BADAI LAUT SELATAN : JILID-34

Pendeknya seorang nenek yang sudah sangat tua. Rambutnya gimbal riap-riapan, sebagian menutup mukanya. Mukanya yang buruk penuh keriput dengan kulit kering mengelinting seperti tengkorak terbungkus kulit yang terlalu besar. Matanya cekung, seperti berlubang tak berbiji mata, akan tetapi dari dalam dua lubang mata yang hitam itu keluar sinar bagaikan sepasang mata harimau. Hidungnya pesek mulutnya lebar dengan bibir bawah menggantung sehingga tampak mulut yang tak bergigi lagi.
Tubuhnya kurus akan tetapi besar, dengan sepasang lengan kurus yang berujung jari-jari tangan meruncing karena kuku-kukunya dibiarkan memanjang tak terpelihara. Berbeda dengan kedua lengan yang kurus, di dadanya bergantungan sepasang buah dada yang besar dan panjang, begitu panjangnya sampai ujung tetek mendekati pusarnya! Tubuh atas yang bertetek besar panjang ini dibiarkan telanjang saja, akan tetapi perhiasan emas permata memenuhi leher, pergelangan tangan dan jari-jari tangannya! Tubuh bawah tertutup kain beraneka warna.
"Hi-hi-hi-hikk...!"
Nenek mengerikan itu tertawa-tawa, terkekeh-kekeh dan bergerak-gerak di depan Resi Jatinendra yang semenjak tadi tak bergerak-gerak. Semenjak terjadi bermacam keanehan, sampai perang dahsyat antara barisan kelelawar melawan barisan sriti, sampai kini nenek yang sepatutnya disebut wewegombel ini bergerak-gerak di depannya, pendeta itu sama sekali tak bergerak maupun membuka mata.
"Hi-hi-hikk... Airlanggaaaaa... Airlangga...! Tiada guna kau bertapa... hi-hi-hikk! Kahuripan akan menjadi karang abang... anak cucumu akan saling bunuh hi-hik-hik, dan aku akan kenyang minum darah segar mengganyang daging hangat. Hi-hi-hikk...!"
Joko Wandiro bergidik. Ketika sinar mata yang memancar keluar dari sepasang lubang hitam itu bertemu dengan pandang matanya, hampir ia pingsan. Untung ia cepat-cepat menggigit tangkai bunga dan mengerahkan seluruh tenaga mempertahankan diri sehingga ia sadar kembali dan menentang sinar mata itu penuh keberanian.
"Iiih-hi-hih, bocah ini makanan lezat... iihh-hih-hih...!"
Nenek itu memutar ke belakang Sang Resi Jatinendra dan melangkah menghampiri Joko Wandiro! Joko Wandiro adalah seorang anak berdarah satria bertulang pendekar. Tadi ia memang merasa ngeri dan ketakutan menyaksikan pemandangan yang gaib dan tidak wajar ini. Akan tetapi begitu melihat dirinya terancam bahaya, bangkit semangat perlawanan dalam dirinya. Ia telah digembleng sejak kecil bagaimana harus membela diri dari pada ancaman bahaya.
Melihat nenek itu menghampirinya dengan sikap mengancam dan menjijikkan, ia mengerahkan seluruh tenaga batin untuk menekan semua perasaan takut dan ngeri, kemudian sekali ia mengeluarkan seruan nyaring, tubuhnya sudah meloncat ke depan dan menyambut nenek itu dengan sebuah pukulan Aji Pethit Nogo!
"Werrr... werrr... werrr...!"
Hebat bukan main pukulan ini, biarpun hanya dilakukan oleh seorang pemuda tanggung. Pukulan dengan jari-jari terbuka itu mendatangkan angin pukulan keras sehingga mengeluarkan Suara. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati Joko Wandlro ketika tiga kali pukulannya secara bertubi-tubi itu, yang mengenai sasaran tepat ternyata menembus tubuh si nenek seakan-akan menembus bayangan saja.
Nenek itu tidak berbadan seperti manusia agaknya. Akan tetapi ketika sambil terkekeh nenek itu menggerakkan tangan kirinya yang berlengan panjang, Joko Wandiro terkena hantaman pundaknya, terasa nyeri seperti dihantam palu godam dan ia terjungkal ke kiri!.
Bagaikan bola, begitu roboh Joko Wandiro sudah meloncat kembali dan kini kedua tangannya sudah memegang sepasang golok tipis yang tadinya ia sisipkan di pinggang tertutup baju. Karena marah dan penasaran, Joko Wandiro segera memutar sepasang goloknya, mainkan Ilmu Golok Lebah Putih yang belum lama ini ia pelajari dari Ki Tejoranu. Lenyaplah bentuk sepasang goloknya, berubah menjadi dua gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara seperti banyak lebah beterbangan Gulungan sinar itu menyambar dan mengurung diri si nenek tinggi besar yang masih terkekeh-kekeh.
"Hihh-hih-hihh...!"
Nenek itu terkekeh dan sepasang susunya yang besar panjang itu bergoyang-goyang mengerikan ketika ia tertawa sambil bertolak pinggang. Joko Wandiro membelalakkan kedua matanya melihat sepasang goloknya yang menyambar itu kembali tembus tanpa melukai tubuh si nenek iblis!
"Hih-hih-hih, bocah bagus. Darahmu tentu manis, dagingmu gurih! Tapi kau berani melawan aku, hah? Hih-hih-hih-hikk! Lihat kekuasaanku bocah! Lihat baik-baik! Kau akan dimakan senjatamu sendiri, hih-hih-hik!"
Nenek buruk rupa itu menudingkan telunjuk kanannya ke arah Joko Wandiro. Dari tangan yang menunjuk ini seakan-akan keluar getaran aneh yang berputar-putar amat kuatnya sehingga Joko Wandiro tak dapat mempertahankan diri lagi. Pemuda tanggung ini merasa betapa dirinya seakan-akan dibawa angin puyuh yang kuat, serasa tubuhnya berpusing dan kepalanya menjadi pening, matanya berkunang. ILa meramkan matanya, yang masih terdengar suara eyang gurunya memanggil, akan tetapi suara itu datangnya dari jauh sekali, hanya terdengar gemanya saja,
"Joko...! Joko Wandiro...!"
Akan tetapi Joko Wandro tidak mengandalkan pertolongan dari luar lagi karena ia sudah terseret oleh perputaran getaran yang luar biasa itu. Ia melihat, sungguhpun kedua matanya dipejamkan, betapa di sekeliling tubuhnya tampak wajah nenek yang mengerikan itu, dengan bau mulutnya yang amis busuk, bercampur bau wangi yang memuakkan Maka ia lalu mengerahkan tenaganya, menggerakkan kedua goloknya untuk membacok dan menusuk!
"Hi-hi-hi-hik! Hayo bacok dan tusuk, biar kuhisap darahmu yang keluar, biar kuhisap darahmu yang keluar, biar kuganyang dagingmu, kukremus tulangmu!"
Dalam pandangan Joko Wandiro, ia membacok dan menusuk ke arah tubuh nenek iblis itu, padahal sebetulnya ia telah terjatuh di bawah pengaruh sihir dan dalam pandangan orang lain, sepasang goloknya itu ia bacok dan tusukkan ke arah tubuhnya sendiri!
Untung baginya bahwa pada saat itu ia berada bersama tiga orang kakek sakti mandraguna. Ketika tadi ia menerjang nenek iblis, Empu Bharodo sudah berdiri, tangan kirinya membawa tempat air dan tanah, tangan kanan memegang setangkai bunga cempaka. Kini kakek itu memercik-mercikkan air dengan bunga yang dicelupkan ke dalam tempat air, bibirnya membaca mantera.
Terjadilah pemandangan yang tak masuk akal bagi orang-orang biasa. Namun sungguh merupakan kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Seperti orang mabok, Joko Wandiro menggunakan kedua goloknya untuk membacok dan menusuk tubuhnya sendiri. Bajunya menjadi robek compang-camping akibat bacokan dan tusukan golok tajam pemberian Ki Tejoranu.
Akan tetapi anehnya, kulit tubuhnya sedikitpun tidak lecet, apalagi terluka. Sihir yang dilakukan nenek iblis itu membuat ia seperti mabok dan membacoki tubuh sendiri yang disangka tubuh si nenek, sebaliknya, percikan air Empu Bharodo membuat tubuhnya seakan-akan menjadi kebal. Sihir dibalas sihir. Kasihan Joko Wandiro yang menjadi korban, melakukan hal-hal yang sama sekali di luar kehendaknya.
Empu Bharodo menghampiri Joko Wandiro, menaruh tangan kiri di atas kepalanya, meraba ubun-ubunnya. Seketika Joko Wandiro sadar dan alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa sepasang goloknya itu ia gerakkan sendiri membacok paha dan menusuk perut. Cepat ia menahan kedua tangannya, bengong terlongong melihat bajunya compang-camping, melihat nenek iblis terkekeh-kekeh dan di depan nenek itu kini berdiri Empu Bharodo dengan sikap tenang.
Nenek itu mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau dan mukanya menjadi menakutkan sekali. Joko Wandiro yang masih berdiri terbelalak itu makin kaget ketika melihat api keluar dari mulut si nenek iblis. Apikah itu yang tersembur keluar dari mulut dan menerjang ke arah Empu Bharodo? Ataukah lidah si nenek yang panjang dan menyala-nyala? Empu Bharodo membaca mantera, lalu memercikkan air dari bunga cempaka yang dicelup dalam tempayan air. Percikan air itu berkilau putih menyambar ke arah lidah api.
"Cesssssss...!" Asap mengepul tebal dan tercium bau sangit.
Si nenek iblis menjerit-jerit, tangan kiri menggaruk-garuk mulutnya yang kini tidak mengeluarkan lidah api lagi, sedangkan tangan kanan dengan jari-jari berkuku panjang itu diulur ke depan ketika ia menerjang maju dan untuk menubruk dan mencekik leher Empu Bharodo.
"Pergilah...!" bentak Empu Bharodo sambil menyambitkan kembang ke arah nenek iblis.
Nenek itu terhuyung ke belakang, mulutnya mengeluarkan jerit melengking panjang dan lenyaplah tubuhnya.
"Heh, Wirokolo!" Terdengar Empu Bharodo berkata lantang. "Kalau engkau hendak menghadap Sang Resi Jatinendra, datanglah saja. Apa perlunya engkau pamer dengan ilmu hitam Calon Arang yang hanya patut untuk menakut-nakuti anak kecil?"
Setelah berkata demikian, Empu Bharodo dengan langkah tenang kembali ke tempatnya di depan mulut gua lalu duduk bersila seperti tadi, tenang dan seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.
"Joko, kau kembalilah ke sini..." terdengar Resi Bhargowo berkata.
Akan tetapi sebelum Joko Wandiro sempat bergerak, tiba-tiba muncullah lima orang tinggi besar berloncatan ke depan Sang Resi Jatinendra. Lima orang tinggi besar itu muncul sambil tertawa bergelak, di tangan masing-masing memegang sebatang golok besar yang berkilauan tertimpa sinar matahari membayangkan ketajamannya. Tanpa bicara sesuatu, lima orang itu serentak lalu menerjang pertapa yang masih duduk bersamadhi itu.
Melihat hal ini, tentu saja Joko Wandiro tidak mau tinggal diam. Sepasang golok tipis pemberian Ki Tejoranu masih berada di kedua tangannya dan kini ia melihat bahwa lima orang itu walaupun tinggi besar, namun jelas adalah manusia-manusia biasa bukan iblis macam nenek tadi. Pula, menilik gerakan mereka, kelima orang ini hanya memiliki tenaga kasar yang besar saja. Maka cepat sekali tubuhnya mencelat ke depan dan kedua goloknya berkelebat membentuk gulungan sinar putih.
"Trang-trang-cringgg...!"
Golok tiga orang musuh yang berada paling depan berhasil ditangkisnya dan tiga batang golok itu mental kembali. Lima orang pengeroyok yang tinggi besar itu berseru kaget dan membelalakkan mata. Tak seorangpun di antara mereka yang kini tertawa lagi. Sebaliknya, mereka mengeluarkan suara gerengan marah ketika mendapat kenyataan bahwa yang menangkis golok-golok mereka tadi hanyalah seorang pemuda tanggung.
"Bocah keparat! Kau kepingin mampus?" Lima orang itu serentak menerjang dengan golok besar mereka ke arah Joko Wandiro.
Melihat datangnya lima batang golok dengan kekuatan yang besar, Joko Wandiro maklum bahwa tenaganya tak mungkin menandingi lima erang ini sekaligus. Tadipun ketika menangkis tiga batang golok, ia merasa betapa kedua lengannya menjadi linu, tanda bahwa tenaga tiga orang itu benar-benar amat kuat. Maka, anak yang cerdik ini tidak lagi mau mengadu tenaga melawan lima orang sekaligus, melainkan cepat ia mempergunakan kegesitan tubuhnya, menggunakan Aji Bayu Tantra sehingga tubuhnya dengan ringan dan gesit sekali menyelinap ke samping sebelum lima batang golok datang membacok. Kemudian kedua kakinya bergerak menurut pelajaran ilmu silat yang ia pelajari dari Ki Tejoranu, golok-golok di kedua tangannya melakukan gerakan menggunting ke arah lawan yang paling depan.
Si tinggi besar itu kaget ketika tadi melihat bocah yang menjadi lawannya berkelebat ke samping dan kini melihat dua gulungan sinar putih menerjangnya. Ia berusaha untuk membabitkan golok besarnya sambil memutar tubuh menghadapi Joko Wandiro, namun ia kalah gesit. Tiba-tiba ia menjerit keras, lengan kanannya termakan golok Joko Wandiro yang menggunting sehingga terpaksa ia melepaskan golok besarnya sambil melompat mundur memegangi lengan kanan yang mengucurkan darah.
Joko Wandiro tidak berhenti sampai di situ saja. Melihat hasil serangannya, ia melanjutkan gerakan kakinya, dengan gerakan mantap mengatur langkah-langkah maju dalam gerak ilmu silat Ilmu Golok Lebah Putih, sepasang goloknya mendesing-desing ketika diputar ke depan. Empat orang lawannya juga sudah menghadapinya, marah sekali melihat seorang kawan mereka dikalahkan.
"Ommm... damai-damai-damai jangan kotorkan tempat ini dengan darah...!"
Terdengar suara halus dan tiba-tiba saja Joko Wandiro dan keempat orang lawannya merasa kedua lengan mereka lemas sehingga semua senjata yang dipegang terlepas dan runtuh ke atas tanah!
Joko Wandiro seorang yang cerdik. Ia tadi melirik dan melihat bahwa ucapan itu keluar dari mulut pendeta yang sejak tadi duduk diam di depan, kemudian melihat pula betapa tangan kiri pendeta itu digerakkan ke depan, maka tahulah ia bahwa yang menjatuhkan semua senjata itu adalah hawa pukulan jarak jauh yang hebat luar biasa! Ia tahu pula bahwa pendeta yang sakti itu tidak menghendaki pertumpahan darah. Adapun keempat orang tinggi besar itu menjadi makin marah, tidak mengerti mengapa semua senjata mereka terlepas begitu saja dari pegangan. Mereka mengira bahwa bocah itulah yang main gila, maka dengan gerakan ganas mereka lalu maju menubruk, kedua lengan dikembangkan, jari-jari tangan terbuka siap mencekik leher, mulut terbuka lebar tiada ubahnya harimau-harimau lapar menubruk mangsa!
Namun Joko Wandiro sudah bergerak lebih cepat dari pada mereka yang lamban dan hanya mengandalkan kekuatan tubuh. Dengan menyelinap ke kiri, ia membuat tubrukan empat orang itu gagal, kemudian sebelum empat orang itu mampu menerjangnya lagi, selagi mereka terhuyung ke depan, dari samping Joko Wandiro menghantam seorang diantara mereka yang terdekat dengan menggunakan pukulan Pethit Nogo.
"Trakk!"
Jari-jari tangan yang kecil itu dilecutkan ke arah iga dan biarpun jari tangan itu tidak berapa besar, namun mengandung Aji Pethit Nogo yang ampuhnya menggila. Seketika si tinggi besar itu menjerit kesakitan, roboh bergulingan dan mengaduh-aduh, tak dapat bangkit kembali karena dua buah tulang Iganya patah! Mendapatkan kemenangan ini, besar hati Joko Wandiro. Ia tidak menanti sisa lawannya yang tiga orang lagi itu bergerak.
Selagi mereka bengong saking heran melihat bocah itu mampu merobohkan seorang kawan lagi hanya dalam segebrakan, ia telah meloncat maju, gerakannya cepat, kaki tangannya bergerak laksana halilintar menyambar dan terdengarlah pekik susul-menyusul ketika tiga orang itu dihajar tendangan dan pukulan ampuh sehingga tubuh mereka bergelimpangan. Hebat sepak terjang Joko Wandiro, seperti Raden Gatotkaca mengamuk di antara keroyokan buto-buto (raksasa) galak!
Mendapat kesempatan ini, selagi para lawannya jatuh bangun, Joko Wandiro sudah menyambar sepasang goloknya lagi karena ia khawatir kalau-kalau sepasang goloknya itu dirampas lawan. Pada saat ia membungkuk dan mengambil sepasang goloknya, tiba-tiba ada angin keras menyambar dari depan. Joko Wandiro terkejut, maklum bahwa ada serangan yang hebat. Cepat ia mengelak sambil membabat dengan golok kanannya, akan tetapi tubuhnya terlempar dan golok kanannya terlepas ketika sebuah kaki menyambar dengan kekuatan yang dahsyat!
Joko Wandiro terbanting roboh, matanya berkunang-kunang akan tetapi ia tidak mengalami cedera. Cepat ia menggulingkan tubuhnya ke arah golok yang terlepas tadi dan begitu ia meloncat bangun, ia sudah siap dengan sepasang golok di tangan, menghadapi segala kemungkinan dengan sikap gagah dan memasang kuda-kuda amat kokohnya. Kiranya di sebelah depan telah berdiri dua orang laki-laki tinggi besar berkulit hitam, rambutnya panjang terurai dan sepatutnya dua orang ini menjadi raksasa-raksana dalam cerita jaman dahulu!
Tidak hanya segala-galanya pada kedua orang itu jauh lebih besar dari pada orang biasa, juga mata mereka yang besar menonjol keluar itu kemerahan, wajah mereka buas dan mengerikan. Agaknya mereka itu saudara kembar, karena segala-galanya, dari rambut, wajah, bentuk tubuh sampai pakaian mereka, serupa. Sukar sekali membedakan satu dari yang lain kalau saja senjata mereka tidak berbeda. Yang seorang memegang sebatang tombak yang dihias rambut di leher tombak, sedangkan orang ke dua memegang sebatang ruyung yang bergigi, amat menyeramkan.
Namun Joko Wandiro tidak menjadi gentar. Sekali sudah terjun ke dalam gelanggang yuda, ia tidak mengenal takut lagi. Dengan hati-hati ia bersiap sedia menghadapi dua lawan yang nggegirisi (menggiriskan) ini. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan eyang gurunya,
"Joko, mundur kau!"
Joko Wandiro tidak berani membantah, dan ia lalu mengundurkan diri, kembali duduk bersila seperti tadi, di mulut gua di belakang Resi Jatinendra. Adapun Resi Bhargowo kini sudah berdiri dan dengan langkah tenang ia maju ke depan menyambut dua orang raksasa itu.
"Anak baik, kau patut menjadi cucu murid adi resi," demikian bisikan Empu Bharodo di sebelah kanan Joko Wandiro.
Anak ini menengok dan melihat betapa kakek itu tersenyum ramah, lalu membungkuk dengan sikap merendah. Kemudian mereka lalu memandang ke depan untuk menonton bagaimana Resi Bhargowo akan menghadapi dua orang lawan yang buas itu. Resi Bhargowo bersikap tenang saja. Sejenak ia beradu pandang dengan kedua lawannya, kemudian ia berkata,
"Kisanak, siapakah gerangan andika berdua? Dan mempunyai keperluan apa mendatangi pertapaan Jalatunda?"
"Heh-heh-heh, aku adalah Gagak Kunto!" jawab raksasa yang memegang lembing atau tobak berhias rambut.
"Dan akulah Gagak Rudro!" jawab orang ke dua sambil mengamang-amangkan senjata ruyungnya yang mengerikan.
Resi Bhargowo sudah menduga akan hal ini. Tentu saja dia sudah mendengar nama kedua orang ini yang merupakan jagoan-jagoan dari Kerajaan Wengker yang sudah hancur. Tadi ketika mendengar suara burung gagak yang diikuti oleh semua burung lain, dia sudah dapat menduga bahwa suara itu bukan keluar dari mulut burung gagak sewajarnya. Kiranya kedua orang Gagak inilah yang datang! Dia sudah mendengar bahwa Gagak Kunto dan Gagak Rudro (Gagak Bertombak dan Gagak Buas) adalah bekas perwira-perwira Kerajaan Wengker, orang-orang kepercayaan mendiang Sang Prabu Baka dan memiliki kesaktian-kesaktian tinggi, yang merupakan ahli-ahli ilmu hitam seperti biasa dimikili para jagoan Wengker. Maka ia bersikap hati-hati dan menanti keterangan selengkapnya.
Melihat betapa pertapa yang kelihatan kecil itu tidak kaget mendengar nama mereka, Gagak Kunto berkata lagi, suaranya membentak marah, "Tua bangka kecil kurus kering, kau minggirlah! Kami datang mewakili kakang Wirokolo!"
"Hemmm, kalau Wirokolo ada niat menghadap Sang Agung Resi Jatinendra, mengapa ia tidak langsung menghadap sendiri? Mengapa ia menyuruh pula kalian? Mundurlah, dan sampaikan kepada Wirokolo bahwa lebih baik dia sendiri yang maju."
Dua orang raksasa itu makin marah.
"Heh, keparat sombong, siapakah engkau berani menentang sepasang Gagak Sakti? Apakah kau sudah bosan hidup?"
"Gagak Kunto dan Gagak Rudro, aku bicara baik-baik kepada kalian, sebaliknya kalian begitu jumawa. Ketahuilah, aku adalah Bhagawan Rukmoseto."
"Bhagawan Rukmoseto?" Gagak Kunto mengulang, mengingat-ingat nama yang tak dikenalnya ini.
"Ya, dahulu disebut Resi Bhargowo."
"Ha-ha-ha! Resi Bhargowo kah kiranya engkau, tua Bangka kerdil? Minggirlah, apa kau belum mendengar nama Gagak Kunto? Minggir dan biarkan kami bicara dengan Sang Prabu Airlangga!"
"Hemm! Wirokolo hanya seorang senopati taklukan, namun masih mewakilkan orang-orang kasar macam kalian. Tentu saja kalian tidak cukup berharga untuk menghadap Sang Agung Resi Jatinendra, dan akulah wakil beliau untuk menandingi segala tingkahmu!"
"Aauugggh, bojleng iblis laknat! Bhargowo, berani engkau melawan senjata pusakaku ini?" Gagak Kunto mengamangkan tombaknya.
"Majulah, siapa takut kepadamu?"
"Keparat sombong! Hayo keluarkan senjatamu!"
"Senjataku adalah kebenaran. Majulah kalian berdua, aku takkan mundur setapakpun!"
"Babo-babo...!"
Gagak Rudro tak dapat menahan kemarahannya lagi dan ia mendahului saudaranya, menerjang dengan ruyungnya yang mengerikan.
"Wuuuuuttt...!" Angin besar menyambar ketika ruyung ini bergerak. Namun dengan gerakan ringan dan sikap tenang sekali Resi Bhargowo menggeser kaki miringkap tubuh. Ruyung itu lewat di samping tubuhnya bagaikan waringin tumbang, menghantam tanah membuat batu-batu kerikil pecah dan terbang berhamburan disusul debu mengepul tebal.
Serangan gagal ini dalam detik selanjutnya sudah disusul tombak meluncur bagaikan kilat menyambar, menusuk ke arah dada Resi Bhargowo. Demikian cepatnya serangan maut ini sehingga Joko Wandiro yang menonton merasa ngeri dan khawatir. Baginya, eyang gurunya terlalu tenang, sehingga tampaknya seperti lambat. Kalau dia yang diserang tombak seperti itu, tentu sudah cepat-cepat meloncat ke samping. Akan tetapi eyang gurunya seakan-akan menanti datangnya ujung mata tombak, dan setelah kurang sejengkal dari kulit dadanya, barulah eyang gurunya itu miringkan tubuh tanpa menggeser kaki! Sebuah kelitan yang amat berbahaya dan pula amat berani, namun juga merupakan awal jurus yang ampuhnya menggiriskan!
Hanya beberapa detik saja terjadinya, tahu-tahu tombak yang meluncur lewat itu telah tertangkap di bawah ketiak lengan kiri sang resi, dikempit dengan pengerahan tenaga dalam, kemudian dalam detik berikutnya disusul dengan tamparan yang menggunakan jari tangan kanan.
"Werr... plakkk!"
Itulah tamparan Pethit Nogo yang tepat mengenai pundak kiri Gagak Kunto! Joko Wandiro hampir saja bersorak menyaksikan hasil mentakjubkan eyang gurunya dalam jurus pertama ini. Tubuh Gagak Kunto seperti kemasukan aliran halilintar, matanya terbelalak rambutnya bangkit berdiri kemudian tubuhnya mencelat ke belakang sampai lima meter jauhnya, lalu terbanting roboh dan di situ ia terengah-engah sambil memegangi pundaknya. Biarpun ia memiliki kekebalan, namun pukulan Pethit Nogo tadi berhasil meremukkan tulang pundaknya!
"Si keparat Bhargowo...! Berani kau... menjatuhkan saudaraku?"
Dengan muka merah dan mata terbelalak mulut berliur sakiing marahnya, Gagak Rudro menubruk dan menggerakkan ruyungnya yang besar dan berat itu, mengancam kepala dan tubuh lawan. Gerakannya cepat dan amat kuat, serangannya susul-menyusul sehingga terpaksa Resi Bhargowo menggunakan ilmu kesaktiannya, dengan Aji Bayu Tantra ia berkelit ke sana ke mari dengan amat gesitnya.
Mengagumkan sekali kalau dilihat betapa seorang kakek yang sudah tua, rambutnya sudah putih semua seperti Resi Bhargowo ini, masih dapat bergerak sedemikian gesitnya, tiada ubahnya seekor burung sriti yang bergerak melesat ke sana-sini menghindarkan diri dar ipada ancaman ruyung maut.
Saking cepatnya gerakan ruyung, terdengar suara "werrwerr-werr!" tiada hentinya dan daun-daun di dahan pohon bergoyang-goyang seperti tertiup angin keras. Kelihatannya Sang Resi Bhargowo terdesak dan tak mampu membalas, padahal sesungguhnya, pertapa sakti yang tenang ini sedang menanti kesempatan baik untuk sekali pukul meruntuhkan lawan. Ketika ruyung itu lewat dari atas hendak menghantam kepalanya, ia menanti dan sengaja memperlambat gerakan.
"Remuk kepalamu!" Gagak Rudro sudah berseru girang sekali, yakin bahwa kali ini ruyungnya tentu akan mendapat "makanan" otak dan darah kepala yang remuk.
"Werr...wuuutttt!"
Ruyung meluncur cepat karena Resi Bhargowo baru dekat, maka ruyung itu tidak dapat ditahan oleh Gagak Rudro, terus meluncur ke bawah dan menghantam tanah. Akan tetapi kali ini Resi Bhargowo sudah melihat kesempatan baik. Jari-jari tangan kirinya menyambar ke depan dan "krakk!" pangkal lengan kanan Gagak Rudro dekat pundak patah tulangnya dan ruyungnya terlepas dari pegangan.
"Aduhh... tobat...!"
Gagak Rudro berteriak kesakitan dan menggulingkan tubuh menjauhi lawan, takut menerima hantaman ke dua. Akan tetapi Resi Bhargowo tidak menyerang lagi, melainkan berdiri tegak dan tersenyum pahit.
"Orang-orang macam kalian ini masih berani membikin ribut? Hayo, kalau masih belum bertobat, majulah lagi, keluarkan semua kedigdayaan kalian, sepasang Gagak yang jahat! Kalau sudah mengaku kalah, pergilah dan ajak kelima orang anak buahmu!"
Tiba-tiba terdengar suara mendeis-desis ketika Gagak Kunto dan Gagak Rudro pergi diikuti lima orang anak buah mereka yang tadi roboh oleh Joko Wandiro. Suara mendesis-desis ini makin tajam dan nyaring setelah tujuh orang itu tak tampak bayangannya lagi. Kemudian terdengar bentakan dengan suara parau.
"Babo-babo, Resi Bhargowo! Sumbarmu seperti dapat menumbangkan puncak Mahameru! Jangan takabur hanya karena dapat mengalahkan segala perajurit rendahan. Akulah lawanmu!" mendadak terdengar suara keras seperti pohon beringin tumbang dan sesosok tubuh inggi besar menyambar turun, kini berdiri tegak di depan Resi Bhargowo.
Joko Wandiro yang memandang penuh perhatian, terkejut melihat raksasa yang baru muncul ini. Tubuhnya sama tinggi besar dengan sepasang gagak tadi, akan tetapi wajahnya lebih menyeram kan karena berwarna merah. Bibirnya yang pucat tak dapat rapat menutup giginya yang besar-besar dan di kedua ujungnya bertaring! Matanya melotot dan tak pernah kelihatan berkedip.
Tubuhnya bagian atas tidak berbaju sehingga tampak otototot sebesar dadung membelit-belit tubuh yang kulitnya berbulu itu. Akan tetapi yang paling menyeramkan adalah lima ekor ular belang yang menghias tubuhnya. Seekor yang paling panjang membelit leher seperti kalung,dua ekor di kedua pergelangan tangan dan dua ekor pula membelit pergelangan kaki yang telanjang. Lima ekor ular berbisa inilah yang mengeluarkan suara mendesis-desis itu.
"Wirokolo! Akhirnya engkau muncul juga! Engkau mau apa? Jangan kira Resi Bhargowo takut kepadamu!"
"Haaaahhh! Sombong sekali engkau, keparat! Rasakanlah ampuhnya Anolo Hasto (Tangan Api)!"
Berkata demikian, Wirokolo menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan dari kedua telapak tangan yang saling digosokkan itu mengepul asap hitam dan tercium bau sangit seperti kulit atau rambut terbakar. Kedua telapak tangan itu kini tampak merah seperti besi dibakar. Kemudian Wirokolo bertepuk tangan. Terdengar ledakan seperti geledek dan tampak bunga api berpijar! Benar-benar ilmu yang mujijat dan dahsyat. Tiba-tiba Wirokolo membentak keras tubuhnya yang tinggi besar itu menerjang maju, kedua tangannya menampar bertubi-tubi.
Resi Bhargowo dengan sikapnya yang tenang itu mengelak sambil menangkis, karena gerakan lawan yang sedemikian cepatnya, mengimbangi gerakannya sendiri Aji Bayu Tantra, tak mungkin dihadapi dengan kelitan-kelitan saja, harus dihadapi dengan tangkisan, keras lawan keras.
"Desss...!"
Benturan kedua tangan orang-orang sakti ini merupakan pertemuan dua tenaga dahsyat. Dari tangan Wirokolo memercik bunga api menyilaukan mata dan terjangannya tertahan, Akan tetapi Resi Bhargowo terhuyung-huyung ke belakang, terdorong oleh tenaga lawan yang bukan main dahsyatnya!
"Huah-hah-hah-hah! Sebegitu saja kekuatanmu, Resi Bhargowo?"
Wirokolo mengejek sambil menerjang terus menggunakan kedua tangannya yang seakan-akan telah berubah menjadi dua tangan baja membara. Memang hebat kepandaian Wirokolo ini. Hal ini tidaklah amat mengherankan kalau diingat bahwa ia bekas senopati Kerajaan Wengker dan merupakan senopati yang sakti nomor dua sesudah Dibyo Mamangkoro. Wirokolo adalah adik seperguruan Dibyo Mamangkoro, dan dalam perang antara Wengker melawan pasukan Kahuripan dahulu, dia merupakan lawan tangguh yang hanya dapat dipukul mundur setelah banyak perwira tewas dan akhirnya Ki Patih Narotama sendiri yang turun tangan di medan yuda.
Semenjak kekalahannya dalam perang itu yang mengakibatkan tewasnya Sang Prabu Boko di tangan Sang Prabu Airlangga sendiri dan hancurnya Kerajaan Wengker, seperti juga Dibyo Mamangkoro, senopat Wirokolo ini lari menyembunyikan diri dan bertapa sambil menggembleng diri sehingga ilmu kepandaiannya meningkat tinggi.
Resi Bhargowo bukanlah tokoh sembarangan. Dengan Aji Bayu Tantra dan ilmu pukulan Phetit Nogo dia sudah merupakan seorang sakti yang jarang tandingannya, apalagi dia telah memiliki tenaga sakti yang bertingkat tinggi. Dalam pertandingan di Pulau Sempu, menghadapi serbuan para utusan Pangeran Anom, Resi Bhargowo telah membuktikan kesaktiannya. Akan tetapi sekarang, berhadapan dengan Wirokolo, dia benar-benar terdesak dan jelas bahwa tingkat kesaktiannya kalah tinggi Dengan ajinya Bayu Tantra, Resi Bhargowo hanya dapat mengelak untuk menyelamatkan diri dari serbuan kedua tangan membara itu.
Ada kalanya ia mampu membalas sekali dua dengan pukulan Pethit Nogo yang ampuh, namun pukulan inipun membalik ketika bertemu dengan hawa Anolo Hasto yang panas seperti Kawah Condrodimuka. Juga pukulan Pethit Nogo yang tidak terlalu tepat kenanya, tidak mempan terhadap tubuh Wirokolo yang keras dan kebal. Hanya dalam kecepatan saja Resi Bhargowo dapat mengimbangi lawan sehingga ia masih dapat bertahan, namun jelas bahwa pukulan-pukulannya kalah ampuh dan tenaga dalamnya kalah kuat.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BADAI LAUT SELATAN (BAGIAN KE-03 SERIAL KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA)