BADAI LAUT SELATAN : JILID-37
"Aduhhh...!" Wisangjiwo merintih.
"Ha-ha-ha-ha!" Jokowanengpati tertawa bergelak sambil mencabut tombaknya. Akan tetapi suara ketawanya terhenti seketika terganti seruan kaget dan matanya terbelalak ketika ia melihat betapa Wisangjiwo ikut terbawa oleh tombak yang akan dicabutnya dan kini dengan wajah mengerikan Wisangjiwo menubruknya!
Ternyata Wisangjiwo yang sudah terluka parah itu menjadi nekat. Meminjam tenaga betotan lawan, ia membiarkan dirinya terbawa, bahkan lalu meloncat dari punggung kudanya dan sambil menubruk ia mengirim pukulan dahsyat ke arah dada Jokowanengpati.
"Desss...!"
Biarpun Jokowanengpati berusaha mengelak, namun dada kirinya masih terkena hantaman sehingga ia roboh terguling dari atas kudanya sambil menyeret tubuh Wisangjiwo bersamanya. Sayang bahwa Wisangjiwo sudah menderita luka hebat sehingga tenaganya tinggal sepertiga bagian saja. Kalau tidak, agaknya belum tentu Jokowanengpati dapat menahan pukulan yang tak tersangka-sangga tadi, karena diam-diam Wisangjiwo telah menggenggam kerang merah dan pukulannya tadi mengandung Aji Tirto Rudiro.
Namun karena tenaganya tinggal sepertiga, Jokowanengpati hanya merasa seluruh isi dadanya menjadi dingin dan beku untuk sejenak saja. Sebagai seorang muda yang menjadi kekasih Ni Durgogini dan Ni Nogogini, tentu saja ia mengenal pukulan ini dan cepat-cepat ia mengerahkan tenaga dalam untuk melawannya. Namun Wisangjiwo benar-benar sudah menjadi nekat. Ketika tubuh mereka terguling bersama dari atas punggung kuda, Wisangjiwo sudah mencengkeram leher lawannya dan kini ia mengerahkan sisa tenaga yang ada untuk mencekik leher lawan.
Jokowanengpati meronta-ronta sekuat tenaga, bahkan menggunakan kedua tangannya untuk merenggut lepas kedua tangan lawan dari lehernya, namun sia-sia belaka. Dalam keadaan terluka parah dan dalam kemarahan yang mendidih, Wisangjiwo mencekik dengan tekad bulat untuk mengadu nyawa. Jokowanengpati mulai panik. Ia tak dapat bernapas dan cekikan yang amat kuat itu membuat lehernya serasa hendak patah tulangnya, telinganya mengiang-ngiang dan pandang matanya menjadi merah dan gelap. Celaka, pikirnya. Orang ini sudah nekat dan kalau ia tidak cepat- cepat dapat membebaskan diri dari cekikan, tentu ia akan mati konyol! Tombaknya masih menancap di dada atas Wisangjiwo dan kini darah menetes-netes dari gagang tombak itu.
"Keparat... mampuslah kau...! Rasakan pembalasanku atas penghinaanmu terhadap Roro Luhito... isteriku... kepada ibu dan ayah...!" Suara Wisangjiwo mendesis-desis, matanya merah, wajahnya amat menyeramkan.
Jokowanengpati menahan diri agar tidak pingsan, tangannya meraba gagang keris di pinggang belakang, berkutetan dan berhasil menghunus keris.
"Creppp!"
Kerisnya memasuki lambung Wisangjiwo sampai ke gagangnya. Tubuh Wisangjiwo menegang. Kedua tangan yang mencekik leher mendadak menjadi makin kuat sehingga hampir patah tulang leher Jokowanengpati! Cepat-cepat ia mencabut kerisnya dan menghunjamkannya lagi ke dalam perut lawan.
"Creppp!"
Kali ini Wisangjiwo mengeluh, lalu tubuhnya lemas. Jokowanengpati meronta, melepaskan diri dan meloncat bangun. Sejenak ia memejamkan mata karena pandang matanya berkunang, kepalanya berdenyut-denyut, lehernya sakit dan juga dada kirinya masih ngilu. Ketika ia membuka matanya kembali, tubuh Wisangjiwo sudah telentang di depan kakinya, darah bercucuran dari dua lubang bekas tusukan kerisnya, tombaknyapun masih menancap di dada.
Wisangjiwo sudah tak bergerak-gerak lagi. Dengan marah Jokowanengpati menyepak bekas lawannya dan pada saat itu ia melihat Pujo mengamuk tak jauh dari tempat itu. Melihat musuh besar yang berbahaya ini, ia terkejut. Ia maklum bahwa Pujo merupakan lawan yang lebih berat dan lebih berbahaya dari pada Wisangjiwo, sedangkan dia sendiri sudah terluka cukup parah. Tak sanggup rasanya kalau ia harus menghadapi Pujo seorang diri. Maka ia lalu mengerahkan pasukan untuk mengeroyok Pujo.
Pujo tidak gentar. Melihat Jokowanengpati, makin menggelora semangatnya karena ia ingin cepat-cepat dapat berhadapan dengan musuh besarnya itu. Akan tetapi kepungan makin diperketat. Biarpun ia telah banyak merobohkan para perajurit, namun belum juga ia terbebas dari kepungan. Bahkan kini Jokowanengpati mengerahkan pasukan bertombak.
Pujo menjadi repot juga menghadapi kurungan lawan yang memegang senjata panjang ini. Ia tidak takut menghadapi hujan tombak, akan tetapi sukar baginya untuk merobohkan para pengeroyoknya seperti tadi. Dengan marah ia menyimpan kerisnya, merampas sebatang tombak dan dengan senjata panjang inilah ia menghajar para pengeroyoknya. Sampai remuk-remuk dan patah-patah tombaknya setelah ia merobohkan belasan orang. Ia merampas lain tombak dan mengamuk terus sambil berteriak keras, "Jokowanengpati manusia pengecut! Hayo layani aku sampai seorang di antara kita mandi darah!"
Akan tetapi Jokowanengpati tidak mempedulikan maki-makiannya melainkan dari luar memberi petunjuk-petunjuk kepada para perajurit. Betapa pun saktiny Pujo, menghadapi keroyokan yang tak kunjung habis itu, ia menjadi lelah dan repot juga. Kemarahannya meluap dan ia mengamuk seperti banteng ketaton (terluka)!
Sementara itu pertandingan antara Cekel Aksomolo melawan Resi Telomoyo juga amat ramai dan menarik. Seperi biasa, dalam menghadapi lawan tangguh Cekel Aksomolo mengandalkan tasbihnya dan ia lalu menggerakkan tasbih itu tidak hanya untuk menyerang dengan pukulan-pukulan dan sambaran-sambaran yang dapat merenggut nyawa, akan tetapi d samping ini ia juga mengerahkan hawa sakti di dalam tubuhnya untuk disalurkar melalui lengannya dan mengisi bunyi tasbihnya yang demikian nyaring dan aneh sehingga bagi lawan yang kurang kuat batinnya, mendengar suara biji-biji tasbih yang saling beradu ini saja sudah cukup untuk merobohkannya!
Karena kehebatan suara tasbihnya inilah maka pertandingan antara kedua orang kakek sakti ini menjadi terpisah dari pada lainnya. Tidak ada perajurit, baik dari pasukan Pangeran Anom maupun pasukan Pangeran Sepuh, berani mendekati pertandingan ini setelah beberapa orang perajurit kedua belah pihak roboh setelah mendengar suara berkeritik yang memecahkan kendangan telinga dan melumpuhkan otot dan bayu itu! Pertandingan antara mereka terjadi seru tanpa saksi dekat.
Namun sekali ini, Cekel Aksomolo benar-benar bertemu tanding! Kakek pertapa pemuja Sang Kapi Hanoman itu bukanlah orang sembarangan. Biarpun tandangnya (sepak terjangnya) kadang-kadang aneh dan lucu menggelikan, suka garuk-garuk bokong, suka melawak dengan sikap nyelelek (ugal-ugalan), namun sesungguhnya ia memiliki hawa sakti yang amat kuat, batinnya sudah matang dan ia termasuk seorang yang sakti mandraguna.
Suara berkeritikan mujijat yang merobohkan banyak perajurit itu, sama sekali tidak mempengaruhinya, bahkan kakek in lalu membalas dengan aji yang serupa hanya beda macamnya saja. Ia mere-mere seperti seekor kera tulen, bahka mengeluarkan suara seperti kera. Suara ini amat tidak sedap memasuki telinga seakan-akan mengorek-ngorek telinga dengan benda tajam yang keras. Kalau orang biasa saja yang menjadi lawan mendengar suara ini tentu akan merasa telinganya pecah-pecah dan menyerah tanpa berkelahi lagi!
Karena keduanya maklum bahwa aji penaluk melalui suara ini tidak ada gunanya kalau digunakan terhadap lawan maka kini mereka lalu mengandalkan ilmu silat mereka. Cekel Aksomolo biarpun seorang kakek bongkok dan tua renta tangannya seperti lumpuh, namun sesungguhnya ia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak hanya ilmu kebatinan dan ilmu hitam, juga ilmi silatnya hebat. Tasbih yang merupakan senjata pusaka ampuh itu berada di tangannya seakan-akan berubah menjadi halilintar.
Tasbih itu lenyap bentuknya ketika ia gerakkan berubah menjadi sinar yang melingkar-lingkar aneh mengeluarkan bunyi aneh dan angin gerakannya mengandung hawa panas. Jangankan terkena sambaran tasbihnya sendiri, baru. tersambar oleh angin gerakannya saja sudah membuat kulit manusia biasa terkupas seperti terkena air mendidih.
Namun Resi Telomoyo juga hebat. Biarpun ia hanya mempergunakan sebatang cabang pohon untuk dipakai sebagai senjata, namun ternyata cabang pohon biasa itu di tangannya berubah menjadi senjata ampuh. Suara nyaring terdengar tiap kali cabang pohon bertemu tasbih, seolah-olah tanah tergetar dan asap mengebul dari cabang pohon itu! Mereka serang-menyerang, desak-mendesak, sukar sekali menentukan siapa yang akan menang.
Juga pertandingan antara Ki Warok Gendroyono melawan Kartikosari amat ramai dan setanding. Sesungguhnya, dalam gerakan ilmu silat, Kartikosari menang seusap, akan tetapi Ki Warok Gendroyono dapat menutup kekalahannya itu dengan tubuhnya yang kebal sehingga tusukan keris yang tidak mengenai tepat, kalau hanya meleset saja, tidak akan melukainya, paling-paling membuat kulitnya lecet sedikit.
Sudah beberapa kali keris Kartikosari mengenai tubuhnya, meleset sehingga mengejutkan wanita sakti itu. Adapun senjata Ki Bandot, kolor maut itu, juga amat berbahaya dan Kartikosari cukup maklum bahwa sekali saja kepala atau dadanya kena hantaman kolor, tentu maut tebusannya. Oleh karena inilah ia berkelahi dengan hati-hati sekali, mengandalkan kecepatan gerak tubuhnya.
Sayang sekali keadaan Roro Luhito tidak seramai teman-temannya. Menghadapi Ki Krendoyakso yang sepak terjangnya buas dan liar, wanita ini menjadi panik. Belum banyak pengalamannya bertempur dan Ki Krendroyakso benar-benar seorang liar yang menyeramkan. Ruyungnya yang besar dan berat itu mendatangkan angin lesus, dan selain ruyungnya, juga lengan kirinya yang besar selalu menjangkau hendak mencengkeram, dari mulutnya keluar gerengan-gerengan seperti binatang buas dan keringatnya berbau sengit menyengat hidung.
Ketika ramai-ramainya bertanding, Ki Krendoyakso yang kaya keringat ini menggerakkan tubuh, keringatnya memercik ke depan, tanpa disengaja mengenai muka Roro Luhito, dekat hidung dan mulut. Hampir dia muntah-muntah!
"Iblis laknat menjijikkan!"
Ia memaki-maki untuk mencegah agar jangan sampai muntah-muntah, lalu ia menggunakan Aji Sosro Satwo dan tubuhnya berkelebat amat cepatnya. Hanya dengan kecepatan tubuhnya ia mampu menjaga diri, akan tetapi karena ia selalu mengelak dan merasa jijik untuk berkelahi mendekat, ia pun tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Lucu pertandingan ini. Biarpun Roro Luhito tampak diserang terus, namun dengan kelincahannya inipun ia telah membuat Ki Krendoyakso pening dan lelah. Seperti seekor celeng besar menghadapi gangguan seekor lebah, atau seekor anjing digoda seekor lalat.
Perang campuh antara pasukan Pangeran Muda dan pasukan Pangeran Sepuh berlangsung makin hebat, makin buas dan kejam. Alun-alun yang biasanya bersih itu kini penuh mayat bergelimpangan, darah bergelimangan, bau darah amis menyesakkan dada mengotorkan udara. Teriakan-teriakan yang keluar dari kerongkongan parau makin liar dan jerit tangis yang terluka melengking tinggi. Debu mengebul tebal dan tinggi, menggelapkan alun-alun dan sekitarnya. Perang campuh besar-besaran ini berlangsung hampir sehari penuh, agaknya hanya akan berhenti kalau mata sudah tak dapat membedakan kawan atau lawan karena malam tiba, untuk dilanjutkan esok hari dan seterusnya.
Tiba-tiba bertiup angin keras yang menerbangkan debu yang menggelapkan medan yuda, dan suara yang lembut namun berpengaruh terbawa oleh angin ini sehingga terdengar oleh semua yang sedang berperang.
"Haaiii... para kawula di Kahuripan! Hentikanlah segera pertumpahan darah ini!"
Suara ini amat jelas dan penuh wibawa, membuat mereka yang mendengar tersentak kaget dan menghentikan gerakan senjata masing-masing lalu menengok dan mencari-cari dengan pandang mata untuk melihat apakah pendengaran mereka tidak keliru. Semua orang yang sedang berperang itu mengenal belaka suara ini. Dan tampaklah oleh mereka bahwa pendengaran mereka benar. Di atas pegunungan kecil yang berada di sebelah selatan alun-alun, Berdiri tiga orang kakek. Kakek yang berdiri di depan itulah yang berseru menghentikan perang. Tampak betapa kakek itu mengangkat tangan kanan ke atas, menggerak-gerakkan tangan itu, dari mulutnya keluar seruan itu berkali-kali.
Tak salah lagi, demikian para perajurit dan perwira berpikir dengan hati berdebar, itulah Sang Prabu Airlangga yang telah mengundurkan diri menjadi pendeta! Tak seorangpun di antara mereka yang tidak gentar hatinya melihat Sang Prabu Airlangga, lemas lutut mereka dan para perajurit yang berada di depan, baik mereka itu anak buah pasukan Pangeran Anom maupun anak buah pasukan Pangeran Sepuh segera menjatuhkan diri berlutut didahului oleh para perwira. Perbuatan ini diikuti oleh perajurit-perajurit yang berada di sebelah belakang.
Menyaksikan ini, dua orang kakek yang mengapit Sang Prabu Airlangga atau Sang Resi Jatinendra, mengangguk-anggukkan kepala dengan penuh kagum. Mereka ini adalah Empu Bharodo dan Resi Bhargowo. Dua orang pertapa sakti ini makin kagum dan tunduk kepada junjungan ini yang ternyata masih memiliki wibawa yang bukan main besarnya.
Dua orang pangeran juga melihat munculnya ayah mereka. Pucat wajah mereka dan serta-merta mereka berdua meninggalkan barisan masing-masing, lari menghampiri Resi Jatinendra. Akan tetapi karena pangeran Anom menghampiri dengan berkuda sedangkan Pangeran Sepuh sudah turun dari kuda, maka Pangeran Anom yang lebih dahulu tiba di situ. Pangeran ini segera meloncat turun dari kuda berlari menubruk kaki ayahnya sambil menangis!
Pendeta itu mengelus-elus jenggotnya dengan tangan kiri dan menyentuh kepala puteranya dengan tangan kanan. Dia amat sayang kepada putera-puteranya, terutama putera bungsu ini. Kemudian ia melirik kepada Pangeran Sepuh yang juga telah tiba di situ dan kini berlutut pula di depannya, di belakang Pangeran Anom sambil menundukkan muka.
Sejak putera-puteranya masih kecil, selalu Sang Prabu Airlangga menekankan kerukunan kepada mereka, mendidik mereka agar hidup rukun, yang muda tunduk kepada yang tua, sebaliknya yang tua mengalah kepada yang muda. Maka kini ia merasa prihatin sekali menyaksikan perang saudara antara kedua puteranya itu.
"Hemm, anak-anakku. Mengapa kalian mengadakan perang saudara dan membiarkan bunuh-membunuh macam ini?" Dalam pertanyaan ini, sungguhpun suaranya halus dan wajahnya masih tetap bersinar, namun terkandung hati trenyuh.
"Duh rama...!" Pangeran Anom mendahului kakaknya dan menangis makin keras. "Semenjak rama pergi bertapa, Pangeran Sepuh selalu menindas hamba, selalu menghina hamba, mengandalkan kedudukannya sebagai putera sepuh (tua), sebagai putera permaisuri pertama! Rama hamba diperhina, tak dipandang sebelah mata, dianggap adik tiri yang terbenci kalau hamba tidak mempertahankan diri, agaknya hamba sudah disuruhnya bunuh!"
Sang Prabu Airlangga yang sudah menjadi pertapa itu adalah seorang bijaksana, seorang waspada, tentu saja tidak mudah dibujuk dan dibakar oleh omongan-omongan seperti itu. Namun, betapa pun juga dia seorang manusia yang tak terlepas dari pada ikatan kasih, maka keningnya berkerut ketika ia menegur Pangeran Sepuh
"Bukankah sejak dahulu aku selalu memperingatkan agar yang tua pandai mengalah? Lebih tua berarti lebih matang jiwanya, lebih luas pandangannya, dan lebih bijaksana. Mengapa membiarkan keadaan menjadi berlarut-larut sehingga timbul perang saudara yang begini menyedihkan?"
Pangeran Sepuh orangnya pendiam, seperti ibunya. Dengan sepenuh hati ia bersujut dan menjawab, "Mohon beribu ampun, rama. Mengenai semua peristiwa yang terjadi, hamba yakin bahwa rama tentu telah dapat menyelami dan mengetahui akan keadaannya."
Makin dalam kerut merut di wajah yang tadinya berseri itu. Jawaban ini cukup bagi Sang Resi Jatinendra, cukup membuat ia maklum akan perbedaan antara kedua orang puteranya, juga cukup membuat ia menduga bahwa kalau diselidiki, tentu kesalahan berada di pihak Pangeran Anom. Menyelidiki urusan ini, menekankan kesalahan-kesalahan, berarti malah memperhebat permusuhan di antara mereka. Maka ia berkata, suaranya penuh wibawa,
"Yang tua mengalah, yang muda menunduk, inilah kewajiban di antara saudara, berlandaskan cinta kasih. Segala macam persoalan yang timbul, hanya dapat diselesaikan baik-baik secara damai dengan perundingan. Mengapa suka menghamba nafsu dan melakukan perang saudara yang mengakibatkan pertumpahan darah antara saudara? Wilayah Kahuripan amat luas, dibagi dua pun kalian masih akan mendapatkan bagian masing-masing yang cukup luas. Untuk apa diperebutkan?"
Perang saudara itu serentak berhenti. Melihat munculnya Sang Prabu Airlangga sendiri yang menghentikan perang, gentarlah rasa hati para pembantu Pangeran Anom yang pada saat itu masih bertanding. Cekel Aksomolo maklum bahwa, menghadapi bekas Raja Kahuripan yang amat sakti mandraguna itu, ia dan kawan-kawannya takkan dapat berbuat sesuatu, bahkan melihat perang terhenti secara mendadak, ia pun lalu menghentikan serangannya terhadap Resi Telomoyo, lalu terbungkuk-bungkuk menyelinap pergi di antara banyak perajurit yang bersimpang-siur.
Demikian pula pertandingan Roro Luhito, terhenti dengan sendirinya. Seperti juga Cekel Aksomolo, dua orang raksasa ini mengundurkan diri dan menanti keputusan Pangeran Anom yang masih menghadap ayahnya bersama Pangeran Sepuh. Kartikosari dan Roro Luhito yang pada hakekatnya datang ke kota raja terutama sekali untuk mencari musuh besar mereka, kinipun kehilangan nafsu bertempur melihat perang dihentikan. Secara pribadi, mereka tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan dua orang raksasa tadi. Maka mereka lalu cepat menyelinap maju, memasuki bagian yang tadi menjadi wilayah musuh, untuk mencari Jokowanengpati.
Sementara itu, Resi Telomoyo yang tadi ketika bertanding melawan Cekel Aksomolo sempat melihat Pujo menerjang ke tengah barisan, juga sudah menyelinap pergi untuk mencari Pujo karena ia merasa khawatir kalau-kalau Pujo yang terpisah dari mereka bertiga tadi mengalami celaka.
"Kakang Wisangjiwo...! Aduh, kakang... kenapa kau sampai begini...!"
Roro Luhito menubruk tubuh yang rebah miring mandi darah itu, memeluk dan menangis. Kartikosari berdiri dan memandang. Kasihan, pikirnya. Biarpun Wisangjiwo ini dahulu bukan manusia baik-baik dan telah menyeleweng jauh dari pada kebenaran, akan tetapi akhir-akhir ini telah insyaf dan berusaha kembali ke jalan benar. Siapa mengira, putera Adipati Selopenangkep akan mengakhiri hidupnya di medan perang dalam keadaan mengerikan.
Tubuh yang disangka sudah mati itu bergerak perlahan, telentang sehingga kini tampak luka-luka di sebelah depan tubuhnya, di dada dan perut. Darah sudah tak mengucur lagi, akan tetapi di atas tanah tergenang darah dan pakaiannya juga penuh darah. Wisangjiwo membuka matanya. Melihat bahwa wanita yang memeluknya adalah Roro Luhito, matanya terbelalak dan dengan sukar sekali agaknya dengan pengerahan tenaga penghabisan, ia berkata, menudingkan telunjuknya,
"Jok... Jokowanengpati... dia lari ke sana...!"
Tiba-tiba tubuhnya berkelojotan lalu lemas. Nyawanya melayang pergi. Roro Luhito maklum kakak tirinya sudah mati, akan tetapi pada saat itu kemarahan dan dendam lebih dari pada kedukaan. Ia meletakkan tubuh kakaknya yang tadi ia sangga itu ke atas tanah, lalu meloncat berdiri. Bagaikan mendapat komando, keduanya serentak lari ke arah yang ditunjuk oleh Wisangjiwo tadi, berlari cepat seperti berlomba. Beberapa perajurit yang mereka terjang terguling dan banyak orang memaki-maki Namun Kartikosari dan Roro Luhito tak peduli, terus lari sampai mereka keluar dari alun-alun yang penuh perajurit. Suara derap kaki kuda mengejutk mereka, membuat mereka menoleh.
"Itu dia!" seru Roro Luhito.
Memang benar Jokowanengpati telah menunggang kuda dan membalapkan kudanya itu, menuju selatan. "Kejar...!" Kartikosari berseru.
Mereka lari ke arah kiri di mana terdapat beberapa ekor kuda yang dituntun perajurit Pangeran Anom. Agaknya binatang-binatang itu kuda tunggangan para perwira yang kini turun dari kuda dan entah ke mana perginya. Tak berkata sesuatu, Kartikosari dan Roro Luhito menggerakkan tangan dan kaki dan sekejap saja mereka berdua telah menunggangi kuda rampasan, membiarkan dua orang perajurit yang tiba-tiba didorong roboh terlentang itu bengong terlongong kemudian menyumpah-nyumpah!
Kartikosari mendapatkan kuda berbulu dawuk, sedangkan Roro Luhito menunggang kuda berbulu merah. Sekali lagi terdengar derap kaki kuda membalap ke selatan ketika dua orang wanita ini mengejar Jokowanengpati yang sudah tidak tampak lagi bayangannya.
Resi Telomoyo menemukan Pujo dalam keadaan payah. Pujo bermandi peluh dan ia lelah sekali bahkan ada beberapa luka ringan di tubuhnya. Untung tadi bahwa perang terhenti tiba-tiba, kalau tidak, tentu ia terancam bahaya maut. Jokowanengpati yang curang itu tidak pernah maju sendiri, melainkan terus-menerus menambah bala bantuan sehingga Pujo dikeroyok oleh puluhan orang perajurit. Biarpun Pujo tidak gentar dan mengamuk serta merobohkan banyak sekali lawan, namun kalau pertandingan keroyokan seperti itu dilanjutkan, tentu ia akan kehabisan napas dan tenaga sehingga akhirnya ia akan mati di ujung puluhan senjata!
Maka begitu perang terhenti, ia berdiri dengan keris di tangan, mengatur napas dan memulihkan tenaganya. Biarpun semua orang berhenti bertempur, namun mengingat akan kelicikan Jokowanengpati, Pujo tidak berani bersikap lengah. Ia beristirahat, namun dengan keris di tangan, siap membela diri mati-matian. Ia tidak tahu betapa Jokowanengpati sudah menjadi ketakutan begitu melihat bahwa perang dihentikan oleh Sang Prabu Airlangga sendiri.
Sebagai seorang yang telah menumpuk dosa, melihat Pujo, Kartikosari dan Roro Luhito berada pula di kota raja, setelah kini ia tidak dapat berlindung lagi di belakang Pangeran Anom karena perang dihentikan, tentu saja Jokowanengpati menjadi ketakutan. Ia pikir lebih baik lolos lebih dahulu dan setelah ia merasa yakin takkan dapat dijangkau tangan orang-orang yang mendendam, baru ia akan kembali menghambakan diri kepada Pangeran Anom. Untung, pikirnya, Pujo sudah amat lelah sehingga tidak dapat mengejarnya. Ia sendiri menderita luka yang cukup hebat akibat pukulan Wisangjiwo tadi, sehingga kalau dalam keadaan seperti ini ia harus menghadapi Pujo, ia merasa berat dan khawatir.
Girang hati Pujo mendengar bahwa kedua orang isterinya tidak mengalami luka dalam perang itu sungguhpun hatinya kaget ketika Resi Telomoyo menceritakan bahwa kedua orang isterinya itu mendapatkan lawan yang amat berbahaya, yaitu Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyokso! Mereka berdua lalu kembali untuk mencari Kartikosari dan Roro Luhito, namun kedua orang wanita itu tidak tampak bayangannya. Pujo yang merasa tidak enak hatinya, minta agar Resi Telomoyo kembali lebih dahulu ke pasanggrahan yang disediakan untuk mereka oleh Wisangjiwo di kompleks Istana Pangeran Sepuh.
"Paman resi, saya tidak dapat beristirahat dengan tenang sebelum melihat mereka kembali dengan selamat. Kemana gerangan mereka pergi? Bukankah perang sudah dihentikan? Saya hendak mencari mereka."
Demikian kata Pujo yang kembali ke alun-alun dan menyelinap ke tengah dimana tadi terjadi perang hebat. Perajurit-perajurit kedua fihak kini sedang mengangkuti mereka yang tewas dan terluka. Namun tidak tampak bayangan kedua isterinya. Kalau Kartikosari dan Roro Luhito berada di antara mereka, tentu mudah terlihat olehnya karena perajurit-perajurit itu adalah laki-laki semua.
Akhirnya setelah bertanya-tanya, Pujo mendengar bahwa kedua orang isterinya itu merampas kuda dan membalapkan kuda ke arah selatan. Tak seorangpun di antara para perajurit kedua fihak dapat menerangkan ke mana perginya kedua orang wanita itu dan mengapa pula merampas kuda dan tergesa-gesa pergi ke selatan. Agaknya mereka mengejar Jokowanengpati, pikir Pujo. Tidak ada lain hal yang akan dapat membuat kedua isterinya itu pergi begitu saja tanpa memberi tahu kepadanya, kecuali kalau mereka melihat Jokowanengpati dan mengejarnya.
Kekhawatiran akan keselamatan kedua isterinya membuat Pujo lupa akan kelelahannya. lapun lalu mencari seekor kuda. Sebagai seorang pembantu Pangeran Sepuh, tentu saja para perajurit mengenalnya dan mudah saja ia memperoleh seekor kuda yang baik. Tak lama kemudian, kembali seekor kuda membalap di atas jalan menuju ke selatan itu…..
********************
Setelah memberi nasehat banyak kepada kedua orang puteranya, akhirnya Sang Resi Jatinendra atau Resi Gentayu, mengambil keputusan untuk membagi Kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian. Raja sakti yang telah menjadi pertapa yang bijaksana dan waspada ini dengan hati prihatin dapat melihat bahwa betapa pun ia memberi wejangan-wejangan, takkan dapat melenyapkan rasa dendam dan iri di dalam hati kedua orang puteranya, terutama di dalam hati Pangeran Anom. Sang Resi Jatinendra yang sudah awas pandangan batinnya dan dapat meraba dengan rasa ke arah masa depan menjadi trenyuh dan nelangsa.
"Manusia berusaha, namun Hyang Wisesa yang menentukan," keluhnya di dalam hati, "namun aku akan kesiku (terkutuk) kalau sebagai manusia aku tidak melakukan usaha sedapat mungkin yang sudah menjadi kewajiban manusia."
Pertapa ini maklum bahwa usaha satu-satunya yang dapat ia lakukan untuk mencegah perebutan, hanyalah dengan jalan membagi kerajaan menjadi dua bagian dan diberikan kepada kedua orang puteranya. Tentu saja hal ini berlawanan dengan politiknya sebagai raja dahulu. Dahulu Sang Prabu Airlangga berpendirian bahwa tanpa penyatuan seluruh Nusantara, kemakmuran takkan dapat tercapai karena selalu akan terjadi perebutan wilayah dan kekuasaan di antara para adipati dan raja-raja kecil.
Karena pendirian inilah maka ketika Resi Jatinendra masih menjadi raja, tiada hentinya ia melakukan usaha perluasan wilayah, menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil sehingga akhirnya Kerasan Kahuripan terkenal sebagai kerajaan yang menegakkan kembali pemerintahan yang wilayahnya seluas Kerajaan Mataram yang lalu. Akan tetapi kini demi untuk mencegah meluasnya perang saudara, Sang Resi Jatinendra terpaksa membagi wilayah Kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian untuk dibagi rata di antara kedua puteranya berlainan ibu yang sudah bersiap untuk saling menghancurkan dalam perebutan kekuasaan!
Di dalam hatinya bekas raja besar ini maklum bahwa kebenaran ada pada puteranya yang tua, namun kasih sayang sebagai ayah membuat ia condong kepada putera yang muda. Sebetulnya, keputusan Sang Prabu Airlangga untuk membagi kerajaen menjadi dua ini, amat tidak disetujui oleh Narotama, patih yang menjadi sahabat sejak kecil, bahkan diakui sebagai kakak sendiri.
Sang Patih Narotama yang dalam hal kebijaksanaan dan kewaspadaan hanya sedikit selisihnya dengan Sang Prabu Airlangga yang juga menjadi saudara seperguruannya, maklum bahwa usaha Sang Prabu Airlangga ini bukan merupakan jalan keluar yang baik! Hanya merupakan penyanggah perang untuk sementara waktu saja. Bukankah dengan pembagian kerajaan menjadi dua maka sang prabu telah menciptakan dua buah kerajaan yang sama besar dan sama kuat, yang berdiri berhadapan bagaikan dua ekor harimau saling berlaga mengadu kekuatan?
Bukankah perang saudara yang terjadi di alun-alun itu hanya merupakan pertikaian di antara dua saudara sehingga merupakan perang kecil terbatas antara dua pasukan pengawal, sedangkan perang antara dua buah kerajaan besar merupakan perang besar-besaran yang mengerikan dan jauh lebih celaka akibatnya dari pada perang antara kakak dan adik?.
Terjadi perbantahan antara Sang Prabu Airlangga dan Ki Patih Narotama dan akibatnya, Ki Patih Narotama tidak diperkenankan mencampuri urusan yang oleh Sang Prabu Airlangga disebut urusan dalam antara seorang ayah dan para puteranya! Bahkan tak diperkenankan hadir dalam upacara pembagian kerajaan!
Sesungguhnya bukan sekali-kali Sang Prabu Airlangga marah kepada Ki Patih Narotama, melainkan ia maklum bahwa kalau ia membiarkannya saja, Narotama tentu akan turun tangan membela Pangeran Sepuh dan kalau hal ini terjadi, sebagai seorang ayah tentu ia merasa tidak enak kalau harus berat sebelah. Di lain pihak, Narotama yang sudah berjanji takkan mencampuri urusan antara kedua putera sang prabu, lalu menyembah dan berkata,
"Kalau begitu, perkenankanlah hamba mengundurkan diri selaku patih. Selama hamba masih menjadi punggawa Kahuripan, betapa mungkin hanya akan mendiamkan saja kalau melihat Kahuripan terancam perpecahan? Lain halnya kalau hamba sudah bukan punggawa lagi, melainkan menjadi seorang pertapa."
"Kakang Narotama! Kau hendak menjadi pertapa?" Melihat wajah junjungannya yang kaget itu, Narotama tersenyum.
"Paduka sendiri meninggalkan singgasana, meninggalkan kebesaran dan kemuliaan seorang raja dan mengundurkan diri menjadi pertapa, mengapa hamba tidak menauladan contoh paduka yang amat baik ini? Kerajaan akan dipecah menjadi dua, sebaiknya Gusti Pangeran Sepuh dan Gusti Pangeran Anom memilih pembantu masing-masing dan hamba lepas tangan, melepaskan diri dari dunia ramai, menikmati keadaan kosong sunyi, bersih dari pada angkara murkanya nafsu. Hamba pamit, mohon diri, gusti."
"Ha-ha-ha-ha!" Jokowanengpati tertawa bergelak sambil mencabut tombaknya. Akan tetapi suara ketawanya terhenti seketika terganti seruan kaget dan matanya terbelalak ketika ia melihat betapa Wisangjiwo ikut terbawa oleh tombak yang akan dicabutnya dan kini dengan wajah mengerikan Wisangjiwo menubruknya!
Ternyata Wisangjiwo yang sudah terluka parah itu menjadi nekat. Meminjam tenaga betotan lawan, ia membiarkan dirinya terbawa, bahkan lalu meloncat dari punggung kudanya dan sambil menubruk ia mengirim pukulan dahsyat ke arah dada Jokowanengpati.
"Desss...!"
Biarpun Jokowanengpati berusaha mengelak, namun dada kirinya masih terkena hantaman sehingga ia roboh terguling dari atas kudanya sambil menyeret tubuh Wisangjiwo bersamanya. Sayang bahwa Wisangjiwo sudah menderita luka hebat sehingga tenaganya tinggal sepertiga bagian saja. Kalau tidak, agaknya belum tentu Jokowanengpati dapat menahan pukulan yang tak tersangka-sangga tadi, karena diam-diam Wisangjiwo telah menggenggam kerang merah dan pukulannya tadi mengandung Aji Tirto Rudiro.
Namun karena tenaganya tinggal sepertiga, Jokowanengpati hanya merasa seluruh isi dadanya menjadi dingin dan beku untuk sejenak saja. Sebagai seorang muda yang menjadi kekasih Ni Durgogini dan Ni Nogogini, tentu saja ia mengenal pukulan ini dan cepat-cepat ia mengerahkan tenaga dalam untuk melawannya. Namun Wisangjiwo benar-benar sudah menjadi nekat. Ketika tubuh mereka terguling bersama dari atas punggung kuda, Wisangjiwo sudah mencengkeram leher lawannya dan kini ia mengerahkan sisa tenaga yang ada untuk mencekik leher lawan.
Jokowanengpati meronta-ronta sekuat tenaga, bahkan menggunakan kedua tangannya untuk merenggut lepas kedua tangan lawan dari lehernya, namun sia-sia belaka. Dalam keadaan terluka parah dan dalam kemarahan yang mendidih, Wisangjiwo mencekik dengan tekad bulat untuk mengadu nyawa. Jokowanengpati mulai panik. Ia tak dapat bernapas dan cekikan yang amat kuat itu membuat lehernya serasa hendak patah tulangnya, telinganya mengiang-ngiang dan pandang matanya menjadi merah dan gelap. Celaka, pikirnya. Orang ini sudah nekat dan kalau ia tidak cepat- cepat dapat membebaskan diri dari cekikan, tentu ia akan mati konyol! Tombaknya masih menancap di dada atas Wisangjiwo dan kini darah menetes-netes dari gagang tombak itu.
"Keparat... mampuslah kau...! Rasakan pembalasanku atas penghinaanmu terhadap Roro Luhito... isteriku... kepada ibu dan ayah...!" Suara Wisangjiwo mendesis-desis, matanya merah, wajahnya amat menyeramkan.
Jokowanengpati menahan diri agar tidak pingsan, tangannya meraba gagang keris di pinggang belakang, berkutetan dan berhasil menghunus keris.
"Creppp!"
Kerisnya memasuki lambung Wisangjiwo sampai ke gagangnya. Tubuh Wisangjiwo menegang. Kedua tangan yang mencekik leher mendadak menjadi makin kuat sehingga hampir patah tulang leher Jokowanengpati! Cepat-cepat ia mencabut kerisnya dan menghunjamkannya lagi ke dalam perut lawan.
"Creppp!"
Kali ini Wisangjiwo mengeluh, lalu tubuhnya lemas. Jokowanengpati meronta, melepaskan diri dan meloncat bangun. Sejenak ia memejamkan mata karena pandang matanya berkunang, kepalanya berdenyut-denyut, lehernya sakit dan juga dada kirinya masih ngilu. Ketika ia membuka matanya kembali, tubuh Wisangjiwo sudah telentang di depan kakinya, darah bercucuran dari dua lubang bekas tusukan kerisnya, tombaknyapun masih menancap di dada.
Wisangjiwo sudah tak bergerak-gerak lagi. Dengan marah Jokowanengpati menyepak bekas lawannya dan pada saat itu ia melihat Pujo mengamuk tak jauh dari tempat itu. Melihat musuh besar yang berbahaya ini, ia terkejut. Ia maklum bahwa Pujo merupakan lawan yang lebih berat dan lebih berbahaya dari pada Wisangjiwo, sedangkan dia sendiri sudah terluka cukup parah. Tak sanggup rasanya kalau ia harus menghadapi Pujo seorang diri. Maka ia lalu mengerahkan pasukan untuk mengeroyok Pujo.
Pujo tidak gentar. Melihat Jokowanengpati, makin menggelora semangatnya karena ia ingin cepat-cepat dapat berhadapan dengan musuh besarnya itu. Akan tetapi kepungan makin diperketat. Biarpun ia telah banyak merobohkan para perajurit, namun belum juga ia terbebas dari kepungan. Bahkan kini Jokowanengpati mengerahkan pasukan bertombak.
Pujo menjadi repot juga menghadapi kurungan lawan yang memegang senjata panjang ini. Ia tidak takut menghadapi hujan tombak, akan tetapi sukar baginya untuk merobohkan para pengeroyoknya seperti tadi. Dengan marah ia menyimpan kerisnya, merampas sebatang tombak dan dengan senjata panjang inilah ia menghajar para pengeroyoknya. Sampai remuk-remuk dan patah-patah tombaknya setelah ia merobohkan belasan orang. Ia merampas lain tombak dan mengamuk terus sambil berteriak keras, "Jokowanengpati manusia pengecut! Hayo layani aku sampai seorang di antara kita mandi darah!"
Akan tetapi Jokowanengpati tidak mempedulikan maki-makiannya melainkan dari luar memberi petunjuk-petunjuk kepada para perajurit. Betapa pun saktiny Pujo, menghadapi keroyokan yang tak kunjung habis itu, ia menjadi lelah dan repot juga. Kemarahannya meluap dan ia mengamuk seperti banteng ketaton (terluka)!
Sementara itu pertandingan antara Cekel Aksomolo melawan Resi Telomoyo juga amat ramai dan menarik. Seperi biasa, dalam menghadapi lawan tangguh Cekel Aksomolo mengandalkan tasbihnya dan ia lalu menggerakkan tasbih itu tidak hanya untuk menyerang dengan pukulan-pukulan dan sambaran-sambaran yang dapat merenggut nyawa, akan tetapi d samping ini ia juga mengerahkan hawa sakti di dalam tubuhnya untuk disalurkar melalui lengannya dan mengisi bunyi tasbihnya yang demikian nyaring dan aneh sehingga bagi lawan yang kurang kuat batinnya, mendengar suara biji-biji tasbih yang saling beradu ini saja sudah cukup untuk merobohkannya!
Karena kehebatan suara tasbihnya inilah maka pertandingan antara kedua orang kakek sakti ini menjadi terpisah dari pada lainnya. Tidak ada perajurit, baik dari pasukan Pangeran Anom maupun pasukan Pangeran Sepuh, berani mendekati pertandingan ini setelah beberapa orang perajurit kedua belah pihak roboh setelah mendengar suara berkeritik yang memecahkan kendangan telinga dan melumpuhkan otot dan bayu itu! Pertandingan antara mereka terjadi seru tanpa saksi dekat.
Namun sekali ini, Cekel Aksomolo benar-benar bertemu tanding! Kakek pertapa pemuja Sang Kapi Hanoman itu bukanlah orang sembarangan. Biarpun tandangnya (sepak terjangnya) kadang-kadang aneh dan lucu menggelikan, suka garuk-garuk bokong, suka melawak dengan sikap nyelelek (ugal-ugalan), namun sesungguhnya ia memiliki hawa sakti yang amat kuat, batinnya sudah matang dan ia termasuk seorang yang sakti mandraguna.
Suara berkeritikan mujijat yang merobohkan banyak perajurit itu, sama sekali tidak mempengaruhinya, bahkan kakek in lalu membalas dengan aji yang serupa hanya beda macamnya saja. Ia mere-mere seperti seekor kera tulen, bahka mengeluarkan suara seperti kera. Suara ini amat tidak sedap memasuki telinga seakan-akan mengorek-ngorek telinga dengan benda tajam yang keras. Kalau orang biasa saja yang menjadi lawan mendengar suara ini tentu akan merasa telinganya pecah-pecah dan menyerah tanpa berkelahi lagi!
Karena keduanya maklum bahwa aji penaluk melalui suara ini tidak ada gunanya kalau digunakan terhadap lawan maka kini mereka lalu mengandalkan ilmu silat mereka. Cekel Aksomolo biarpun seorang kakek bongkok dan tua renta tangannya seperti lumpuh, namun sesungguhnya ia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak hanya ilmu kebatinan dan ilmu hitam, juga ilmi silatnya hebat. Tasbih yang merupakan senjata pusaka ampuh itu berada di tangannya seakan-akan berubah menjadi halilintar.
Tasbih itu lenyap bentuknya ketika ia gerakkan berubah menjadi sinar yang melingkar-lingkar aneh mengeluarkan bunyi aneh dan angin gerakannya mengandung hawa panas. Jangankan terkena sambaran tasbihnya sendiri, baru. tersambar oleh angin gerakannya saja sudah membuat kulit manusia biasa terkupas seperti terkena air mendidih.
Namun Resi Telomoyo juga hebat. Biarpun ia hanya mempergunakan sebatang cabang pohon untuk dipakai sebagai senjata, namun ternyata cabang pohon biasa itu di tangannya berubah menjadi senjata ampuh. Suara nyaring terdengar tiap kali cabang pohon bertemu tasbih, seolah-olah tanah tergetar dan asap mengebul dari cabang pohon itu! Mereka serang-menyerang, desak-mendesak, sukar sekali menentukan siapa yang akan menang.
Juga pertandingan antara Ki Warok Gendroyono melawan Kartikosari amat ramai dan setanding. Sesungguhnya, dalam gerakan ilmu silat, Kartikosari menang seusap, akan tetapi Ki Warok Gendroyono dapat menutup kekalahannya itu dengan tubuhnya yang kebal sehingga tusukan keris yang tidak mengenai tepat, kalau hanya meleset saja, tidak akan melukainya, paling-paling membuat kulitnya lecet sedikit.
Sudah beberapa kali keris Kartikosari mengenai tubuhnya, meleset sehingga mengejutkan wanita sakti itu. Adapun senjata Ki Bandot, kolor maut itu, juga amat berbahaya dan Kartikosari cukup maklum bahwa sekali saja kepala atau dadanya kena hantaman kolor, tentu maut tebusannya. Oleh karena inilah ia berkelahi dengan hati-hati sekali, mengandalkan kecepatan gerak tubuhnya.
Sayang sekali keadaan Roro Luhito tidak seramai teman-temannya. Menghadapi Ki Krendoyakso yang sepak terjangnya buas dan liar, wanita ini menjadi panik. Belum banyak pengalamannya bertempur dan Ki Krendroyakso benar-benar seorang liar yang menyeramkan. Ruyungnya yang besar dan berat itu mendatangkan angin lesus, dan selain ruyungnya, juga lengan kirinya yang besar selalu menjangkau hendak mencengkeram, dari mulutnya keluar gerengan-gerengan seperti binatang buas dan keringatnya berbau sengit menyengat hidung.
Ketika ramai-ramainya bertanding, Ki Krendoyakso yang kaya keringat ini menggerakkan tubuh, keringatnya memercik ke depan, tanpa disengaja mengenai muka Roro Luhito, dekat hidung dan mulut. Hampir dia muntah-muntah!
"Iblis laknat menjijikkan!"
Ia memaki-maki untuk mencegah agar jangan sampai muntah-muntah, lalu ia menggunakan Aji Sosro Satwo dan tubuhnya berkelebat amat cepatnya. Hanya dengan kecepatan tubuhnya ia mampu menjaga diri, akan tetapi karena ia selalu mengelak dan merasa jijik untuk berkelahi mendekat, ia pun tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Lucu pertandingan ini. Biarpun Roro Luhito tampak diserang terus, namun dengan kelincahannya inipun ia telah membuat Ki Krendoyakso pening dan lelah. Seperti seekor celeng besar menghadapi gangguan seekor lebah, atau seekor anjing digoda seekor lalat.
Perang campuh antara pasukan Pangeran Muda dan pasukan Pangeran Sepuh berlangsung makin hebat, makin buas dan kejam. Alun-alun yang biasanya bersih itu kini penuh mayat bergelimpangan, darah bergelimangan, bau darah amis menyesakkan dada mengotorkan udara. Teriakan-teriakan yang keluar dari kerongkongan parau makin liar dan jerit tangis yang terluka melengking tinggi. Debu mengebul tebal dan tinggi, menggelapkan alun-alun dan sekitarnya. Perang campuh besar-besaran ini berlangsung hampir sehari penuh, agaknya hanya akan berhenti kalau mata sudah tak dapat membedakan kawan atau lawan karena malam tiba, untuk dilanjutkan esok hari dan seterusnya.
Tiba-tiba bertiup angin keras yang menerbangkan debu yang menggelapkan medan yuda, dan suara yang lembut namun berpengaruh terbawa oleh angin ini sehingga terdengar oleh semua yang sedang berperang.
"Haaiii... para kawula di Kahuripan! Hentikanlah segera pertumpahan darah ini!"
Suara ini amat jelas dan penuh wibawa, membuat mereka yang mendengar tersentak kaget dan menghentikan gerakan senjata masing-masing lalu menengok dan mencari-cari dengan pandang mata untuk melihat apakah pendengaran mereka tidak keliru. Semua orang yang sedang berperang itu mengenal belaka suara ini. Dan tampaklah oleh mereka bahwa pendengaran mereka benar. Di atas pegunungan kecil yang berada di sebelah selatan alun-alun, Berdiri tiga orang kakek. Kakek yang berdiri di depan itulah yang berseru menghentikan perang. Tampak betapa kakek itu mengangkat tangan kanan ke atas, menggerak-gerakkan tangan itu, dari mulutnya keluar seruan itu berkali-kali.
Tak salah lagi, demikian para perajurit dan perwira berpikir dengan hati berdebar, itulah Sang Prabu Airlangga yang telah mengundurkan diri menjadi pendeta! Tak seorangpun di antara mereka yang tidak gentar hatinya melihat Sang Prabu Airlangga, lemas lutut mereka dan para perajurit yang berada di depan, baik mereka itu anak buah pasukan Pangeran Anom maupun anak buah pasukan Pangeran Sepuh segera menjatuhkan diri berlutut didahului oleh para perwira. Perbuatan ini diikuti oleh perajurit-perajurit yang berada di sebelah belakang.
Menyaksikan ini, dua orang kakek yang mengapit Sang Prabu Airlangga atau Sang Resi Jatinendra, mengangguk-anggukkan kepala dengan penuh kagum. Mereka ini adalah Empu Bharodo dan Resi Bhargowo. Dua orang pertapa sakti ini makin kagum dan tunduk kepada junjungan ini yang ternyata masih memiliki wibawa yang bukan main besarnya.
Dua orang pangeran juga melihat munculnya ayah mereka. Pucat wajah mereka dan serta-merta mereka berdua meninggalkan barisan masing-masing, lari menghampiri Resi Jatinendra. Akan tetapi karena pangeran Anom menghampiri dengan berkuda sedangkan Pangeran Sepuh sudah turun dari kuda, maka Pangeran Anom yang lebih dahulu tiba di situ. Pangeran ini segera meloncat turun dari kuda berlari menubruk kaki ayahnya sambil menangis!
Pendeta itu mengelus-elus jenggotnya dengan tangan kiri dan menyentuh kepala puteranya dengan tangan kanan. Dia amat sayang kepada putera-puteranya, terutama putera bungsu ini. Kemudian ia melirik kepada Pangeran Sepuh yang juga telah tiba di situ dan kini berlutut pula di depannya, di belakang Pangeran Anom sambil menundukkan muka.
Sejak putera-puteranya masih kecil, selalu Sang Prabu Airlangga menekankan kerukunan kepada mereka, mendidik mereka agar hidup rukun, yang muda tunduk kepada yang tua, sebaliknya yang tua mengalah kepada yang muda. Maka kini ia merasa prihatin sekali menyaksikan perang saudara antara kedua puteranya itu.
"Hemm, anak-anakku. Mengapa kalian mengadakan perang saudara dan membiarkan bunuh-membunuh macam ini?" Dalam pertanyaan ini, sungguhpun suaranya halus dan wajahnya masih tetap bersinar, namun terkandung hati trenyuh.
"Duh rama...!" Pangeran Anom mendahului kakaknya dan menangis makin keras. "Semenjak rama pergi bertapa, Pangeran Sepuh selalu menindas hamba, selalu menghina hamba, mengandalkan kedudukannya sebagai putera sepuh (tua), sebagai putera permaisuri pertama! Rama hamba diperhina, tak dipandang sebelah mata, dianggap adik tiri yang terbenci kalau hamba tidak mempertahankan diri, agaknya hamba sudah disuruhnya bunuh!"
Sang Prabu Airlangga yang sudah menjadi pertapa itu adalah seorang bijaksana, seorang waspada, tentu saja tidak mudah dibujuk dan dibakar oleh omongan-omongan seperti itu. Namun, betapa pun juga dia seorang manusia yang tak terlepas dari pada ikatan kasih, maka keningnya berkerut ketika ia menegur Pangeran Sepuh
"Bukankah sejak dahulu aku selalu memperingatkan agar yang tua pandai mengalah? Lebih tua berarti lebih matang jiwanya, lebih luas pandangannya, dan lebih bijaksana. Mengapa membiarkan keadaan menjadi berlarut-larut sehingga timbul perang saudara yang begini menyedihkan?"
Pangeran Sepuh orangnya pendiam, seperti ibunya. Dengan sepenuh hati ia bersujut dan menjawab, "Mohon beribu ampun, rama. Mengenai semua peristiwa yang terjadi, hamba yakin bahwa rama tentu telah dapat menyelami dan mengetahui akan keadaannya."
Makin dalam kerut merut di wajah yang tadinya berseri itu. Jawaban ini cukup bagi Sang Resi Jatinendra, cukup membuat ia maklum akan perbedaan antara kedua orang puteranya, juga cukup membuat ia menduga bahwa kalau diselidiki, tentu kesalahan berada di pihak Pangeran Anom. Menyelidiki urusan ini, menekankan kesalahan-kesalahan, berarti malah memperhebat permusuhan di antara mereka. Maka ia berkata, suaranya penuh wibawa,
"Yang tua mengalah, yang muda menunduk, inilah kewajiban di antara saudara, berlandaskan cinta kasih. Segala macam persoalan yang timbul, hanya dapat diselesaikan baik-baik secara damai dengan perundingan. Mengapa suka menghamba nafsu dan melakukan perang saudara yang mengakibatkan pertumpahan darah antara saudara? Wilayah Kahuripan amat luas, dibagi dua pun kalian masih akan mendapatkan bagian masing-masing yang cukup luas. Untuk apa diperebutkan?"
Perang saudara itu serentak berhenti. Melihat munculnya Sang Prabu Airlangga sendiri yang menghentikan perang, gentarlah rasa hati para pembantu Pangeran Anom yang pada saat itu masih bertanding. Cekel Aksomolo maklum bahwa, menghadapi bekas Raja Kahuripan yang amat sakti mandraguna itu, ia dan kawan-kawannya takkan dapat berbuat sesuatu, bahkan melihat perang terhenti secara mendadak, ia pun lalu menghentikan serangannya terhadap Resi Telomoyo, lalu terbungkuk-bungkuk menyelinap pergi di antara banyak perajurit yang bersimpang-siur.
Demikian pula pertandingan Roro Luhito, terhenti dengan sendirinya. Seperti juga Cekel Aksomolo, dua orang raksasa ini mengundurkan diri dan menanti keputusan Pangeran Anom yang masih menghadap ayahnya bersama Pangeran Sepuh. Kartikosari dan Roro Luhito yang pada hakekatnya datang ke kota raja terutama sekali untuk mencari musuh besar mereka, kinipun kehilangan nafsu bertempur melihat perang dihentikan. Secara pribadi, mereka tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan dua orang raksasa tadi. Maka mereka lalu cepat menyelinap maju, memasuki bagian yang tadi menjadi wilayah musuh, untuk mencari Jokowanengpati.
Sementara itu, Resi Telomoyo yang tadi ketika bertanding melawan Cekel Aksomolo sempat melihat Pujo menerjang ke tengah barisan, juga sudah menyelinap pergi untuk mencari Pujo karena ia merasa khawatir kalau-kalau Pujo yang terpisah dari mereka bertiga tadi mengalami celaka.
"Kakang Wisangjiwo...! Aduh, kakang... kenapa kau sampai begini...!"
Roro Luhito menubruk tubuh yang rebah miring mandi darah itu, memeluk dan menangis. Kartikosari berdiri dan memandang. Kasihan, pikirnya. Biarpun Wisangjiwo ini dahulu bukan manusia baik-baik dan telah menyeleweng jauh dari pada kebenaran, akan tetapi akhir-akhir ini telah insyaf dan berusaha kembali ke jalan benar. Siapa mengira, putera Adipati Selopenangkep akan mengakhiri hidupnya di medan perang dalam keadaan mengerikan.
Tubuh yang disangka sudah mati itu bergerak perlahan, telentang sehingga kini tampak luka-luka di sebelah depan tubuhnya, di dada dan perut. Darah sudah tak mengucur lagi, akan tetapi di atas tanah tergenang darah dan pakaiannya juga penuh darah. Wisangjiwo membuka matanya. Melihat bahwa wanita yang memeluknya adalah Roro Luhito, matanya terbelalak dan dengan sukar sekali agaknya dengan pengerahan tenaga penghabisan, ia berkata, menudingkan telunjuknya,
"Jok... Jokowanengpati... dia lari ke sana...!"
Tiba-tiba tubuhnya berkelojotan lalu lemas. Nyawanya melayang pergi. Roro Luhito maklum kakak tirinya sudah mati, akan tetapi pada saat itu kemarahan dan dendam lebih dari pada kedukaan. Ia meletakkan tubuh kakaknya yang tadi ia sangga itu ke atas tanah, lalu meloncat berdiri. Bagaikan mendapat komando, keduanya serentak lari ke arah yang ditunjuk oleh Wisangjiwo tadi, berlari cepat seperti berlomba. Beberapa perajurit yang mereka terjang terguling dan banyak orang memaki-maki Namun Kartikosari dan Roro Luhito tak peduli, terus lari sampai mereka keluar dari alun-alun yang penuh perajurit. Suara derap kaki kuda mengejutk mereka, membuat mereka menoleh.
"Itu dia!" seru Roro Luhito.
Memang benar Jokowanengpati telah menunggang kuda dan membalapkan kudanya itu, menuju selatan. "Kejar...!" Kartikosari berseru.
Mereka lari ke arah kiri di mana terdapat beberapa ekor kuda yang dituntun perajurit Pangeran Anom. Agaknya binatang-binatang itu kuda tunggangan para perwira yang kini turun dari kuda dan entah ke mana perginya. Tak berkata sesuatu, Kartikosari dan Roro Luhito menggerakkan tangan dan kaki dan sekejap saja mereka berdua telah menunggangi kuda rampasan, membiarkan dua orang perajurit yang tiba-tiba didorong roboh terlentang itu bengong terlongong kemudian menyumpah-nyumpah!
Kartikosari mendapatkan kuda berbulu dawuk, sedangkan Roro Luhito menunggang kuda berbulu merah. Sekali lagi terdengar derap kaki kuda membalap ke selatan ketika dua orang wanita ini mengejar Jokowanengpati yang sudah tidak tampak lagi bayangannya.
Resi Telomoyo menemukan Pujo dalam keadaan payah. Pujo bermandi peluh dan ia lelah sekali bahkan ada beberapa luka ringan di tubuhnya. Untung tadi bahwa perang terhenti tiba-tiba, kalau tidak, tentu ia terancam bahaya maut. Jokowanengpati yang curang itu tidak pernah maju sendiri, melainkan terus-menerus menambah bala bantuan sehingga Pujo dikeroyok oleh puluhan orang perajurit. Biarpun Pujo tidak gentar dan mengamuk serta merobohkan banyak sekali lawan, namun kalau pertandingan keroyokan seperti itu dilanjutkan, tentu ia akan kehabisan napas dan tenaga sehingga akhirnya ia akan mati di ujung puluhan senjata!
Maka begitu perang terhenti, ia berdiri dengan keris di tangan, mengatur napas dan memulihkan tenaganya. Biarpun semua orang berhenti bertempur, namun mengingat akan kelicikan Jokowanengpati, Pujo tidak berani bersikap lengah. Ia beristirahat, namun dengan keris di tangan, siap membela diri mati-matian. Ia tidak tahu betapa Jokowanengpati sudah menjadi ketakutan begitu melihat bahwa perang dihentikan oleh Sang Prabu Airlangga sendiri.
Sebagai seorang yang telah menumpuk dosa, melihat Pujo, Kartikosari dan Roro Luhito berada pula di kota raja, setelah kini ia tidak dapat berlindung lagi di belakang Pangeran Anom karena perang dihentikan, tentu saja Jokowanengpati menjadi ketakutan. Ia pikir lebih baik lolos lebih dahulu dan setelah ia merasa yakin takkan dapat dijangkau tangan orang-orang yang mendendam, baru ia akan kembali menghambakan diri kepada Pangeran Anom. Untung, pikirnya, Pujo sudah amat lelah sehingga tidak dapat mengejarnya. Ia sendiri menderita luka yang cukup hebat akibat pukulan Wisangjiwo tadi, sehingga kalau dalam keadaan seperti ini ia harus menghadapi Pujo, ia merasa berat dan khawatir.
Girang hati Pujo mendengar bahwa kedua orang isterinya tidak mengalami luka dalam perang itu sungguhpun hatinya kaget ketika Resi Telomoyo menceritakan bahwa kedua orang isterinya itu mendapatkan lawan yang amat berbahaya, yaitu Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyokso! Mereka berdua lalu kembali untuk mencari Kartikosari dan Roro Luhito, namun kedua orang wanita itu tidak tampak bayangannya. Pujo yang merasa tidak enak hatinya, minta agar Resi Telomoyo kembali lebih dahulu ke pasanggrahan yang disediakan untuk mereka oleh Wisangjiwo di kompleks Istana Pangeran Sepuh.
"Paman resi, saya tidak dapat beristirahat dengan tenang sebelum melihat mereka kembali dengan selamat. Kemana gerangan mereka pergi? Bukankah perang sudah dihentikan? Saya hendak mencari mereka."
Demikian kata Pujo yang kembali ke alun-alun dan menyelinap ke tengah dimana tadi terjadi perang hebat. Perajurit-perajurit kedua fihak kini sedang mengangkuti mereka yang tewas dan terluka. Namun tidak tampak bayangan kedua isterinya. Kalau Kartikosari dan Roro Luhito berada di antara mereka, tentu mudah terlihat olehnya karena perajurit-perajurit itu adalah laki-laki semua.
Akhirnya setelah bertanya-tanya, Pujo mendengar bahwa kedua orang isterinya itu merampas kuda dan membalapkan kuda ke arah selatan. Tak seorangpun di antara para perajurit kedua fihak dapat menerangkan ke mana perginya kedua orang wanita itu dan mengapa pula merampas kuda dan tergesa-gesa pergi ke selatan. Agaknya mereka mengejar Jokowanengpati, pikir Pujo. Tidak ada lain hal yang akan dapat membuat kedua isterinya itu pergi begitu saja tanpa memberi tahu kepadanya, kecuali kalau mereka melihat Jokowanengpati dan mengejarnya.
Kekhawatiran akan keselamatan kedua isterinya membuat Pujo lupa akan kelelahannya. lapun lalu mencari seekor kuda. Sebagai seorang pembantu Pangeran Sepuh, tentu saja para perajurit mengenalnya dan mudah saja ia memperoleh seekor kuda yang baik. Tak lama kemudian, kembali seekor kuda membalap di atas jalan menuju ke selatan itu…..
********************
Setelah memberi nasehat banyak kepada kedua orang puteranya, akhirnya Sang Resi Jatinendra atau Resi Gentayu, mengambil keputusan untuk membagi Kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian. Raja sakti yang telah menjadi pertapa yang bijaksana dan waspada ini dengan hati prihatin dapat melihat bahwa betapa pun ia memberi wejangan-wejangan, takkan dapat melenyapkan rasa dendam dan iri di dalam hati kedua orang puteranya, terutama di dalam hati Pangeran Anom. Sang Resi Jatinendra yang sudah awas pandangan batinnya dan dapat meraba dengan rasa ke arah masa depan menjadi trenyuh dan nelangsa.
"Manusia berusaha, namun Hyang Wisesa yang menentukan," keluhnya di dalam hati, "namun aku akan kesiku (terkutuk) kalau sebagai manusia aku tidak melakukan usaha sedapat mungkin yang sudah menjadi kewajiban manusia."
Pertapa ini maklum bahwa usaha satu-satunya yang dapat ia lakukan untuk mencegah perebutan, hanyalah dengan jalan membagi kerajaan menjadi dua bagian dan diberikan kepada kedua orang puteranya. Tentu saja hal ini berlawanan dengan politiknya sebagai raja dahulu. Dahulu Sang Prabu Airlangga berpendirian bahwa tanpa penyatuan seluruh Nusantara, kemakmuran takkan dapat tercapai karena selalu akan terjadi perebutan wilayah dan kekuasaan di antara para adipati dan raja-raja kecil.
Karena pendirian inilah maka ketika Resi Jatinendra masih menjadi raja, tiada hentinya ia melakukan usaha perluasan wilayah, menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil sehingga akhirnya Kerasan Kahuripan terkenal sebagai kerajaan yang menegakkan kembali pemerintahan yang wilayahnya seluas Kerajaan Mataram yang lalu. Akan tetapi kini demi untuk mencegah meluasnya perang saudara, Sang Resi Jatinendra terpaksa membagi wilayah Kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian untuk dibagi rata di antara kedua puteranya berlainan ibu yang sudah bersiap untuk saling menghancurkan dalam perebutan kekuasaan!
Di dalam hatinya bekas raja besar ini maklum bahwa kebenaran ada pada puteranya yang tua, namun kasih sayang sebagai ayah membuat ia condong kepada putera yang muda. Sebetulnya, keputusan Sang Prabu Airlangga untuk membagi kerajaen menjadi dua ini, amat tidak disetujui oleh Narotama, patih yang menjadi sahabat sejak kecil, bahkan diakui sebagai kakak sendiri.
Sang Patih Narotama yang dalam hal kebijaksanaan dan kewaspadaan hanya sedikit selisihnya dengan Sang Prabu Airlangga yang juga menjadi saudara seperguruannya, maklum bahwa usaha Sang Prabu Airlangga ini bukan merupakan jalan keluar yang baik! Hanya merupakan penyanggah perang untuk sementara waktu saja. Bukankah dengan pembagian kerajaan menjadi dua maka sang prabu telah menciptakan dua buah kerajaan yang sama besar dan sama kuat, yang berdiri berhadapan bagaikan dua ekor harimau saling berlaga mengadu kekuatan?
Bukankah perang saudara yang terjadi di alun-alun itu hanya merupakan pertikaian di antara dua saudara sehingga merupakan perang kecil terbatas antara dua pasukan pengawal, sedangkan perang antara dua buah kerajaan besar merupakan perang besar-besaran yang mengerikan dan jauh lebih celaka akibatnya dari pada perang antara kakak dan adik?.
Terjadi perbantahan antara Sang Prabu Airlangga dan Ki Patih Narotama dan akibatnya, Ki Patih Narotama tidak diperkenankan mencampuri urusan yang oleh Sang Prabu Airlangga disebut urusan dalam antara seorang ayah dan para puteranya! Bahkan tak diperkenankan hadir dalam upacara pembagian kerajaan!
Sesungguhnya bukan sekali-kali Sang Prabu Airlangga marah kepada Ki Patih Narotama, melainkan ia maklum bahwa kalau ia membiarkannya saja, Narotama tentu akan turun tangan membela Pangeran Sepuh dan kalau hal ini terjadi, sebagai seorang ayah tentu ia merasa tidak enak kalau harus berat sebelah. Di lain pihak, Narotama yang sudah berjanji takkan mencampuri urusan antara kedua putera sang prabu, lalu menyembah dan berkata,
"Kalau begitu, perkenankanlah hamba mengundurkan diri selaku patih. Selama hamba masih menjadi punggawa Kahuripan, betapa mungkin hanya akan mendiamkan saja kalau melihat Kahuripan terancam perpecahan? Lain halnya kalau hamba sudah bukan punggawa lagi, melainkan menjadi seorang pertapa."
"Kakang Narotama! Kau hendak menjadi pertapa?" Melihat wajah junjungannya yang kaget itu, Narotama tersenyum.
"Paduka sendiri meninggalkan singgasana, meninggalkan kebesaran dan kemuliaan seorang raja dan mengundurkan diri menjadi pertapa, mengapa hamba tidak menauladan contoh paduka yang amat baik ini? Kerajaan akan dipecah menjadi dua, sebaiknya Gusti Pangeran Sepuh dan Gusti Pangeran Anom memilih pembantu masing-masing dan hamba lepas tangan, melepaskan diri dari dunia ramai, menikmati keadaan kosong sunyi, bersih dari pada angkara murkanya nafsu. Hamba pamit, mohon diri, gusti."
Komentar
Posting Komentar