BADAI LAUT SELATAN : JILID-70


Ayu Candra mendengarkan dengan muka pucat. Rasa kasihan yang besar terhadap Pujo dan Kartikosari sudah menghapus sebagian besar dendam hatinya. Tanpa mengganggu sedikitpun ia mendengarkan terus, pandang matanya bergantung pada bibir Joko Wandiro.
"Peristiwa itu membuat paman Pujo dan bibi Kartikosari berpisahan, mereka menderita lahir batin sampai belasan tahun dan bibi Kartikosari yang sudah mengandung kemudian melahirkan anak dalam keadaan yang mengerikan dan menderita sekali "
"Endang Patibroto!" Ayu Candra memotong cepat.
"Benar," Joko Wandiro mengangguk. "Kemudian ibumu, juga ibuku, Listyakumolo yang bernasib malang, karena kehilangan aku, menerima pukulan batin hebat sehingga terganggu pikirannya. Ayahku yang ketika itu masih menyeleweng dari kebenaran malah mengirimnya pulang kerumah orang tua ibu kita, di lereng Lawu. Kalau nasib sedang dirundung kemalangan, belum lama setelah ibu dipulangkan, daerah itu diserbu perampok, semua keluarga kakek kita di sana habis dibunuh, kecuali ibu kita yang diculik oleh kepala perampok."
"Ah, kasihan ibu...!" Ayu Candra terisak, teringat kepada ibunya yang tercinta.
"tentang nasib ibu kita selanjutnya, aku tidak pernah mendengar ceritanya, dan tahu-tahu ibu kita telah tinggal bersama ayahmu di Sarangan. Sangat boleh jadi ibu kita tertolong oleh ayahmu, kemudian mereka menjadi suami isteri dan lahirlah engkau."
Ayu Candra mengangguk-angguk, air mata bertetesan di atas kedua pipi. Sejenak mereka diam, masing-masing tenggelam dalam lamunan. Ayu Candra mengenangkan ibunya yang tercinta. Adapun Joko Wandiro menekan perasaannya yang terasa perih dan sakit karena selama hidupnya, belum pernah ia berjumpa dengan ibu kandungnya, belum pernah ia melihat bagaimana wajah ibunya. Untuk mencegah agar kenangan pahit ini tidak meracuni hatinya, ia melanjutkan ceritanya. Ia menceritakan betapa ayahnya, Raden Wisangjiwo, akhirnya sadar namun sudah terlambat karena ketika ayahnya mencari ibunya di lereng Lawu, ibunya sudah tidak ada. Diceritakan pula betapa ayahnya tewas dalam perang ketika membantu Pangeran Sepuh yang kini menjadi sang prabu di Panjalu.
"Akhirnya, paman Pujo dan bibi Kartikosari bertemu dengan ayahku dan barulah mereka itu tahu bahwa yang melakukan perbuatan keji terhadap diri bibi Kartikosari di dalam Gua Siluman itu bukanlah ayahku, melainkan Jokowanengpati. Paman Pujo menyesali perbuatannya, telah menculik aku dan menyengsarakan kehidupan ibuku. Karena itulah, ketika ibu kita bersama ayahmu datang ke Sungapan dan bertemu dengan paman Pujo, maka paman Pujo menyerahkan nyawanya di tangan ibu kita. Tanpa melawan paman Pujo rela ditusuk keris oleh ibu kita, untuk membalas dan menebus dosanya dahulu. Bahkan sebelum meninggal dunia, paman Pujo melarang bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito, yaitu adik kandung ayahku yang juga menjadi isteri paman Pujo, untuk membalas dendam. Paman Pujo rela menebus permusuhan itu dengan nyawa dan menghabiskan sampai di situ saja."
Ayu Candra memandang wajah kakaknya yang membayangkan keharuan, kekaguman dan kedukaan. Tahulah Ayu Candra bahwa guru kakaknya ini, Pujo, tentulah seorang ksatria yang amat gagah perkasa dan mulia sehingga rela menebus kesalahan dengan menyerahkan nyawa. Ia pun menjadi terharu.
"Sayang sekali," Joko Wandiro menghela napas, "manusia berdaya upaya, namun Sang Hyang Wisesa yang menentukan kesudahannya. Maksud mulia paman Pujo itu ternyata gagal karena pada saat itu sebelum ia mati, datang secara tiba-tiba Endang Patibroto yang telah menjadi murid Dibyo Mamangkoro dan memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa. Bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito mentaati pesan paman Pujo, akan tetapi tidak demikian dengan Endang Patibroto. Begitu mendengar bahwa paman Pujo adalah ayah kandungnya yang baru saja ia jumpai selama hidupnya, dan melihat betapa ayahnya yang baru dijumpainya itu tewas tanpa melawan oleh ibu kita yang masih berada di situ, ia lalu menerjang dan berhasil menewaskan ibu kita, bahkan melukai ayahmu sehingga ayahmu meninggal dunia."
Ayu Candra terisak menangis. Joko Wandiro mendiamkannya sampai tangis adiknya mereda. Barulah ia bicara lagi dengan suara halus, "Demikianlah, adikku. Kita tidak boleh dihanyutkan oleh dendam. Kalau kita renungkan, bukankah perbuatan Endang Patibroto itupun wajar, seperti engkau pula yang melihat orang tua terbunuh lalu timbul kemarahan dan dendam? Memang, dia terlalu ganas sehingga tidak mempedulikan pesan ayahnya, tidak mempedulikan cegahan ibunya. Akan tetapi, apakah kita perlu meniru dia? Bukankah lebih sempurna kalau kita taati pesan paman Pujo yang hendak menghabiskan urusan permusuhan dengan penebusan nyawanya? Dan terutama sekali, bukankah ayahmu sendiri meninggalkan pesan terakhir sebelum meninggal dunia, bahwa kau dilarang membalas dendam, dilarang untuk melanjutkan permusuhan? Inilah sebabnya, adikku sayang, mengapa aku melarang engkau mencari bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito untuk membalas dendam."
Ayu Candra tidak menjawab, hanya menubruk kakaknya dan menangis dengan muka di atas pangkuan Joko Wandiro. Sampai lama sekali Ayu Candra menangis dan Joko Wandiro mendiamkannya saja, membiarkan gadis itu menghanyutkan semua rasa dendam dan sakit hati keluar bersama air matanya.
Setelah Ayu Candra kini mingsek-mingsek sebagai sisa tangisnya, Joko Wandiro lalu memegang kedua pundaknya dan mendorongnya duduk kembali. "Sekarang, aku sengaja akan mengajakmu ke Pulau Sempu menemui mereka berdua, Ayu, dan aku yakin bahwa kalau kau telah bicara dengan mereka berdua, kau pun pasti akan membenarkan pendapatku ahwa mereka berdua itu bukanlah orang-orang jahat yang patut dijadikan musuh. Kita pergi mengunjungi Pulau Sempu yang tak jauh lagi, kemudian dari sana aku akan mengajakmu ke Panjalu untuk mencari Joko Seto "
"Siapa?" Suara Ayu Candra masih gemetar.
"Joko Seto, putera paman Darmobroto. Lupakah kau akan pesan ayahmu? Engkau dijodohkan dengan Joko Seto, dan sudah menjadi kewajibanku untuk mengurus perjodohanmu, karena sekarang akulah yang menjadi pengganti orang tuamu, akulah yang menjadi walimu karena aku adalah kakak kandungmu!"
Ayu Candra mengerutkan keningnya yang bagus, lalu menggeleng kepalanya. Aku... aku tidak mau menikah!"
"Eh, jangan begitu, adikku. Tak mungkin pesan terakhir ayahmu akan engkau abaikan begitu saja dan "
"Sudahlah, aku tidak suka bcara tentang itu. Terserah saja kepadamu kelak. Tentang Pulau Sempu... kakang, perlu benarkah kita ke sana? Rasanya tidak nyaman hatiku kalau harus bertemu dengan mereka, sungguhpun penuturanmu tadi cukup menekan dan menghilangkan tekadku untuk membalas dendam."
Joko Wandiro memegang jari-jari tangan adiknya yang kecil-kecil dan halus. "Ayu Candra, sesungguhnya bukan hanya untuk menghadap kedua orang bibi itu, melainkan aku mempunyai kepentingan yang besar di Pulau Sempu. Aku hendak mengambil pusaka yang kusimpan di sana. Urusan ini amat pentingnya, karena itu adalah urusan Kerajaan Panjalu dan aku harus mentaati pesan eyang guru Resi Bhargowo dan bapa guru Narotama."
Ayu Candra mengangguk-angguk. Sebagai puteri seorang pendekar sakti, ia tahu akan kepentingan ini. "Akan tetapi setelah itu, mengapa harus ke Panjalu? Aku lebih senang kalau kau ajak kembali ke Sarangan, aku... aku kepingin nyekar (menabur bunga) di telaga untuk arwah ayahku..."
Joko Wandiro menarik napas panjang. Ia maklum bahwa sebetulnya gadis ini menyatakan keberatannya pergi ke Panjalu untuk mencari Joko Seto. Diam-diam ia menjadi bingung. Ada rasa syukur dan senang di sudut hatinya melihat betapa gadis ini agaknya tidak suka berjodoh dengan lain orang, berarti tak dapat menghapus cinta kasih di antara mereka, akan tetapi kesadarannya membisukan bahwa ia harus berusaha merangkap perjodohan yang sudah dipesankan oleh ayah gadis ini.
"Begini, adikku. Setelah aku mengambil pusaka, aku harus menghaturkan pusaka itu kepada sang prabu di Panjalu, maka terpaksa aku harus ke sana. Setelah hal itu beres, barulah aku akan mengantarmu ke Sarangan."
Ayu Candra tidak membantah lagi dan malam itu ia tertidur dengan kepala berbantal paha Joko Wandiro yang duduk bersila. Kuda tunggangan mereka juga mengaso di bawah pohon, kadang-kadang menyabetkan ekornya, kadang-kadang mendengus mengusir nyamuk…..
********************
Ketika Joko Wandiro dan Ayu Candra sudah sampai di hutan terakhir di Pegunungan Kidul, dekat pantai selatan, tiba-tiba pemuda itu berhenti berlari dan Ayu Candra juga menahan kendali kuda. Dua orang muda ini berdiri memandang ke depan dengan mata terbelalak, karena di depan mereka telah menghadang dua orang yang sama sekali tak pernah mereka sangka-sangka akan mereka jumpai di situ. Mereka berdua itu adalah Endang Patibroto dari Ki Jatoko!
Endang Patibroto tersenyum mengejek ketika Ayu Candra meloncat turun dari kuda dan menggandeng tangan kiri Joko Wandiro karena gadis ini merasa gelisah dan ngeri. Ia mengenal dua orang itu dan tahu bahwa mereka adalah iblis-iblis yang ganas dan keji lagi berbahaya. Ayu Candra sama sekali tidak tahu bahwa sikapnya yang tampak mesra ini bagi Endang Patibroto merupakan minyak yang menyiram api didada, membuat Endang Patibroto tersenyum dingin untuk menyembunyikan hati yang panas.
"Hemm, bagus sekali! Kebetulan di sini kita bertemu, Joko Wandiro. Di sinilah kita lanjutkan pertandingan kita dahulu. Terimalah seranganku!"
Endang Patibroto sama sekali tidak mau memberi kesempatan kepada Joko Wandiro dan langsung menerjang dengan gerakan kilat, memukulkan tapak tangannya ke arah dada pemuda itu. Joko Wandiro kaget dan cepat ia mendorong tubuh Ayu Candra ke kiri, kemudian mengelak ke kanan sambil menggerakkan tangan menangkis pukulan Endang Patibroto.
"Dukk...!" Dua orang itu terdorong mundur.
"Endang Patibroto! Gilakah engkau? Begitu tak berbudikah engkau sehingga kau lupa bahwa kakang Joko yang menyelamatkan engkau dari tangan Bhagawan Kundilomuko?"
Ayu Candra berteriak-teriak untuk mencegah pertandingan yang seru. Akan tetapi sia-sia belaka. Endang Patibroto mana mau mendengarkan cegahannya? Gadis ini dengan ganas menerjang terus, seperti dahulu ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya.
"Hemm, Endang Patibroto. Engkau benar keterlaluan sekali! Juga kau sombong bukan main. Apa kau kira aku tak dapat menanggulangimu?" bentak Joko Wandiro yang mulai marah dan pemuda inipun balas menyerang dengan antep dan cepat.
Ketika Ayu Candra yang gelisah hendak mencegah, tiba-tiba lengannya dipegang orang dari belakang. Ia menjerit dan menampar ke belakang, akan tetapi kembali tangannya itu tertangkap. Melihat bahwa yang menangkapnya adalah Ki Jatoko, ia meronta-ronta sekuatnya.
"Heh-heh, cah ayu, biarkan mereka berdua saling hantam. Mari menyelamatkan diri bersamaku. Mari kita cari musuh-musuh kita, kita hancurkan mereka. Lekas, kau ikut denganku!"
"Tidak... kau lepaskan aku! Lepaskan...! Manusia iblis kau, jahanam busuk, aku tidak mau dibujuk lagi!" Ayu Candra merenggut tangannya dan memutar tubuh sambil memukulkan tangan itu ke arah leher Ki Jatoko. Karena marah dan benci, Ayu Candra menjadi nekat dan serangannya cukup keras dan kuat.
"Wuuuttt...!" Dengan mudah Ki Jatoko yang memang memiliki ilmu kepandaian dan pengalaman jauh lebih tinggi dari pada gadis jelita itu, miringkan tubuh mengelak dan secepat kilat lenganj kirinya melingkar dan memeluk pinggang Ayu Candra yang kecil ramping.
"Hemm, bocah bodoh!" Sambil berkata begini, dua buah jari tangan kanan Ki Jatoko menusuk tengkuk Ayu Candra, menotok jalah darah dengan kuat dan cepat sekali. Seketika tubuh Ayu Candra menjadi lemas karena ia telah pingsan. Ki Jatoko menangkap dan memondongnya.
Dalam pertandingan menghadapi Endang Patibroto kali ini, Joko Wandiro tidak bersikap mengalah seperti yang lalu. Ia merasa marah, apalagi ia pun amat khawatir akan keselamatan Ayu Candra. Ia maklum bahwa kalau ia tidak cepat-cepat mengalahkan Endang Patibroto, Ayu Candra akan terancam keselamatannya, terutama oleh Ki Jatoko. Dan untuk mengalahkan Endang Patibroto, bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan pengerahan tenaga dan kepandaian sepenuhnya. Karena inilah maka begitu bertanding, ia mengirim pukulan-pukulan yang hebat dan dahsyat, mengisi kedua lengannya dengan Aji Bojro Dahono dan menggerakkan tubuhnya amat cepat dengan Ilmu Bramoro Seto.
Endang Patibroto terkejut bukan main. Terasa olehnya bahwa gerakan pemuda ini Jauh bedanya dengan dahulu. Kalau dahulu selalu terdesak olehnya dan hanya menggunakan siasat bertahan, kini dialah yang terdesak. Hawa pukulan yang amat panas membuyarkan Aji Wisangnala yang ia gunakan, dan kecepatan Joko Wandiro membingungkannya.
Pada saat Joko Wandiro berkesempatan mengerlingkan matanya ke arah Ayu Candra dan melihat betapa gadis itu telah pingsan dan dipondong oleh Ki Jatoko yang siap hendak melarikannya, kemarahannya memuncak. Pekik dahsyat keluar dari mulutnya dan terjangannya kali ini biarpun dapat ditangkis oleh Endang Patibroto, namun demikian dahsyatnya sehingga membuat gadis sakti ini terlempar ke belakang sampai lima meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah sehingga bergulingan! Ia tidak terluka hebat, namun hal ini membuat ia kaget setengah mati dan terutama malu yang berubah menjadi kemarahan yang meluap-luap! Baru sekali ini selama hidupnya ia menerima hinaan, dipukul sampai terlempar dan terbanting terguling-guling!
"Joko Wandiro, sekali ini kau mampus di tanganku!" teriaknya sambil mencabut keris pusaka Brojol Luwuk dari pinggangnya!
Akan tetapi begitu ia berhasil merobohkan Endang Patibroto, sekali melompat Joko Wandiro sudah menerjang Ki Jatoko. Si buntung ini tadi sudah meloncat hendak lari, akan tetapi pekik dahsyat Dirodo Meto demikian hebat pengaruhnya sehingga ia terkejut dan kedua kaki buntungnya seakan-akan lumpuh. Pada saat itu, tangan kiri Joko Wandiro memukul punggungnya dengan Aji Pethit Nogo, sedangkan tangan kanan pemuda perkasa ini merenggut dan merampas tubuh Ayu Candra. Ki Jatoko sudah mengerahkan tenaga dalam untuk melawan, namun tetap saja ia terguling, tidak kuat menerima pukulan ini, dan ia roboh pingsan.
Ketika Joko Wandiro yang kini memondong tubuh adiknya itu memutar tubuh dan melihat Endang Patibroto sudah menghunus keris, ia terkejut sekali. Keris di tangan gadis itu mengeluarkan hawa yang membuat bulu tengkuknya meremang dan jantungnya berdenyut keras. Itulah merupakan tanda bahwa keris pusaka di tangan gadis itu sebuah senjata pusaka yang ampuhnya menggila. Dan ia teringat akan peristiwa belasan tahun yang lalu.
Tak salah lagi, keris itu adalah keris pusaka Brojol Luwuk, keris pusaka Mataram yang dulu dipilih oleh gadis itu di depan eyang guru mereka. Keris pusaka Mataram yamg tersimpan di dalam patung kencana Sri Bathara Wisnu! Akan tetapi mengapa berada di tangan gadis ini. Bukankah dahulu eyang guru mereka, Sang Bhagawan Rukmoseto atau Sang Bhargowo menyuruh mereka menyembunyikan pusaka masing-masing di Pulau Sempu?
"Berhenti kau Joko Wandiro dan mari lanjutkan sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa di sini!" bentak Endang Patibroto sambil menerjang maju.
Joko Wandiro tahu akan bahayanya. Dengan keris pusaka sehebat itu, yang hawanya saja hampir melumpuhkan semangatnya, apalagi dengan memondong tubuh Ayu Candra, andai kata tidak demikianpun, belum tentu ia cukup kuat untuk menandingi Endang Patibroto dengan keris pusakanya itu. Maka ia lalu cepat melompat jauh ke kiri? Sengaja memperlambat larinya. Endang Patibroto berseru nyaring,
"Berhenti kau! Jangan lari, pengecut!" Gadis perkasa itu mengejar dengan keris di tangan.
Entah bagaimana, melihat kembali Joko Wandiro membela dan melindungi Ayu Candra, timbul kemarahan dan kebencian yang amat hebat di hatinya dan niat hatinya pada saat itu tiada lain, membunuh mereka berdua barulah ia akan merasa puas! Ketika melewati segerombolan pohon dan hampir dapat menyusul Joko Wandiro, tiba-tiba pemuda itu membelok ke kanan, memutari pohon dan kini menggunakan Aji Bayu Sakti melompat bagaikan terbang cepatnya, kembali ke tempat tadi atau lebih tepat berlari menuju ke tempat kudanya.
"Berhenti kau, keparat Joko Wandiro! Berhenti!" Endang Patibroto mengejar dengan marah.
Akan tetapi Joko Wandiro sambil memondong tubuh Ayu Candra yang masih pingsan sudah melompat bagaikan seekor kijang, hinggap di atas pelana kuda. dan pada detik selanjutnya kuda itu sudah dibalapkan cepat meninggalkan tempat itu. Endang Patibroto berhenti mengejar, memandang debu yang mengepul tinggi di belakang kuda. Ia membanting-banting kaki, memaki-maki dan akhirnya ia menjatuhkan diri di atas tanah, menangis terisak-isak dengan perasaan yang tidak karuan. Marah, malu, benci, duka, dan entah perasaan pahit apa lagi yang saat itu mengamuk di dalam hatinya.
Setelah akhirnya gelora hatinya dapat ditekan, Endang Patibroto bangkit, menyimpan keris pusakanya lalu menghampiri tubuh Ki Jatoko yang masih belum bangun. Dengan ujung kakinya ia membalikkan tubuh yang tertelungkup itu, mengguncang-guncangkannya. Ki Jatoko mengeluh dan merangkak bangun. Ketika bagaikan orang bangun dari mimpi buruk ia mengangkat muka dan melihat Endang Patibroto, teringatlah ia akan semua peristiwa dan matanya mencari-cari ke kanan kiri.
"Bangunlah dan hayo kita melanjutkan perjalanan."
"Mana... mana... Ayu Candra..."
"Cerewet! Hayo jalan!" Encang Patibroto menarik lengan Ki Jatoko dan menyeretnya bangun dengan sentakan kasar sekali.
"Aduh...! Aku... punggungku terpukul, sakit bukan main...!" Ki Jatoko mengeluh lagi. "Kita mengaso dulu, Endang..."
"Tidak! Hayo jalan terus!"
"Kasihanilah, Endang. Aku letih dan lapar, haus dan sakit-sakit tubuhku kau kasihanilah, aku ayah..."
"Diam! Sebelum tiba di Sempu, jangan sebut-sebut lagi hal itu atau kuhancurkan kepalamu!"
Melihat pandang mata yang dingin itu, Ki Jatoko bergidik, kemudian karena maklum bahwa di tangan gadis ini ia tidak akan dapat berbuat sesuatu, ia pun lalu mengikutinya melanjutkan perjalanan.
Sementara itu, Joko Wandiro sudah membawa lari Ayu Candra. Setelah tiba di tepi pantai dari mana tampak Pulau Sempu, barulah ia turun dari kuda. Ayu Candra sudah siuman. Di tengah jalan tadi dengan mengurut punggungnya, Joko Wandiro telah membebaskan pengaruh totokan Ki Jatoko.
"Kakang, kenapa kau tidak lawan dan bunuh saja Endang Patibroto itu? Biarpun kita tidak akan mendendam kepadanya, akan tetapi dia itu seorang gadis jahat dan ganas seperti iblis. Dia yang selalu memusuhi dan menyerangmu terlebih dulu. Mengapa kau selalu mengalah kepadanya?"
"Ah, kau tidak tahu adikku. Dia itu bagaimana pun juga adalah puteri paman Pujo dan bibi Kartikosari, bagaimana aku tega untuk membunuhnya? Selain itu, dengan keris pusaka Mataram di tangannya, tak mungkin aku dapat menang melawan dia. Sudahlah, mari kita mencari perahu. Kuda ini cukup ditukar dengan sebuah perahu kecil."
Dan memang betul dugaannya. Seorang nelayan dengan senang hati menukarkan perahu kecilnya yang butut dengan kuda itu, karena memang kuda ini jauh lebih mahal harganya. Penukaran ini mendatangkan untung besar baginya. Demikianlah, tanpa membuang waktu lagi Joko Wandiro lalu mengajak Ayu Candra untuk berlayar, menyeberang ke Pulau Sempu yang sudah tampak dari pantai Laut Selatan…..
********************
Kartikosari dari Roro Luhito hidup dengan aman dan tenang di Pulau Sempu. Pulau ini kosong dan tanahnya cukup subur sehingga dua orang wanita perkasa itu tidak mendapat kesukaran untuk hidup mengasingkan diri di situ. Mereka bercocok tanam dan mendirikan sebuah pondok baru karena pondok bekas tempat tinggal Resi Bhargowo telah rusak. Kandungan mereka sudah makin tua. Kartikosari mengandung tujuh bulan sedangkan Roro Luhito mengandung lima bulan.
Sebagai puteri-puteri yang memiliki kepandaian tinggi, hidup menyendiri di pulau itu bukanlah hal yang sukar bagi mereka, bahkan menenangkan pikiran setelah mereka mengalami hal-hal yang menegangkan di masa yang lalu. Juga merupakan hiburan atas kedukaan hati mereka kehilangan suami. Yang terutama sekali, tempat yang sunyi dan jauh dari dunia ramai ini merupakan tempat sembunyi yang paling aman sehingga tak mungkin ada musuh yang dapat mengganggu mereka. Hanya Joko Wandiro seorang yang tahu akan tempat sembunyi mereka ini. Orang lain siapakah dapat menduga bahwa dua orang puteri itu bersembunyi di pulau kosong?
Mereka mempunyai sebuah perahu dan dengan perahu inilah kadang-kadang Roro Luhito menyeberang untuk mencari kebutuhan mereka yang tak dapat ditemukan di atas pulau. Dan pada siang hari itu, Roro Luhito baru saja datang dari darat, di mana ia mencari dan membeli bumbu-bumbu masak karena persediaan di pulau sudah habis. Mereka berdua duduk meneduh di bawah pohon sambil menikmati angin semilir dan memandang ombak-ombak Laut Selatan yang menggelora ke pantai.
"Kak Sari, ada orang datang berperahu...!" Tiba-tiba Roro Luhito berbisik sambil menudingkan telunjuknya ke arah pantai.
Kartikosari cepat memandang dan bangkit berdiri. Betul saja. Sebuah perahu makin mendekati pulau. Keduanya menduga-duga dengan hati berdebar dan tanpa disadari mereka sudah berpindah tempat, menyelinap di balik segerombolan tanaman untuk menyembunyikan diri. Mereka tidak ingin dilihat orang luar. Sambil bersembunyi dua orang wanita perkasa itu mengintai.
"Mereka Joko Wandiro dan Endang Patibroto...!" Kartikosari berseru setelah perahu itu makin dekat pulau. Suaranya terdengar penuh kegembiraan dan kini mereka berdua melompat keluar dari tempat sembunyi. Setengah berlari mereka menuju ke tepi laut dan melambai-lambaikan tangan.
"Joko...Endang...! Ke sini...!"
Kartikosari berseru keras. Suaranya nyaring terbawa angina melalui atas ombak samudera. Agaknya terdengar oleh Joko Wandiro karena pemuda itu sambil mendayung, sejenak melambaikan tangan ke atas.
"Kak Sari, gadis itu bukan Endang...!" Roro Luhito berkata, suaranya mulai tegang.
"Bu... bukan Endang... benar, dia bukan anakku...!" Suara Kartikosari tidak hanya tegang, bahkan gemetar.
Roro Luhito dengan halus memegang tangan madunya, menepuk-nepuk perlahan untuk menenangkan hati dan menghiburnya. "Siapa pun dia, kalau datang bersama Joko Wandiro, tentu seorang baik-baik."
Mereka berdua berdiri sambil bergandeng tangan, menanti datangnya perahu itu. Setelah perahu tiba di pantai, mereka melihat bahwa gadis itu benar bukan Endang Patibroto, melainkan seorang gadis cantik jelita yang juga memandang mereka penuh perhatian. Joko Wandiro meloncat ke atas pantai dan menyeret perahunya naik. Ayu Candra juga meloncat turun, membantu kakaknya menyeret perahu. Kemudian keduanya berjalan menghampiri dua orang wanita yang telah menunggu.
"Joko Wandiro, di mana Endang Patibroto? Tak berhasilkah engkau membujuknya ikut ke sini?" Kartikosari menegur setelah Joko Wandiro menghaturkan sembah.
"Maafkan saya, bibi Kartikosari. Sudah dua kali saya membujuk dengan kata-kata halus sampai dengan kekerasan, namun sia-sia hasilnya. Hatinya terlalu keras dan kesaktiannya terlalu hebat sehingga saya tidak berhasil. Akan tetapi, saya rasa tak lama lagi ia akan ke sini, bibi. Tak jauh dari pantai saya telah bertemu dengan dia."
"Betulkah?" Kartikosari menjadi gembira "Coba ceritakan apa yang telah terjadi dan gadis ini siapakah?"
"Bibi, inilah Ayu Candra, adik kandung saya..."
Seketika wajah Kartikosari berubah pucat. Ia berseru perlahan dan melangkah mundur. "Kau...? Kau...membawa puteri Listyakumolo ke sini? Joko Wandiro! Kalau kau memang berniat membalas dendam atas kematian ibu kandungmu, mengapa tidak kaulakukan sendiri ketika kita saling bertemu di Bayuwismo? Mengapa baru sekarang"
Juga Roro Luhito terkejut dan menegur keponakannya, "Joko, kau berjanji takkan melanjutkan permusuhan dan dendam, mengapa sekarang kau ajak puteri mbok-ayu Listyakumolo ke sini?"
Mendengar kata kata dan melihat sikap dua orang wanita cantik itu, Ayu Candra cepat maju dan berkata, suaranya halus namun tegas, "Harap bibi berdua jangan khawatir. Memang benar aku pernah menurutkan dendam sakit hati karena duka kehilangan ayah bunda, tanpa mengingat pesan terakhir ayah yang melarangku membalas dendam, tadinya saya berniat untuk mencari bibi dan melakukan pembalasan. Akan tetapi, setelah kakang Joko Wandiro menceritakan semua sebab-sebab permusuhan, saya sudah sadar dan takkan melanjutkan permusuhan ini."
Sejenak Kartikosari dan gadis itu saling pandang, seperti hendak mengukur isi hati masing-masing. Kemudian Kartikosari terisak dan melangkah maju, dan di lain saat Ayu Candra sudah jatuh ke dalam pelukannya. Ayu Candra menangis, Kartikosari juga bercucuran air mata.
"Aduh, anak baik...! Sungguh besar hatiku mendengar kata-katamu. Kau patut menjadi puteri seorang perkasa seperti Ki Adibroto! Aku pun selalu rela untuk menebus dosa puteriku, Ayu Candra. Aku siap untuk menerima pembalasan atas kematian ayah bundamu, hanya aku ingin agar supaya anak yang kukandung ini terlahir lebih dahulu, baru aku bersedia menerima kematian. Akan tetapi, kini engkau telah sadar, menghabiskan permusuhan, alangkah bahagia hatiku!"
Setelah reda keharuan hati mereka, Ayu Candra berkata, "Sayangnya, bibi, puterimu Endang Patibroto itu entah mengapa, setiap kali bertemu dengan aku atau kakang Joko Wandiro, tentu menyerang dan hendak membunuh kami! Dia amat benci kepadaku."
"Hemm, kau tinggallah di sini. Biarlah dia datang! Hendak kulihat apakah dia masih melanjutkan sikap gila itu kepadamu. Aku akan membela dan melindungimu dengan taruhan nyawaku, Ayu Candra!" kata Kartikosari dan pada saat seperti itu, wanita cantik ini sikapnya sama benar dengan Endang Patibroto, dadanya dibusungkan, matanya berapi-api, kedua tangan dikepal, sepasang pipinya merah!
"Sudahlah, kiranya tak perlu dibicarakan lagi hal-hal yang tidak menyenangkan hati ini. Marilah kalian ikut kami ke pondok di mana kita dapat bicara dengan leluasa," kata Roro Luhito.
Kartikosari mengangguk dan berangkatlah mereka berempat ke pondok sederhana yang berada di tengah Pulau Sempu. Di dalam pondok, Joko Wandiro lalu menceritakan semua pengalaman dan semua peristiwa yang terjadi selama ini. Ia juga menceritakan sepak terjang Endang Patibroto yang telah menewaskan Ni Durgogini, Ni Nogogini, Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono, Ki Krendoyakso, dan betapa gadis itu bersama Ayu Candra hampir mengalami malapetaka hebat di tangan Bhagawan Kundilomuko. Juga tentang pertemuan-pertemuannya dengan Endang Patibroto, tentang pertandingan di antara mereka. Setelah mendengar semua penuturan Joko Wandiro, Kartikosari termenung, menarik napas panjang lalu berkata lirih,
"Betapa pun juga, dia telah dapat membalaskan sakit hati eyangnya dan membasmi orang-orang jahat itu. Ahhh... Endang... kalau engkau tidak menjadi murid Dibyo Mamangkoro, agaknya kau tidak akan menyeleweng sedemikian jauh."
"Semua sudah dikehendaki Dewata, ayunda Kartikosari," kata Roro Luhito menghibur. "Kalau Endang tidak menjadi murid Dibyo Mamangkoro, kurasa juga bukan hal mudah baginya untuk dapat membasmi orang-orang sakti seperti Cekel Aksomolo dan kawan-kawannya!"
Setelah bertemu dengan dua orang wanita perkasa ini, Ayu Candra kembali harus membenarkan sikap kakaknya. Memang dua orang wanita ini jelas adalah orang-orang yang berpribudi tinggi sehingga sebentar saja ia sudah tidak ragu-ragu dan tidak sungkan-sungkan lagi untuk bercakap-cakap dan menuturkan semua riwayatnya. Kartikosari dan Roro Luhito merasa terharu dan menaruh rasa sayang kepada gadis yang kehilangan ayah bunda ini. Sekali lagi Kartikosari menghibur hati Ayu Candra dan mengatakan bahwa kalau benar Endang Patibroto datang ke pulau itu, ia akan mencuci habis permusuhan yang mengotori hati dan pikiran anaknya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BADAI LAUT SELATAN (BAGIAN KE-03 SERIAL KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA)