung. Pintu kamarnya terketuk dari luar, perlahan, namun cukup membuat dara yang sedang melamun itu terkejut.
"Luhito anakku sayang, sudah tidurkah engkau?"
Roro Luhito menarik napas lega, turun dari pembaringan dan dengan langkah malas menghampiri pintu dan membukanya. Ibunya masuk, memandang puterinya sejenak lalu merangkulnya penuh kasih sayang.
"Luhito sayang, mengapa kau belum berganti pakaian, kelihatan lesu dan tidak makan malam! Sakitkah kau, angger?"
"Tidak apa-apa, bunda. Aku hanya merasa aras-arasen (malas) dan ingin mengaso, lain tidak."
"Ah, kalau begitu bunda takkan lama mengganggu, nak." Ia menarik tangan Roro Luhito, diajak duduk di atas pembaringan.
"Aku hanya ingin bertanya kepadamu. Bagaimana kau lihat Raden Jokowanengpati? Dia tampan dan gagah, sakti mandraguna pula, bukan?"
Tak seujung rambutpun dara itu mengenang Jokowanengpati, akan tetapi untuk menghindarkan percakapan lebih panjang, ia hanya mengangguk tanpa menjawab. Ibunya salah sangka, mengira puterinya malu-malu, maka sambil memegang tangannya ia berkata, "Kami, ayahmu dan aku, sudah setuju sekali kalau dia bisa menjadi mantu kami, sayang."
"Apa...?" Roro Luhito benar-benar terkejut dan memandang ibunya dengan mata terbelalak. "Apa... apakah dia datang untuk meminang...?"
Ibunya menggeleng kepala, tersenyum dan bangkit berdiri.
"Belum lagi, nak. Akan tetapi tak lama lagi tentu dia akan meminangmu. Nah, kau legakanlah hatimu dan mengasolah. Akan tetapi, biarpun tidak berani mandi, kau harus tukar pakaian."
Setelah mencium ubun-ubun anaknya, ibu yang bergembira itu keluar dari kamar, menutupkan daun pintu lambat-lambat. Roro Luhito masih termenung, kemudian cepat-cepat ia mengunci daun pintu, lari lagi ke atas pembaringan dan duduk termenung seperti tadi. Berkali-kali ia menarik napas panjang, kemudian dengan gerakan malas ia menanggalkan pakaian untuk ditukar dengan yang baru. Tentu saja ia sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi, semua gerakannya diintai oleh sepasang mata yang bersinar-sinar penuh nafsu!
Mata Jokowanengpati! Baru saja Roro Luhito meniup padam pelita menjelang tengah malam dan naik ke pembaringan, jendela itu terbuka dari luar dan sesosok bayangan dengan sigap melompat masuk, menutup daun jendela lagi dan menghampiri pembaringan.
Roro Luhito terkejut, bergerak hendak loncat turun dari pembaringan, akan tetap sebuah lengan yang kuat merangkul lehernya, dan lain tangan menutup mulutnya dengan gerakan halus, kemudian terdengar bisikan perlahan sekali, "Luhito, aku Pujo... aku tahu... kau suka kepadaku seperti aku mencintamu..."
Gemetar seluruh tubuh Roro Luhito. Memang tak dapat ia sangkal lagi, ia telah jatuh hati kepada Pujo, orang muda yang amat perkasa dan gagah, yang sekaligus telah menarik rasa iba dan cintanya. Akan tetapi ia tadi masih menyedihkan nasib pemuda itu, mengapa kini tahu-tahu muncul dalam kamarnya? Betapa pun ia tertarik kepada pemuda itu, sama sekali ia tidak mengharapkan akan terjadi hal yang begini memalukan.
Maka ia meronta, hendak melawan tanpa berteriak karena tak mau ia mencelakai orang muda itu. Namun, orang muda itu luar biasa kuatnya, terlampau kuat untuknya. Ketika orang muda yang menggagahinya itu kemudian melompat keluar dari jendela dengan kesebatan yang luar biasa, Roro Luhito menangis di atas pembaringan. Mendadak ia terkejut mendengar suara di atas genteng, suara teriakan yang amat nyaring.
"Tangkap penjahat! Siap semua...! Kepung... tangkap Pujo yang melarikan diri...!"
