BADAI LAUT SELATAN : JILID-67
Ketika lima orang perwira itu menghampiri dengan menunggang kuda, mereka
tersenyum lebar dan juga terheran-heran. kiranya yang membuat anak buah
mereka tadi bersorak-sorak adalah sekumpulan gadis cantik-cantik yang
sedang mandi di sungai itu. Mereka terheran karena gadis-gadis itu
benar-benar cantik jelita, tidak seperti kebanyakan gadis di dusun.
Selain cantik, juga tubuh yang telanjang bulat itu berkulit kuning dan
berbentuk indah.
Yang lebih hebat lagi, ketika melihat pasukan yang jumlahnya besar ini, gadis-gadis itu tertawa-tawa genit, lalu bangkit berdiri dan berlari-lari kecil dalam keadaan telanjang. Jumlah mereka banyak, tidak kurang dari tiga puluh orang! Tentu saja para perajurit Jenggala yang sebagian besar adalah orang-orang yang sudah biasa mengganggu wanita-wanita cantik, setelah diberi waktu beristirahat, kini segera melakukan pengejaran sambil bersorak-sorak.
"Tangkap yang paling cantik untuk perwira-perwira!"
Terdengar teriakan disana-sini dan ributlah keadaan di dalam hutan itu. Gadis-gadis itu berpencaran ke sana-sini sehingga ramai pula mereka yang melakukan pengejaran.
Anehnya, gadis-gadis itu amat cepat gerakannya. Gesit seperti kijang betina muda. Melihat betapa gadis-gadis itu berpencaran dan menyusup-nyusup ke dalam semak dikejar oleh banyak perajurit ini, keadaan di hutan itu tiada ubahnya dengan sekumpulan pemburu mengejar kijang-kijang muda.
Tak lama kemudian, kegembiraan para perajurit yang mengejar gadis-gadis itu berubah menjadi jerit maut. Kiranya hutan itu penuh dengan perajurit-perajurit Nusabarung yang bersembunyi dan begitu pasukan Jenggala tercerai-berai dan kacau-balau karena mengejar gadis-gadis cantik, mereka ini muncul dari tempat persembunyiannya dan secara tiba-tiba melakukan serangan! Bahkan gadis-gadis itu sendiri membalik dan dengan senjata tombak yang digerakkan secara cekatan sekali mereka ini merobohkan banyak perajurit yang mengejar mereka.
Memang anak murid Bhagawan Kundilomuko adalah wanita-wanita cantik yang terlatih, memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga terjangan mereka yang mengejutkan ini merobohkan banyak lawan. Sisa perajurit yang tadinya tertawa-tawa di pinggir sungai, kaget mendengar teriakan-teriakan maut teman mereka yang mengejar. Akan tetapi sebelum mereka sempat bersiap, hujan anak panah menyerang mereka dari empat penjuru! Makin panik dan kacau keadaan di situ. Banyak sekali perajurit Jenggala yang terjungkal dan mati seketika tanpa mereka itu tahu siapa yang memanah mereka.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai menggegap-gempita dan dari tempat-tempat tersembunyi itu menerjang keluar ribuan orang perajurit Nusabarung. Perang campuh terjadi secara hebat di dalam hutan itu. Akan tetapi karena pihak Jenggala sudah panik dan kacau-balau, tidak ada yang memimpin lagi karena lima orang perwira itu sudah roboh binasa, mereka tertekan hebat dan banyak korban roboh di antara mereka. Akhirnya, hanya beberapa ratus orang perajurit Jenggala yang berhasil melarikan diri, meninggalkan kawan-kawan yang tewas atau terluka berat. Mereka lari pulang ke Jenggala untuk melaporkan malapetaka yang menimpa pasukan mereka itu.
Akan tetapi, apakah yang didapatkan perajurit-perajurit pelarian itu ketika mereka mundur dan kembali ke Jenggala? Ternyata pasukan besar dari Nusabarung telah menyerang Jenggala, menimbulkan malapetaka besar di sepanjang jalan. Perampokan, pembunuhan, perkosaan dan pembakaran dusun-dusun dilakukan oleh pasukan Nusabarung yang kejam, bahkan kini pasukan itu sudah mulai menerjang kota raja sehingga terjadi perang hebat
Sisa perajurit-perajurit yang mengundurkan diri ini cepat membantu pasukan teman ketika melihat kota raja terancam. Betapa pun juga, pasukan-pasukan Jenggala masih cukup kuat dan di sana masih terdapat banyak senopati yang pandai sehingga setelah berperang sampai sepekan lamanya, barisan musuh dapat dipukul mundur. Namun, mundurnya pasukan Nusabarung sambil membawa banyak sekali barang rampasan, selain harta benda, juga banyak para wanita mereka tawan. Sambil kembali ke Nusabarung untuk menyusun kekuatan baru, mereka membakari rumah-rumah di setiap dusun yang mereka lalui, menyebar maut sehingga keadaan Jenggala menjadi kacau-balau!
Adipati Jagalmanik menjadi girang sekali dengan hasil penyerbuan pertama ini. Sang adipati memuji-muji Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko serta mengirim banyak hadiah ke Durgaloka. Mereka berdua ini segera berjanji kepada adipati di Nusabarung untuk membantu penyerbuan-penyerbuan mendatang sampai Jenggala takluk di bawah kekuasaan Nusabarung. Di lain pihak, adipati itupun menjanjikan pangkat dan kemuliaan.
Biarpun pasukan Nusabarung dipukul mundur dan dalam penyerbuan pertama belum berhasil menundukkan Jenggala, namun penyerbuan itu boleh dibilang berhasil baik. Apalagi di samping kemenangan dan banyaknya barang rampasan itu, pasukan Nusabarung juga berhasil menumpas sebagian besar barisan yang dipimpin oleh Endang Patibroto. Tentu saja hal ini membesarkan hati mereka, bahkan para adipati-adipati kecil yang mendengar akan kemenangan Nusabarung, secara suka rela lalu menawarkan bantuan untuk bersekutu dengan harapan kelak akan mendapat bagian hasilnya.
Bhagawan Kundilomuko girang setengah mati. Semua siasat Ki Jatoko yang dijalankan ternyata berhasil dengan baiknya. Kakek pendeta ini selain kegirangan mendapat pujian dan hadiah dari Adipati Jagalmanik di Nusabarung, juga ia girang tekali ketika siasat Ki Jatoko untuk memancing dan menawan Endang Patibroto ternyata berhasil baik. Dan gadis itu... ah, seketika lenyaplah kemarahan dari hati kakek ini ketika ia melihat Endang Patibroto! Gadis yang cantik jelita seperti bidadari! Gadis yang sakti mandraguna! Gadis seperti inilah yang patut menjadi isterinya. Patut dipuja-puja di Durgaloka, disembah-sembah oleh para murid yang juga menjadi selir-selirnya.
Juga Ki Jatoko menjadi girang sekali. Ia telah dipuji-puji adipati di Nusabarung. Biarpun kini ia menjadi orang buntung, namun derajatnya sudah terangkat lagi dan masa depannya amat luas dan baik. Kini ia menjadi sekutu dan pembantu Adipati Nusabarung di samping seorang sakti seperti Bhagawan Kundilomuko! Endang Patibroto, gadis yang amat berbahaya itu, sudah dapat ditawan, dan ia sudah mendapatkan kembali Ayu Candra! Alangkah baik nasibnya! Dan kini maklumlah ia bahwa amat tidak mungkin kalau ia mengharapkan balas cinta kasih seorang gadis muda belia dan cantik jelita seperti Ayu Candra. Hanya dengan cara yang tidak wajar saja ia boleh mengharapkan cinta kasih Ayu Candra!
Dengan guna-guna, yaitu Aji Guno-asmoro, akan tetapi tidak cukup kuat untuk mempengaruhi seorang gadis yang berwatak bersih seperti Ayu Candra. Hanya seorang saja di dunia ini yang dapat membantunya. Bhagawan Kundilomuko! Kakek ini seorang ahli ilmu hitam, ahli sihir, dan ahli ramu-ramuan beracun yang memabokkan! Ketika Ki Jatoko mengajukan permohonannya kepada kakek itu untuk menolongnya 'menundukkan' Ayu Candra, kakek itu tertawa bergelak sambil mengelus-elus jenggotnya yang putih.
"Ha-ha-ha-ha! Anak-mas Jatoko, tentu saja aku akan menolongmu. Kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik, harus bantu-membantu dan tolong-menolong. Memang sudah semestinya orang-orang macam kita ini menggunakan kekuatan ilmu untuk menundukkan gadis-gadis cantik jelita yang muda belia. Untuk mendapatkan Endang Patibroto, aku harus menggunakan jampi-jampi. Ha-ha-ha! Kalau tidak, mana mungkin orang seperti Ayu Candra suka melayani seorang seperti kau dan si cantik jelita Endang Patibroto mau melayani seorang kakek macam aku? Ha-ha-ha!"
Sungguh mengerikan dan berbahaya sekali nasib Ayu Candra dan Endang Patibroto terjatuh ke tangan dua orang yang berwatak rendah dan keji ini. Sebelum Endang Patibroto dan Ayu Candra sadar dari pada pengaruh aji penyirepan dan jampi, mereka berdua dicekoki (diberi minum dengan paksa) jamu yang terdiri dari ramuan akar-akar dan daun-daun yang mempunyai khasiat penghapus ingatan! Karena Bhagawan Kundilomuko maklum akan kesaktian Endang Patibroto, maka ia bersabar diri dan setiap hari menyuruh anak muridnya memberi minum jamu yang beracun itu sehingga keadaan Endang Patibroto dan juga Ayu Candra seperti patung hidup.
Mereka berdua sudah sadar dari tidur, akan tetapi ingatan mereka tertutup awan tebal. Endang Patibroto duduk seperti arca matanya melamun memandang jauh sekali. Ia selalu menurut saja setiap kali seorang pelayan menyuruhnya minum, makan atau tidur. Kalau mulutnya mengeluarkan bunyi, yang keluar hanya, "Kubunuh engkau, buntung...! Kubunuh engkau..."
Keadaan Ayu Candra juga sama dengan keadaan Endang Patibroto. Hanya bedanya, bisikan-bisikan yang keluar dari mulutnya hanyalah, "Kakang Joko Wandiro... kakang Joko Wandiro...!" Hal ini adalah karena sebelum jatuh pulas, ingatannya yang terakhir tertuju kepada Joko Wandiro.
Adapun Endang Patibroto sebelum roboh oleh pengaruh penyirepan, teringat kepada Ki Jatoko, maklum bahwa ia dijebak dan karenanya ia ingin membunuh orang buntung itu. Ki Jatoko kecewa melihat keadaan Ayu Candra yang seperti patung hidup itu. Ia bukan menghendaki gadis itu tak berdaya, karena kalau hanya demikian yang ia kehendaki, tanpa bantuan Bhagawan Kundilomuko sekali pun ia dapat menggunakan kepandaiannya menggagahi Ayu Candra. Dengan kepandaiannya ia sanggup membuat gadis itu tidak berdaya. Maka ia menyampaikan kekecewaannya kepada Bhagawan Kundilomuko.
"Ha-ha-ha-ha, anakmas Jatoko, mengapa begitu tak sabar dan tergesa-gesa? Tentu saja tidak hanya sampai di sini. anak-mas. Aku sendiripun tentu saja tak suka dilayani Endang Patibroto yang seperti mayat hidup. Heh-heh-heh, apakah anak tidak melihat bagaimana murid-muridku yang denok ayu itu melayani aku dengan penyerahan diri sebulatnya dan disertai kasih sayang mesra?"
"Saya percaya, paman, dan itulah yang saya harapkan dari Ayu Candra."
"Tentu, tentu! Aku pun menghendaki demikian dari Endang Patibroto. Akan tetapi tidak sekarang. Aku membuat mereka kehilangan ingatan agar mereka itu menjadi penurut dan tidak membantah semua apa yang kita perintahkan. Nanti, bersabarlah. Sepekan lagi bulan purnama akan muncul, di sini akan diadakan perayaan pesta pemujaan Sang Hyang Bathari, Pada malam itulah, dengan berkah dan cahaya Sang Hyang Bathari, kita akan memberi minum anggur darah kepada mempelai kita masing-masing, heh-heh-heh!"
Sepasang mata Ki Jatoko bersinar-sinar penuh nafsu. "Apakah anggur darah itu, paman? Dan mengapa ada mempelai? Siapa yang akan kawin?"
"Ha-ha-ha, heh-heh, siapa lagi kalau bukan kita? Pengantin kembar, ha-ha-ha! Engkau dengan Ayu Candra, aku dengan Endang Patibroto si cantik manis, si denok montok, si ayu kuning, ha-ha-ha"
"Cocok dengan dugaanku dahulu, paman. Bukankah Endang Patibroto benar-benar cantik seperti dewi kahyangan? Apakah sekarang paman masih berniat membunuhnya?"
"Wah-wah, eman-eman (sayang) kalau dibunuh! Memang kau benar, anak-mas. Tentang anggur darah itu, ha-ha-ha, kaulihat sendiri nanti. Kau akan payah menghadapi tantangan dan kemesraan Ayu Candra, ha-ha-heh heh-heh!"
Keduanya makan minum dengan gembira, dilayani anak-anak murid Sang Bhagawan yang cantik-cantik dan genit-genit. Ki Jatoko merasa tak sabar lagi menanti datangnya malam bulan purnama. Bhagawan Kundilomuko maklum akan hal ini, maka sebagai pengobat rindu, ia memerintahkan seorang di antara anak muridnya yang cantik untuk menjadi kawan Ki Jatoko dan melayani si buntung itu!
Memang, semenjak jaman dahulu kala sampai sekarang inipun, manusia merupakan makhluk yang paling lemah menghadapi keliaran nafsu-nafsu mereka sendiri. Setelah menjadi hamba nafsu, lenyaplah keagungan seorang manusia dan ia tidak akan segan-segan untuk melakukan segala macam perbuatan rendah. Gila akan kedudukan, akan harta benda, kemuliaan, nama besar, pemuasan panca indra, pemuasan nafsu berahi, semua itu timbul sebagai akibat dari pada kelemahan menghadapi nafsu pribadi. Sekali menjadi hamba nafsu, manusia tidak segan-segan melakukan segala macam daya upaya tanpa memperhitungkan lagi baik jahatnya, demi pemuasan nafsunya sendiri yang dipertuan. Dan inilah jalan menuju ke segala macam kesengsaraan.
Tuhan pencipta sekalian alam semesta, telah memberi petunjuk dan peringatan melalui kekuasaan alam-Nya kepada manusia. Namun, sekali manusia diperhamba nafsu, ia seakan-akan buta dan tuli. Seorang pendeta ahli tapa seperti Bhagawan Kundilomuko, setelah menjadi hamba nafsu, menjadi seperti buta pula. Rambutnya sudah putih semua, hal sepele (sederhana) ini saja sudah merupakan nasehat dan peringatan, bahwa usia tua mendatangkan rambut putih berarti si manusia supaya memikirkan hal yang bersih-bersih saja seperti warna rambut yang menyelimuti kepalanya!
Namun sayang, setua itu masih saja ia picik dan lemah. Nafsu, terutama nafsu berahi, memang seperti anggur yang keras memabukkan. Sekali orang mencucupnya, ia akan menghendaki lebih dan lebih dan lebih, tak kunjung puas. Karena itu, semenjak dahulu kala sampai sekarang inipun, bahagialah dia yang selalu eling (ingat) dan waspada. Ingat kepada Hyang Maha Wisesa dan waspada terhadap dirinya sendiri!
Waspada dalam arti kata awas dan hati-hati meneliti budi pekerti dan tindak-tanduknya sendiri. Kokoh dan teguh dalam menghadapi godaan nafsu pribadi sehingga akhirnya bukan dia yang diperhamba nafsu, melainkan nafsu yang diperhambanya. Nafsu hanya sekedar alat hidup yang dipergunakan seperlunya, pada waktu, tempat, dan keadaan yang tepat sebagai pelengkap hidup.
Malam bulan purnama yang dinanti nanti itu akhirnya tiba juga. Semenjak sore hari, pertapaan Durgaloka telah dihias megah. Daun-daun, kembang-kembang dan janur (pupus daun kelapa) yang dianyam dan dibentuk beraneka macam menghias pertapaan, terutama sekali bangsal besar tempat yang khusus dibuat sebagai tempat pemujaan Bathari Durgo, yaitu di bawah pohon waringin, dekat sumber mata air Sungai Bondoyudo.
Tempat pemujaan itu terbuka dan agak tinggi semacam panggung, lebih dari dua puluh lima meter lebarnya. Tempat ini dihias dengan bunga-bunga. Semua anak murid Bhagawan Kundilomuko sudah siap berkumpul. Lima belas murid pria menabuh gamelan, yang lima belas orang lagi membawa obor dan berdiri mengelilingi tempat pemujaan itu. Murid perempuan berjumlah semua seratus dua puluh orang!
Kini sebagian menjaga sekitar pertapaan secara bergilir, sebagian pula sibuk di dapur, sebagian sibuk mempersiapkan kebutuhan upacara pemujaan, dan sebagian pula yang bertugas sebagai penyanyi dan penari sibuk bersolek. Semua orang bergembira ria. Tentu saja dua orang tidak tampak gembira. Mereka ini adalah Ayu Candra dan Endang Patibroto. Dua orang gadis tawanan ini duduk di atas bangku dalam biliknya, duduk melamun seperti patung, dijaga masing-masing oleh lima orang wanita.
Di tengah-tengah pemujaan itu terdapat sebuah patung Bathari Durgo yang amat indah dan seolah-olah hidup. Patung itu sebesar manusia, mengenakan pakaian sutera serba indah dan mahal, bahkan tubuhnya memakai perhiasan-perhiasan emas permata yang gilang-gemilang. Ketika bulan purnama mulai muncul, gamelan ditabuh keras dan meriah. Suara gamelan ini aneh dan tidak sama dengan gamelan biasa, juga lagu dan iramanya liar merangsang. Gadis-gadis yang duduk bersimpuh di pinggir tempat upacara berlutut menyembah ketika Sang Bhagawan Kundilomuko muncul bersama Ki Jatoko. Mereka inipun sudah berpakaian serba indah sehingga Ki Jatoko yang buntung dan berwajah buruK itu kini kelihatan tidak begitu buruk dan agak gagah.
Dengan lagak yang berwibawa, Bhagawan Kundilomuko mengangkat tangan kanan ke atas sebagai balasan salam kepada murid-muridnya, kemudian ia duduk di atas kursi yang sudah dihias, di sebelah kanan patung Bathari Durgo. Ki Jatoko juga dipersilakan duduk di atas sebuah kursi yang lebih kecil, agak jauh menghadap pendeta itu dan patung dewinya. Dilihat dari jauh, seolah-olah Bhagawan Kundilomuko duduk berdua dengan isterinya, seorang dewi yang berwajah cantik namun menyeramkan. Di bawah permainan api obor yang bergerak-gerak, sepasang mata patung itu seperti melirik-lirik, bibirnya seperti tersenyum-senyum! Di sebelah kanan Sang Bhagawan Kundilomuko terdapat sebuah kursi kosong, demikian pula di sebelah kanan Ki Jatoko terdapat sebuah kursi kosong.
Tak lama kemudian, gamelan ditabuh lebih lambat dan perlahan, kemudian dari dalam pondok keluarlah menuju ke tempat itu dua orang gadis yang cantik jelita dan berpakaian sutera putih indah sekali. Mereka itu bukan lain adalah Ayu Candra dan Endang Patibroto! Mereka masing-masing dituntun oleh dua orang anak murid sang bhagawan dan kini menaiki anak tangga ke tempat pemujaan.
Pakaian sutera putih yang membungkus tubuh mereka itu amat tipis dan halus sehingga di bawah sinar bulan purnama dibantu sinar-sinar api obor, tampaklah tubuh mereka membayang, elok menggairahkan. Mereka itu berjalan seperti mayat hidup, menurut saja ketika pelayan-pelayan itu menggandeng mereka dan menyuruh mereka bersama berlutut dan menyembah patung Bathari Durgo. Setelah itu, pelayan-pelayan atau anak murid sang bhagawan mengundurkan diri.
Ki Jatoko yang sudah diberi tahu jalannya upacara, sebagai "mempelai pria" bangkit dari kursinya, menghampari Ayu Candra yang masih berlutut di depan patung itu, menariknya bangun dan menggandengnya dengan senyum dan pandang mata mesra, membawanya ke tempat duduknya dan menyuruhnya duduk di atas kursi sebelah kanannya. Juga Bhagawan Kundilomuko sudah menggandeng tangan Endang Patibroto dan mendudukkan gadis jelita itu sampingnya.
Gamelan kini berbunyi gencar dan ramai serta meriah sekali? Beberapa orang gadis yang cantik dan lincah dating berlari-lari membawa buah-buah dan minuman untuk "dua pasang mempelai". Karena ingatan mereka kosong akibat cekokan jampi setiap hari selama dua pekan lebih, Ayu Candra dan Endang Patibroto tidak dapat mengingat maupun berpikir apa-apa. Ketika ditawari buah oleh mempelai laki-laki, mereka mengambil dan makan buah itu secara otomatis.
Mulailah kini dihidangkan tari-tarian oleh belasan orang gadis yang berpakaian indah beraneka warna. Sebelum menari, mereka ini berjongkok menyembah patung Bathary Durgo, lalu menyebarkan kembang yang sejak tadi dibawa dengan selendang mereka. Tubuh patung itu penuh bunga, demikian pula di sekitarnya, di atas lantai penuh bunga. Patung itu seakan-akan memperlebar senyumnya. Kemudian gadis-gadis itu menari indah, seperti kupu-kupu beterbangan.
Pakaian mereka dari sutera tipis, berkibar-kibar ketika mereka bergerak setengah berlari Setelah tari permulaan sebagai pemuja Sang Bathari ini selesai dan para penari turun kembali dari tempat itu, mendadak semua obor yang dipegang oleh lima belas orang anak murid pria dipadamkan. Kini tempat Itu hanya diterangi oleh sinar bulan purnama. Langit terang-benderang. Keadaan amat romantis dan indah. Bunyi gamelan juga berbeda dari pada tadi, kini amat luar biasa iramanya.
Kemudian terdengar nyanyian koor belasan orang gadis, makin lama rnakin nyaring mengiringi munculnya serombongan penari baru yang keluar dari dalam pondok dekat tempat pemujaan. Begitu tiba di tempat pemujaan, gadis-gadis penari yang jumlahnya tiga puluh orang ini, murid-murid yang tercantik dari Bhagawan Kundilomuko, dipimpin oleh lima orang muridnya tersayang, sudah berjalan jongkok lalu berlutut di depan patung Bathari Durgo. Mulailah mereka mengikuti para penyanyi, menyanyikan lagu puja-puji kepada Sang Bathari.
Upacara pemujaan dimulailah. Bhagawan Kundilomuko bangkit dari kursinya, lalu menghampiri seorang anak murid yang membawa bokor emas berisi air kembang. Diambilnya setangkai bunga, dicelup ke dalam air suci ini dan dipercik-percikkan ke arah patung. Kemudian ia menuangkan secawan anggur, membawa cawan itu ke dekat mulut patung sampai menempel bibirnya, kemudian ia menaruh cawan di depan patung. Demikian pula dengan beberapa macam buah. Inilah upacara "menghidangkan makan minum" bagi Bathari Durgo yang hanya boleh dilakukan oleh sang bhagawan yang oleh para murid didesas-desuskan sebagai kekasih Sang Bathari Durgo!
Upacara ini amat lama. Setelah Bhagawan Kundilomuko kembali duduk ke kursinya, seorang anak murid perempuan datang membawa sebuah bokor besar sekali. Melihat betapa gadis itu kuat membawa bokor besar yang terisi penuh, dapat dibayangkan bahwa ia tentulah anak murid sang bhagawan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan bertenaga besar. Bokor itu ditaruh di depan kaki sang bhagawan, kemudian setelah menyembah, murid itu mengundurkan diri. Sang bhagawan menoleh ke arah Ki Jatoko dan tersenyum sambil berbisik. "Inilah anggur darah," katanya, menuding ke arah bokor besar tertutup yang terletak di depan kakinya.
Sementara itu, upacara dilakukan terus sampai lama oleh para penari yang tiga puluh orang jumlahnya itu. Mereka bernyanyi-nyanyi puja-puji dan wajah mereka tampak berseri-seri. Sementara itu, bulan naik makin tinggi dan sinarnyapun makin terang. Tiba-tiba Bhagawan Kundilomuko bangkit berdiri dan memberi isyarat dengan tangan. Para penari itu berhenti menyanyi, kemudian mulai bangkit dan mengatur tempat masing-masing untuk mulai menari. Gamelanpun merobah iramanya, kini bernada gembira dan lebih merangsang dari pada tadi. Tarianpun dimulailah. Indah sekali tarian ini, tidak seperti tadi, jauh lebih indah. Lima orang anak murid tersayang itu menjadi penari inti, menari di tengah-tengah, dikelilingi dua puluh lima orang kawannya. Mereka berputar-putar, melenggang-lenggok, berlari-larian, menggoyang-goyang pundak, perut, dan kibul, menggeleng-geleng kepala, makin lama gamelan dibunyikan makin meriah, suara penyanyi makin keras dan gerakan para penari makin penuh gairah.
Melihat gerak tubuh para penari yanh penuh gairah dan merangsang nafsu itu Ki Jatoko sudah tak enak duduknya. Ia melirik ke arah Ayu Candra dan kecewalah hatinya. Ayu Candra tetap saja duduk seperti patung. Lebih mati dari pada patung Bathari Durgo itu. Agaknya Bhagawan Kundilomuko melihat keadaan Ki Jatoko yang kecewa ini. Ia bangkit berdiri sambil tertawa, memberi isyarat dengan kedua tangan diacungkan ke atas. Seketika para penairi itu berhenti menari dan menjatuhkan diri berlutut di atas lantai, terengah-engah dan napas mereka mendengus-dengus, muka mereka penuh keringat. Gamelan masih berbunyi, perlahan dan lambat iramanya. Sambil menoleh ke arah patung Bathari Durgo, Bhagawan Kundilomuko berkata, suaranya nyaring,
"Kini tiba saatnya memuja Sang Hyang Bathari dengan pengorbanan darah dan daging!"
Terdengarlah sorak-sorai dan tertawa cekikikan di antara anak-anak murid bhagawan Kundilomuko. Kakek pendeta itu sendiri lalu membuka bokor besar, mengambil cawan emas dan menciduk ke dalam bokor. Tercium bau yang harum bercampur amis, dan cawan emas itu penuh dengan benda cair yang merah seperti darah. Cawan yang penuh anggur darah itu oleh sang pendeta dibawa ke depan patung Bathari Durgo seperti tadi, ia pun menempelkan cawan ke bibir patung itu sampai lama, kemudian mulutnya berkemak-kemik membaca mantera dan akhirnya menaruh cawan emas itu di depan kaki patung. Setelah itu, tertawalah Bhagawan Kundilomuko. Ia menengadah memandang bulan purnama, tertawa-tawa menyeramkan. Kedua anting-anting di telinganya bergerak-gerak.
"Marilah, anak-anak manis, majulah ke sini. Dengan berkah Sang Hyang Bathari, mari kalian minum anggur darah, cicipilah kesenangan yang menjadi hakmu sepuas hati. Ha-haha-ha!"
Tiga puluh orang penari tadi dengan pandang mata penuh gairah lalu menghampiri sang bhagawan, seorang demi seorang diberi minum anggur merah itu dari sebuah cawan. Gerak mereka ketika menghampiri, ketika minum anggur, ketika mengembalikan cawan kosong, semua adalah gerak tari indah yang diiringi gamelan.
Tak lama kemudian semua murid yang tiga puluh orang jumlahnya itu sudah minum dan kini gamelan dibunyikan keras-keras dan liar sekali. Aneh bukan main, para penari itupun menari dengan gerakan liar, penuh dengus-dengus nafsu. Tiga puluh orang gadis cantik itu seperti mabuk, seperti bukan kehendak sendiri dan agaknya roh-roh jahat telah menyusupi diri mereka.
Wajah mereka yang diangkat menengadah membayangkan nafsu, hidung kembang-kempis mendengus-dengus, mulut menyeringai dalam berahi yang memuncak, gerak tari mereka makin menggila. Tak lama kemudian, beterbanganlah sutera-sutera halus yang tadinya membalut tubuh mereka. Dengan gerak tari merangsang, mereka menanggalkan sutera-sutera halus itu sambil terus menari.
Ki Jatoko memandang dengan mata melotot, seakan-akan kedua biji matanya hampir terloncat keluar dari pelupuknya. Selama hidupnya, belum pernah ia menyaksikan pertunjukan yang begini hebat merangsang. Bhagawan Kundilomuko hanya tersenyum-senyum dan tertawa-tawa, mengelus-elus jenggotnya dan melirik ke arah Endang Patibroto yang seperti keadaan Ayu Candra, duduk tak bergerak seperti arca mati.
Kemudian bhagawan ini bangkit berdiri, menyembah ke arah patung Bathari Durgo, kemudian ia pun menanggalkan pakaian yang membungkus patung itu satu demi satu sehingga tak lama kemudian patung itupun telanjang bulat seperti para penari itu! Terkena bayangan para penari yang bergerak-gerak di bawah sinar bulan purnama, patung dewi yang telanjang itu kini agaknya juga ikut bergerak-gerak, ikut berlenggang-lenggok genit. Ki Jatoko menjadi makin tak sabar. Alangkah akan bahagia hatinya kalau Ayu Candra bersikap seperti para penari itu, penuh gairah, penuh semangat, penuh nafsu berahi! Ia menoleh ke arah Bhagawan Kundilomuko dan berkata, suaranya menggigil,
"Paman, mengapa mempelai kita tidak diberi minum anggur darah?"
"Ha-ha-ha, engkau sudah tak sabar sekali, anak-mas Jatoko! Mempelai kita ini harus dipisahkan dari mereka. Tunggulah sebentar lagi!"
Kini para penari itu agaknya sudah tak dapat menahan gelora nafsu mereka. Mereka menari makin liar dan makin mendekati sang bhagawan, bahkan ada yang mendekati Ki Jatoko. Dengan gerakan-gerakan memikat mereka seakan-akan menggoda dan menarik perhatian dua orang laki-laki yang duduk di atas kursi itu. Makin lama makin mendekati dan akhirnya di antara mereka ada yang mulai menyentuh dan mengusap. Agaknya sebentar lagi mereka itu akan nekat menubruk sang bhagawan dan Ki Jatoko. Si buntung itu sudah memandang bingung ke arah sang bhagawan.
Bhagawan Kundilomuko bangkit berdiri dan tertawa lebar lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya mendorong halus murid-muridnya yang merubung dan hendak mengeroyoknya dengan belaian-belaian mesra itu.
"Ha-ha-ha, anak-anak manis. Tidak ada waktu bagi aku untuk menyambut pelayanan kalian. Malam ini malam baik, berkat restu Sang Hyang Bathari, aku mengizinkan kalian melayani tiga puluh orang murid-murid pria sebagai wakilku!"
Ucapan ini disambut sorak-sorai dan suara gamelan terhenti ketika lima belas orang murid pria bersama lima belas lagi yang tadi memegang obor sudah berlompatan naik ke atas tempat pemujaan. Terjadilah adegan-adegan yang mendirikan bulu roma ketika tiga puluh orang penari cantik itu memilih pasangan masing-masing, tertawa-tawa, menari-nari dan menyanyi-nyanyi, bercumbu-rayu tanpa malu-malu lagi, berpeluk cium dan bersendau-gurau, kemudian pasangan demi pasangan turun dari tempat pemujaan, menyelinap di balik pohon-pohon. Hanya suara ketawa genit cekikikan terdengar dari tempat-tempat tersembunyi. Tempat pemujaan menjadi sunyi. Kini tinggal dua pasang mempelai itu. Bhagawan Kundilomuko lalu mengisi sebuah cawan dengan anggur darah memberikannya kepada Ki Jatoko sambil berkata,
"Anak-mas Jatoko, berilah minum mempelaimu dan kau akan mendapatkan seorang isteri yang panas dan mencinta, tiada keduanya di dunia ini, ha-ha-ha!"
Ki Jatoko menerima cawan itu sedangkan Bhagawan Kundilomuko juga mengisi sebuah cawan kosong dengan anggur itu. Kedua orang itu kini mengangkat cawan, mendekatkan cawan ke mulut Endang Patibroto dan Ayu Candra yang sama sekali tidak melawan. Bibir cawan sudah menyentuh bibir dua orang gadis yang cantik jelita itu, dan inilah detik yang menentukan karena sekali dua orang gadis itu minum anggur kotor ini, tentu mereka akan mabuk dan lupa diri pula seperti tiga puluh orang penari itu!
"Takkk! Takkk!"
Dua sinar hitam itu bagaikan kilat menyambar telah mengenai cawan-cawan berisi anggur darah. Benturan ini hebat dan keras sekali sehingga baik Ki Jatoko maupun Bhagawan Kundilomuko tak dapat mempertahankan dan cawan itu terpental, terlepas dari tangan sehingga isinya menyiram muka mereka sendiri!
Sambil berseru keras mereka meloncat mundur dan pada saat itu terdengar teriakan menyayat hati dan di sekitar tempat itu telah terjadi pertandingan yang hebat antara murid-murid Durgaloka laki-laki dan wanita yang sebagian besar bertelanjang bulat melawan puluhan perajurit wanita perkasa yang dipimpin oleh lima orang gadis jelita. Mereka ini bukan lain adalah Dewi, Lasmi, Mini, Sari dan Sundari yang memimpin kawan-kawannya menyerbu Durgaloka!
"Sabbe satta avera hontu, sadhu-sadhu-sadhu (Semoga semua makhluk hidup damai)" Tiba-tiba terdengar pujian ini dan muncullah seorang pendeta yang kepalanya gundul bersama seorang pemuda yang bukan lain adalah Joko Wandiro. Sedangkan pendeta Buddha itu bukan lain adalah Sang Wiku Jaladara!
Sang wiku ini adalah seorang pendeta Buddha yang dahulu pernah mengobati Jokowanengpati dilereng Gunung Lawu akan tetapi kemudian malah hendak dibunuh oleh Jokowanengpati karena sang wiku telah melihat bahwa dia yang mencuri patung kencana pusaka Mataram. Bagaimanakah Joko Wandiro bersama anak buahnya yang dipimpin oleh Dewi dapat datang pada saat yang begitu kebetulan dan tepat? Hal ini adalah jasa para anak buahnya.....
Yang lebih hebat lagi, ketika melihat pasukan yang jumlahnya besar ini, gadis-gadis itu tertawa-tawa genit, lalu bangkit berdiri dan berlari-lari kecil dalam keadaan telanjang. Jumlah mereka banyak, tidak kurang dari tiga puluh orang! Tentu saja para perajurit Jenggala yang sebagian besar adalah orang-orang yang sudah biasa mengganggu wanita-wanita cantik, setelah diberi waktu beristirahat, kini segera melakukan pengejaran sambil bersorak-sorak.
"Tangkap yang paling cantik untuk perwira-perwira!"
Terdengar teriakan disana-sini dan ributlah keadaan di dalam hutan itu. Gadis-gadis itu berpencaran ke sana-sini sehingga ramai pula mereka yang melakukan pengejaran.
Anehnya, gadis-gadis itu amat cepat gerakannya. Gesit seperti kijang betina muda. Melihat betapa gadis-gadis itu berpencaran dan menyusup-nyusup ke dalam semak dikejar oleh banyak perajurit ini, keadaan di hutan itu tiada ubahnya dengan sekumpulan pemburu mengejar kijang-kijang muda.
Tak lama kemudian, kegembiraan para perajurit yang mengejar gadis-gadis itu berubah menjadi jerit maut. Kiranya hutan itu penuh dengan perajurit-perajurit Nusabarung yang bersembunyi dan begitu pasukan Jenggala tercerai-berai dan kacau-balau karena mengejar gadis-gadis cantik, mereka ini muncul dari tempat persembunyiannya dan secara tiba-tiba melakukan serangan! Bahkan gadis-gadis itu sendiri membalik dan dengan senjata tombak yang digerakkan secara cekatan sekali mereka ini merobohkan banyak perajurit yang mengejar mereka.
Memang anak murid Bhagawan Kundilomuko adalah wanita-wanita cantik yang terlatih, memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga terjangan mereka yang mengejutkan ini merobohkan banyak lawan. Sisa perajurit yang tadinya tertawa-tawa di pinggir sungai, kaget mendengar teriakan-teriakan maut teman mereka yang mengejar. Akan tetapi sebelum mereka sempat bersiap, hujan anak panah menyerang mereka dari empat penjuru! Makin panik dan kacau keadaan di situ. Banyak sekali perajurit Jenggala yang terjungkal dan mati seketika tanpa mereka itu tahu siapa yang memanah mereka.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai menggegap-gempita dan dari tempat-tempat tersembunyi itu menerjang keluar ribuan orang perajurit Nusabarung. Perang campuh terjadi secara hebat di dalam hutan itu. Akan tetapi karena pihak Jenggala sudah panik dan kacau-balau, tidak ada yang memimpin lagi karena lima orang perwira itu sudah roboh binasa, mereka tertekan hebat dan banyak korban roboh di antara mereka. Akhirnya, hanya beberapa ratus orang perajurit Jenggala yang berhasil melarikan diri, meninggalkan kawan-kawan yang tewas atau terluka berat. Mereka lari pulang ke Jenggala untuk melaporkan malapetaka yang menimpa pasukan mereka itu.
Akan tetapi, apakah yang didapatkan perajurit-perajurit pelarian itu ketika mereka mundur dan kembali ke Jenggala? Ternyata pasukan besar dari Nusabarung telah menyerang Jenggala, menimbulkan malapetaka besar di sepanjang jalan. Perampokan, pembunuhan, perkosaan dan pembakaran dusun-dusun dilakukan oleh pasukan Nusabarung yang kejam, bahkan kini pasukan itu sudah mulai menerjang kota raja sehingga terjadi perang hebat
Sisa perajurit-perajurit yang mengundurkan diri ini cepat membantu pasukan teman ketika melihat kota raja terancam. Betapa pun juga, pasukan-pasukan Jenggala masih cukup kuat dan di sana masih terdapat banyak senopati yang pandai sehingga setelah berperang sampai sepekan lamanya, barisan musuh dapat dipukul mundur. Namun, mundurnya pasukan Nusabarung sambil membawa banyak sekali barang rampasan, selain harta benda, juga banyak para wanita mereka tawan. Sambil kembali ke Nusabarung untuk menyusun kekuatan baru, mereka membakari rumah-rumah di setiap dusun yang mereka lalui, menyebar maut sehingga keadaan Jenggala menjadi kacau-balau!
Adipati Jagalmanik menjadi girang sekali dengan hasil penyerbuan pertama ini. Sang adipati memuji-muji Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko serta mengirim banyak hadiah ke Durgaloka. Mereka berdua ini segera berjanji kepada adipati di Nusabarung untuk membantu penyerbuan-penyerbuan mendatang sampai Jenggala takluk di bawah kekuasaan Nusabarung. Di lain pihak, adipati itupun menjanjikan pangkat dan kemuliaan.
Biarpun pasukan Nusabarung dipukul mundur dan dalam penyerbuan pertama belum berhasil menundukkan Jenggala, namun penyerbuan itu boleh dibilang berhasil baik. Apalagi di samping kemenangan dan banyaknya barang rampasan itu, pasukan Nusabarung juga berhasil menumpas sebagian besar barisan yang dipimpin oleh Endang Patibroto. Tentu saja hal ini membesarkan hati mereka, bahkan para adipati-adipati kecil yang mendengar akan kemenangan Nusabarung, secara suka rela lalu menawarkan bantuan untuk bersekutu dengan harapan kelak akan mendapat bagian hasilnya.
Bhagawan Kundilomuko girang setengah mati. Semua siasat Ki Jatoko yang dijalankan ternyata berhasil dengan baiknya. Kakek pendeta ini selain kegirangan mendapat pujian dan hadiah dari Adipati Jagalmanik di Nusabarung, juga ia girang tekali ketika siasat Ki Jatoko untuk memancing dan menawan Endang Patibroto ternyata berhasil baik. Dan gadis itu... ah, seketika lenyaplah kemarahan dari hati kakek ini ketika ia melihat Endang Patibroto! Gadis yang cantik jelita seperti bidadari! Gadis yang sakti mandraguna! Gadis seperti inilah yang patut menjadi isterinya. Patut dipuja-puja di Durgaloka, disembah-sembah oleh para murid yang juga menjadi selir-selirnya.
Juga Ki Jatoko menjadi girang sekali. Ia telah dipuji-puji adipati di Nusabarung. Biarpun kini ia menjadi orang buntung, namun derajatnya sudah terangkat lagi dan masa depannya amat luas dan baik. Kini ia menjadi sekutu dan pembantu Adipati Nusabarung di samping seorang sakti seperti Bhagawan Kundilomuko! Endang Patibroto, gadis yang amat berbahaya itu, sudah dapat ditawan, dan ia sudah mendapatkan kembali Ayu Candra! Alangkah baik nasibnya! Dan kini maklumlah ia bahwa amat tidak mungkin kalau ia mengharapkan balas cinta kasih seorang gadis muda belia dan cantik jelita seperti Ayu Candra. Hanya dengan cara yang tidak wajar saja ia boleh mengharapkan cinta kasih Ayu Candra!
Dengan guna-guna, yaitu Aji Guno-asmoro, akan tetapi tidak cukup kuat untuk mempengaruhi seorang gadis yang berwatak bersih seperti Ayu Candra. Hanya seorang saja di dunia ini yang dapat membantunya. Bhagawan Kundilomuko! Kakek ini seorang ahli ilmu hitam, ahli sihir, dan ahli ramu-ramuan beracun yang memabokkan! Ketika Ki Jatoko mengajukan permohonannya kepada kakek itu untuk menolongnya 'menundukkan' Ayu Candra, kakek itu tertawa bergelak sambil mengelus-elus jenggotnya yang putih.
"Ha-ha-ha-ha! Anak-mas Jatoko, tentu saja aku akan menolongmu. Kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik, harus bantu-membantu dan tolong-menolong. Memang sudah semestinya orang-orang macam kita ini menggunakan kekuatan ilmu untuk menundukkan gadis-gadis cantik jelita yang muda belia. Untuk mendapatkan Endang Patibroto, aku harus menggunakan jampi-jampi. Ha-ha-ha! Kalau tidak, mana mungkin orang seperti Ayu Candra suka melayani seorang seperti kau dan si cantik jelita Endang Patibroto mau melayani seorang kakek macam aku? Ha-ha-ha!"
Sungguh mengerikan dan berbahaya sekali nasib Ayu Candra dan Endang Patibroto terjatuh ke tangan dua orang yang berwatak rendah dan keji ini. Sebelum Endang Patibroto dan Ayu Candra sadar dari pada pengaruh aji penyirepan dan jampi, mereka berdua dicekoki (diberi minum dengan paksa) jamu yang terdiri dari ramuan akar-akar dan daun-daun yang mempunyai khasiat penghapus ingatan! Karena Bhagawan Kundilomuko maklum akan kesaktian Endang Patibroto, maka ia bersabar diri dan setiap hari menyuruh anak muridnya memberi minum jamu yang beracun itu sehingga keadaan Endang Patibroto dan juga Ayu Candra seperti patung hidup.
Mereka berdua sudah sadar dari tidur, akan tetapi ingatan mereka tertutup awan tebal. Endang Patibroto duduk seperti arca matanya melamun memandang jauh sekali. Ia selalu menurut saja setiap kali seorang pelayan menyuruhnya minum, makan atau tidur. Kalau mulutnya mengeluarkan bunyi, yang keluar hanya, "Kubunuh engkau, buntung...! Kubunuh engkau..."
Keadaan Ayu Candra juga sama dengan keadaan Endang Patibroto. Hanya bedanya, bisikan-bisikan yang keluar dari mulutnya hanyalah, "Kakang Joko Wandiro... kakang Joko Wandiro...!" Hal ini adalah karena sebelum jatuh pulas, ingatannya yang terakhir tertuju kepada Joko Wandiro.
Adapun Endang Patibroto sebelum roboh oleh pengaruh penyirepan, teringat kepada Ki Jatoko, maklum bahwa ia dijebak dan karenanya ia ingin membunuh orang buntung itu. Ki Jatoko kecewa melihat keadaan Ayu Candra yang seperti patung hidup itu. Ia bukan menghendaki gadis itu tak berdaya, karena kalau hanya demikian yang ia kehendaki, tanpa bantuan Bhagawan Kundilomuko sekali pun ia dapat menggunakan kepandaiannya menggagahi Ayu Candra. Dengan kepandaiannya ia sanggup membuat gadis itu tidak berdaya. Maka ia menyampaikan kekecewaannya kepada Bhagawan Kundilomuko.
"Ha-ha-ha-ha, anakmas Jatoko, mengapa begitu tak sabar dan tergesa-gesa? Tentu saja tidak hanya sampai di sini. anak-mas. Aku sendiripun tentu saja tak suka dilayani Endang Patibroto yang seperti mayat hidup. Heh-heh-heh, apakah anak tidak melihat bagaimana murid-muridku yang denok ayu itu melayani aku dengan penyerahan diri sebulatnya dan disertai kasih sayang mesra?"
"Saya percaya, paman, dan itulah yang saya harapkan dari Ayu Candra."
"Tentu, tentu! Aku pun menghendaki demikian dari Endang Patibroto. Akan tetapi tidak sekarang. Aku membuat mereka kehilangan ingatan agar mereka itu menjadi penurut dan tidak membantah semua apa yang kita perintahkan. Nanti, bersabarlah. Sepekan lagi bulan purnama akan muncul, di sini akan diadakan perayaan pesta pemujaan Sang Hyang Bathari, Pada malam itulah, dengan berkah dan cahaya Sang Hyang Bathari, kita akan memberi minum anggur darah kepada mempelai kita masing-masing, heh-heh-heh!"
Sepasang mata Ki Jatoko bersinar-sinar penuh nafsu. "Apakah anggur darah itu, paman? Dan mengapa ada mempelai? Siapa yang akan kawin?"
"Ha-ha-ha, heh-heh, siapa lagi kalau bukan kita? Pengantin kembar, ha-ha-ha! Engkau dengan Ayu Candra, aku dengan Endang Patibroto si cantik manis, si denok montok, si ayu kuning, ha-ha-ha"
"Cocok dengan dugaanku dahulu, paman. Bukankah Endang Patibroto benar-benar cantik seperti dewi kahyangan? Apakah sekarang paman masih berniat membunuhnya?"
"Wah-wah, eman-eman (sayang) kalau dibunuh! Memang kau benar, anak-mas. Tentang anggur darah itu, ha-ha-ha, kaulihat sendiri nanti. Kau akan payah menghadapi tantangan dan kemesraan Ayu Candra, ha-ha-heh heh-heh!"
Keduanya makan minum dengan gembira, dilayani anak-anak murid Sang Bhagawan yang cantik-cantik dan genit-genit. Ki Jatoko merasa tak sabar lagi menanti datangnya malam bulan purnama. Bhagawan Kundilomuko maklum akan hal ini, maka sebagai pengobat rindu, ia memerintahkan seorang di antara anak muridnya yang cantik untuk menjadi kawan Ki Jatoko dan melayani si buntung itu!
Memang, semenjak jaman dahulu kala sampai sekarang inipun, manusia merupakan makhluk yang paling lemah menghadapi keliaran nafsu-nafsu mereka sendiri. Setelah menjadi hamba nafsu, lenyaplah keagungan seorang manusia dan ia tidak akan segan-segan untuk melakukan segala macam perbuatan rendah. Gila akan kedudukan, akan harta benda, kemuliaan, nama besar, pemuasan panca indra, pemuasan nafsu berahi, semua itu timbul sebagai akibat dari pada kelemahan menghadapi nafsu pribadi. Sekali menjadi hamba nafsu, manusia tidak segan-segan melakukan segala macam daya upaya tanpa memperhitungkan lagi baik jahatnya, demi pemuasan nafsunya sendiri yang dipertuan. Dan inilah jalan menuju ke segala macam kesengsaraan.
Tuhan pencipta sekalian alam semesta, telah memberi petunjuk dan peringatan melalui kekuasaan alam-Nya kepada manusia. Namun, sekali manusia diperhamba nafsu, ia seakan-akan buta dan tuli. Seorang pendeta ahli tapa seperti Bhagawan Kundilomuko, setelah menjadi hamba nafsu, menjadi seperti buta pula. Rambutnya sudah putih semua, hal sepele (sederhana) ini saja sudah merupakan nasehat dan peringatan, bahwa usia tua mendatangkan rambut putih berarti si manusia supaya memikirkan hal yang bersih-bersih saja seperti warna rambut yang menyelimuti kepalanya!
Namun sayang, setua itu masih saja ia picik dan lemah. Nafsu, terutama nafsu berahi, memang seperti anggur yang keras memabukkan. Sekali orang mencucupnya, ia akan menghendaki lebih dan lebih dan lebih, tak kunjung puas. Karena itu, semenjak dahulu kala sampai sekarang inipun, bahagialah dia yang selalu eling (ingat) dan waspada. Ingat kepada Hyang Maha Wisesa dan waspada terhadap dirinya sendiri!
Waspada dalam arti kata awas dan hati-hati meneliti budi pekerti dan tindak-tanduknya sendiri. Kokoh dan teguh dalam menghadapi godaan nafsu pribadi sehingga akhirnya bukan dia yang diperhamba nafsu, melainkan nafsu yang diperhambanya. Nafsu hanya sekedar alat hidup yang dipergunakan seperlunya, pada waktu, tempat, dan keadaan yang tepat sebagai pelengkap hidup.
Malam bulan purnama yang dinanti nanti itu akhirnya tiba juga. Semenjak sore hari, pertapaan Durgaloka telah dihias megah. Daun-daun, kembang-kembang dan janur (pupus daun kelapa) yang dianyam dan dibentuk beraneka macam menghias pertapaan, terutama sekali bangsal besar tempat yang khusus dibuat sebagai tempat pemujaan Bathari Durgo, yaitu di bawah pohon waringin, dekat sumber mata air Sungai Bondoyudo.
Tempat pemujaan itu terbuka dan agak tinggi semacam panggung, lebih dari dua puluh lima meter lebarnya. Tempat ini dihias dengan bunga-bunga. Semua anak murid Bhagawan Kundilomuko sudah siap berkumpul. Lima belas murid pria menabuh gamelan, yang lima belas orang lagi membawa obor dan berdiri mengelilingi tempat pemujaan itu. Murid perempuan berjumlah semua seratus dua puluh orang!
Kini sebagian menjaga sekitar pertapaan secara bergilir, sebagian pula sibuk di dapur, sebagian sibuk mempersiapkan kebutuhan upacara pemujaan, dan sebagian pula yang bertugas sebagai penyanyi dan penari sibuk bersolek. Semua orang bergembira ria. Tentu saja dua orang tidak tampak gembira. Mereka ini adalah Ayu Candra dan Endang Patibroto. Dua orang gadis tawanan ini duduk di atas bangku dalam biliknya, duduk melamun seperti patung, dijaga masing-masing oleh lima orang wanita.
Di tengah-tengah pemujaan itu terdapat sebuah patung Bathari Durgo yang amat indah dan seolah-olah hidup. Patung itu sebesar manusia, mengenakan pakaian sutera serba indah dan mahal, bahkan tubuhnya memakai perhiasan-perhiasan emas permata yang gilang-gemilang. Ketika bulan purnama mulai muncul, gamelan ditabuh keras dan meriah. Suara gamelan ini aneh dan tidak sama dengan gamelan biasa, juga lagu dan iramanya liar merangsang. Gadis-gadis yang duduk bersimpuh di pinggir tempat upacara berlutut menyembah ketika Sang Bhagawan Kundilomuko muncul bersama Ki Jatoko. Mereka inipun sudah berpakaian serba indah sehingga Ki Jatoko yang buntung dan berwajah buruK itu kini kelihatan tidak begitu buruk dan agak gagah.
Dengan lagak yang berwibawa, Bhagawan Kundilomuko mengangkat tangan kanan ke atas sebagai balasan salam kepada murid-muridnya, kemudian ia duduk di atas kursi yang sudah dihias, di sebelah kanan patung Bathari Durgo. Ki Jatoko juga dipersilakan duduk di atas sebuah kursi yang lebih kecil, agak jauh menghadap pendeta itu dan patung dewinya. Dilihat dari jauh, seolah-olah Bhagawan Kundilomuko duduk berdua dengan isterinya, seorang dewi yang berwajah cantik namun menyeramkan. Di bawah permainan api obor yang bergerak-gerak, sepasang mata patung itu seperti melirik-lirik, bibirnya seperti tersenyum-senyum! Di sebelah kanan Sang Bhagawan Kundilomuko terdapat sebuah kursi kosong, demikian pula di sebelah kanan Ki Jatoko terdapat sebuah kursi kosong.
Tak lama kemudian, gamelan ditabuh lebih lambat dan perlahan, kemudian dari dalam pondok keluarlah menuju ke tempat itu dua orang gadis yang cantik jelita dan berpakaian sutera putih indah sekali. Mereka itu bukan lain adalah Ayu Candra dan Endang Patibroto! Mereka masing-masing dituntun oleh dua orang anak murid sang bhagawan dan kini menaiki anak tangga ke tempat pemujaan.
Pakaian sutera putih yang membungkus tubuh mereka itu amat tipis dan halus sehingga di bawah sinar bulan purnama dibantu sinar-sinar api obor, tampaklah tubuh mereka membayang, elok menggairahkan. Mereka itu berjalan seperti mayat hidup, menurut saja ketika pelayan-pelayan itu menggandeng mereka dan menyuruh mereka bersama berlutut dan menyembah patung Bathari Durgo. Setelah itu, pelayan-pelayan atau anak murid sang bhagawan mengundurkan diri.
Ki Jatoko yang sudah diberi tahu jalannya upacara, sebagai "mempelai pria" bangkit dari kursinya, menghampari Ayu Candra yang masih berlutut di depan patung itu, menariknya bangun dan menggandengnya dengan senyum dan pandang mata mesra, membawanya ke tempat duduknya dan menyuruhnya duduk di atas kursi sebelah kanannya. Juga Bhagawan Kundilomuko sudah menggandeng tangan Endang Patibroto dan mendudukkan gadis jelita itu sampingnya.
Gamelan kini berbunyi gencar dan ramai serta meriah sekali? Beberapa orang gadis yang cantik dan lincah dating berlari-lari membawa buah-buah dan minuman untuk "dua pasang mempelai". Karena ingatan mereka kosong akibat cekokan jampi setiap hari selama dua pekan lebih, Ayu Candra dan Endang Patibroto tidak dapat mengingat maupun berpikir apa-apa. Ketika ditawari buah oleh mempelai laki-laki, mereka mengambil dan makan buah itu secara otomatis.
Mulailah kini dihidangkan tari-tarian oleh belasan orang gadis yang berpakaian indah beraneka warna. Sebelum menari, mereka ini berjongkok menyembah patung Bathary Durgo, lalu menyebarkan kembang yang sejak tadi dibawa dengan selendang mereka. Tubuh patung itu penuh bunga, demikian pula di sekitarnya, di atas lantai penuh bunga. Patung itu seakan-akan memperlebar senyumnya. Kemudian gadis-gadis itu menari indah, seperti kupu-kupu beterbangan.
Pakaian mereka dari sutera tipis, berkibar-kibar ketika mereka bergerak setengah berlari Setelah tari permulaan sebagai pemuja Sang Bathari ini selesai dan para penari turun kembali dari tempat itu, mendadak semua obor yang dipegang oleh lima belas orang anak murid pria dipadamkan. Kini tempat Itu hanya diterangi oleh sinar bulan purnama. Langit terang-benderang. Keadaan amat romantis dan indah. Bunyi gamelan juga berbeda dari pada tadi, kini amat luar biasa iramanya.
Kemudian terdengar nyanyian koor belasan orang gadis, makin lama rnakin nyaring mengiringi munculnya serombongan penari baru yang keluar dari dalam pondok dekat tempat pemujaan. Begitu tiba di tempat pemujaan, gadis-gadis penari yang jumlahnya tiga puluh orang ini, murid-murid yang tercantik dari Bhagawan Kundilomuko, dipimpin oleh lima orang muridnya tersayang, sudah berjalan jongkok lalu berlutut di depan patung Bathari Durgo. Mulailah mereka mengikuti para penyanyi, menyanyikan lagu puja-puji kepada Sang Bathari.
Upacara pemujaan dimulailah. Bhagawan Kundilomuko bangkit dari kursinya, lalu menghampiri seorang anak murid yang membawa bokor emas berisi air kembang. Diambilnya setangkai bunga, dicelup ke dalam air suci ini dan dipercik-percikkan ke arah patung. Kemudian ia menuangkan secawan anggur, membawa cawan itu ke dekat mulut patung sampai menempel bibirnya, kemudian ia menaruh cawan di depan patung. Demikian pula dengan beberapa macam buah. Inilah upacara "menghidangkan makan minum" bagi Bathari Durgo yang hanya boleh dilakukan oleh sang bhagawan yang oleh para murid didesas-desuskan sebagai kekasih Sang Bathari Durgo!
Upacara ini amat lama. Setelah Bhagawan Kundilomuko kembali duduk ke kursinya, seorang anak murid perempuan datang membawa sebuah bokor besar sekali. Melihat betapa gadis itu kuat membawa bokor besar yang terisi penuh, dapat dibayangkan bahwa ia tentulah anak murid sang bhagawan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan bertenaga besar. Bokor itu ditaruh di depan kaki sang bhagawan, kemudian setelah menyembah, murid itu mengundurkan diri. Sang bhagawan menoleh ke arah Ki Jatoko dan tersenyum sambil berbisik. "Inilah anggur darah," katanya, menuding ke arah bokor besar tertutup yang terletak di depan kakinya.
Sementara itu, upacara dilakukan terus sampai lama oleh para penari yang tiga puluh orang jumlahnya itu. Mereka bernyanyi-nyanyi puja-puji dan wajah mereka tampak berseri-seri. Sementara itu, bulan naik makin tinggi dan sinarnyapun makin terang. Tiba-tiba Bhagawan Kundilomuko bangkit berdiri dan memberi isyarat dengan tangan. Para penari itu berhenti menyanyi, kemudian mulai bangkit dan mengatur tempat masing-masing untuk mulai menari. Gamelanpun merobah iramanya, kini bernada gembira dan lebih merangsang dari pada tadi. Tarianpun dimulailah. Indah sekali tarian ini, tidak seperti tadi, jauh lebih indah. Lima orang anak murid tersayang itu menjadi penari inti, menari di tengah-tengah, dikelilingi dua puluh lima orang kawannya. Mereka berputar-putar, melenggang-lenggok, berlari-larian, menggoyang-goyang pundak, perut, dan kibul, menggeleng-geleng kepala, makin lama gamelan dibunyikan makin meriah, suara penyanyi makin keras dan gerakan para penari makin penuh gairah.
Melihat gerak tubuh para penari yanh penuh gairah dan merangsang nafsu itu Ki Jatoko sudah tak enak duduknya. Ia melirik ke arah Ayu Candra dan kecewalah hatinya. Ayu Candra tetap saja duduk seperti patung. Lebih mati dari pada patung Bathari Durgo itu. Agaknya Bhagawan Kundilomuko melihat keadaan Ki Jatoko yang kecewa ini. Ia bangkit berdiri sambil tertawa, memberi isyarat dengan kedua tangan diacungkan ke atas. Seketika para penairi itu berhenti menari dan menjatuhkan diri berlutut di atas lantai, terengah-engah dan napas mereka mendengus-dengus, muka mereka penuh keringat. Gamelan masih berbunyi, perlahan dan lambat iramanya. Sambil menoleh ke arah patung Bathari Durgo, Bhagawan Kundilomuko berkata, suaranya nyaring,
"Kini tiba saatnya memuja Sang Hyang Bathari dengan pengorbanan darah dan daging!"
Terdengarlah sorak-sorai dan tertawa cekikikan di antara anak-anak murid bhagawan Kundilomuko. Kakek pendeta itu sendiri lalu membuka bokor besar, mengambil cawan emas dan menciduk ke dalam bokor. Tercium bau yang harum bercampur amis, dan cawan emas itu penuh dengan benda cair yang merah seperti darah. Cawan yang penuh anggur darah itu oleh sang pendeta dibawa ke depan patung Bathari Durgo seperti tadi, ia pun menempelkan cawan ke bibir patung itu sampai lama, kemudian mulutnya berkemak-kemik membaca mantera dan akhirnya menaruh cawan emas itu di depan kaki patung. Setelah itu, tertawalah Bhagawan Kundilomuko. Ia menengadah memandang bulan purnama, tertawa-tawa menyeramkan. Kedua anting-anting di telinganya bergerak-gerak.
"Marilah, anak-anak manis, majulah ke sini. Dengan berkah Sang Hyang Bathari, mari kalian minum anggur darah, cicipilah kesenangan yang menjadi hakmu sepuas hati. Ha-haha-ha!"
Tiga puluh orang penari tadi dengan pandang mata penuh gairah lalu menghampiri sang bhagawan, seorang demi seorang diberi minum anggur merah itu dari sebuah cawan. Gerak mereka ketika menghampiri, ketika minum anggur, ketika mengembalikan cawan kosong, semua adalah gerak tari indah yang diiringi gamelan.
Tak lama kemudian semua murid yang tiga puluh orang jumlahnya itu sudah minum dan kini gamelan dibunyikan keras-keras dan liar sekali. Aneh bukan main, para penari itupun menari dengan gerakan liar, penuh dengus-dengus nafsu. Tiga puluh orang gadis cantik itu seperti mabuk, seperti bukan kehendak sendiri dan agaknya roh-roh jahat telah menyusupi diri mereka.
Wajah mereka yang diangkat menengadah membayangkan nafsu, hidung kembang-kempis mendengus-dengus, mulut menyeringai dalam berahi yang memuncak, gerak tari mereka makin menggila. Tak lama kemudian, beterbanganlah sutera-sutera halus yang tadinya membalut tubuh mereka. Dengan gerak tari merangsang, mereka menanggalkan sutera-sutera halus itu sambil terus menari.
Ki Jatoko memandang dengan mata melotot, seakan-akan kedua biji matanya hampir terloncat keluar dari pelupuknya. Selama hidupnya, belum pernah ia menyaksikan pertunjukan yang begini hebat merangsang. Bhagawan Kundilomuko hanya tersenyum-senyum dan tertawa-tawa, mengelus-elus jenggotnya dan melirik ke arah Endang Patibroto yang seperti keadaan Ayu Candra, duduk tak bergerak seperti arca mati.
Kemudian bhagawan ini bangkit berdiri, menyembah ke arah patung Bathari Durgo, kemudian ia pun menanggalkan pakaian yang membungkus patung itu satu demi satu sehingga tak lama kemudian patung itupun telanjang bulat seperti para penari itu! Terkena bayangan para penari yang bergerak-gerak di bawah sinar bulan purnama, patung dewi yang telanjang itu kini agaknya juga ikut bergerak-gerak, ikut berlenggang-lenggok genit. Ki Jatoko menjadi makin tak sabar. Alangkah akan bahagia hatinya kalau Ayu Candra bersikap seperti para penari itu, penuh gairah, penuh semangat, penuh nafsu berahi! Ia menoleh ke arah Bhagawan Kundilomuko dan berkata, suaranya menggigil,
"Paman, mengapa mempelai kita tidak diberi minum anggur darah?"
"Ha-ha-ha, engkau sudah tak sabar sekali, anak-mas Jatoko! Mempelai kita ini harus dipisahkan dari mereka. Tunggulah sebentar lagi!"
Kini para penari itu agaknya sudah tak dapat menahan gelora nafsu mereka. Mereka menari makin liar dan makin mendekati sang bhagawan, bahkan ada yang mendekati Ki Jatoko. Dengan gerakan-gerakan memikat mereka seakan-akan menggoda dan menarik perhatian dua orang laki-laki yang duduk di atas kursi itu. Makin lama makin mendekati dan akhirnya di antara mereka ada yang mulai menyentuh dan mengusap. Agaknya sebentar lagi mereka itu akan nekat menubruk sang bhagawan dan Ki Jatoko. Si buntung itu sudah memandang bingung ke arah sang bhagawan.
Bhagawan Kundilomuko bangkit berdiri dan tertawa lebar lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya mendorong halus murid-muridnya yang merubung dan hendak mengeroyoknya dengan belaian-belaian mesra itu.
"Ha-ha-ha, anak-anak manis. Tidak ada waktu bagi aku untuk menyambut pelayanan kalian. Malam ini malam baik, berkat restu Sang Hyang Bathari, aku mengizinkan kalian melayani tiga puluh orang murid-murid pria sebagai wakilku!"
Ucapan ini disambut sorak-sorai dan suara gamelan terhenti ketika lima belas orang murid pria bersama lima belas lagi yang tadi memegang obor sudah berlompatan naik ke atas tempat pemujaan. Terjadilah adegan-adegan yang mendirikan bulu roma ketika tiga puluh orang penari cantik itu memilih pasangan masing-masing, tertawa-tawa, menari-nari dan menyanyi-nyanyi, bercumbu-rayu tanpa malu-malu lagi, berpeluk cium dan bersendau-gurau, kemudian pasangan demi pasangan turun dari tempat pemujaan, menyelinap di balik pohon-pohon. Hanya suara ketawa genit cekikikan terdengar dari tempat-tempat tersembunyi. Tempat pemujaan menjadi sunyi. Kini tinggal dua pasang mempelai itu. Bhagawan Kundilomuko lalu mengisi sebuah cawan dengan anggur darah memberikannya kepada Ki Jatoko sambil berkata,
"Anak-mas Jatoko, berilah minum mempelaimu dan kau akan mendapatkan seorang isteri yang panas dan mencinta, tiada keduanya di dunia ini, ha-ha-ha!"
Ki Jatoko menerima cawan itu sedangkan Bhagawan Kundilomuko juga mengisi sebuah cawan kosong dengan anggur itu. Kedua orang itu kini mengangkat cawan, mendekatkan cawan ke mulut Endang Patibroto dan Ayu Candra yang sama sekali tidak melawan. Bibir cawan sudah menyentuh bibir dua orang gadis yang cantik jelita itu, dan inilah detik yang menentukan karena sekali dua orang gadis itu minum anggur kotor ini, tentu mereka akan mabuk dan lupa diri pula seperti tiga puluh orang penari itu!
"Takkk! Takkk!"
Dua sinar hitam itu bagaikan kilat menyambar telah mengenai cawan-cawan berisi anggur darah. Benturan ini hebat dan keras sekali sehingga baik Ki Jatoko maupun Bhagawan Kundilomuko tak dapat mempertahankan dan cawan itu terpental, terlepas dari tangan sehingga isinya menyiram muka mereka sendiri!
Sambil berseru keras mereka meloncat mundur dan pada saat itu terdengar teriakan menyayat hati dan di sekitar tempat itu telah terjadi pertandingan yang hebat antara murid-murid Durgaloka laki-laki dan wanita yang sebagian besar bertelanjang bulat melawan puluhan perajurit wanita perkasa yang dipimpin oleh lima orang gadis jelita. Mereka ini bukan lain adalah Dewi, Lasmi, Mini, Sari dan Sundari yang memimpin kawan-kawannya menyerbu Durgaloka!
"Sabbe satta avera hontu, sadhu-sadhu-sadhu (Semoga semua makhluk hidup damai)" Tiba-tiba terdengar pujian ini dan muncullah seorang pendeta yang kepalanya gundul bersama seorang pemuda yang bukan lain adalah Joko Wandiro. Sedangkan pendeta Buddha itu bukan lain adalah Sang Wiku Jaladara!
Sang wiku ini adalah seorang pendeta Buddha yang dahulu pernah mengobati Jokowanengpati dilereng Gunung Lawu akan tetapi kemudian malah hendak dibunuh oleh Jokowanengpati karena sang wiku telah melihat bahwa dia yang mencuri patung kencana pusaka Mataram. Bagaimanakah Joko Wandiro bersama anak buahnya yang dipimpin oleh Dewi dapat datang pada saat yang begitu kebetulan dan tepat? Hal ini adalah jasa para anak buahnya.....
Komentar
Posting Komentar