BADAI LAUT SELATAN : JILID-23
Endang Patibroto menerima patung kencana itu, memutar-mutar dan
memeriksa lalu tanpa ia sengaja tangan kanannya kena cabut gagang keris
di sebelah bawah. Sinar yang menggiriskan hati berkelebat ketika keris
pusaka Brojol Luwuk tercabut.
"Aku pilih ini, eyang...!"
Endang Patibroto berseru girang dan gadis cilik ini melemparkan patung emas yang menjadi warangka itu kearah Joko Wandiro! Joko menerima dan bibirnya cemberut. Untuk apa sebuah patung emas bagi seorang anak laki-laki? Ia memandang ke arah keris di tangan Endang Patibroto dengan penuh kagum dan ingin. Juga Bhagawan Rukmoseto memandang anak perempuan itu dengan tercengang. Dia terheran-heran mengapa anak itu memegang keris sedemikian cocok, seakan-akan memang keris itu sudah sejak dahulu dikenalnya. Keris itu memang bukan keris besar, hanya keris tanpa ganja seperti sebuah keris biasa, akan tetapi begitu digerakkan sedikit saja keluarlah sinar yang aneh. Ketika kakek itu menoleh ke arah Joko Wandiro, ia melihat anak laki-laki itu memandangi patung. Anak ini dapat membawa diri, pikirnya. Ia tahu bahwa anak ini kecewa mendapat bagian patung, akan tetapi sama sekali tidak diperlihatkan.
"Joko, benda di tanganmu itu bukanlah benda biasa. Itulah benda keramat yang menjadi pujaan sekalian raja di Mataram dahulu. Sekarang dengarlah kalian baik-baik. Kedua pusaka itu seharusnya menjadi satu. Patung itu merupakan warangka atau tempat pusaka di tangan Endang itu. Dan pusaka itu adalah pusaka Mataram yang menjadi lambang kemakmuran Mataram. Kini kerajaan sedang kacau balau. Orang-orang jahat memperebutkan kedudukan dan saling berlomba mendapatkan singgasana. Oleh karena itulah belum waktunya pusaka ini kembali ke Mataram. Maka aku sengaja memberikan kepada kalian berdua dengan dipisah, agar tidak mudah kedua-duanya jatuh ke tangan orang jahat. Endang dan kau Joko. Setelah pusaka ini berada di tangan kalian, sekarang juga kalian harus mencari tempat persembunyian, kalian harus sembunyikan pusaka-pusaka itu di tempat yang aman, yang hanya kalian saja yang mengetahui. Dan ingat, biarpun nyawa kalian terancam, jangan sekali-kali kalian beritahukan kepada orang lain tentang pusaka itu. Kalian adalah cucu-cucuku, maka aku mempercayakan pusaka ini kepada kalian. Dapatkah kalian kupercaya?"
"Aku akan melindungi pusaka ini dengan nyawaku, eyang!" Endang Patibroto berkata sambil mainkan keris itu. Ia cekatan dan lincah sehingga ketika ia menggerakkan kerisnya tampak sinar berkilauan dan terdengar suara seperti halilintar.
"Saya akan mentaati perintah eyang guru," jawab Joko Wandiro.
"Bagus, kalau begitu sekarang juga kalian lekas pergi menyembunyikan pusaka-pusaka itu. Aku menanti di sini."
Tanpa menanti perintah dua kali karena anak-anak itu memang cerdik dan tahu bahwa pusaka-pusaka di tangan mereka itu amat diingini orang-orang jahat di dunia, Joko Wandiro dan Endang Patibroto berlari pergi, seorang ke barat seorang ke timur. Joko Wandiro tiba di tepi pulau itu yang penuh batu karang dan di situ terdapat banyak gua-gua batu. Akan tetapi gua itu demikian banyaknya dan bentuknya serupa. Bagaimana kalau kelak ia lupa lagi? Pula, tempat seperti ini malah mencurigakan orang. Ia harus menyembunyikan patung kecil itu di tempat yang tidak disangka- sangka orang, pikirnya. Akan tetapi di mana? Tiba-tiba wajahnya yang tampan berseri ketika ia memandang kepada sebatang pohon randu yang besar.
Pulau ini kosong, tidak ditinggali orang. Andai kata ada orang di pulau itu membutuhkan kayu, tak mungkin susah-susah menebang pohon besar ini, pikirnya. Banyak terdapat kayu di sekitar tempat itu, tinggal ambil saja. Pula, kayu randu adalah kayu yang lemah, tidak baik untuk dibuat apa pun, kurang kuat. Joko Wandiro lalu mengambil sebuah batu yang tajam runcing dan dengan senjata ini naiklah ia ke atas pohon randu. Di ujung batangnya yang paling atas, ia mulai membuat lubang dengan batu itu, dengan perlahan-lahan dan hati-hati.
Karena kayu randu memang tidak keras, akhirnya ia berhasil membuat sebuah lubang cukup besar dan disembunyikannya patung emas itu ke dalam lubang yang segera ia tutup dengan kulit kayu randu yang tadi ia buka. Tempat yang amat aman dan tak seorangpun manusia akan menyangka bahwa di dalam batang randu itu terdapat sebuah pusaka yang dijadikan rebutan orang sedunia!
Girang sekali hati Joko Wandiro. Akan tetapi ketika ia membuang batu tajam itu dan mulai merayap turun, tiba- tiba kakinya terasa sakit bukan main dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika betisnya itu dililit seekor ular hijau sebesar ibu jari kaki yang menggigit tungkaknya. Ia berteriak dan pegangannya pada pohon terlepas, tubuhnya roboh terguling. Ia memegang tubuh ular itu dan merenggutkannya dari kaki, akan tetapi ular yang berwarna hijau itu membelit tangannya dan kini malah menggigit pergelangan tangannya. Seluruh tubuhnya terasa panas dan sakit-sakit,
"Aduh, eyang... celaka," Ia berlari, dan dalam marahnya karena ular itu tidak dapat ia lepaskan dari lengan, ia pun lalu menggigit leher ular hijau itu. Belum jauh ia berlari, tubuhnya sudah terguling roboh dan ia pingsan.
Ular itu masih menggigit pergelangan lengannya, akan tetapi ia sendiripun masih menggigit leher ular itu sampai hampir putus! Sambil menggigit Joko Wandiro mengisap dan mengisap terus saking marah dan bencinya sehingga tanpa ia sadari ia telah minum darah ular, darah berikut racun ular yang terasa manis!
Sementara itu, Endang Patibroto juga kebingungan ketika ia tiba di pantai timur. Pantai sebelah ini amat indah, penuh rumput dan terdapat beberapa belas batang pohon nyiur yang tinggi-tinggi. Kemana ia harus menyembunyikan sebatang keris itu? Ditanam dalam tanah? Hanya itulah cara yang ia ketahui. Ia memilih sebatang pohon yang paling besar, kemudian mulailah ia menggali tanah, mempergunakan keris pusaka itu! Agaknya para tokoh sakti di empat penjuru dunia akan meringis kalau melihat betapa pusaka yang mereka impi-impikan itu kini dipakai menggali tanah oleh seorang anak kecil, seakan-akan pusaka itu hanyalah sebatang pisau dapur saja!
Mendadak Endang Patibroto terkejut. Hampir saja kepalanya tertimpa kelapa yang berjatuhan dari atas. Ia menengok ke atas dan alangkah kagetnya ketika melihat betapa buah-buah kelapa dari batang itu rontok semua dan daunnya menjadi kering, juga batang kelapa menjadi kering sama sekali. Ia tidak tahu bahwa pohon kelapa itu tidak kuat menerima hawa mujijat keris pusaka yang menggali tanah di bawahnya!
"He, bocah ayu, kau sedang apa di situ?"
Endang Patibroto kaget seperti disengat kalajengking. Ia tersentak dan mencelat berdiri, menyembunyikan keris di belakang tubuhnya sambil memandang. Kiranya, tanpa ia ketahui, ada sebuah perahu mendarat tak jauh dari tempat itu. Sebuah perahu kecil yang ditumpangi dua orang laki-laki yang memandangnya sambil menyeringai menakutkan. Seorang di antara mereka masih muda, mukanya pucat matanya juling. Yang ke dua sudah agak tua, akan tetapi mukanya kasar bercambang-bauk dan matanya melotot seperti hendak meloncat keluar dari tempatnya. Endang Patibroto mundur-mundur, tetap menyembunyikan kerisnya di belakang tubuh sambil memandang mereka yang meloncat ke darat.
"Ha-ha-ha, masih kecil sudah cantik jelita. Eh, cah ayu, apakah kau anak peri penjaga pulau kosong ini?" kata si muka pucat dengan sikap ceriwis sekali. "Mari beri pamanmu cium selamat datang, ya?"
"Jangan main-main, siapa tahu dia itu keluarganya. Eh, genduk (sebutan anak perempuan), tahukah kau di mana rumah bapa Resi Bhargowo?"
Endang Patibroto hanya menggeleng dan sepasang matanya yang lebar dan bening itu memandang tak pernah berkedip. Dua orang itu masing-masing membawa golok besar yang diselipkan di pinggang dan sikap mereka itu jelas membayangkan watak yang kasar dan kejam.
"Anak manis, kau tinggal bersama siapa di pulau ini? Mana ibumu? Wah, ibumu tentu masih muda dan cantik heh-heh!" Si juling berkata, lagi sambil mendekati.
"Adi Wirawa, jangan lupakan tugas kita. Kita di sini menyelidik, bukan bersenang-senang!" Si cambang-bauk menegur.
"Ah, kakang, bekerja saja tanpa senang-senang, membosankan. Anak ini manis sekali, ibunya tentu cantik. Biar kugendong dia dan kita ajak dia pulang, siapa tahu di rumahnya kita bisa bertemu dengan Resi Bhargowo, ha-ha-ha! Hayo, nduk cah ayu, mari kugendong. Diupah cium, ya?"
Ia mendesak maju. Endang Patibroto masih mundur-mundur dan tangannya disembunyikan di belakang tubuh. Ketika si juling itu menubruk maju sambil tertawa-tawa, tiba-tiba dengan gerakan gesit Endang Patibroto miringkan tubuh, tangan kanannya menyambar ke depan laksana kilat cepatnya.
"Aduhhhh... mati aku...!"
Sijuling itu terjengkang, menggelepar seperti seekor ayam dipotong lehernya, berkelojotan menggeliat-geliat kemudian tak bergerak lagi, tubuhnya kering dan hangus, mati seketika!
Temannya berdiri terbelalak, matanya yang lebar itu makin lebar lagi dan kumisnya yang tebal menggetar-getar. Ia memandang anak perempuan itu dengan heran dan marah. Anak itu paling banyak berusia sepuluh atau sebelas tahun, dengan sebatang keris di tangan, bagaimana dapat membunuh temannya? Dan mengapa temannya itu tidak kelihatan terluka, akan tetapi mati sedemikian mengerikan, bajunya hangus semua, kulitnya juga hangus dan kering? Akan tetapi kemarahannya meluap-luap dan ia sudah mencabut goloknya yang lebar dan besar.
"Bocah keparat! Bocah setan...!" Ia menerjang dengan goloknya, lupa bahwa yang dihadapinya hanyalah seorang anak perempuan kecil. Namun Endang Patibroto adalah seorang bocah gemblengan yang sejak kecil sudah melatih diri dengan ilmu silat tinggi. Melihat golok itu berkelebat menerjangnya, ia cepat trengginas melompat ke samping sambil menggerakkan tangan kanan menyampok dari kanan.
"Trangggg...!"
Si brewok menjerit kaget karena goloknya telah patah menjadi empat potong begitu bertemu dengan keris di tangan anak itu dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, kedua kakinya sudah lumpuh ketika keris itu mengeluarkan cahaya sehingga ia tidak mampu bergerak lagi. Sepasang mata yang lebar dari si brewok itu terbelalak ketakutan, mulutnya terbuka tanpa dapat mengeluarkan suara, hanya kedua tangannya menolak seolah-olah dengan gerakan itu ia akan dapat melindungi tubuhnya. Akan tetapi benda bercahaya itu tetap saja datang menyentuh dadanya.
"Aauuughhh!"
Hanya keluhan ini yang keluar dari mulutnya karena ia pun mengalami nasib seperti si juling, tubuhnya menjadi kering dan hangus, mati seketika! Sejenak Endang Patibroto berdiri tercengang. Keris pusaka Brojol Luwuk masih berada di tangan kanannya. Sedikitpun tidak ada tanda darah di ujung keris itu. Anak perempuan yang baru berusia sepuluh tahun lebih ini sedikitpun tidak merasa ngeri bahwa tangannya telah membunuh dua orang lagi. Setahun yang lalu, ketika ia dan Joko Wandiro dihadang perampok-perampok, ia pun dengan berani telah melukai dan membunuh dua orang perampok.
Akan tetapi sekarang lain lagi. Ia melihat betapa ampuh dan hebatnya keris di tangannya dan ia tercengang. Keris itu seakan-akan hidup kalau ia berhadapan dengan musuh, seakan-akan dapat bergerak sendiri dan sedikit menyentuh tubuh lawan saja sudah cukup membuat lawan roboh tewas dalam keadaan mengerikan, yaitu hangus dan kering!
Di dalam hatinya, Endang Patibroto merasa girang bukan main, akan tetapi juga khawatir. Ia girang bahwa setelah setahun menerima gemblengan eyangnya, kini dalam menghadapi dua orang lawan itu gerakannya tidak ragu-ragu dan ia merasa betapa mudah mengalahkan lawan, girang pula bahwa ia telah memiliki keris pusaka yang ampuhnya menggiriskan. Geli hatinya kalau teringat olehnya betapa Joko Wandiro mendapatkan bagian patung kencana. Teringat akan ini, Endang Patibroto tersenyum geli. Biarlah Joko Wandiro mencari selendang dan menggendong golek kencana itu dan bertembang meninabobokkan! Alangkah lucunya!
Akan tetapi hatinya khawatir melihat dua orang lawan yang sudah hangus tubuhnya itu. Eyangnya tentu akan marah bukan main. Kata eyangnya, pusaka itu adalah pusaka keraton Mataram yang ampuh dan terpuja. Kalau eyangnya melihat ia menggunakan pusaka itu untuk membunuh dua orang, tentu eyangnya akan marah. Selain itu, kemana ia dapat menyimpan pusaka keris di tangannya? Pusaka ini luar biasa ampuhnya dan sekarang tahulah ia bahwa saking ampuhnya, pohon nyiur tadi seketika menjadi kering dan mati ketika ia hendak mengubur keris itu di bawah pohon.
Ia memandang keris di tangannya itu penuh perhatian. Kalau dilihat sepintas lalu, keris pusaka ini tidaklah amat aneh. Keris biasa saja berlekuk tujuh dan berwarna abu-abu. Akan tetapi karena tahu akan keampuhannya yang sudah terbukti, maka timbul rasa sayang besar sekali dalam hati anak itu dan ia mendekap keris itu di depan dadanya yang mulai membayangkan bagian menonjol.
"Tidak," kata hatinya. "Keris ini tidak akan kutinggalkan, akan kusimpan bersamaku, kubawa selalu. Aku harus pergi dari sini, kalau eyang marah melihat dua mayat ini kemudian minta kembali keris pusaka, aku rugi! Lebih baik aku pergi dan mencari ibu. Ibu tentu akan bangga melihat keris ini!"
Pikiran ini datang sekonyong-konyong dalam benaknya ketika Endang Patibroto melihat perahu yang ditumpangi dua orang tadi. Kesempatan baik baginya untuk pergi. Tanpa ragu-ragu lagi ia menyembunyikan keris pusaka di balik kembennya, kemudian lari menghampiri perahu dan mendorongnya ke tengah melawan ombak.
Semenjak kecil sudah biasa dia bersama ibunya bermain-main dengan ombak laut yang jauh lebih besar dari pada ombak di pantai pulau ini, dan bermain perahu tentu saja merupakan permainan sehari-hari baginya. Setelah berhasil melalui buih ombak yang memecah di pantai, perahunya mulai melaju ke tengah samudera dalam penyeberangan menuju ke daratan…..!
********************
"Kakangmas Pujo...!"
Pujo yang sedang duduk termenung di depan pondoknya, terkejut. Pikirannya sedang sibuk, hatinya gelisah. Pertemuannya dengan Kartikosari beberapa hari yang lalu mendatangkan bermacam perasaan kepadanya. Rasa cinta, sesal, duka, dan kecewa, namun ada juga harapan yang membuatnya gembira. Isterinya masih hidup, masih mencintanya. Hal ini mudah saja ia duga, karena bukankah cinta kasih itu terpancar jelas dari pandang matanya? Namun kegembiraan dan harapan untuk kelak dapat bersatu dengan isterinya terganggu bermacam-macam kenyataan.
Musuh besar mereka, si laknat yang melakukan perbuatan terkutuk terhadap isterinya di malam jahanam di Guha Siluman itu, belum terbalas. Bahkan mengetahuinya siapa pun belum! Bukan Wisangjiwo Inilah yang membikin hatinya risau dan gelisah. Kalau bukan Wisangjiwo, berarti dosa putera adipati itu tidaklah sebesar yang disangka sebelumnya. Dan dia sudah membalas dengan hebat! Sudah menculik puteranya, dan membuat isterinya gila.
Diam-diam rasa sesal menyusupi perasaan hati Pujo. Semua ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sudah sepekan ini Joko Wandiro yang ia suruh mencari kuda di dusun belum juga datang! Ia merasa gelisah dan mengambil keputusan untuk menyusul dan mencarinya kalau hari ini belum juga pulang anak itu. Anak Wisaigjiwo yang diculiknya, akan tetapi anak yang ia sayang sebagai murid, bahkan seperti telah menjadi puteranya sendiri. Suara wanita memanggilnya itu benar-benar mengejutkannya, akan tetapi juga sejenak wajahnya berseri karena timbul harapannya bahwa Kartikosari akhirnya datang kepadanya!
Akan tetapi setelah menengok, ia cepat bangkit berdiri dengan wajah terheran-heran. Wanita memang yang memanggilnya tadi, seorang wanita yang cantik manis, akan tetapi sama sekali bukanlah isterinya. Bukan Kartikosari! Usianya memang sebaya, mungkin hanya dua tiga tahun lebih muda dari pada Kartikosari. Wajahnya manis, pandang matanya tajam, tubuhnya ramping padat, akan tetapi pada saat itu air mata turun mengalir di sepanjang kedua pipinya.
"Anda siapakah...?" Akhirnya Pujo dapat bertanya sambil melangkah maju.
Wanita itu terisak, mengusap air mata dengan tangan kirinya. Akan tetapi hanya sebentar karena ia sudah dapat menguasai perasaannya kembali. Air matanya tidak mengucur lagi ketika ia mengangkat mukanya yang menjadi kemerahan dan menatap wajah Pujo dengan pandang mata tajam.
"Kakangmas Pujo, sepuluh tahun lamanya aku mencari-carimu. Setelah kini bertemu engkau tidak mengenalku lagi! Alangkah pahitnya kenyataan ini! Kakangmas Pujo, kelirukah penilaianku dalam hati tentang dirimu? Bukankah engkau seorang laki-laki jantan yang tidak akan mengingkari semua perbuatanmu, seorang satria yang berani mempertanggung jawabkan perbuatannya? Kakangmas, lupakah kau kepadaku, kepada... Roro Luhito...?"
Ia terisak lagi dan beberapa butir air mata bertitik ke atas pipi. Pujo teringat. Pantas saja tadi serasa pernah ia melihat wanita ini! Akan tetapi mengapa seperti itu sikapnya dan seperti itu pula bicaranya? Pujo mengerutkan kening dan menduga-duga akan tetapi tetap tidak dapat mengerti. Ia mengangguk dan berkata,
"Ah, teringat aku sekarang. Engkau Roro Luhito puteri sang adipati di Selopenangkep yang dulu ikut pula mengepungku, bukan? Akan tetapi apa artinya semua ucapanmu tadi?"
Seketika berhenti tangis wanita itu. Kedua matanya yang masih berkaca-kaca (membasah) itu terbelalak memandang. Mata yang indah dan bening. Mulut yang mungil itu bergerak-gerak ketika giginya menggigit-gigit bibir bawah. Bibir yang berkulit tipis, merah dan penuh. Kedua tangan diangkat ke pinggang, mengepal dan jarinya meremas remas. Jari-jari kecil meruncing.
"Kau... kau pura-pura tidak tahu...? Pura-pura lupa? Serendah inikah budimu? Benarkah engkau begini... begini... pengecut?"
Pujo menjadi makin heran, akan tetapi lapun merasa tak senang disebut pengecut dan rendah budi.
"Roro Luhito! Hati-hatilah engkau dengan kata-katamu! Aku tidak akan mengingkari semua perbuatanku dan aku sama sekali bukanlah seorang pengecut yang rendah budi. Memang benar, sepuluh tahun yang lalu aku telah menyerbu gedung ayahmu, melukai ayahmu dan membunuh beberapa orang pengawal. Kemudian aku telah menculik isteri dan putera kakakmu! Tidak kusangkal bahwa aku kemudian telah meninggalkan isteri kakakmu di Guha Siluman dan membawa lari putera kakakmu! Nah, aku tidak menyangkal semua perbuatanku. Habis, kau mau apa? Hendak membalas dendam?"
Akan tetapi pengakuan Pujo ini sama sekali tidak memuaskan hati Roro Luhito, bahkan membuat ia makin marah. Hampir berteriak ia ketika berkata, "Bagus! Hanya itukah yang kaulakukan? Mengapa engkau tidak menyebut-nyebut perbuatan yang kaulakukan terhadap aku?"
"Perbuatan yang kulakukan terhadapmu?" Pujo mengingat-ingat, lalu tertawa. "Ahh, ketika engkau ikut mengeroyokku? Dan kau terguling roboh? Hanya untuk perbuatan itu saja engkau mencari-cariku sampai sepuluh tahun?"
Pujo makin terheran-heran, apalagi ketika teringat betapa sikap wanita ini tadi amat mesra memanggilnya, sama sekali bukan sikap seorang yang hendak menuntut balas atas kekalahannya dahulu. Kini pandang mata Roro Luhito seperti mengeluarkan api saking marahnya.
"Pujo! Engkau tidak mengaku tentang perbuatanmu dalam... dalam... bilikku...?"
Pujo tertegun. Wanita ini tidak main-main agaknya. Akan tetapi, ia tak pernah merasa melakukan sesuatu dalam biliknya! Ia mengingat-ingat keras akan tetapi tidak menemui jawaban. Gilakah wanita ini? Sayang kalau gila, wanita begini manis. Ia menggeleng kepala.
"Aku tidak penah memasuki bilikmu "
"Keparat! Kalau kau menyangkal, berarti kau harus mampus di tanganku!"
Roro Luhito mengeluarkan pekik menyeramkan, seperti bukan pekik seorang manusia, lebih mirip pekik seekor monyet betina. Akan tetapi terjangannya hebat sekali, tubuhnya sudah menyerbu ke depan, kedua tangan mencengkeram, kedua kaki menendang, cepat dan dahsyat seperti topan mengamuk!
"Haaaiiittt!"
Pujo terkejut sekali dan mengeluarkan teriakan ini sambil cepat mengelak dan menggunakan tangannya menangkis. Alangkah kagetnya ketika lengannya bertemu dengan tangan Roro Luhito, ia merasa hawa panas menyambar dari tangan itu. Serangan wanita ini tak boleh dipandang ringan. Di lain pihak Roro Luhito juga terkejut karena tubuhnya terpental ke belakang ketika lengannya ditangkis.
Memang Roro Luhito yang sekarang berbeda dengan puteri Adipati Selopenangkep sepuluh tahun yang lalu. Ia telah digembleng oleh gurunya, Resi Telomoyo dan menerima banyak ilmu. Bukan sembarang ilmu. Aji Sosro Satwo (Seribu Binatang) dan Kapi Dibyo membuat ia menjadi kuat dan tangkas, memiliki tenaga mujijat yang timbul dari hawa sakti di dalam tubuh yang sudah dapat dihimpunnya. Namun, menghadapi Pujo ia kalah latihan dan kalah tenaga.
Melihat dengan gerakan yang amat sigap dan cepat wanita itu sudah hendak menerjangnya lagi, Pujo cepat mengangkat tangan dan berkata, "Eehh... setop! Setop dulu!"
"Mau bicara apa lagi?" Roro Luhito membentak marah, akan tetapi sepasang matanya yang bening berair.
"Roro Luhito, sikapmu membuat orang penasaran dan tidak mengerti. Kalau kau marah dan hendak membalasku karena perbuatanku seperti yang telah kuceritakan tadi, yaitu menculik keponakanmu, melukai ayahmu, mengalahkan kau dan membunuh beberapa orang pengawal ketika aku menyerbu Selopenangkep, aku dapat menerimanya dan tidak akan menjadi penasaran. Akan tetapi, kau menuduhku melakukan sesuatu terhadapmu di dalam bilikmu! Nanti dulu!" Pujo menghindar dari sebuah serangan kilat. "Dengarkan dulu! Sungguh mati aku tidak mengerti apa yang kaumaksudkan! Perbuatan apakah itu?"
Tentu saja amat sukar bagi seorang gadis seperti Roro Luhito untuk menceritakan peristiwa sepuluh tahun yang lalu, pada malam hari di dalam biliknya yang gelap Ia menganggap bahwa Pujo ini berpura-pura saja, atau agaknya sengaja hendak membikin dia malu dan hendak memaksa dia yang mengadakan pengakuan. Hal ini membuat kemarahannya meluap-luap dan ia segera menerjang setelah membentak, "Boleh saja kau pura-pura tidak tahu! Akan tetapi engkau atau aku harus mati untuk menebus peristiwa jahanam itu!"
Kembali tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk banyak bicara, Roro Luhito sudah menerjang lagi dengan gerakan yang amat cepat, secepat monyet melompat, dan bukan hanya tangan kirinya yang mencengkeram ke arah muka lawan mengarah kedua mata, akan tetapi juga tangan kanannya yang sudah mencabut cundrik itu menghantam ke arah dada dengan tusukan kilat. Bukan main hebatnya serangan ini, dilakukan selagi tubuhnya masih mencelat di atas udara!
Pujo benar-benar kaget. Sepuluh tahun yang lalu pernah ia menghadapi gadis ini ketika ia dikeroyok di Kadipaten Selopenangkep, akan tetapi tidaklah sehebat ini gerakan gadis itu. Gerakannya sekarang selain tangkas dan kuat, juga amat aneh, sepertj gerakan seekor binatang buas. Dalam keheranannya, Pujo berlaku hati-hati. Cepat ia menggerakkan tubuh miring ke kanan untuk menghindarkan diri dari pada cengkeraman tangan lawan. Adapun tusukan cundrik itu terpaksa ia tangkis dengan tamparan jari-jari yang menggunakan Aji Pethit Nogo.
"Plakk!"
"Aduh...!"
Cundrik itu terlepas dari tangan Roro Luhito yang merasa betapa tangan kanannya seakan-akan remuk semua tulangnya dan menjadi lumpuh. Ia terguling roboh ke atas pasir, akan tetapi cepat sekali ia sudah meloncat dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar. Pujo berusaha mengelak akan tetapi karena serangan wanita yang sudah ia robohkan itu benar-benar sama sekali tidak pernah diduganya, sebagian dari pasir yang disebarkan oleh Roro Luhito itu mengenai matanya. Pujo mengeluh, kedua matanya pedas dipejamkan dan ia terhuyung ke belakang.
Roro Luhito tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan kakinya menendang, tepat mengenai dada Pujo yang terjengkang ke belakang dan jatuh terbanting ke atas pasir. Roro Luhito yang sudah meluap kemarahannya itu menubruk, dengan maksud menghabiskan nyawa lawannya dengan pukulan-pukulan maut. Tentu saja Pujo juga maklum akan bahaya ini, biarpun kedua matanya untuk sementara tak dapat ia buka, namun telinganya dapat menangkap sambaran tubuh dan tangan Roro Luhito yang menubruknya. Ia menggulingkan tubuh ke kiri sehingga tubrukan Roro Luhito mengenai tempat kosong dan Pujo yang tahu bahaya ini dengan mata masih terpejam cepat meringkusnya dan memegang kedua tangannya.
"Lepaskan! Setan keparat... lepaskan...!"
Roro Luhito menjerit-jerit dan bergumullah kedua orang itu di atas pasir yang halus. Karena kemarahannya Roro Luhito menjadi ganas dan buas dan dalam usahanya membebaskan kedua pergelangan tangannya yang terpegang erat-erat oleh tangan Pujo, ia meronta-ronta, bahkan lalu menggigit! Karena Pujo masih meram dan mereka bergumul tak teratur dalam ilmu perkelahian lagi, maka pipi kiri Pujo tergigit.
"Aduhhhhh! Adu-du-duhhh lepaskan! Eh, kok mengigit...!"
Saking sakitnya Pujo mengaduh-aduh dan cepat ia mengerahkan tenaganya melemparkan tubuh Roro Luhito ke depan, lalu cepat meloncat berdiri. Untung, rasa pedas pada matanya membuat air matanya bercucuran dan air mata inilah yang mencuci dan membawa keluar pasir yang memasuki matanya sehingga pada saat itu Pujo sudah mampu membuka mata kirinya.
"Brukkk!"
Tubuh Roro Luhito terlempar dan terbanting keras. Untung bahwa tempat itu adalah pesisir laut yang banyak pasirnya sehingga terbanting sekeras itu hanya terasa pedas dan agak njarem bagian pinggulnya. Roro Luhito menyumpah-nyumpah ketika bangkit sambil mengelus pinggulnya. Juga Pujo menyumpah-nyumpah ketika meraba pipi kirinya yang berdarah. Kini ia berhasil pula membuka mata kanannya. Kedua matanya merah dan masih berair, akan tetapi sudah terbebas dari pasir. Mereka kini berdiri berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang, penuh kemarahan.
"Kau... perempuan liar!" Pujo memaki, timbul kemarahannya.
"Dan kau... laki-laki pengecut!"
Roro Luhito balas memaki, juga marah sekali karena hatinya telah dikecewakan. Sama sekali tak disangkanya bahwa Pujo menyangkal perbuatannya sepuluh tahun yang lalu, perbuatan yang disangkanya benar-benar berlandaskan cinta kasih seperti yang dibisikkannya sepuluh tahun yang lalu. Betapa kecewa hatinya kini. Sepuluh tahun ia mengharap-harapkan pertemuan ini, mengharapkan penerimaan Pujo dengan hati gembira dan perasaan bahagia, mengharapkan dapat menjadi isteri Pujo, selain untuk menebus aib juga untuk melaksanakan hasrat hatinya yang mencinta. Siapa kira, Pujo selain menyangkal, juga memakinya dan kini bahkan melawan dan mengalahkannya. Rasa kecewa membuat ia menjadi nekad dan kini hanya ada satu harapan di hatinya, yaitu membunuh laki-laki yang ia cinta dan yang mengecewakan hatinya ini, kemudian membunuh diri sendiri!.
Roro Luhito yang sudah nekat Itu lalu menerjang maju lagi sambil mengeluarkan pekik yang melengking tinggi seperti pekik tantangan marah seekor monyet betina yang diganggu anaknya. Ia telah mengeluarkan semua ajinya yang ia peroleh dari gurunya, Resi Telomoyo. Mendengar pekik yang mengiringi Aji Sosro Satwo ini, semua binatang buas di dalam hutan tentu akan lari tunggang-langgang. Seekor harimau yang liar sekali pun akan lari bersembunyi mendengar pekik ini! Tubuh Roro Luhito melompat ke depan, kaki tangannya melakukan serangan bertubi-tubi yang sifatnya liar ganas, namun juga amat berbahaya.
Pujo maklum bahwa wanita ini tak boleh dipandang ringan, maka ia pun lalu mengerahkan ajinya, Aji Bayu Tantra yang membuat tubuhnya ringan laksana kapas gesit laksana burung srikatan, juga ia mengerahkan Aji Pethit Npgo ke dalam sepuluh jari tangannya. Biarpun ia sama sekali tidak mempunyai niat membunuh wanita ini, namun tanpa Aji Pethit Nogo, agaknya tidak akan mudah baginya untuk mengatasi kedahsyatan serangan Roro Luhito.....
"Aku pilih ini, eyang...!"
Endang Patibroto berseru girang dan gadis cilik ini melemparkan patung emas yang menjadi warangka itu kearah Joko Wandiro! Joko menerima dan bibirnya cemberut. Untuk apa sebuah patung emas bagi seorang anak laki-laki? Ia memandang ke arah keris di tangan Endang Patibroto dengan penuh kagum dan ingin. Juga Bhagawan Rukmoseto memandang anak perempuan itu dengan tercengang. Dia terheran-heran mengapa anak itu memegang keris sedemikian cocok, seakan-akan memang keris itu sudah sejak dahulu dikenalnya. Keris itu memang bukan keris besar, hanya keris tanpa ganja seperti sebuah keris biasa, akan tetapi begitu digerakkan sedikit saja keluarlah sinar yang aneh. Ketika kakek itu menoleh ke arah Joko Wandiro, ia melihat anak laki-laki itu memandangi patung. Anak ini dapat membawa diri, pikirnya. Ia tahu bahwa anak ini kecewa mendapat bagian patung, akan tetapi sama sekali tidak diperlihatkan.
"Joko, benda di tanganmu itu bukanlah benda biasa. Itulah benda keramat yang menjadi pujaan sekalian raja di Mataram dahulu. Sekarang dengarlah kalian baik-baik. Kedua pusaka itu seharusnya menjadi satu. Patung itu merupakan warangka atau tempat pusaka di tangan Endang itu. Dan pusaka itu adalah pusaka Mataram yang menjadi lambang kemakmuran Mataram. Kini kerajaan sedang kacau balau. Orang-orang jahat memperebutkan kedudukan dan saling berlomba mendapatkan singgasana. Oleh karena itulah belum waktunya pusaka ini kembali ke Mataram. Maka aku sengaja memberikan kepada kalian berdua dengan dipisah, agar tidak mudah kedua-duanya jatuh ke tangan orang jahat. Endang dan kau Joko. Setelah pusaka ini berada di tangan kalian, sekarang juga kalian harus mencari tempat persembunyian, kalian harus sembunyikan pusaka-pusaka itu di tempat yang aman, yang hanya kalian saja yang mengetahui. Dan ingat, biarpun nyawa kalian terancam, jangan sekali-kali kalian beritahukan kepada orang lain tentang pusaka itu. Kalian adalah cucu-cucuku, maka aku mempercayakan pusaka ini kepada kalian. Dapatkah kalian kupercaya?"
"Aku akan melindungi pusaka ini dengan nyawaku, eyang!" Endang Patibroto berkata sambil mainkan keris itu. Ia cekatan dan lincah sehingga ketika ia menggerakkan kerisnya tampak sinar berkilauan dan terdengar suara seperti halilintar.
"Saya akan mentaati perintah eyang guru," jawab Joko Wandiro.
"Bagus, kalau begitu sekarang juga kalian lekas pergi menyembunyikan pusaka-pusaka itu. Aku menanti di sini."
Tanpa menanti perintah dua kali karena anak-anak itu memang cerdik dan tahu bahwa pusaka-pusaka di tangan mereka itu amat diingini orang-orang jahat di dunia, Joko Wandiro dan Endang Patibroto berlari pergi, seorang ke barat seorang ke timur. Joko Wandiro tiba di tepi pulau itu yang penuh batu karang dan di situ terdapat banyak gua-gua batu. Akan tetapi gua itu demikian banyaknya dan bentuknya serupa. Bagaimana kalau kelak ia lupa lagi? Pula, tempat seperti ini malah mencurigakan orang. Ia harus menyembunyikan patung kecil itu di tempat yang tidak disangka- sangka orang, pikirnya. Akan tetapi di mana? Tiba-tiba wajahnya yang tampan berseri ketika ia memandang kepada sebatang pohon randu yang besar.
Pulau ini kosong, tidak ditinggali orang. Andai kata ada orang di pulau itu membutuhkan kayu, tak mungkin susah-susah menebang pohon besar ini, pikirnya. Banyak terdapat kayu di sekitar tempat itu, tinggal ambil saja. Pula, kayu randu adalah kayu yang lemah, tidak baik untuk dibuat apa pun, kurang kuat. Joko Wandiro lalu mengambil sebuah batu yang tajam runcing dan dengan senjata ini naiklah ia ke atas pohon randu. Di ujung batangnya yang paling atas, ia mulai membuat lubang dengan batu itu, dengan perlahan-lahan dan hati-hati.
Karena kayu randu memang tidak keras, akhirnya ia berhasil membuat sebuah lubang cukup besar dan disembunyikannya patung emas itu ke dalam lubang yang segera ia tutup dengan kulit kayu randu yang tadi ia buka. Tempat yang amat aman dan tak seorangpun manusia akan menyangka bahwa di dalam batang randu itu terdapat sebuah pusaka yang dijadikan rebutan orang sedunia!
Girang sekali hati Joko Wandiro. Akan tetapi ketika ia membuang batu tajam itu dan mulai merayap turun, tiba- tiba kakinya terasa sakit bukan main dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika betisnya itu dililit seekor ular hijau sebesar ibu jari kaki yang menggigit tungkaknya. Ia berteriak dan pegangannya pada pohon terlepas, tubuhnya roboh terguling. Ia memegang tubuh ular itu dan merenggutkannya dari kaki, akan tetapi ular yang berwarna hijau itu membelit tangannya dan kini malah menggigit pergelangan tangannya. Seluruh tubuhnya terasa panas dan sakit-sakit,
"Aduh, eyang... celaka," Ia berlari, dan dalam marahnya karena ular itu tidak dapat ia lepaskan dari lengan, ia pun lalu menggigit leher ular hijau itu. Belum jauh ia berlari, tubuhnya sudah terguling roboh dan ia pingsan.
Ular itu masih menggigit pergelangan lengannya, akan tetapi ia sendiripun masih menggigit leher ular itu sampai hampir putus! Sambil menggigit Joko Wandiro mengisap dan mengisap terus saking marah dan bencinya sehingga tanpa ia sadari ia telah minum darah ular, darah berikut racun ular yang terasa manis!
Sementara itu, Endang Patibroto juga kebingungan ketika ia tiba di pantai timur. Pantai sebelah ini amat indah, penuh rumput dan terdapat beberapa belas batang pohon nyiur yang tinggi-tinggi. Kemana ia harus menyembunyikan sebatang keris itu? Ditanam dalam tanah? Hanya itulah cara yang ia ketahui. Ia memilih sebatang pohon yang paling besar, kemudian mulailah ia menggali tanah, mempergunakan keris pusaka itu! Agaknya para tokoh sakti di empat penjuru dunia akan meringis kalau melihat betapa pusaka yang mereka impi-impikan itu kini dipakai menggali tanah oleh seorang anak kecil, seakan-akan pusaka itu hanyalah sebatang pisau dapur saja!
Mendadak Endang Patibroto terkejut. Hampir saja kepalanya tertimpa kelapa yang berjatuhan dari atas. Ia menengok ke atas dan alangkah kagetnya ketika melihat betapa buah-buah kelapa dari batang itu rontok semua dan daunnya menjadi kering, juga batang kelapa menjadi kering sama sekali. Ia tidak tahu bahwa pohon kelapa itu tidak kuat menerima hawa mujijat keris pusaka yang menggali tanah di bawahnya!
"He, bocah ayu, kau sedang apa di situ?"
Endang Patibroto kaget seperti disengat kalajengking. Ia tersentak dan mencelat berdiri, menyembunyikan keris di belakang tubuhnya sambil memandang. Kiranya, tanpa ia ketahui, ada sebuah perahu mendarat tak jauh dari tempat itu. Sebuah perahu kecil yang ditumpangi dua orang laki-laki yang memandangnya sambil menyeringai menakutkan. Seorang di antara mereka masih muda, mukanya pucat matanya juling. Yang ke dua sudah agak tua, akan tetapi mukanya kasar bercambang-bauk dan matanya melotot seperti hendak meloncat keluar dari tempatnya. Endang Patibroto mundur-mundur, tetap menyembunyikan kerisnya di belakang tubuh sambil memandang mereka yang meloncat ke darat.
"Ha-ha-ha, masih kecil sudah cantik jelita. Eh, cah ayu, apakah kau anak peri penjaga pulau kosong ini?" kata si muka pucat dengan sikap ceriwis sekali. "Mari beri pamanmu cium selamat datang, ya?"
"Jangan main-main, siapa tahu dia itu keluarganya. Eh, genduk (sebutan anak perempuan), tahukah kau di mana rumah bapa Resi Bhargowo?"
Endang Patibroto hanya menggeleng dan sepasang matanya yang lebar dan bening itu memandang tak pernah berkedip. Dua orang itu masing-masing membawa golok besar yang diselipkan di pinggang dan sikap mereka itu jelas membayangkan watak yang kasar dan kejam.
"Anak manis, kau tinggal bersama siapa di pulau ini? Mana ibumu? Wah, ibumu tentu masih muda dan cantik heh-heh!" Si juling berkata, lagi sambil mendekati.
"Adi Wirawa, jangan lupakan tugas kita. Kita di sini menyelidik, bukan bersenang-senang!" Si cambang-bauk menegur.
"Ah, kakang, bekerja saja tanpa senang-senang, membosankan. Anak ini manis sekali, ibunya tentu cantik. Biar kugendong dia dan kita ajak dia pulang, siapa tahu di rumahnya kita bisa bertemu dengan Resi Bhargowo, ha-ha-ha! Hayo, nduk cah ayu, mari kugendong. Diupah cium, ya?"
Ia mendesak maju. Endang Patibroto masih mundur-mundur dan tangannya disembunyikan di belakang tubuh. Ketika si juling itu menubruk maju sambil tertawa-tawa, tiba-tiba dengan gerakan gesit Endang Patibroto miringkan tubuh, tangan kanannya menyambar ke depan laksana kilat cepatnya.
"Aduhhhh... mati aku...!"
Sijuling itu terjengkang, menggelepar seperti seekor ayam dipotong lehernya, berkelojotan menggeliat-geliat kemudian tak bergerak lagi, tubuhnya kering dan hangus, mati seketika!
Temannya berdiri terbelalak, matanya yang lebar itu makin lebar lagi dan kumisnya yang tebal menggetar-getar. Ia memandang anak perempuan itu dengan heran dan marah. Anak itu paling banyak berusia sepuluh atau sebelas tahun, dengan sebatang keris di tangan, bagaimana dapat membunuh temannya? Dan mengapa temannya itu tidak kelihatan terluka, akan tetapi mati sedemikian mengerikan, bajunya hangus semua, kulitnya juga hangus dan kering? Akan tetapi kemarahannya meluap-luap dan ia sudah mencabut goloknya yang lebar dan besar.
"Bocah keparat! Bocah setan...!" Ia menerjang dengan goloknya, lupa bahwa yang dihadapinya hanyalah seorang anak perempuan kecil. Namun Endang Patibroto adalah seorang bocah gemblengan yang sejak kecil sudah melatih diri dengan ilmu silat tinggi. Melihat golok itu berkelebat menerjangnya, ia cepat trengginas melompat ke samping sambil menggerakkan tangan kanan menyampok dari kanan.
"Trangggg...!"
Si brewok menjerit kaget karena goloknya telah patah menjadi empat potong begitu bertemu dengan keris di tangan anak itu dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, kedua kakinya sudah lumpuh ketika keris itu mengeluarkan cahaya sehingga ia tidak mampu bergerak lagi. Sepasang mata yang lebar dari si brewok itu terbelalak ketakutan, mulutnya terbuka tanpa dapat mengeluarkan suara, hanya kedua tangannya menolak seolah-olah dengan gerakan itu ia akan dapat melindungi tubuhnya. Akan tetapi benda bercahaya itu tetap saja datang menyentuh dadanya.
"Aauuughhh!"
Hanya keluhan ini yang keluar dari mulutnya karena ia pun mengalami nasib seperti si juling, tubuhnya menjadi kering dan hangus, mati seketika! Sejenak Endang Patibroto berdiri tercengang. Keris pusaka Brojol Luwuk masih berada di tangan kanannya. Sedikitpun tidak ada tanda darah di ujung keris itu. Anak perempuan yang baru berusia sepuluh tahun lebih ini sedikitpun tidak merasa ngeri bahwa tangannya telah membunuh dua orang lagi. Setahun yang lalu, ketika ia dan Joko Wandiro dihadang perampok-perampok, ia pun dengan berani telah melukai dan membunuh dua orang perampok.
Akan tetapi sekarang lain lagi. Ia melihat betapa ampuh dan hebatnya keris di tangannya dan ia tercengang. Keris itu seakan-akan hidup kalau ia berhadapan dengan musuh, seakan-akan dapat bergerak sendiri dan sedikit menyentuh tubuh lawan saja sudah cukup membuat lawan roboh tewas dalam keadaan mengerikan, yaitu hangus dan kering!
Di dalam hatinya, Endang Patibroto merasa girang bukan main, akan tetapi juga khawatir. Ia girang bahwa setelah setahun menerima gemblengan eyangnya, kini dalam menghadapi dua orang lawan itu gerakannya tidak ragu-ragu dan ia merasa betapa mudah mengalahkan lawan, girang pula bahwa ia telah memiliki keris pusaka yang ampuhnya menggiriskan. Geli hatinya kalau teringat olehnya betapa Joko Wandiro mendapatkan bagian patung kencana. Teringat akan ini, Endang Patibroto tersenyum geli. Biarlah Joko Wandiro mencari selendang dan menggendong golek kencana itu dan bertembang meninabobokkan! Alangkah lucunya!
Akan tetapi hatinya khawatir melihat dua orang lawan yang sudah hangus tubuhnya itu. Eyangnya tentu akan marah bukan main. Kata eyangnya, pusaka itu adalah pusaka keraton Mataram yang ampuh dan terpuja. Kalau eyangnya melihat ia menggunakan pusaka itu untuk membunuh dua orang, tentu eyangnya akan marah. Selain itu, kemana ia dapat menyimpan pusaka keris di tangannya? Pusaka ini luar biasa ampuhnya dan sekarang tahulah ia bahwa saking ampuhnya, pohon nyiur tadi seketika menjadi kering dan mati ketika ia hendak mengubur keris itu di bawah pohon.
Ia memandang keris di tangannya itu penuh perhatian. Kalau dilihat sepintas lalu, keris pusaka ini tidaklah amat aneh. Keris biasa saja berlekuk tujuh dan berwarna abu-abu. Akan tetapi karena tahu akan keampuhannya yang sudah terbukti, maka timbul rasa sayang besar sekali dalam hati anak itu dan ia mendekap keris itu di depan dadanya yang mulai membayangkan bagian menonjol.
"Tidak," kata hatinya. "Keris ini tidak akan kutinggalkan, akan kusimpan bersamaku, kubawa selalu. Aku harus pergi dari sini, kalau eyang marah melihat dua mayat ini kemudian minta kembali keris pusaka, aku rugi! Lebih baik aku pergi dan mencari ibu. Ibu tentu akan bangga melihat keris ini!"
Pikiran ini datang sekonyong-konyong dalam benaknya ketika Endang Patibroto melihat perahu yang ditumpangi dua orang tadi. Kesempatan baik baginya untuk pergi. Tanpa ragu-ragu lagi ia menyembunyikan keris pusaka di balik kembennya, kemudian lari menghampiri perahu dan mendorongnya ke tengah melawan ombak.
Semenjak kecil sudah biasa dia bersama ibunya bermain-main dengan ombak laut yang jauh lebih besar dari pada ombak di pantai pulau ini, dan bermain perahu tentu saja merupakan permainan sehari-hari baginya. Setelah berhasil melalui buih ombak yang memecah di pantai, perahunya mulai melaju ke tengah samudera dalam penyeberangan menuju ke daratan…..!
********************
"Kakangmas Pujo...!"
Pujo yang sedang duduk termenung di depan pondoknya, terkejut. Pikirannya sedang sibuk, hatinya gelisah. Pertemuannya dengan Kartikosari beberapa hari yang lalu mendatangkan bermacam perasaan kepadanya. Rasa cinta, sesal, duka, dan kecewa, namun ada juga harapan yang membuatnya gembira. Isterinya masih hidup, masih mencintanya. Hal ini mudah saja ia duga, karena bukankah cinta kasih itu terpancar jelas dari pandang matanya? Namun kegembiraan dan harapan untuk kelak dapat bersatu dengan isterinya terganggu bermacam-macam kenyataan.
Musuh besar mereka, si laknat yang melakukan perbuatan terkutuk terhadap isterinya di malam jahanam di Guha Siluman itu, belum terbalas. Bahkan mengetahuinya siapa pun belum! Bukan Wisangjiwo Inilah yang membikin hatinya risau dan gelisah. Kalau bukan Wisangjiwo, berarti dosa putera adipati itu tidaklah sebesar yang disangka sebelumnya. Dan dia sudah membalas dengan hebat! Sudah menculik puteranya, dan membuat isterinya gila.
Diam-diam rasa sesal menyusupi perasaan hati Pujo. Semua ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sudah sepekan ini Joko Wandiro yang ia suruh mencari kuda di dusun belum juga datang! Ia merasa gelisah dan mengambil keputusan untuk menyusul dan mencarinya kalau hari ini belum juga pulang anak itu. Anak Wisaigjiwo yang diculiknya, akan tetapi anak yang ia sayang sebagai murid, bahkan seperti telah menjadi puteranya sendiri. Suara wanita memanggilnya itu benar-benar mengejutkannya, akan tetapi juga sejenak wajahnya berseri karena timbul harapannya bahwa Kartikosari akhirnya datang kepadanya!
Akan tetapi setelah menengok, ia cepat bangkit berdiri dengan wajah terheran-heran. Wanita memang yang memanggilnya tadi, seorang wanita yang cantik manis, akan tetapi sama sekali bukanlah isterinya. Bukan Kartikosari! Usianya memang sebaya, mungkin hanya dua tiga tahun lebih muda dari pada Kartikosari. Wajahnya manis, pandang matanya tajam, tubuhnya ramping padat, akan tetapi pada saat itu air mata turun mengalir di sepanjang kedua pipinya.
"Anda siapakah...?" Akhirnya Pujo dapat bertanya sambil melangkah maju.
Wanita itu terisak, mengusap air mata dengan tangan kirinya. Akan tetapi hanya sebentar karena ia sudah dapat menguasai perasaannya kembali. Air matanya tidak mengucur lagi ketika ia mengangkat mukanya yang menjadi kemerahan dan menatap wajah Pujo dengan pandang mata tajam.
"Kakangmas Pujo, sepuluh tahun lamanya aku mencari-carimu. Setelah kini bertemu engkau tidak mengenalku lagi! Alangkah pahitnya kenyataan ini! Kakangmas Pujo, kelirukah penilaianku dalam hati tentang dirimu? Bukankah engkau seorang laki-laki jantan yang tidak akan mengingkari semua perbuatanmu, seorang satria yang berani mempertanggung jawabkan perbuatannya? Kakangmas, lupakah kau kepadaku, kepada... Roro Luhito...?"
Ia terisak lagi dan beberapa butir air mata bertitik ke atas pipi. Pujo teringat. Pantas saja tadi serasa pernah ia melihat wanita ini! Akan tetapi mengapa seperti itu sikapnya dan seperti itu pula bicaranya? Pujo mengerutkan kening dan menduga-duga akan tetapi tetap tidak dapat mengerti. Ia mengangguk dan berkata,
"Ah, teringat aku sekarang. Engkau Roro Luhito puteri sang adipati di Selopenangkep yang dulu ikut pula mengepungku, bukan? Akan tetapi apa artinya semua ucapanmu tadi?"
Seketika berhenti tangis wanita itu. Kedua matanya yang masih berkaca-kaca (membasah) itu terbelalak memandang. Mata yang indah dan bening. Mulut yang mungil itu bergerak-gerak ketika giginya menggigit-gigit bibir bawah. Bibir yang berkulit tipis, merah dan penuh. Kedua tangan diangkat ke pinggang, mengepal dan jarinya meremas remas. Jari-jari kecil meruncing.
"Kau... kau pura-pura tidak tahu...? Pura-pura lupa? Serendah inikah budimu? Benarkah engkau begini... begini... pengecut?"
Pujo menjadi makin heran, akan tetapi lapun merasa tak senang disebut pengecut dan rendah budi.
"Roro Luhito! Hati-hatilah engkau dengan kata-katamu! Aku tidak akan mengingkari semua perbuatanku dan aku sama sekali bukanlah seorang pengecut yang rendah budi. Memang benar, sepuluh tahun yang lalu aku telah menyerbu gedung ayahmu, melukai ayahmu dan membunuh beberapa orang pengawal. Kemudian aku telah menculik isteri dan putera kakakmu! Tidak kusangkal bahwa aku kemudian telah meninggalkan isteri kakakmu di Guha Siluman dan membawa lari putera kakakmu! Nah, aku tidak menyangkal semua perbuatanku. Habis, kau mau apa? Hendak membalas dendam?"
Akan tetapi pengakuan Pujo ini sama sekali tidak memuaskan hati Roro Luhito, bahkan membuat ia makin marah. Hampir berteriak ia ketika berkata, "Bagus! Hanya itukah yang kaulakukan? Mengapa engkau tidak menyebut-nyebut perbuatan yang kaulakukan terhadap aku?"
"Perbuatan yang kulakukan terhadapmu?" Pujo mengingat-ingat, lalu tertawa. "Ahh, ketika engkau ikut mengeroyokku? Dan kau terguling roboh? Hanya untuk perbuatan itu saja engkau mencari-cariku sampai sepuluh tahun?"
Pujo makin terheran-heran, apalagi ketika teringat betapa sikap wanita ini tadi amat mesra memanggilnya, sama sekali bukan sikap seorang yang hendak menuntut balas atas kekalahannya dahulu. Kini pandang mata Roro Luhito seperti mengeluarkan api saking marahnya.
"Pujo! Engkau tidak mengaku tentang perbuatanmu dalam... dalam... bilikku...?"
Pujo tertegun. Wanita ini tidak main-main agaknya. Akan tetapi, ia tak pernah merasa melakukan sesuatu dalam biliknya! Ia mengingat-ingat keras akan tetapi tidak menemui jawaban. Gilakah wanita ini? Sayang kalau gila, wanita begini manis. Ia menggeleng kepala.
"Aku tidak penah memasuki bilikmu "
"Keparat! Kalau kau menyangkal, berarti kau harus mampus di tanganku!"
Roro Luhito mengeluarkan pekik menyeramkan, seperti bukan pekik seorang manusia, lebih mirip pekik seekor monyet betina. Akan tetapi terjangannya hebat sekali, tubuhnya sudah menyerbu ke depan, kedua tangan mencengkeram, kedua kaki menendang, cepat dan dahsyat seperti topan mengamuk!
"Haaaiiittt!"
Pujo terkejut sekali dan mengeluarkan teriakan ini sambil cepat mengelak dan menggunakan tangannya menangkis. Alangkah kagetnya ketika lengannya bertemu dengan tangan Roro Luhito, ia merasa hawa panas menyambar dari tangan itu. Serangan wanita ini tak boleh dipandang ringan. Di lain pihak Roro Luhito juga terkejut karena tubuhnya terpental ke belakang ketika lengannya ditangkis.
Memang Roro Luhito yang sekarang berbeda dengan puteri Adipati Selopenangkep sepuluh tahun yang lalu. Ia telah digembleng oleh gurunya, Resi Telomoyo dan menerima banyak ilmu. Bukan sembarang ilmu. Aji Sosro Satwo (Seribu Binatang) dan Kapi Dibyo membuat ia menjadi kuat dan tangkas, memiliki tenaga mujijat yang timbul dari hawa sakti di dalam tubuh yang sudah dapat dihimpunnya. Namun, menghadapi Pujo ia kalah latihan dan kalah tenaga.
Melihat dengan gerakan yang amat sigap dan cepat wanita itu sudah hendak menerjangnya lagi, Pujo cepat mengangkat tangan dan berkata, "Eehh... setop! Setop dulu!"
"Mau bicara apa lagi?" Roro Luhito membentak marah, akan tetapi sepasang matanya yang bening berair.
"Roro Luhito, sikapmu membuat orang penasaran dan tidak mengerti. Kalau kau marah dan hendak membalasku karena perbuatanku seperti yang telah kuceritakan tadi, yaitu menculik keponakanmu, melukai ayahmu, mengalahkan kau dan membunuh beberapa orang pengawal ketika aku menyerbu Selopenangkep, aku dapat menerimanya dan tidak akan menjadi penasaran. Akan tetapi, kau menuduhku melakukan sesuatu terhadapmu di dalam bilikmu! Nanti dulu!" Pujo menghindar dari sebuah serangan kilat. "Dengarkan dulu! Sungguh mati aku tidak mengerti apa yang kaumaksudkan! Perbuatan apakah itu?"
Tentu saja amat sukar bagi seorang gadis seperti Roro Luhito untuk menceritakan peristiwa sepuluh tahun yang lalu, pada malam hari di dalam biliknya yang gelap Ia menganggap bahwa Pujo ini berpura-pura saja, atau agaknya sengaja hendak membikin dia malu dan hendak memaksa dia yang mengadakan pengakuan. Hal ini membuat kemarahannya meluap-luap dan ia segera menerjang setelah membentak, "Boleh saja kau pura-pura tidak tahu! Akan tetapi engkau atau aku harus mati untuk menebus peristiwa jahanam itu!"
Kembali tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk banyak bicara, Roro Luhito sudah menerjang lagi dengan gerakan yang amat cepat, secepat monyet melompat, dan bukan hanya tangan kirinya yang mencengkeram ke arah muka lawan mengarah kedua mata, akan tetapi juga tangan kanannya yang sudah mencabut cundrik itu menghantam ke arah dada dengan tusukan kilat. Bukan main hebatnya serangan ini, dilakukan selagi tubuhnya masih mencelat di atas udara!
Pujo benar-benar kaget. Sepuluh tahun yang lalu pernah ia menghadapi gadis ini ketika ia dikeroyok di Kadipaten Selopenangkep, akan tetapi tidaklah sehebat ini gerakan gadis itu. Gerakannya sekarang selain tangkas dan kuat, juga amat aneh, sepertj gerakan seekor binatang buas. Dalam keheranannya, Pujo berlaku hati-hati. Cepat ia menggerakkan tubuh miring ke kanan untuk menghindarkan diri dari pada cengkeraman tangan lawan. Adapun tusukan cundrik itu terpaksa ia tangkis dengan tamparan jari-jari yang menggunakan Aji Pethit Nogo.
"Plakk!"
"Aduh...!"
Cundrik itu terlepas dari tangan Roro Luhito yang merasa betapa tangan kanannya seakan-akan remuk semua tulangnya dan menjadi lumpuh. Ia terguling roboh ke atas pasir, akan tetapi cepat sekali ia sudah meloncat dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar. Pujo berusaha mengelak akan tetapi karena serangan wanita yang sudah ia robohkan itu benar-benar sama sekali tidak pernah diduganya, sebagian dari pasir yang disebarkan oleh Roro Luhito itu mengenai matanya. Pujo mengeluh, kedua matanya pedas dipejamkan dan ia terhuyung ke belakang.
Roro Luhito tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan kakinya menendang, tepat mengenai dada Pujo yang terjengkang ke belakang dan jatuh terbanting ke atas pasir. Roro Luhito yang sudah meluap kemarahannya itu menubruk, dengan maksud menghabiskan nyawa lawannya dengan pukulan-pukulan maut. Tentu saja Pujo juga maklum akan bahaya ini, biarpun kedua matanya untuk sementara tak dapat ia buka, namun telinganya dapat menangkap sambaran tubuh dan tangan Roro Luhito yang menubruknya. Ia menggulingkan tubuh ke kiri sehingga tubrukan Roro Luhito mengenai tempat kosong dan Pujo yang tahu bahaya ini dengan mata masih terpejam cepat meringkusnya dan memegang kedua tangannya.
"Lepaskan! Setan keparat... lepaskan...!"
Roro Luhito menjerit-jerit dan bergumullah kedua orang itu di atas pasir yang halus. Karena kemarahannya Roro Luhito menjadi ganas dan buas dan dalam usahanya membebaskan kedua pergelangan tangannya yang terpegang erat-erat oleh tangan Pujo, ia meronta-ronta, bahkan lalu menggigit! Karena Pujo masih meram dan mereka bergumul tak teratur dalam ilmu perkelahian lagi, maka pipi kiri Pujo tergigit.
"Aduhhhhh! Adu-du-duhhh lepaskan! Eh, kok mengigit...!"
Saking sakitnya Pujo mengaduh-aduh dan cepat ia mengerahkan tenaganya melemparkan tubuh Roro Luhito ke depan, lalu cepat meloncat berdiri. Untung, rasa pedas pada matanya membuat air matanya bercucuran dan air mata inilah yang mencuci dan membawa keluar pasir yang memasuki matanya sehingga pada saat itu Pujo sudah mampu membuka mata kirinya.
"Brukkk!"
Tubuh Roro Luhito terlempar dan terbanting keras. Untung bahwa tempat itu adalah pesisir laut yang banyak pasirnya sehingga terbanting sekeras itu hanya terasa pedas dan agak njarem bagian pinggulnya. Roro Luhito menyumpah-nyumpah ketika bangkit sambil mengelus pinggulnya. Juga Pujo menyumpah-nyumpah ketika meraba pipi kirinya yang berdarah. Kini ia berhasil pula membuka mata kanannya. Kedua matanya merah dan masih berair, akan tetapi sudah terbebas dari pasir. Mereka kini berdiri berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang, penuh kemarahan.
"Kau... perempuan liar!" Pujo memaki, timbul kemarahannya.
"Dan kau... laki-laki pengecut!"
Roro Luhito balas memaki, juga marah sekali karena hatinya telah dikecewakan. Sama sekali tak disangkanya bahwa Pujo menyangkal perbuatannya sepuluh tahun yang lalu, perbuatan yang disangkanya benar-benar berlandaskan cinta kasih seperti yang dibisikkannya sepuluh tahun yang lalu. Betapa kecewa hatinya kini. Sepuluh tahun ia mengharap-harapkan pertemuan ini, mengharapkan penerimaan Pujo dengan hati gembira dan perasaan bahagia, mengharapkan dapat menjadi isteri Pujo, selain untuk menebus aib juga untuk melaksanakan hasrat hatinya yang mencinta. Siapa kira, Pujo selain menyangkal, juga memakinya dan kini bahkan melawan dan mengalahkannya. Rasa kecewa membuat ia menjadi nekad dan kini hanya ada satu harapan di hatinya, yaitu membunuh laki-laki yang ia cinta dan yang mengecewakan hatinya ini, kemudian membunuh diri sendiri!.
Roro Luhito yang sudah nekat Itu lalu menerjang maju lagi sambil mengeluarkan pekik yang melengking tinggi seperti pekik tantangan marah seekor monyet betina yang diganggu anaknya. Ia telah mengeluarkan semua ajinya yang ia peroleh dari gurunya, Resi Telomoyo. Mendengar pekik yang mengiringi Aji Sosro Satwo ini, semua binatang buas di dalam hutan tentu akan lari tunggang-langgang. Seekor harimau yang liar sekali pun akan lari bersembunyi mendengar pekik ini! Tubuh Roro Luhito melompat ke depan, kaki tangannya melakukan serangan bertubi-tubi yang sifatnya liar ganas, namun juga amat berbahaya.
Pujo maklum bahwa wanita ini tak boleh dipandang ringan, maka ia pun lalu mengerahkan ajinya, Aji Bayu Tantra yang membuat tubuhnya ringan laksana kapas gesit laksana burung srikatan, juga ia mengerahkan Aji Pethit Npgo ke dalam sepuluh jari tangannya. Biarpun ia sama sekali tidak mempunyai niat membunuh wanita ini, namun tanpa Aji Pethit Nogo, agaknya tidak akan mudah baginya untuk mengatasi kedahsyatan serangan Roro Luhito.....
Komentar
Posting Komentar