Itulah suara Jokowanengpati. Menggigil tubuh Roro Luhito. Tak kuasa ia turun dari atas pembaringan. Ketika ia menangis tadi, cinta kasihnya terhadap Pujo bercampur rasa benci dan marah. Akan tetapi kini mendengar teriakan Jokowanengpati, tanpa ia sadari timbul rasa cemas dalam hatinya, cemas dan kuatir akan keselamatan Pujo yang selain telah merampas kasihnya, juga merampasi kehormatannya dan sekaligus menimbulkan benci dan marah dalam hatinya.
Ributlah kini di luar kamar. Suara banyak kaki berlari-lari, bahkan terdengar pula suara ayahnya bertanya-tanya. Kembali terdengar Jokowanengpati berseru, "Tadi kulihat dia melompat keluar dari jendela kamar diajeng Roro Luhito. Entah apa yang diperbuatnya! Aku kuatir..."
"Apa? Bagaimana dia bisa lari? Anakmas,. bukankah kau yang berjanji akan..."
"Nanti saja ku ceritakan semua, paman. Lebih baik sekarang paman memeriksa kamar diajeng Roro Luhito, saya kuatir sekali..."
Daun pintu itu terpentang ketika Adipati Joyowiseso melompat masuk. Jokowanengpati dan para pengawal tidak ada yang berani memasuki kamar puteri adipati itu. Adipati Joyowiseso menyalakan pelita, memandang ke arah pembaringan dan matanya terbelalak lebar, kumisnya bergerak-gerak, giginya berkerot saking marahnya. Sekali pandang saja kepada puterinya yang menangis terisak-isak di atas pembaringan, rambutnya yang terurai lepas dan kusut, pakaiannya yang tidak karuan lagi, ia dapat memaklumi persoalannya.
"Luhito! Dia... dia ke sini tadi..?" Ia masih bertanya ragu.
Roro Luhito masih gemetar semua tubuhnya. Tak dapat pula ia menyangkal, maka sambil menutupi mukanya ia hanya dapat mengangguk. Serasa ditusuk keris dada Adipati Joyowiseso. Ia melompat keluar lagi dari kamar anaknya dan berteriak-teriak, "Kejar...! Kejar dan tangkap si jahanam Pujo. Siapa yang dapat menangkapnya akan kuberi hadiah besar. Kejar...!"
Ributlah keadaan di kadipaten, seribut malam kemarin. Semua pengawal mencari-cari ke seluruh tempat dalam kadipaten. Kamar-kamar dimasuki, kamar mandi dan kakus tak terkecuali, bahkan ada yang sudah mengejar keluar kadipaten, seperti mengejar bayangan setan karena mereka tidak tahu ke mana perginya orang yang dikejar. Sementara itu, Jokowanengpati mendekati Adipati Joyowiseso.
"Paman adipati, kulihat Pujo sudah lari keluar kadipaten. Sukar menangkapnya..."
"Anakmas Jokowanengpati! Apa yang kau ucapkan ini? Kau sendiri yang menjaga dia, bagaimana dia bisa lari dan mengapa pula setelah kau melihat dia keluar dari kamar Luhito, tidak kau tangkap dia?"
"Tenanglah, paman, marilah kita masuk dan bicara di dalam."
Mereka masuk dan setelah tidak ada orang lain mendengar, Jokowanengpati berkata, "Saya merasa menyesal sekali, akan tetapi apa dayaku menghadapi paman Resi Bhargowo?"
"Resi Bhargowo? Kau maksudkan...?"
"Paman Resi Bhargowo sendiri yang datang menolong Pujo, paman. Saya sudah mencegah dan terjadi pertandingan mati-matian antara saya dan paman resi, akan tetapi saya kalah dan terpukul pingsan. Ketika saya siuman kembali, saya melihat bayangan Pujo keluar dari kamar diajeng Luhito, akan tetapi tenaga saya belum pulih dan pula, dengan adanya paman Resi Bhargowo, saya merasa tidak berdaya sama sekali. Baik kita laporkan saja ke Mataran dengan tuduhan paman Resi Bhargowo dan Pujo telah memberontak..."
"Tapi... tapi... aduh, anakku Luhi..."
"Paman adipati, saya dapat menduga apa yang telah dilakukan bocah keparat itu. Akan tetapi saya..." sampai di sini suara Jokowanengpati tergetar penuh keharuan, "saya bersedia menutupi aib yang menimpa keluarga paman. Saya bersedia menanggung dan berkorban demi kebahagiaan diajeng Roro Luhito dan demi kehormatan paman adipati."
Adipati Joyowiseso mengangkat muka, lalu menangkap lengan pemuda itu. "Kau... kau maksudkan..."
"Saya bersedia menikah dengan diajeng Roro Luhito, itulah maksud saya, tentu saja kalau paman menyetujui."
"Menyetujui? Tentu saja! Aduh, anakmas... ahh, anak mantuku yang bagus, yang budiman dan arif bijaksana, alangkah besar budi yang kau limpahkan kepada kami..." Adipati Joyowiseso merangkul leher pemuda itu. Dengan muka tunduk Jokowanengpati menyembunyikan senyumnya, senyum kemenangan!
Pada saat itu terdengar jerit-jerit tangis mengagetkan. Adipati Joyowiseso dan Jokowanengpati melompat keluar dan berlari-larian ke arah suara jeritan. Ternyata yang menangis dan menjerit-jerit itu adalah isteri adipati dan para selir, bahkan para pelayan wanita juga menangis. Dengan suara terputus-putus isteri adipati menyampaikan kepada suaminya bahwa Listyokumolo anak mantu mereka, dan juga Joko Wandiro, telah lenyap dari kamarnya tanpa meninggalkan bekas!
"Jahanam Pujo! Akan tiba saatnya aku membekuk batang lehermu!" Jokowanengpati berkata dengan nada marah.
Adipati Joyowiseso menjadi lemas dan orang tua itu menjatuhkan dirinya di atas kursi dengan napas terengah-engah. Tak lama kemudian, selirnya yang tersayang, yaitu ibu Roro Luhito, datang berlari-lari sambil menangis, tanpa bicara sesuatu karena di situ terdapat banyak orang, selir itu menarik tangan suaminya, diseret diajak ke kamar Roro Luhito. Adipati yang sudah maklum akan aib yang menimpa diri puterinya, hanya mengikuti dengan air mata membasahi pipi, sedangkan kumisnya yang biasanya berdiri garang itu kini menggantung terkulai seperti keadaan hatinya.
Sejak saat itu sampai keesokan harinya, yang bergema dari rumah gedung kadipaten itu hanyalah ratap tangis dan tarikan napas panjang, disusul bentakan-bentakan dan maki-makian marah sang adipati ketika menerima laporan bahwa para pengawal tidak berhasil mendapatkan jejak Pujo…..
********************
Betapa pun besar gelora dendam mengamuk di hati Pujo, namun ia masih tidak tega untuk mengganggu anak kecil berusia setahun dalam pondongannya dan masih tidur nyenyak itu. Anak kecil itu masih tidur ketika ia meletakkannya di sudut gua, di atas rumput kering. Akan tetapi tidak sehalus itu ia memperlakukan ibunya. Karena wanita ini adalah isteri Wisangjiwo, maka sebagian dendamnya tertumpah kepada Listyokumolo yang ia dorong sehingga wanita itu jatuh terpelanting di atas lantai gua.
Dengan muka ketakutan Listyokumolo bangkit dan duduk menahan tubuh dengan tangannya. Ia sudah dapat mengeluarkan suara lagi sekarang. Matanya memandang penuh rasa takut dan tubuhnya gemetar, dadanya turun naik, rambutnya sejak tadi terurai lepas. Pujo berdiri memandang perempuan itu dengan hati puas. Seorang wanita muda yang cantik, berkulit kuning bersih yang tampak makin menarik oleh sinar matahari pagi yang menerobos ke dalam gua. Kembennya yang halus berkembang itu seakan-akan tidak kuasa menahan dan menyembunyikan dada yang menonjol dan yang bergerak seperti gelombang itu.
"Mengapa... mengapa kau membawa aku dan anakku kesini? Kalau hendak kau bunuh kami, mengapa kau bawa kami sejauh ini?" Akhirnya Listyokumolo dapat mengeluarkan kata-kata dengan bibir gemetar.
Pujo tertawa bergelak, menimbulkan rasa ngeri. Wajahnya yang tampan itu membayangkan kekejaman yang mengerikan. "Ha-ha-ha-ha! Kau mau tahu? Dengarlah, isteri Wisangjiwo. Aku membawamu ke sini untuk menyiksamu, untuk memperkosamu, menghinamu sehingga kau tidak akan mempunyai muka lagi untuk melihat sinar sang surya! Aku akan membiarkanmu hidup dalam genangan aib, dan aku akan menyiksa lalu membunuh anakmu, anak Wisangjiwo!"
Terbelalak mata yang bening itu, lalu merintih dan menoleh kepada anaknya yang masih tidur pulas di atas rumput kering di sudut guha: Ia mengeluarkan jerit tertahan, bangkit dan hendak menubruk anaknya, akan tetapi sekali menggerakkan kakinya, Pujo menendangnya roboh kembali ke atas tanah, di mana ia menangis terisak-isak.
"Mengapa kau lakukan ini kepada kami? Mengapa? Apa dosaku? Apa dosa anakku?"
"Dosa mu karena kau adalah isteri Wisangjiwo, dan dia adalah anaknya. Kalian harus menebus dosa yang dilakukan Wisangjiwo!"
"Dosa? Dosa apakah?" Wajah yang cantik itu menjadi pucat sekali.
"Hah! Si bedebah Wisangjiwo telah memperkosa isteriku di sini! Ya, di tempat kau sekarang rebah! Di situ! Di depan mataku! Aku harus membalas, memperlakukan engkau seperti yang telah ia lakukan terhadap isteriku!"
Naik sedu-sedan di kerongkongan wanita itu ketika ia bangkit dan duduk. Di antara isaknya ia berkata, "Aku tahu, suamiku memang seorang yang tidak baik. Tak kusangka ia sampai hati melakukan perbuatan laknat dan terkutuk itu. Keji! Keji sekali! Kau hendak membalas perbuatannya atas diriku? Baik, lakukanlah sesuka hatimu, asal engkau suka mengampunkan anakku yang tidak berdosa. Lakukanlah, aku telah siap dan takkan mengeluh. Akan tetapi... kau... ampunkanlah anakku, jangan kau ganggu Joko Wandiro anakku...!"
"Ha-ha-ha-ha! Akan ku perhina engkau, seperti suamimu menghina isteriku. Beginilah yang ia lakukan kepada isteriku!"
Tangan Pujo meraih dan "reeetttt!" robeklah pakaian penutup tubuh yang padat.
"Tidak perlu engkau menggunakan kekerasan. Tanpa kekerasan aku pun akan menurut, takkan melawanmu. Mungkin engkau tidak sejahat Wisangjiwo. Sudah terlalu lama aku menderita batin karena menjadi isterinya, isteri paksaan. Kau bernama Pujo, bukan? Nah, aku siap menanti pernyataan kasihmu, tanpa perlawanan, dengan rela, untuk penebus nyawa anakku dan untuk penebus dosa suamiku." Sambil berkata demikian, Listyokumolo mengembangkan kedua tangannya yang bulat, siap menanti pelukan.
Mendadak wajah Pujo menjadi pucat sekali. Ia mengeluarkan suara gerengan seperti harimau terluka dan tangannya melayang, menampar pipi Listyokumolo sehingga wanita ini kembali terpelanting dan menangis terisak-isak.
"Perempuan rendah! Perempuan tak tahu malu! Engkau menghadapi ancaman perkosaan dengan senyum di bibir dan gairah di mata? Engkau rela dan senang?"
"Hu-huk... apa lagi yang dapat kulakukan? Aku tidak berdaya..."
"Keparat! Di mana kesetiaanmu terhadap suami? Sekeji engkau inikah semua wanita di jagad ini? Begitu mendapat kesempatan, tanpa malu-malu akan menghianati suaminya, menerima perjinaan dengan hati senang? Beginikah...?"
Suara Pujo menjadi parau dan hampir menangis. Pujo bukanlah seorang yang mempunyai watak kejam dan mata keranjang. Wanita yang cantik di depannya ini, yang memiliki tubuh menggairahkan, yang hampir telanjang, sama sekali tidak dapat menggerakkan nafsu berahinya, tidak mendatangkan gairah di hatinya, ia melalukan kekejaman itu terdorong nafsu dendam semata.
Andai kata Listyokumolo melakukan perlawanan, belum tentu ia akan melanjutkan niatnya menggagahi wanita ini. Akan tetapi sikap Listyokumolo yang menyerah, bahkan ada sinar mata gairah penuh pengharapan itu, membuat ia menjadi muak dan seakan-akan jantungnya ditembus keris. Ia teringat akan isterinya. Agaknya begini pula sikap isterinya ketika digagahi Wisangjiwo. Menyerah! Dengan alasan tidak berdaya, namun di sudut hatinya mengalami kesenangan, kepuasan dan kegembiraan seperti perempuan ini! Ia muak! Muak dan marah sekali, makin sakit hati terhadap peristiwa nista di dalam guha ini di malam gelap itu.
"Pujo, terserah hendak kauapakan diriku, aku menurut. Asal jangan engkau ganggu anakku. Malah aku siap sedia ikut denganmu, ke mana pun kaubawa. Aku bersedia melayanimu selamanya, biar aku tidak kembali ke kadipaten. Kau kehilangan isterimu karena Wisangjiwo? Nah, ambillah aku sebagai gantinya dan peliharalah anakku..."
"Tutup mulut!" Pujo membentak dan kini matanya beralih kepada anak itu.
Joko Wandiro yang sudah berusia setahun itu agaknya kaget oleh suara ribut-ribut dan bangun, lalu duduk. Ia menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan.
"Ibu...!" Ia berseru girang ketika melihat ibunya berada di situ.
"Joko... anakku...!" Listyokumolo hendak menghampiri anaknya, akan tetapi Pujo menghardik, "Mundur! Jangan sentuh dia!"
"Pujo... ampuni dia... ah, jangan kauganggu dia, Pujo...!"
"Perempuan rendah! Akan kuapakan dia tak perlu kau ribut-ribut!"
"Jangan...! Pujo, kau lihatlah aku. Lihat, aku siap melakukan semua perintahmu. Kau ambillah aku, aku akan melayanimu dengan senang hati, aku akan mentaati semua perintahmu, memenuhi semua keinginanmu. Pujo, lihatlah, aku cukup cantik, aku dapat membahagiakan hidupmu!"
Seperti seorang gila Listyokumolo merenggut sisa pakaiannya, lalu menghampiri Pujo dan hendak memeluknya. Lenyap semua gairah pada sinar mata Listyokumolo. Kini apa yang ia lakukan adalah dorongan hasrat ingin menyelamatkan anaknya semata. Pengorbanan seorang ibu untuk anaknya, apa pun juga akan ia lakukan untuk keselamatan anaknya. Berbeda dengan tadi karena perasaan suci itu dikotori hasrat hati melayani Pujo yang memang tampan dan sebagian pula untuk membalas suaminya yang sudah terlalu banyak menyakiti hatinya.
Sekarang semua tindakannya bebas dari pada segala macam nafsu, semata-mata untuk memindah kan perhatian dan keinginan Pujo dari anaknya, agar anaknya terbebas dari pada maut yang sudah mengancam. Pujo sengaja diam saja. Bibirnya tersenyum mengejek ketika menyaksikan betapa wanita cantik itu mendekapnya, membelainya dan berusaha menarik perhatiannya. Makin muak perutnya. Bukan muak terhadap wanita ini, melainkan terhadap isterinya!
Pandang matanya seakan-akan sudah kabur. Wajah Listyokumolo sudah berubah menjadi wajah isterinya! Dengan perasaan gemas ia menjambak rambut yang hitam halus dan panjang itu, lalu mendorong tubuh wanita itu sampai terguling. Ia meludah ke arah Listyokumolo, kemudian kembali melirik Joko Wandiro yang mulai menangis. Tak dapat ia membalas dengan cara begini, pikirnya. Tak mungkin ia melakukan perbuatan keji dan rendah itu terhadap wanita ini, sungguhpun semata hanya untuk menyakit kan hati Wisangjiwo.
Ada jalan lain! Anak itu! Tentu hati Wisangjiwo akan hancur sekali kalau puteranya hilang. Lebih hebat lagi, ia akan mendidik bocah ini menjadi seorang gemblengan, kemudian ia akan menggoreskan dalam batin anak itu bahwasanya Wisangjiwo adalah musuh besar yang harus dilawannya dan dibunuhnya! Ha-ha, alangkah manis pembalasan dendam itu!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BADAI LAUT SELATAN (BAGIAN KE-03 SERIAL KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA)