BADAI LAUT SELATAN : JILID-18
Ki Tejoranu meloncat ke belakang dan menyimpan sepasang goloknya,
mulutnya cemberut dan ia berdiri bertolak pinggang menjadi penonton.
Memang aneh watak orang ini. Dia terbawa-bawa temannya, Ki Warok
Gendroyono untuk ikut-ikut membantu Adipati Joyowiseso, akan tetapi
dalam hal pertempuran, ia selalu masih menjaga tata cara pertandingan
yang merupakan "etika" bagi pendekar-pendekar di negerinya.
Narotama yang dikeroyok delapan orang itu terkejut sekali. Tak disangkanya orang-orang yang mendendam kepadanya ini, yang terkenal sebagai orang-orang sakti ini akan maju bersama mengeroyoknya! Tadi ia bersikap tenang karena mengira bahwa mereka itu akan maju satu-satu, siapa kira mereka mempergunakan cara curang ini untuk mengeroyoknya.
Di samping terkejut, ia pun marah. Timbul kemarahan dalam hati patih yang tenang ini ketika ia dimaki "orang sudra" oleh Ki Krendoyakso. Memang tidak dapat disangkal lagi, Narotama bukanlah keturunan raja seperti Airlangga, akan tetapi kalau Sang Prabu Airlangga sendiri tak pernah memandang rendah darah keturunannya, masa seorang kepala rampoK seperti Ki Krendoyakso saja berani memakinya?
"Babo-babo! Kalian menggunakan keroyokan? Boleh, boleh, majulah! Jangan kira Narotama akan undur selangkahpun!" seru Narotama dan ia segera mengerahkan tenaga dan mengeluarkan kepandaiannya.
Untuk menghadapi pengeroyokan orang-orang yang menggunakan pelbagai senjata, apalagi senjata tasbih yang ampuhnya menggila dari Cekel Aksomolo, kolor ajimat yang dimainkan Ki Warok Gendroyono yang mendatangkan hawa panas, kemudian penggada Wojo Ireng yang dimainkan sepasang lengan raksasa Ki Krendroyakso sehingga hebatnya seperti penggada Rujakpolo dimainkan oleh Sang Werkudoro, ia harus berlaku hati-hati dan bergerak cepat. Maka Narotama lalu mainkan Aji Bramoro Seto (Lebah Putih). Bagaikan seekor lebah saja tubuhnya melayang-layang di antara sambaran senjata, kadang-kadang ia menggunakan sepasang lengannya yang kebal dan terisi hawa sakti untuk menangkis senjata lawan.
Pada saat itulah suara hiruk-pikuk pertandingan terdengar oleh Joko Wandiro dan anak ini datang lalu menonton pertandingan dari atas pohon. Mula-mula hati anak ini mengkal menyaksikan pertandingan yang tidak adil itu. Ia sebagai anak gemblengan maklum yang bertanding adalah orang-orang sakti sehingga tak mungkin sama sekali baginya untuk membantu kakek yang terkeroyok.
Namun hatinya condong kepada yang dikeroyok dan mengharapkan kemenangannya. Anak yang berpemandangan tajam inipun segera mendapat kenyataan bahwa di antara delapan orang pengeroyok itu, yang lima hanyalah orang-orang kuat yang hanya pandai mainkan golok dan ruyung belaka, akan tetapi yang tiga, terutama sekali kakek tua renta bongkok, adalah orang-orang sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa kakek sakti yang dikeroyok itu tidak pernah berani menangkis dengan tangannya serangan kolor, penggada hitam, dan tasbih, akan tetapi tanpa ragu-ragu tangan kosongnya berani menyampok polok dan ruyung lima orang kepala rampok.
"Tidak adil! Curang...!" Kembali Joko Wandiro mengeluh di dalam hatinya melihat betapa kakek yang dikeroyok itu tampak sibuk benar, tubuhnya tak pernah berhenti sedetikpun, berkelebat bagaikan seekor lebah dikejar-kejar dalam ruangan tertutup.
Namun hampir saja ia bersorak ketika tiba-tiba kakek sakti itu mengeluarkan seruan aneh dibarengi tubuhnya menyambar ke arah lima orang yang memegang golok dan ruyung. Dua orang di antara mereka menjerit dan roboh terjungkal! Anak buah rampok cepat maju menolong kepala rampok yang remuk tulang pundak dan lengannya itu, dan segera dua orang perampok lain menggantikan kedudukan dua orang yang roboh ini. Bahkan yang lain-lain mulai maju mengurung dan menanti kesempatan untuk mengeroyok pula. Joko Wandiro marah sekali.
"Pengecut, tak tahu malu!" makinya dalam hati. Ia memandang marah, terutama kepada kakek tua renta yang memegang tasbih karena sesungguhnya kakek inilah yang membikin repot jagonya yang terkeroyok.
Tasbih kakek itu luar biasa sekali, menyambar-nyambar seperti ular hidup dan selain suara angin bersiutan ketika menyambar, juga tasbih itu mengeluarkan bunyi berkeritikan yang nyaring halus menusuk-nusuk anak telinga. Selain hebat dan dahsyat tasbihnya, juga mulutnya tak pernah berhenti bicara mengejek. Inilah yang membuat Joko Wandiro gemas hatinya terhadap si kakek bongkok.
"Oh-huh-huh, Narotama. Mengapa tidak menyerah saja? Mana mungkin engkau bisa menangkan kami? Heh-heh-heh!"
"Aku benar dan karenanya aku berani. Mati dalam kebenaran jauh lebih mulia dari pada hidup bergelimang kejahatan!" jawab Narotama sambil cepat mengelak sambaran tasbih.
Akan tetapi dari samping terdengar bunyi ledakan keras sekali dan kolor berwarna kuning belang menyambar dahsyat. Agaknya Ki Warok Gendroyono merasa penasaran sekali karena semenjak tadi senjatanya yang ampuh tak pernah berhasil menyentuh tubuh lawannya. Narotama kaget, apalagi karena bayangannya terkurung oleh sambaran penggada Wojo Ireng di tangan Ki Krendoyakso. Terpaksa ia miringkan tubuh sambil mengebutkan tangan kirinya menghalau sinar kuning kolor Ki Warok.
"Desss...!"
Narotama terkejut sekali dan terhuyung ke belakang. Hebat memang kolor sakti itu, mengandung tenaga yang luar biasa kuatnya dan hawa pukulannyapun panas. Dalam keadaan terhuyung ini Narotama didesak oleh para pengeroyoknya terutama sekali tiga orang lawan sakti itu. Ia meloncat ke belakang, mengguncang-guncang kepala dan pundaknya seperti seekor ayam jago aduan yang baru saja kena pukul jalu kaki lawannya, kemudian tangan kanannya bergerak dan sebatang keris telah berada di tangannya. Inilah keris Megantoro, sebatang keris berlekuk tujuh.
Terpaksa Narotama mengeluarkan keris pusakanya, oleh karena menghadapi senjata-senjata ampuh tiga orang pengeroyoknya itu membuat ia kurang leluasa bergerak, maka harus dihadapi dengan senjata ampuh pula untuk menolak pengaruh senjata-senjata pusaka lawan. Delapan orang pengeroyok itu, terutama sekali belasan orang anak buah perampok yang kurang kuat batinnya, menggigil ketika melihat cahaya putih cemerlang bersinar dari keris pusaka Megantoro itu.
Cekel Aksomolo segera membunyikan tasbihnya sehingga bunyinya gemercik seperti hujan deras turun. Ki Warok Gendroyono melecut-lecutkan kolornya sehingga terdengar bunyi ledakan-ledakan seperti suara geluduk bersambung-sambung, sementara itu Ki Krendoyakso juga memutar penggadanya yang mendatangkan suara angin mengaung-ngaung seperti datangnya taufan.
Joko Wandiro terpaksa harus memeluk cabang pohon agar tidak jatuh ke bawah. Suara-suara itu amat mengganggunya, terutama sekali suara tasbih. Kalau saja ia bukan anak gemblengan yang setiap hari dilatih samadhi, tentu ia takkan kuat bertahan. Baiknya ia sudah pandai menyatukan panca indera, pandai pula mengerahkan tenaga batin ke telinga untuk menolak pengaruh suara-suara itu, maka sebegitu lama ia masih dapat bertahan. Akan tetapi suara tasbih itu seperti menggelitik telinganya, menimbulkan rasa geli sehingga beberapa kali ia mengkirik dan bulu-bulu tubuhnya berdiri, tubuh terasa dingin sehingga ia menggigil.
Menghadapi pengerahan tenaga sakti lawan yang mengeroyoknya, Narotama kembali mengeluarkan suara aneh yang mirip suara seekor gajah. Inilah Aji Dirodo Meto (Gajah Marah), dan pekik ini mengandung pengaruh dahsyat yang biasanya dapat melumpuhkan lawan yang dihadapinya. Akan tetapi karena kini yang dihadapi adalah orang-orang sakti, maka suara ini dikeluarkan untuk menahan pengaruh keampuhan senjata-senjata lawan yang mengeluarkan bunyi sakti pula itu.
Pertandingan berlangsung pula dengan hebatnya. Mula-mula Ki Krendoyakso yang agaknya sudah kehabisan sabar, memutar penggada Wojo Ireng menyerbu ke depan, penggadanya menyambar ke arah kepala Narotama dengan cepat dan kuat sambil mengeluarkan bunyi mengaung. Narotama cepat miringkan tubuhnya, membiarkan penggada itu lewat. Selagi tubuhnya miring, ia mengirim tendangan ke arah lambung Ki Krendayakso.
Tendangan yang hebat dan cepat dan agaknya tentu akan bersarang tepat pada sasarannya kalau saja pada saat itu Ki Warok Gendroyono tidak mengganggu. Ki Warok ini sudah menerjang pula dengan kolornya yang diputar-putar menyambar lawan. Terpaksa Narotama menarik kembali kakinya yang menendang, dan hanya berhasil mencium lambung Ki Krendoyakso dengan ujung jari kaki saja dan hanya membuat raksasa Bagelen ini mengeluarkah suara "hukkk!" dan meringis karena perutnya tiba-tiba menjadi mulas.
Sambaran kolor sakti Ki Warok ditangkis pusaka Megantoro menimbulkan bunyi ledakan keras dan Ki Warok Gendroyono meloncat ke belakang dengan kaget. Kolor saktinya tentu saja sanggup beradu dengan pusaka apa pun juga, akan tetapi ketika bertemu dengan keris Megantoro, keris itu terus menyelinap ke bawah dan kalau ia tidak cepat meloncat ke belakang tadi, tentu dada menthoknya berkenalan dengan keris pusaka Megantoro yang ampuhnya menggila itu.
Yang Hebat adalah serangan Cekel Aksomolo. Kakek yang seperti Begawan Durno dalam cerita Mahabharata itu ternyata masih pandai bersilat cepat. Melihat kegagalan kawan-kawannya, ia bersungut-sungut maju dan mendesak sambil memutar tasbihnya, jalannya agak terbongkok-bongkok dan lambat, akan tetapi tasbih di tangannya berputar cepat sekali membentuk lingkaran hitam yang melindungi seluruh tubuhnya namun yang merupakan gulungan sinar maut menerjang lawan.
Narotama cepat menggerakkan keris pusaka menangkis. Terdengar suara "crang-cring-crang-cring" bertubi-tubi dan tampaklah bunga api berpijar berhamburan ketika kedua senjata ampuh itu bertemu. Ternyata kedua senjata itu sama ampuhnya dan diam-diam Narotama juga kaget dan kagum mendapat kenyataan betapa kakek tua renta yang bongkok ini benar-benar merupakan lawan yang paling tangguh di antara semua pengeroyoknya!
Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyakso segera menyerbu ke depan ketika melihat Narotama terlibat dalam pertarungan seru dengan Cekel Aksomolo, sedangkan lima orang perampok juga ikut mengganggu, menusuk-nusukkan golok dan memukul-mukulkan ruyung dari arah belakang Narotama. Ki patih yang kosen itu. kali ini benar-benar terdesak, namun permainan kerisnya memang mengagumkan sehingga selama itu ia masih berhasil mempertahankan diri, bahkan kaki kirinya telah berhasil pula mendapat mangsa, yaitu perut dua orang perampok yang segera terlempar dan roboh tak dapat bangun pula karena agaknya usus buntu mereka berkenalan dengan ibu jari kaki Narotama sehingga kini mereka menggeliat-geliat sambil memegangi perut!
Akan tetapi hasil sepakan kaki Narotama ini malah merugikan ki patih sendiri oleh karena ketika pencurahan perhatiannya terbagi dalam penyerangan, pertahanannya agak kurang dan karenanya ia tidak dapat menghindarkan lagi hantaman ujung kolor Ki Warok Gendroyono ke arah lehernya. Untung ia masih sempat miringkan tubuh sehingga bukan lehernya yang terpukul melainkan pundaknya. Kalau lehernya yang terpukul, betapa pun saktinya ki patih, agaknya akan berbahayalah akibatnya. Hanya pundaknya saja sudah membuat ki patih terlempar ke belakang bagaikan tertiup angin badai dan hanya berkat ketangkasan dan ilmunya yang tinggi saja yang mencegahnya terbanting jatuh.
Ki patih berjungkir balik mematahkan daya luncur tubuhnya dan turun ke tanah dalam keadaan berdiri. Pucat sedikit wajahnya, dan tulang pundaknya terasa ngilu, akan tetapi ia masih tidak kehilangan tenaga dan ketangkasannya. Rangsekan para pengeroyok yang masih banyak jumlahnya karena para anggota perampok semua ikut-maju, dapat ia sambut dengan baik, walaupun ia benar-benar terdesak sekarang.
Makin gaduh suasana pertandingan, penuh teriakan dan gerengan, ribut oleh tiga senjata ampuh para pengeroyok. Juga ki patih yang sudah marah itu kini memekik-mekik ganas dan bertambah ganas pula kerisnya. Sudah dua orang perampok roboh tertusuk keris Megantoro. Kalau keris pusaka sudah minum darah, ia akan menjadi makin haus. Kini Narotama tak mungkin lagi menjaga serangannya agar jangan membunuh orang, karena dalam keadaan terdesak itu ia harus mempertahankan diri dengan membuka jalan darah.
Pada saat ki patih amat terdesak itu, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan terdengar bentakan, "Orang-orang tak tahu malu, begini banyak mengeroyok seorang tua!" Hampir saja Joko Wandiro berteriak kegirangan ketika mengenal ayahnya yang maju dengan gerakan cepat. Akan tetapi tiba-tiba Pujo yang maju hendak membantu Narotama itu dihadang oleh Ki Tejoranu!
"Olang muda, gelakanmu tangkas. Aku juga tidak suka keloyokan, hayo kau layani aku main-main sebental!"
Golok sepasang itu sudah dicabut lagi dan diputar-putar di atas dan depan tubuhnya.
"Keparat jangan sombong. Majulah!" seru Pujo yang sudah marah karena mengenal Ki Patih Kanuruhan yang dikeroyok itu.
Ki Tejoranu sudah menerjang maju, sinar goloknya berkelebat menyambar. Pujo maklum bahwa lawannya bukan orang lemah, maka ia cepat menggunakan gerak Bayu Tantra mengelak. Tubuhnya bagaikan seekor burung saja gesitnya sehingga serangan Ki Tejoranu selalu gagal. Namun pertapa Danau Sarangan inipun amatlah sigapnya sehingga balasan terjangan Pujo yang cepat dan kuat itu dapat pula ia hindarkan.
Joko Wandiro menggigil makin keras. Suara tasbih kakek bongkok benar-benar membuat ia kedinginan dan hal ini membuat ia tersiksa karena ia terdorong keinginan membuang air kecil! Tak dapat ditahannya pula keinginan itu. Untuk turun ia khawatir ketahuan mereka. Maka anak itu lalu kencing dari atas pohon dan untuk melampiaskan kegemasan dan kebenciannya terhadap kakek bongkok, ia sengaja memilih saat si kakek bongkok bergerak tepat di bawahnya, lalu ia mengarahkan air kencingnya kepada kakek bongkok itu.
"Huh-huh-huh, Narotama orang Balidwipa! Kau mengundang bala bantuan? Heh-heh-heh tak beranikah mati seorang diri? Ingin mengajak teman mati bersama? Uh-huhhuh, katanya pemberani! Dasar..."
Tiba-tiba suaranya berhenti, tasbih yang diputar-putar di atas kepalanya dan mengeluarkan suara dahsyat itupun terhenti gerakannya, matanya mendelik, hidungnya kembang kempis menyedot-nyedot ketika kepala dan tubuhnya tersiram air panas dari atas pohon! Cekel Aksomolo mengangkat muka ke atas dan malang baginya, karena gerakan ini air kencing itu tepat mengenai muka, memasuki hidung dan mulutnya! Ia terbangkis-bangkis, terbatuk-batuk dan seketika tubuhnya menjadi lemas seakan-akan semua urat syarafnya menjadi lumpuh.
"Aihhh... aihh... celaka awak... sial dangkalan... bocah edan kau...!"
Ia melihat seorang anak laki-laki tertawa di atas pohon. Ingin ia meloncat, ingin ia menghajar dan membunuh anak itu, akan tetapi tubuhnya sudah lemas, kekuatannya hilang. Inilah sirikannya, inilah pantangannya. Terkena air kencing anak-anak, ia seperti balon kehabisan angin, kempis dan peyot, seperti api tersiram air, ngebos dan padam! Saking lemasnya ia lalu mendeprok, kakinya dengkelen (tak dapat berjalan) dan ia hanya dapat merangkak keluar dari medan pertandingan.
Cekel Aksomolo merupakan tenaga yang paling kuat di antara mereka yang mengeroyok Narotama, maka setelah ia tidak aktif lagi, pengeroyokan itu mengendur dan empat orang perampok kembali roboh oleh tusukan pusaka dan tendangan ki patih yang sakti mandraguna. Pertandingan antara Ki Tejoranu dan Pujo berlangsung amat hebatnya. Karena pertandingan itu satu lawan satu, maka jauh lebih seru dari pada pengeroyokan yang kacau-balau itu.
Ki Tejoranu benar-benar hebat permainan sepasang goloknya, berdasarkan ilmu silat yang tinggi mutunya dan latihan yang sudah matang. Sekiranya Pujo hanya mengandalkan ilmu silat, ia takkan dapat menang melawan Ki Tejoranu. Akan tetapi semenjak kecil Pujo telah digembleng oleh Resi Bhargowo dalam hal ilmu kesaktian yang tidak hanya diperoleh dengan latihan, melainkan terutama sekali dengan ketekunan bertapa sehingga ia berhasil memupuk hawa kesaktian yang di dalam tubuh dan panca indera. Oleh karena itu, dalam hal kesaktian ilmu alam dan mantera ini ia lebih tinggi tingkatnya.
Melihat betapa hebat permainan golok lawannya, Pujo segera mengerahkan aji kesaktiannya, menyalurkan hawa sakti ke dalam kedua lengan sampai terasa getarannya ke ujung-ujung jari tangan, kemudian ia memekik dan mainkan Aji Pethit Nogo! Bukan main hebatnya aji ini. Sepuluh jari tangannya menjadi kuat melebihi baja dan sekali ia mencengkeram, golok kiri lawan sudah berada dalam genggamannya. Ki Tejoranu terkejut sekali dan juga heran.
Manusia aneh ini memang paling senang berkelahi, paling senang menguji kepandaian orang lain dan agaknya memang itulah hobbynya. Agaknya itu pula yang membuat ia pergi merantau meninggalkan negaranya yang begitu jauh, menempuh pelayaran yang memakan waktu berpekan-pekan. Di mana pun ia tiba, ia selalu mencari-cari orang pandai untuk diadu ilmunya! Ia maklum bahwa Jawa-dwipa merupakan pulau aneh yang mempunyai banyak orang-orang sakti, tempat orang-orang bertapa. Ia maklum pula bahwa rakyat pulau ini adalah orang-orang tahan tapa, orang-orang yang memiliki kekuatan batin hebat sekali, dan untuk menghadapai orang sakti yang memiliki daya getaran aneh dalam gerakannya, kadang-kadang ilmu silat tidak dapat menahan.
Kini menyaksikan betapa orang muda ini dengan tangan kosong berani mencengkeram goloknya, ia menjadi kaget. Goloknya adalah golok terbuat dari pada baja murni dan amat kuat dan tajam. Kalau sekali ia menarik golok dibarengi tenaga dalam, bukankah jari-jari orang muda itu akan putus semua?
"Wah, kau hebat, olang muda! Lepaskan golokku, bial kita mencoba dengan tangan kosong!"
Pujo menjadi gemas hatinya. Ia datang untuk membantu Rakyana Patih Kanuruhan dikeroyok, siapa tahu kini ia dihalangi seorang yang agaknya haus akan perkelahian! Ia melepaskan goloknya lalu mengirim serangan dengan Pethit Nogo yang ampuh.
"Hayaaa...! Tunggu dulu...!"
Hebat gerakan Ki Tejoranu karena tubuhnya sudah mencelat ke udara, jungkir balik beberapa kali dan ketika tubuhnya turun ke atas tanah, ia telah menyarungkan sepasang goloknya dan kini memasang kuda-kuda dengan tangan kosong! Kuda-kudanya kokoh kuat seperti batu gunung, tubuhnya agak merendah, tangan kanan dikepal mepet di lambung kanan sedangkan tangan kiri dengan ibu jari ditekuk ke tengah dan jari-jari lainnya lurus tegak, berdiri di depan dada!
Pujo yang tergesa-gesa ingin lekas dapat membantu ki patih, segera menerjang maju. Gerakannya adalah gerakan Bayu Tantra, ilmu pukulannya adalah Pethit Nogo, hebatnya bukan main, dahsyat bagaikan badai mengamuk, panas bagaikan kawah meletus!
"Haaiiiitt...!"
Ki Tejoranu kagum dan kaget menghadapi serbuan dahsyat ini, cepat kakinya bergerak miringkan tubuh dan tangannya menangkis dengan gerakan menekuk, lalu pada detik berikutnya tangan kanannya yang menempel lambung tadi sudah mencuat ke depan dengan dua jari tangan, telunjuk dan jari tengah, mengarah pada mata lawan.
"Yaaaaattt!"
Hebat kesudahannya! Gempuran lengan tadi membuat tubuh Ki Tejoranu terdorong ke belakang, namun serangan jarinya ke arah mata membuat Pujo kaget sekali dan cepat-cepat mencelat mundur. Pujo melompat ke belakang dengan kaget sedang Ki Tejoranu terhuyung-huyung ke belakang, kuda-kuda kakinya tergempur oleh kekuatan mujijat Aji Pethit Nogo!
Pada saat itu, Narotama sudah mengamuk makin hebat karena Cekel Aksomolo tak dapat aktif lagi dalam pertempuran karena tubuhnya masih lemas dan melempem seperti kerupuk dingin. Sudah ada sembilan orang perampok roboh olehnya. Melihat ini, Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyakso menjadi gentar juga. Ki Krendoyakso lalu membaca mantera, tangannya bertepuk tiga kali dan sekali ia berteriak seperti lolong serigala, keadaan di situ seketika menjadi gelap seperti diliputi halimun! Juga kolor sakti Ki Warok Gendroyono meledak-ledak hebat ditambah penggada Wojo Ireng diputar-putar.
Terpaksa Narotama yang maklum bahwa kepala rampok Bagelen itu mempergunakan ilmu hitam, meloncat ke belakang untuk menjaga diri dan memusatkan panca indera. Karena keadaan gelap, otomatis pertandingan antara Pujo dan Ki Tejoranu berhenti dengan sendirinya. Pujo juga cepat melompat mundur dan berdiri tegak, bersedakep dan memusatkan panca indera untuk melawan pengaruh ilmu hitam. Pujo berdiri di sebelah barat dan Narotama berdiri di sebelah timur!
Yang merasa heran sekali adalah Joko Wandiro. Karena ia berada di atas pohon, agaknya dia seoranglah yang terbebas dari pada pengaruh ilmu hitam! Ia memang melihat betapa medan pertempuran itu menjadi gelap seperti tertutup awan hitam, akan tetapi ia dapat melihat betapa sibuknya para pengeroyok itu berkemas, menolong teman-teman yang luka, kemudian meninggalkan tempat itu tergesa-gesa. Sedangkan kakek yang dikeroyok tadi dan ayahnya hanya berdiri saja bersedakap seperti arca, sama sekali tidak bergerak, juga tidak mencegah lawan mereka itu melarikan diri!
Narotama membuka matanya, menggerakkan kedua lengannya mendorong ke depan beberapa kali dan ambyarlah halimun gelap itu. Keadaan sebentar saja menjadi terang kembali dan di situ ternyata telah sunyi. Gerombolan musuh tadi sudah lenyap, seorangpun tak tampak. Yang tampak hanya seorang pemuda tampan yang tadi dilihatnya membantunya dan bertanding melawan Ki Tejoranu yang ampuh sepasang goloknya. Pujo juga menghentikan samadhinya dan kini dia maju bertekuk lutut, bersembah sujut di depan Narotama.
"Hamba menghaturkan sembah ke hadapan Gusti Rakyana Patih!" kata Pujo dengan hormat.
Narotama sejenak memandang tajam, lalu bertanya, nada suaranya lembut. "Orang muda, terima kasih atas bantuanmu. Musuh terlampau banyak dan amat kuat. Siapakah engkau, wahai orang muda yang perkasa?"
"Ampunkan hamba yang bodoh sehingga tidak berhasil membasmi orang-orang jahat yang menyerang paduka. Hamba bernama Pujo..."
"Pujo?" Narotama mengerutkan kening, pandang matanya tajam sekali penuh selidik ke arah orang muda yang masih berlutut itu. "Engkau dan Resi Bhargowo...?"
Pujo terheran. "Resi Bhargowo adalah guru dan ayah mertua hamba..."
"Jagad Dewa Batara! Engkaukah yang bernama Pujo? Heh, Pujo apakah engkau kira dosa-dosamu dapat kau tebus hanya dengan membantuku tadi?"
Pujo makin terheran, mengangkat mukanya memandang wajah ki patih. Namun ia segera menundukkan mukanya lagi, tak kuasa lama-lama menentang pandang mata yang tajam berwibawa itu. "Ampun, gusti patih. Sesungguhnya hamba tidak mengerti apa gerangan maksud kata-kata paduka tadi."
"Heh, Pujo! Masih berpura-pura lagikah engkau? Engkau dan Resi Bhargowo telah berusaha memberontak kepada Kahuripan! Masih engkau hendak menyangkal?"
Andai kata ada petir menyambar kepalanya di saat itu, belum tentu Pujo akan sekaget ketika mendengar ucapan ini. Kembali ia menengadah dan memandang kali ini lebih berani terdorong kebersihan hatinya.
"Sama sekali tidak, gusti patih! Mana hamba berani memberontak?"
Narotama tersenyum. "Hemm, orang muda. Kulihat engkau seorang yang cukup perkasa. Orang yang melakukan sesuatu, baik atau keliru, akan tetapi berani mempertanggung jawabkan perbuatannya, dialah baru disebut gagah. Kau yang semuda dan segagah ini apakah hendak menyangkal hal-hal yang telah kau lakukan? Bukankah engkau telah menyerbu Kadipaten Selopenangkep, membuat kekacauan di sana, berusaha membunuh Adipati Joyowiseso dan melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk?"
Lega kini hati Pujo. Kiranya itukah yang dijadikan alasan dia memberontak? Ternyata orang telah memutar balikkan fakta, menyampaikan kepada ki patih secara terbalik sehingga dia yang terkena fitnah memberontak!
"Sesungguhnya tidak salah berita itu, gusti. Hamba telah menyerbu Kadipaten Selopenangkep dan mengamuk untuk membalas dendam kepada Raden Wisangjiwo yang telah menghancurkan kebahagiaan hidup hamba. Semata-mata karena permusuhan pribadi hamba dengan Wisangjiwo sajalah yang mendorong hamba membikin huru-hara di Kadipaten Selopenangkep. Bukan sekali-kali dengan maksud memberontak kepada Mataram!"
"Hemm... hemm... aneh. Hal ini masih memerlukan bukti dan penyelidikan yang lebih mendalam. Apakah paman Resi Bhargowo berniat memberontak atau tidak, sukar dikatakan pada saat ini. Akan tetapi agar lebih mudah aku melakukan penyelidikan, permusuhan pribadi apakah yang terjadi antara engkau dan Wisangjiwo sehingga engkau menyerbu Kadipaten Selopenangkep?"
Pujo menarik napas panjang. Peristiwa itu telah lama berlalu telah terpendam sebagai rahasia hidupnya. Akan tetapi kini menyangkut urusan yang lebih gawat, disangka dia memberontak. Pula, ki patih ini terkenal sebagai seorang bijaksana dan sakti mandraguna, apa salahnya menceritakan peristiwa itu agar mendapat pengadilan?
Sekali lagi ia menarik napas menguatkan batinnya lalu berkata, "Sudah lama terjadinya, gusti patih. Sepuluh tahun lebih yang lalu, hamba bersama isteri hamba sedang bertapa dalam Gua Siluman. Malam hari itu muncullah Wisangjiwo di gua dan agaknya ia tertarik kepada isteri hamba, lalu bersikap kurang ajar. Kami lalu berkelahi, akan tetapi Wisangjiwo mempergunakan kecurangan dan hamba terpukul pingsan. Dalam keadaan seperti itu, Wisangjiwo lalu... lalu..." Pujo tak kuasa melanjutkan ceritanya.
"Hemmm..." Narotama meraba jenggotnya dan mengangguk-angguk, keningnya berkerut, ia dapat menduga apa yang terjadi selanjutnya. "Dia lalu menggagahi isterimu, bukan?"
Pujo mengangguk.
"Bukankah isterimu itu puteri Resi Bhargowo?"
"Betul, gusti patih."
"Lalu ke mana sekarang isterimu?"
"Itulah, gusti. Isteriku lari dan sampai kini hamba tak pernah bertemu dengannya. Kebahagiaan hidup hamba hancur dan karena itulah maka hamba menyerbu ke Selopenangkep untuk membalas dendam kepada Wisangjiwo."
"Hemm, Pujo! Engkau mendendam kepada Wisangjiwo, itu sudahlah pantas. Akan tetapi keluarganya tidak berdosa, tidak tahu-menahu, mengapa engkau mengganggu keluarganya?"
"Karena Wisangjiwo tidak berada di Selopenangkep, hamba menjadi mata gelap..." jawab Pujo menyesal.
"Dan engkau perkosa pula isterinya dan bunuh anaknya?"
"Tidak! Demi para dewata, tidak, gusti! Biarlah Sang Hyang Batara Syiwa mendatangkan hukum seberatnya kepada hamba kalau hamba melakukan kedua hal itu!" Pujo berkata dengan lantang, dan sejenak dua pasang sinar mata bertemu, yang satu penuh selidik, yang kedua menentang berani.
Narotama mengangguk-angguk. "Di mana engkau tinggal sekarang?"
"Di muara Sungai Lorog, gusti."
"Engkau tahu tentang pusaka Mataram yang hilang?"
"Pusaka? Hilang? Hamba tidak tahu, gusti. Selama peristiwa jahanam yang menimpa diri hamba itu, hamba tidak pernah lagi memasuki dunia ramai."
Kembali Narotama mengangguk-angguk. "Mari kulihat tempatmu. Betapa pun juga sudah menjadi tugasku untuk memeriksa dan membuktikan bahwa engkau benar-benar tidak berniat memberontak dan pula tidak tahu akan pusaka yang hilang."
Kedua orang itu lalu meninggalkan hutan, jalan berdampingan sambil bercakap-cakap. Setelah mereka pergi jauh, barulah Joko Wandiro berani turun dari atas pohon. Tubuhnya masih gemetar. Ia tadi telah mendengarkan semua percakapan itu dan jantungnya serasa ditusuk-tusuk. Ibunya telah digagahi! Ibunya telah diperkosa Wisangjiwo! Keparat! Teringat akan nasib ibunya, Joko Wandiro menjatuhkan diri di bawah pohon dan sejenak ia duduk termenung. Tidak menangis akan tetapi kedua matanya mengalirkan air mata yang menetes-netes sepanjang kedua pipinya. Ayahnya melarangnya menangis. Seorang laki-laki tidak layak meruntuhkan air mata, kata ayahnya. Dia pun tidak sudi menangis.
Dalam tiga hari ini ayahnya hendak pergi mencari Wisangjiwo, dan dia ditinggal, disuruh tinggal bersama penduduk pedukuhan! Tidak puas hati Joko Wandiro, akan tetapi ia tidak berani membantah kehendak ayahnya. Lalu ia teringat akan tugasnya, disuruh mencari kuda tunggangan yang baik. Teringat akan ini, ia lalu melanjutkan perjalanan, berlari meninggalkan hutan itu menuju ke pedukuhan.
Di hutan terakhir di luar dukuh itu terdapat sebuah belik (danau kecil) yang airnya jernih sekali. Timbul keinginan hatinya untuk mandi karena tubuhnya terasa panas setelah berlari-larian tadi. Ditanggalkannya semua pakaiannya dan segera ia meloncat ke dalam air yang jernih dan dingin dan berenang ke sana ke mari. Lenyaplah semua kesedihannya karena teringat ibunya tadi. Segar rasa tubuhnya, dan ia cepat-cepat naik ke darat mengenakan pakaiannya lagi.
Pada saat itulah ia mendengar suara berkeritik yang menyakitkan telinga. Teringat ia akan cantrik tua renta bertasbih yang dibencinya. Agaknya terjadi pertempuran lagi, pikirnya. Dengan hati berdebar tegang ia berindap-indap menuju ke arah suara dan mengintai dari balik pohon. Benar saja dugaannya. Cekel Aksomolo bertanding, disaksikan oleh lima orang perampok tinggi besar. Siapakah yang menjadi lawannya? Bukan lain adalah Ki Tejoranu, si ahli sepasang golok.....!
Narotama yang dikeroyok delapan orang itu terkejut sekali. Tak disangkanya orang-orang yang mendendam kepadanya ini, yang terkenal sebagai orang-orang sakti ini akan maju bersama mengeroyoknya! Tadi ia bersikap tenang karena mengira bahwa mereka itu akan maju satu-satu, siapa kira mereka mempergunakan cara curang ini untuk mengeroyoknya.
Di samping terkejut, ia pun marah. Timbul kemarahan dalam hati patih yang tenang ini ketika ia dimaki "orang sudra" oleh Ki Krendoyakso. Memang tidak dapat disangkal lagi, Narotama bukanlah keturunan raja seperti Airlangga, akan tetapi kalau Sang Prabu Airlangga sendiri tak pernah memandang rendah darah keturunannya, masa seorang kepala rampoK seperti Ki Krendoyakso saja berani memakinya?
"Babo-babo! Kalian menggunakan keroyokan? Boleh, boleh, majulah! Jangan kira Narotama akan undur selangkahpun!" seru Narotama dan ia segera mengerahkan tenaga dan mengeluarkan kepandaiannya.
Untuk menghadapi pengeroyokan orang-orang yang menggunakan pelbagai senjata, apalagi senjata tasbih yang ampuhnya menggila dari Cekel Aksomolo, kolor ajimat yang dimainkan Ki Warok Gendroyono yang mendatangkan hawa panas, kemudian penggada Wojo Ireng yang dimainkan sepasang lengan raksasa Ki Krendroyakso sehingga hebatnya seperti penggada Rujakpolo dimainkan oleh Sang Werkudoro, ia harus berlaku hati-hati dan bergerak cepat. Maka Narotama lalu mainkan Aji Bramoro Seto (Lebah Putih). Bagaikan seekor lebah saja tubuhnya melayang-layang di antara sambaran senjata, kadang-kadang ia menggunakan sepasang lengannya yang kebal dan terisi hawa sakti untuk menangkis senjata lawan.
Pada saat itulah suara hiruk-pikuk pertandingan terdengar oleh Joko Wandiro dan anak ini datang lalu menonton pertandingan dari atas pohon. Mula-mula hati anak ini mengkal menyaksikan pertandingan yang tidak adil itu. Ia sebagai anak gemblengan maklum yang bertanding adalah orang-orang sakti sehingga tak mungkin sama sekali baginya untuk membantu kakek yang terkeroyok.
Namun hatinya condong kepada yang dikeroyok dan mengharapkan kemenangannya. Anak yang berpemandangan tajam inipun segera mendapat kenyataan bahwa di antara delapan orang pengeroyok itu, yang lima hanyalah orang-orang kuat yang hanya pandai mainkan golok dan ruyung belaka, akan tetapi yang tiga, terutama sekali kakek tua renta bongkok, adalah orang-orang sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa kakek sakti yang dikeroyok itu tidak pernah berani menangkis dengan tangannya serangan kolor, penggada hitam, dan tasbih, akan tetapi tanpa ragu-ragu tangan kosongnya berani menyampok polok dan ruyung lima orang kepala rampok.
"Tidak adil! Curang...!" Kembali Joko Wandiro mengeluh di dalam hatinya melihat betapa kakek yang dikeroyok itu tampak sibuk benar, tubuhnya tak pernah berhenti sedetikpun, berkelebat bagaikan seekor lebah dikejar-kejar dalam ruangan tertutup.
Namun hampir saja ia bersorak ketika tiba-tiba kakek sakti itu mengeluarkan seruan aneh dibarengi tubuhnya menyambar ke arah lima orang yang memegang golok dan ruyung. Dua orang di antara mereka menjerit dan roboh terjungkal! Anak buah rampok cepat maju menolong kepala rampok yang remuk tulang pundak dan lengannya itu, dan segera dua orang perampok lain menggantikan kedudukan dua orang yang roboh ini. Bahkan yang lain-lain mulai maju mengurung dan menanti kesempatan untuk mengeroyok pula. Joko Wandiro marah sekali.
"Pengecut, tak tahu malu!" makinya dalam hati. Ia memandang marah, terutama kepada kakek tua renta yang memegang tasbih karena sesungguhnya kakek inilah yang membikin repot jagonya yang terkeroyok.
Tasbih kakek itu luar biasa sekali, menyambar-nyambar seperti ular hidup dan selain suara angin bersiutan ketika menyambar, juga tasbih itu mengeluarkan bunyi berkeritikan yang nyaring halus menusuk-nusuk anak telinga. Selain hebat dan dahsyat tasbihnya, juga mulutnya tak pernah berhenti bicara mengejek. Inilah yang membuat Joko Wandiro gemas hatinya terhadap si kakek bongkok.
"Oh-huh-huh, Narotama. Mengapa tidak menyerah saja? Mana mungkin engkau bisa menangkan kami? Heh-heh-heh!"
"Aku benar dan karenanya aku berani. Mati dalam kebenaran jauh lebih mulia dari pada hidup bergelimang kejahatan!" jawab Narotama sambil cepat mengelak sambaran tasbih.
Akan tetapi dari samping terdengar bunyi ledakan keras sekali dan kolor berwarna kuning belang menyambar dahsyat. Agaknya Ki Warok Gendroyono merasa penasaran sekali karena semenjak tadi senjatanya yang ampuh tak pernah berhasil menyentuh tubuh lawannya. Narotama kaget, apalagi karena bayangannya terkurung oleh sambaran penggada Wojo Ireng di tangan Ki Krendoyakso. Terpaksa ia miringkan tubuh sambil mengebutkan tangan kirinya menghalau sinar kuning kolor Ki Warok.
"Desss...!"
Narotama terkejut sekali dan terhuyung ke belakang. Hebat memang kolor sakti itu, mengandung tenaga yang luar biasa kuatnya dan hawa pukulannyapun panas. Dalam keadaan terhuyung ini Narotama didesak oleh para pengeroyoknya terutama sekali tiga orang lawan sakti itu. Ia meloncat ke belakang, mengguncang-guncang kepala dan pundaknya seperti seekor ayam jago aduan yang baru saja kena pukul jalu kaki lawannya, kemudian tangan kanannya bergerak dan sebatang keris telah berada di tangannya. Inilah keris Megantoro, sebatang keris berlekuk tujuh.
Terpaksa Narotama mengeluarkan keris pusakanya, oleh karena menghadapi senjata-senjata ampuh tiga orang pengeroyoknya itu membuat ia kurang leluasa bergerak, maka harus dihadapi dengan senjata ampuh pula untuk menolak pengaruh senjata-senjata pusaka lawan. Delapan orang pengeroyok itu, terutama sekali belasan orang anak buah perampok yang kurang kuat batinnya, menggigil ketika melihat cahaya putih cemerlang bersinar dari keris pusaka Megantoro itu.
Cekel Aksomolo segera membunyikan tasbihnya sehingga bunyinya gemercik seperti hujan deras turun. Ki Warok Gendroyono melecut-lecutkan kolornya sehingga terdengar bunyi ledakan-ledakan seperti suara geluduk bersambung-sambung, sementara itu Ki Krendoyakso juga memutar penggadanya yang mendatangkan suara angin mengaung-ngaung seperti datangnya taufan.
Joko Wandiro terpaksa harus memeluk cabang pohon agar tidak jatuh ke bawah. Suara-suara itu amat mengganggunya, terutama sekali suara tasbih. Kalau saja ia bukan anak gemblengan yang setiap hari dilatih samadhi, tentu ia takkan kuat bertahan. Baiknya ia sudah pandai menyatukan panca indera, pandai pula mengerahkan tenaga batin ke telinga untuk menolak pengaruh suara-suara itu, maka sebegitu lama ia masih dapat bertahan. Akan tetapi suara tasbih itu seperti menggelitik telinganya, menimbulkan rasa geli sehingga beberapa kali ia mengkirik dan bulu-bulu tubuhnya berdiri, tubuh terasa dingin sehingga ia menggigil.
Menghadapi pengerahan tenaga sakti lawan yang mengeroyoknya, Narotama kembali mengeluarkan suara aneh yang mirip suara seekor gajah. Inilah Aji Dirodo Meto (Gajah Marah), dan pekik ini mengandung pengaruh dahsyat yang biasanya dapat melumpuhkan lawan yang dihadapinya. Akan tetapi karena kini yang dihadapi adalah orang-orang sakti, maka suara ini dikeluarkan untuk menahan pengaruh keampuhan senjata-senjata lawan yang mengeluarkan bunyi sakti pula itu.
Pertandingan berlangsung pula dengan hebatnya. Mula-mula Ki Krendoyakso yang agaknya sudah kehabisan sabar, memutar penggada Wojo Ireng menyerbu ke depan, penggadanya menyambar ke arah kepala Narotama dengan cepat dan kuat sambil mengeluarkan bunyi mengaung. Narotama cepat miringkan tubuhnya, membiarkan penggada itu lewat. Selagi tubuhnya miring, ia mengirim tendangan ke arah lambung Ki Krendayakso.
Tendangan yang hebat dan cepat dan agaknya tentu akan bersarang tepat pada sasarannya kalau saja pada saat itu Ki Warok Gendroyono tidak mengganggu. Ki Warok ini sudah menerjang pula dengan kolornya yang diputar-putar menyambar lawan. Terpaksa Narotama menarik kembali kakinya yang menendang, dan hanya berhasil mencium lambung Ki Krendoyakso dengan ujung jari kaki saja dan hanya membuat raksasa Bagelen ini mengeluarkah suara "hukkk!" dan meringis karena perutnya tiba-tiba menjadi mulas.
Sambaran kolor sakti Ki Warok ditangkis pusaka Megantoro menimbulkan bunyi ledakan keras dan Ki Warok Gendroyono meloncat ke belakang dengan kaget. Kolor saktinya tentu saja sanggup beradu dengan pusaka apa pun juga, akan tetapi ketika bertemu dengan keris Megantoro, keris itu terus menyelinap ke bawah dan kalau ia tidak cepat meloncat ke belakang tadi, tentu dada menthoknya berkenalan dengan keris pusaka Megantoro yang ampuhnya menggila itu.
Yang Hebat adalah serangan Cekel Aksomolo. Kakek yang seperti Begawan Durno dalam cerita Mahabharata itu ternyata masih pandai bersilat cepat. Melihat kegagalan kawan-kawannya, ia bersungut-sungut maju dan mendesak sambil memutar tasbihnya, jalannya agak terbongkok-bongkok dan lambat, akan tetapi tasbih di tangannya berputar cepat sekali membentuk lingkaran hitam yang melindungi seluruh tubuhnya namun yang merupakan gulungan sinar maut menerjang lawan.
Narotama cepat menggerakkan keris pusaka menangkis. Terdengar suara "crang-cring-crang-cring" bertubi-tubi dan tampaklah bunga api berpijar berhamburan ketika kedua senjata ampuh itu bertemu. Ternyata kedua senjata itu sama ampuhnya dan diam-diam Narotama juga kaget dan kagum mendapat kenyataan betapa kakek tua renta yang bongkok ini benar-benar merupakan lawan yang paling tangguh di antara semua pengeroyoknya!
Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyakso segera menyerbu ke depan ketika melihat Narotama terlibat dalam pertarungan seru dengan Cekel Aksomolo, sedangkan lima orang perampok juga ikut mengganggu, menusuk-nusukkan golok dan memukul-mukulkan ruyung dari arah belakang Narotama. Ki patih yang kosen itu. kali ini benar-benar terdesak, namun permainan kerisnya memang mengagumkan sehingga selama itu ia masih berhasil mempertahankan diri, bahkan kaki kirinya telah berhasil pula mendapat mangsa, yaitu perut dua orang perampok yang segera terlempar dan roboh tak dapat bangun pula karena agaknya usus buntu mereka berkenalan dengan ibu jari kaki Narotama sehingga kini mereka menggeliat-geliat sambil memegangi perut!
Akan tetapi hasil sepakan kaki Narotama ini malah merugikan ki patih sendiri oleh karena ketika pencurahan perhatiannya terbagi dalam penyerangan, pertahanannya agak kurang dan karenanya ia tidak dapat menghindarkan lagi hantaman ujung kolor Ki Warok Gendroyono ke arah lehernya. Untung ia masih sempat miringkan tubuh sehingga bukan lehernya yang terpukul melainkan pundaknya. Kalau lehernya yang terpukul, betapa pun saktinya ki patih, agaknya akan berbahayalah akibatnya. Hanya pundaknya saja sudah membuat ki patih terlempar ke belakang bagaikan tertiup angin badai dan hanya berkat ketangkasan dan ilmunya yang tinggi saja yang mencegahnya terbanting jatuh.
Ki patih berjungkir balik mematahkan daya luncur tubuhnya dan turun ke tanah dalam keadaan berdiri. Pucat sedikit wajahnya, dan tulang pundaknya terasa ngilu, akan tetapi ia masih tidak kehilangan tenaga dan ketangkasannya. Rangsekan para pengeroyok yang masih banyak jumlahnya karena para anggota perampok semua ikut-maju, dapat ia sambut dengan baik, walaupun ia benar-benar terdesak sekarang.
Makin gaduh suasana pertandingan, penuh teriakan dan gerengan, ribut oleh tiga senjata ampuh para pengeroyok. Juga ki patih yang sudah marah itu kini memekik-mekik ganas dan bertambah ganas pula kerisnya. Sudah dua orang perampok roboh tertusuk keris Megantoro. Kalau keris pusaka sudah minum darah, ia akan menjadi makin haus. Kini Narotama tak mungkin lagi menjaga serangannya agar jangan membunuh orang, karena dalam keadaan terdesak itu ia harus mempertahankan diri dengan membuka jalan darah.
Pada saat ki patih amat terdesak itu, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan terdengar bentakan, "Orang-orang tak tahu malu, begini banyak mengeroyok seorang tua!" Hampir saja Joko Wandiro berteriak kegirangan ketika mengenal ayahnya yang maju dengan gerakan cepat. Akan tetapi tiba-tiba Pujo yang maju hendak membantu Narotama itu dihadang oleh Ki Tejoranu!
"Olang muda, gelakanmu tangkas. Aku juga tidak suka keloyokan, hayo kau layani aku main-main sebental!"
Golok sepasang itu sudah dicabut lagi dan diputar-putar di atas dan depan tubuhnya.
"Keparat jangan sombong. Majulah!" seru Pujo yang sudah marah karena mengenal Ki Patih Kanuruhan yang dikeroyok itu.
Ki Tejoranu sudah menerjang maju, sinar goloknya berkelebat menyambar. Pujo maklum bahwa lawannya bukan orang lemah, maka ia cepat menggunakan gerak Bayu Tantra mengelak. Tubuhnya bagaikan seekor burung saja gesitnya sehingga serangan Ki Tejoranu selalu gagal. Namun pertapa Danau Sarangan inipun amatlah sigapnya sehingga balasan terjangan Pujo yang cepat dan kuat itu dapat pula ia hindarkan.
Joko Wandiro menggigil makin keras. Suara tasbih kakek bongkok benar-benar membuat ia kedinginan dan hal ini membuat ia tersiksa karena ia terdorong keinginan membuang air kecil! Tak dapat ditahannya pula keinginan itu. Untuk turun ia khawatir ketahuan mereka. Maka anak itu lalu kencing dari atas pohon dan untuk melampiaskan kegemasan dan kebenciannya terhadap kakek bongkok, ia sengaja memilih saat si kakek bongkok bergerak tepat di bawahnya, lalu ia mengarahkan air kencingnya kepada kakek bongkok itu.
"Huh-huh-huh, Narotama orang Balidwipa! Kau mengundang bala bantuan? Heh-heh-heh tak beranikah mati seorang diri? Ingin mengajak teman mati bersama? Uh-huhhuh, katanya pemberani! Dasar..."
Tiba-tiba suaranya berhenti, tasbih yang diputar-putar di atas kepalanya dan mengeluarkan suara dahsyat itupun terhenti gerakannya, matanya mendelik, hidungnya kembang kempis menyedot-nyedot ketika kepala dan tubuhnya tersiram air panas dari atas pohon! Cekel Aksomolo mengangkat muka ke atas dan malang baginya, karena gerakan ini air kencing itu tepat mengenai muka, memasuki hidung dan mulutnya! Ia terbangkis-bangkis, terbatuk-batuk dan seketika tubuhnya menjadi lemas seakan-akan semua urat syarafnya menjadi lumpuh.
"Aihhh... aihh... celaka awak... sial dangkalan... bocah edan kau...!"
Ia melihat seorang anak laki-laki tertawa di atas pohon. Ingin ia meloncat, ingin ia menghajar dan membunuh anak itu, akan tetapi tubuhnya sudah lemas, kekuatannya hilang. Inilah sirikannya, inilah pantangannya. Terkena air kencing anak-anak, ia seperti balon kehabisan angin, kempis dan peyot, seperti api tersiram air, ngebos dan padam! Saking lemasnya ia lalu mendeprok, kakinya dengkelen (tak dapat berjalan) dan ia hanya dapat merangkak keluar dari medan pertandingan.
Cekel Aksomolo merupakan tenaga yang paling kuat di antara mereka yang mengeroyok Narotama, maka setelah ia tidak aktif lagi, pengeroyokan itu mengendur dan empat orang perampok kembali roboh oleh tusukan pusaka dan tendangan ki patih yang sakti mandraguna. Pertandingan antara Ki Tejoranu dan Pujo berlangsung amat hebatnya. Karena pertandingan itu satu lawan satu, maka jauh lebih seru dari pada pengeroyokan yang kacau-balau itu.
Ki Tejoranu benar-benar hebat permainan sepasang goloknya, berdasarkan ilmu silat yang tinggi mutunya dan latihan yang sudah matang. Sekiranya Pujo hanya mengandalkan ilmu silat, ia takkan dapat menang melawan Ki Tejoranu. Akan tetapi semenjak kecil Pujo telah digembleng oleh Resi Bhargowo dalam hal ilmu kesaktian yang tidak hanya diperoleh dengan latihan, melainkan terutama sekali dengan ketekunan bertapa sehingga ia berhasil memupuk hawa kesaktian yang di dalam tubuh dan panca indera. Oleh karena itu, dalam hal kesaktian ilmu alam dan mantera ini ia lebih tinggi tingkatnya.
Melihat betapa hebat permainan golok lawannya, Pujo segera mengerahkan aji kesaktiannya, menyalurkan hawa sakti ke dalam kedua lengan sampai terasa getarannya ke ujung-ujung jari tangan, kemudian ia memekik dan mainkan Aji Pethit Nogo! Bukan main hebatnya aji ini. Sepuluh jari tangannya menjadi kuat melebihi baja dan sekali ia mencengkeram, golok kiri lawan sudah berada dalam genggamannya. Ki Tejoranu terkejut sekali dan juga heran.
Manusia aneh ini memang paling senang berkelahi, paling senang menguji kepandaian orang lain dan agaknya memang itulah hobbynya. Agaknya itu pula yang membuat ia pergi merantau meninggalkan negaranya yang begitu jauh, menempuh pelayaran yang memakan waktu berpekan-pekan. Di mana pun ia tiba, ia selalu mencari-cari orang pandai untuk diadu ilmunya! Ia maklum bahwa Jawa-dwipa merupakan pulau aneh yang mempunyai banyak orang-orang sakti, tempat orang-orang bertapa. Ia maklum pula bahwa rakyat pulau ini adalah orang-orang tahan tapa, orang-orang yang memiliki kekuatan batin hebat sekali, dan untuk menghadapai orang sakti yang memiliki daya getaran aneh dalam gerakannya, kadang-kadang ilmu silat tidak dapat menahan.
Kini menyaksikan betapa orang muda ini dengan tangan kosong berani mencengkeram goloknya, ia menjadi kaget. Goloknya adalah golok terbuat dari pada baja murni dan amat kuat dan tajam. Kalau sekali ia menarik golok dibarengi tenaga dalam, bukankah jari-jari orang muda itu akan putus semua?
"Wah, kau hebat, olang muda! Lepaskan golokku, bial kita mencoba dengan tangan kosong!"
Pujo menjadi gemas hatinya. Ia datang untuk membantu Rakyana Patih Kanuruhan dikeroyok, siapa tahu kini ia dihalangi seorang yang agaknya haus akan perkelahian! Ia melepaskan goloknya lalu mengirim serangan dengan Pethit Nogo yang ampuh.
"Hayaaa...! Tunggu dulu...!"
Hebat gerakan Ki Tejoranu karena tubuhnya sudah mencelat ke udara, jungkir balik beberapa kali dan ketika tubuhnya turun ke atas tanah, ia telah menyarungkan sepasang goloknya dan kini memasang kuda-kuda dengan tangan kosong! Kuda-kudanya kokoh kuat seperti batu gunung, tubuhnya agak merendah, tangan kanan dikepal mepet di lambung kanan sedangkan tangan kiri dengan ibu jari ditekuk ke tengah dan jari-jari lainnya lurus tegak, berdiri di depan dada!
Pujo yang tergesa-gesa ingin lekas dapat membantu ki patih, segera menerjang maju. Gerakannya adalah gerakan Bayu Tantra, ilmu pukulannya adalah Pethit Nogo, hebatnya bukan main, dahsyat bagaikan badai mengamuk, panas bagaikan kawah meletus!
"Haaiiiitt...!"
Ki Tejoranu kagum dan kaget menghadapi serbuan dahsyat ini, cepat kakinya bergerak miringkan tubuh dan tangannya menangkis dengan gerakan menekuk, lalu pada detik berikutnya tangan kanannya yang menempel lambung tadi sudah mencuat ke depan dengan dua jari tangan, telunjuk dan jari tengah, mengarah pada mata lawan.
"Yaaaaattt!"
Hebat kesudahannya! Gempuran lengan tadi membuat tubuh Ki Tejoranu terdorong ke belakang, namun serangan jarinya ke arah mata membuat Pujo kaget sekali dan cepat-cepat mencelat mundur. Pujo melompat ke belakang dengan kaget sedang Ki Tejoranu terhuyung-huyung ke belakang, kuda-kuda kakinya tergempur oleh kekuatan mujijat Aji Pethit Nogo!
Pada saat itu, Narotama sudah mengamuk makin hebat karena Cekel Aksomolo tak dapat aktif lagi dalam pertempuran karena tubuhnya masih lemas dan melempem seperti kerupuk dingin. Sudah ada sembilan orang perampok roboh olehnya. Melihat ini, Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyakso menjadi gentar juga. Ki Krendoyakso lalu membaca mantera, tangannya bertepuk tiga kali dan sekali ia berteriak seperti lolong serigala, keadaan di situ seketika menjadi gelap seperti diliputi halimun! Juga kolor sakti Ki Warok Gendroyono meledak-ledak hebat ditambah penggada Wojo Ireng diputar-putar.
Terpaksa Narotama yang maklum bahwa kepala rampok Bagelen itu mempergunakan ilmu hitam, meloncat ke belakang untuk menjaga diri dan memusatkan panca indera. Karena keadaan gelap, otomatis pertandingan antara Pujo dan Ki Tejoranu berhenti dengan sendirinya. Pujo juga cepat melompat mundur dan berdiri tegak, bersedakep dan memusatkan panca indera untuk melawan pengaruh ilmu hitam. Pujo berdiri di sebelah barat dan Narotama berdiri di sebelah timur!
Yang merasa heran sekali adalah Joko Wandiro. Karena ia berada di atas pohon, agaknya dia seoranglah yang terbebas dari pada pengaruh ilmu hitam! Ia memang melihat betapa medan pertempuran itu menjadi gelap seperti tertutup awan hitam, akan tetapi ia dapat melihat betapa sibuknya para pengeroyok itu berkemas, menolong teman-teman yang luka, kemudian meninggalkan tempat itu tergesa-gesa. Sedangkan kakek yang dikeroyok tadi dan ayahnya hanya berdiri saja bersedakap seperti arca, sama sekali tidak bergerak, juga tidak mencegah lawan mereka itu melarikan diri!
Narotama membuka matanya, menggerakkan kedua lengannya mendorong ke depan beberapa kali dan ambyarlah halimun gelap itu. Keadaan sebentar saja menjadi terang kembali dan di situ ternyata telah sunyi. Gerombolan musuh tadi sudah lenyap, seorangpun tak tampak. Yang tampak hanya seorang pemuda tampan yang tadi dilihatnya membantunya dan bertanding melawan Ki Tejoranu yang ampuh sepasang goloknya. Pujo juga menghentikan samadhinya dan kini dia maju bertekuk lutut, bersembah sujut di depan Narotama.
"Hamba menghaturkan sembah ke hadapan Gusti Rakyana Patih!" kata Pujo dengan hormat.
Narotama sejenak memandang tajam, lalu bertanya, nada suaranya lembut. "Orang muda, terima kasih atas bantuanmu. Musuh terlampau banyak dan amat kuat. Siapakah engkau, wahai orang muda yang perkasa?"
"Ampunkan hamba yang bodoh sehingga tidak berhasil membasmi orang-orang jahat yang menyerang paduka. Hamba bernama Pujo..."
"Pujo?" Narotama mengerutkan kening, pandang matanya tajam sekali penuh selidik ke arah orang muda yang masih berlutut itu. "Engkau dan Resi Bhargowo...?"
Pujo terheran. "Resi Bhargowo adalah guru dan ayah mertua hamba..."
"Jagad Dewa Batara! Engkaukah yang bernama Pujo? Heh, Pujo apakah engkau kira dosa-dosamu dapat kau tebus hanya dengan membantuku tadi?"
Pujo makin terheran, mengangkat mukanya memandang wajah ki patih. Namun ia segera menundukkan mukanya lagi, tak kuasa lama-lama menentang pandang mata yang tajam berwibawa itu. "Ampun, gusti patih. Sesungguhnya hamba tidak mengerti apa gerangan maksud kata-kata paduka tadi."
"Heh, Pujo! Masih berpura-pura lagikah engkau? Engkau dan Resi Bhargowo telah berusaha memberontak kepada Kahuripan! Masih engkau hendak menyangkal?"
Andai kata ada petir menyambar kepalanya di saat itu, belum tentu Pujo akan sekaget ketika mendengar ucapan ini. Kembali ia menengadah dan memandang kali ini lebih berani terdorong kebersihan hatinya.
"Sama sekali tidak, gusti patih! Mana hamba berani memberontak?"
Narotama tersenyum. "Hemm, orang muda. Kulihat engkau seorang yang cukup perkasa. Orang yang melakukan sesuatu, baik atau keliru, akan tetapi berani mempertanggung jawabkan perbuatannya, dialah baru disebut gagah. Kau yang semuda dan segagah ini apakah hendak menyangkal hal-hal yang telah kau lakukan? Bukankah engkau telah menyerbu Kadipaten Selopenangkep, membuat kekacauan di sana, berusaha membunuh Adipati Joyowiseso dan melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk?"
Lega kini hati Pujo. Kiranya itukah yang dijadikan alasan dia memberontak? Ternyata orang telah memutar balikkan fakta, menyampaikan kepada ki patih secara terbalik sehingga dia yang terkena fitnah memberontak!
"Sesungguhnya tidak salah berita itu, gusti. Hamba telah menyerbu Kadipaten Selopenangkep dan mengamuk untuk membalas dendam kepada Raden Wisangjiwo yang telah menghancurkan kebahagiaan hidup hamba. Semata-mata karena permusuhan pribadi hamba dengan Wisangjiwo sajalah yang mendorong hamba membikin huru-hara di Kadipaten Selopenangkep. Bukan sekali-kali dengan maksud memberontak kepada Mataram!"
"Hemm... hemm... aneh. Hal ini masih memerlukan bukti dan penyelidikan yang lebih mendalam. Apakah paman Resi Bhargowo berniat memberontak atau tidak, sukar dikatakan pada saat ini. Akan tetapi agar lebih mudah aku melakukan penyelidikan, permusuhan pribadi apakah yang terjadi antara engkau dan Wisangjiwo sehingga engkau menyerbu Kadipaten Selopenangkep?"
Pujo menarik napas panjang. Peristiwa itu telah lama berlalu telah terpendam sebagai rahasia hidupnya. Akan tetapi kini menyangkut urusan yang lebih gawat, disangka dia memberontak. Pula, ki patih ini terkenal sebagai seorang bijaksana dan sakti mandraguna, apa salahnya menceritakan peristiwa itu agar mendapat pengadilan?
Sekali lagi ia menarik napas menguatkan batinnya lalu berkata, "Sudah lama terjadinya, gusti patih. Sepuluh tahun lebih yang lalu, hamba bersama isteri hamba sedang bertapa dalam Gua Siluman. Malam hari itu muncullah Wisangjiwo di gua dan agaknya ia tertarik kepada isteri hamba, lalu bersikap kurang ajar. Kami lalu berkelahi, akan tetapi Wisangjiwo mempergunakan kecurangan dan hamba terpukul pingsan. Dalam keadaan seperti itu, Wisangjiwo lalu... lalu..." Pujo tak kuasa melanjutkan ceritanya.
"Hemmm..." Narotama meraba jenggotnya dan mengangguk-angguk, keningnya berkerut, ia dapat menduga apa yang terjadi selanjutnya. "Dia lalu menggagahi isterimu, bukan?"
Pujo mengangguk.
"Bukankah isterimu itu puteri Resi Bhargowo?"
"Betul, gusti patih."
"Lalu ke mana sekarang isterimu?"
"Itulah, gusti. Isteriku lari dan sampai kini hamba tak pernah bertemu dengannya. Kebahagiaan hidup hamba hancur dan karena itulah maka hamba menyerbu ke Selopenangkep untuk membalas dendam kepada Wisangjiwo."
"Hemm, Pujo! Engkau mendendam kepada Wisangjiwo, itu sudahlah pantas. Akan tetapi keluarganya tidak berdosa, tidak tahu-menahu, mengapa engkau mengganggu keluarganya?"
"Karena Wisangjiwo tidak berada di Selopenangkep, hamba menjadi mata gelap..." jawab Pujo menyesal.
"Dan engkau perkosa pula isterinya dan bunuh anaknya?"
"Tidak! Demi para dewata, tidak, gusti! Biarlah Sang Hyang Batara Syiwa mendatangkan hukum seberatnya kepada hamba kalau hamba melakukan kedua hal itu!" Pujo berkata dengan lantang, dan sejenak dua pasang sinar mata bertemu, yang satu penuh selidik, yang kedua menentang berani.
Narotama mengangguk-angguk. "Di mana engkau tinggal sekarang?"
"Di muara Sungai Lorog, gusti."
"Engkau tahu tentang pusaka Mataram yang hilang?"
"Pusaka? Hilang? Hamba tidak tahu, gusti. Selama peristiwa jahanam yang menimpa diri hamba itu, hamba tidak pernah lagi memasuki dunia ramai."
Kembali Narotama mengangguk-angguk. "Mari kulihat tempatmu. Betapa pun juga sudah menjadi tugasku untuk memeriksa dan membuktikan bahwa engkau benar-benar tidak berniat memberontak dan pula tidak tahu akan pusaka yang hilang."
Kedua orang itu lalu meninggalkan hutan, jalan berdampingan sambil bercakap-cakap. Setelah mereka pergi jauh, barulah Joko Wandiro berani turun dari atas pohon. Tubuhnya masih gemetar. Ia tadi telah mendengarkan semua percakapan itu dan jantungnya serasa ditusuk-tusuk. Ibunya telah digagahi! Ibunya telah diperkosa Wisangjiwo! Keparat! Teringat akan nasib ibunya, Joko Wandiro menjatuhkan diri di bawah pohon dan sejenak ia duduk termenung. Tidak menangis akan tetapi kedua matanya mengalirkan air mata yang menetes-netes sepanjang kedua pipinya. Ayahnya melarangnya menangis. Seorang laki-laki tidak layak meruntuhkan air mata, kata ayahnya. Dia pun tidak sudi menangis.
Dalam tiga hari ini ayahnya hendak pergi mencari Wisangjiwo, dan dia ditinggal, disuruh tinggal bersama penduduk pedukuhan! Tidak puas hati Joko Wandiro, akan tetapi ia tidak berani membantah kehendak ayahnya. Lalu ia teringat akan tugasnya, disuruh mencari kuda tunggangan yang baik. Teringat akan ini, ia lalu melanjutkan perjalanan, berlari meninggalkan hutan itu menuju ke pedukuhan.
Di hutan terakhir di luar dukuh itu terdapat sebuah belik (danau kecil) yang airnya jernih sekali. Timbul keinginan hatinya untuk mandi karena tubuhnya terasa panas setelah berlari-larian tadi. Ditanggalkannya semua pakaiannya dan segera ia meloncat ke dalam air yang jernih dan dingin dan berenang ke sana ke mari. Lenyaplah semua kesedihannya karena teringat ibunya tadi. Segar rasa tubuhnya, dan ia cepat-cepat naik ke darat mengenakan pakaiannya lagi.
Pada saat itulah ia mendengar suara berkeritik yang menyakitkan telinga. Teringat ia akan cantrik tua renta bertasbih yang dibencinya. Agaknya terjadi pertempuran lagi, pikirnya. Dengan hati berdebar tegang ia berindap-indap menuju ke arah suara dan mengintai dari balik pohon. Benar saja dugaannya. Cekel Aksomolo bertanding, disaksikan oleh lima orang perampok tinggi besar. Siapakah yang menjadi lawannya? Bukan lain adalah Ki Tejoranu, si ahli sepasang golok.....!
Komentar
Posting Komentar