BADAI LAUT SELATAN : JILID-29


"Jahanam busuk Jokowanengpati!" Kartikosari berteriak marah. "Jika kau memang jantan, hayo bertanding sampai titik darah terakhir! Engkau menjebak kami secara pengecut. Tak tahu malu!"
Pujo kembali merangkul isterinya yang berteriak-teriak itu, kemudian berbisik,
"Nimas, percuma marah-marah terhadap seorang yang sudah kehilangan jiwa ksatrianya. Lebih baik kita memikirkan akal untuk dapat keluar dari sini."
Mereka duduk berdampingan di atas lantai ruangan itu. Keadaan yang gelap pekat mulai remang-remang setelah mata mereka biasa di ruang gelap itu. Kiranya di sebelah bawah terdapat lubang-lubang kecil, agaknya lubang hawa. Legalah hati Pujo. Setidaknya, dengan adanya lubang-lubang kecil itu, mereka tidak akan mati pengap. Dan dari lubang-lubang kecil ini pula masuknya sinar yang membuat ruangan itu remang-remang. Mulailah mereka mempelajari keadaan ruangan. Bentuknya bundar, di tengah-tengah tiang. Tidak ada sebuahpun perabot rumah yang menghias ruangan kecuali sebuah lampu kecil tergantung di dekat tiang. Tembok dan pintu besi, juga tiang itu tidaklah baru, berarti tempat ini sudah ada sejak Joyowiseso menjadi adipati di situ.
"Hemm, agaknya tempat ini memang merupakan tempat tahanan, akan tetapi tidak seperti tempat tahanan di mana aku dahulu dikeram," kata Pujo.
Kartikosari mengangguk-angguk dan menyentuh lengan suaminya.
"Kakangmas, kita tenang-tenang saja dan mengaso mengumpulkan tenaga. Biarkan mereka itu membuka pintu lalu kita menyerbu keluar!"
Pujo menggeleng kepala.
"Kurasa Jokowanengpati pengecut licik itu tidaklah begitu bodoh, Nimas. Bagaimana kalau dia membiarkan kita kelaparan, kehausan dan lemas tak berdaya sebelum pintu ini dibuka?"
"Ah, Kakangmas, takut apa? Biar kita mati. Mati di sampingmu adalah nikmat, Kakangmas. Takut apa?"
Pujo merangkul leher isterinya dan mencium bibirnya, lalu berbisik, "Aku pun tidak takut mati, karena ada engkau di sampingku, Nimas. Akan tetapi, kita tidak boleh mati sekarang. Bangsat itu belum terbalas, dan aku belum melihat anak kita, bagaimana kita bisa mati? Tidak, kita hatus berusaha. Kerisku masih ada padaku, dengan senjata aku bisa membongkar tembok, sedikit demi sedikit, sebata demi sebata."
"Kau benar, Kakangmas. Aku pun dapat membantumu dengan cundrikku!"
Penuh semangat suami isteri itu mulai bekerja. Biarpun senjata di tangan mereka hanya keris dan cundrik kecil saja, namun karena mereka memiliki tenaga dalam yang amat kuat, agaknya tidak akan sukar bagi mereka untuk membongkar tembok tebal itu. Akan tetapi, belum juga sebata terbongkar, tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis keras disusul ketawa bergelak.
Pujo dan Kartikosari kaget sekali, melompat berdiri dan tampaklah asap putih membanjir masuk dari lubang-lubang di bawah dekat pintu. Pujo tersedak dan Kartikosari terbatuk-batuk ketika asap belerang mulai menyerang hidung dan memenuhi ruangan itu! Mereka berusaha menutup pernapasan, namun betapa saktipun seseorang, tak mungkin is dapat menghentikan napas terlalu lama. Mereka terbatuk-batuk, terengah-engah, terhuyung-huyung. Pujo masih ingat akan isterinya, memeluk isterinya, seakan-akan hendak melindungi isterinya dengan tubuh sendiri menjadi perisai. Namun, menghadapi musuh berupa asap belerang, tak mungkin dia dapat melindungi isterinya atau dirinya sendiri. Hampir berbareng mereka roboh pingsan, menggeletak di atas lantai, masih berpelukan.
"Cukup! Buka pintunya, tangkap dan ikat mereka pada tiang!"
Terdengar suara Jokowanengpati berseru, akan tetapi suami isteri itu tidak dapat mendengar perintah ini, juga masih belum sadar ketika tubuh mereka yang lemas itu diseret ke tiang, kemudian dipaksa berdiri dan diikat lengan dan kaki mereka pada tiang, beradu punggung pada tiang di tengah ruangan. Jokowanengpati memasuki ruangan setelah asap mulai menipis dan karena sekarang pintu terbuka, maka ruangan itu tidaklah segelap tadi.
"Ha-ha-hal Pujo, keparat. Kau mau bilang apa sekarang?"
Jokowanengpati tertawa mengejek setelah member isyarat kepada Para pengawal yang jumlahnya enam orang Itu untuk keluar dari ruangan. la melangkah maju dan menampar muka Pujo dengan kedua telapak. tangan, berkali-kali. Karena Pujo masih belum sadar betul dan tubuhnya lemas, maka kepalanya terguncang-guncang ke kanan kiri ketika menerima tamparan. Akan tetapi, pukulan-pukulan keras itu malah membuatnya cepat siuman dari pingsannya. Begitu sadar dan melihat bahwa ia ditampari Jokowanengpati, seketika Pujo menegangkan tubuhnya dan urat-urat di lehernya mengeras, kepalanya tidak terguncang-guncang lagi.
"Jokowanengpati manusia pengecut!" Ia memaki, suaranya penuh nada ejekan.
"Ha-ha-ha-ha! Tak usah kau memancing-mancing kemarahanku agar kau kubebaskan dan kutantang bertanding, Pujo. Sebentar lagi kau mampus. Nah, rasakan ini!"
Kakinya melayang dan "ngekkk!" kaki itu bersarang di perut Pujo! Betapa pun Pujo mengerahkan tenaga, namun karena tenaga lawannya juga amat kuat, maka is meringis kesakitan.
"Desss! Plakk! Bukk!"
Jokowanengpati terus menghantam dan memukuli seluruh tubuh Pujo.
"Jahanam pengecut, keparat!"
Kartikosari yang baru saja siuman itu menjerit-jerit ketika menoleh dan melihat suaminya dipukul tanpa dapat membalas sedikitpun karena tangan dan kakinya terikat. Makian Kartikosari menolong Pujo. Jokowanengpati menghentikan siksaannya, lalu melangkah mendekati Kartikosari. Mukanya yang tampan itu menyeringai, matanya memandangi tubuh yang montok, melahapnya penuh nafsu.
"He-he-he, kau makin cantik jelita saja, Kartikosari. Kau makin ayu denok. Ah, ingatkah kau malam hari itu di dalam guha? Alangkah senangnya!"
"Jokowanengpati manusia rendah! Binatang! Tutup mulutmu yang kotor dan bunuhlah aku kalau kau tidak berani menghadapi aku bertanding secara jantan!" Pujo berteriak-teriak marah.
"Ha-ha-ha-ha! Pujo, sepuluh tahun yang lalu kau hanya menduga-duga, sekarang akan kausaksikan dengan mata kepalamu sendiri bahwa akulah yang akhirnya mendapatkan Kartikosari, bukan engkau!... Ha-ha-ha!"
Jokowanengpati mendekat dan dengan lagak kurang ajar mencium bibir Kartikosari. Wanita itu membuang muka sehingga hanya pipinya yang kena cium.
"Bedebah! Binatang...!" Kartikosari memaki.
"Joko, iblis laknat engkau!" Pujo hanya dapat memaki dengan amarah meluap-luap.
Jokowanengpati kembali menghadapi Pujo, kemudian memperlihatkan tangan kirinya. Kelingkingnya buntung mengerikan. "Kau lihat ini? Kau tadi menanyakan mengapa Kelingking kiriku buntung? Ha-ha-ha, Kartikosari. Bukankah kelingking ini ketika dengan liar kau menyatakan sayang dan kasihmu kepadaku, Manis?"
"Jahanam...! Kubunuh... engkau...!" Kartikosari hampir pingsan saking marahnya.
"Bunuh? Kau membunuh aku? Heh-heh-heh! Suamimu inilah yang akan kubunuh. Lihat!" Jokowanengpati kembali menghantam, kali ini ke arah dada Pujo. Kartikosari menjerit, Pujo mengerahkan tenaga dan...
"Bukkk!" pukulan jatuh dengan hebatnya, rnembuat Pujo sesak bernapas dan mukanya pucat. Akan tetapi ia tidak mati, pingsanpun tidak, hanya menderita nyeri bukan main.
"Ha-ha-ha, akan kubunuh dia perlahan- lahan, kusiksa dia perlahan-lahan, di depan matamu, Kartikosari. Ya, di sini, di depanmu! Akan tetapi, dia harus melihat dulu betapa kau adalah milikkul Heh, Pujo. Katakanlah, ada yang akan kau lakukan kalau aku menggagahi Kartikosari di sini, di depan matamu?"
"Jokowanengpati, kau bunuhlah aku! Bunuhlah Aku dan kalau perlu, kau bunuh pula isteriku, jangan kau lakukan penghihaan biadab ini!"
Pujo akhirnya mengeluh. Sementara itu, Kartikosari menangis karena wanita inipun maklum betapa kehormatannya terancam penghinaan yang lebih hebat dari pada kematian. Betapa ia dan suaminya sama sekaii tidak berdaya, tak mampu berbuat apa-apa.
"Heh-heh-heh, salah siapa? Kenapa Isterimu begini cantik, begini molek, begini menggairah kan! Dan mengapa kau kebetulan berdiri di tengah jalan menghalangi kesenangan hidupku? Ha-ha, kau akan menyaksikan betapa senangnya aku memiliki tubuh isterimu, kemudian dia akan melihat kau mampus. Aduh, alangkah manis dan nikmatnya pembalasan!"
Jokowanengpati tertawa-tawa berkakakan , Suami isteri itu memandang penuh kengerian dan diam-diam mereka menganggap betapa musuh besar ini telah menjadi gila. Mereka berdua memendam sakit hati bertahun-tahun, mengharapkan pembalasan. Sekarang setelah bertemu dengan musuh besar, mereka tertahan dan si musuh besar ini malah bicara tentang nikmatnya membalas dendam! Siapa sebetulnya yang mendendam?
Kartikosari diam-diam mengambil keputusan untuk tidak melawan, membiarkan dirinya diperhina, bahkan akan diusahakan agar Jokowanengpati mengira dia membalas cumbu rayu dan cintanya, agar orang ini menjadi lengah, kemudian ia akan mencari kesempatan baik untuk mengirim serangan maut! Pujo sendiri sudah putus harapan, tidak tahu bagaimana ia akan dapat menolong isterinya. Kematiannya sendiri yang sudah diambang mata tidak dihiraukan, hanya keadaan isterinya yang membuat ia putus harapan dan risau.
Sepasang suami isteri ini benar-benar sudah merasa putus asa, tidak melihat jalan keluar, hanya dapat menyerahkan nasib di tangan Hyang Widi. Hanya penyerahan bulat inllah yang membuat mereka masih bertahan, dengan hiburan batin bahwa akhirnya toh kematian akan menamatkan segala derita.
Jokowanengpati sudah kelihatan buas. Sambii menyeringai seperti iblis ia sudah menanggalkan bajunya, menanggalkan destarnya. Dibentangnya kainnya di atas lantai, di depan Pujo yang memandang dengan mata terbelalak tanpa cahaya. Semua ini dilakukan oleh Jokowanengpati lambat-lambat, sengaja untuk menyiksa perasaan hati Pujo. Kemudian ia bangkit berdiri, melangkah mendekati Kartikosari sambil berkata, manis-manis buatan, "Marilah, wong ayu..."
Akan tetapi pada saat itu, terdengar orang batuk-batuk dan di depan pintu ruangan itu muncul dua orang pengawal yang memandang ke arah Jokowanengpati dengan wajah serius.
"Setan! Mau apa kalian?" bentak Jokowanengpati, menarik kembali kedua tangannya yang tadi sudah hampir menyentuh tubuh Kartikosari. Wanita itu meramkan kedua matanya dengan tubuh lemas dan isak tertahan.
"Maafkanlah hamba, raden mas, hamba tidak berani mengganggu... akan tetapi... perlu melaporkan bahwa menurut penjaga, dua orang tawanan ini tadi datang bersama seorang wanita lagi yang kini entah menghilang kemana."
Seperti disengat kelabang Jokowanengpati memutar tubuhnya serentak memandang Pujo dan Kartikosari. Pujo masih membelalakkan kedua mata penuh kebencian, sedangkan Kartikosari membuang muka ke samping, matanya masih dipejamkan, dadanya yang membusung padat itu bergerak naik turun. Dengan langkah lebar Jokowanengpati mengbadapi Pujo dan membentak,
"Hayo katakan, siapa wanita itu? Dan di mana dia sekarang?"
Pujo tersenyum mengejek. "Hemm, manusia yang diperhamba nafsu macam engkau ini, jokowanengpati, selalu dibayangi rasa cemas akan datangnya hukuman atas perbuatan-perbuatanmu yang terkutuk. Memang takkan meleset lagi, manusia rendah dan hina, hukuman itu akan datang, bagaikan pedang yang selalu tergantung di atas tengkukmu. Tentang wanita itu, kau carilah sendiri!"
"Plak-plak-plak!"
Dalam amarahnya Jokowanengpati menampar dan menghantam muka Pujo sehingga mengucurlah darah dari hidung dan mulut Pujo. Namun sedikitpun Pujo tidak mengeluh, masih tersenyum mengejek dan baru dia mengusap darah itu dari pundak kanan kiri ketika dengan muka keruh, Jokowanengpati melompat keluar ruangan itu.
"Kalian jaga baik-baik mereka, awas, jangan sampai terlepas!" Demikian Jokowanengpati berpesan kepada empat orang penjaga di depan kamar tahanan, kemudian pergi bersama dua orang pelapor tadi untuk mencari wanita yang dikabarkan datang bersama Pujo dan Kartikosari, dan yang katanya hilang tak meninggalkan jejak. Perlu diperiksa seluruh isi kadipaten, pikirnya.
Belum lama Jokowanengpat pergi, sesosok bayangan yang luar biasa gesitnya menyelinap di tempat gelap mendekati pintu ruangan, kemudian bagaikan halilintar menyambar, tubuhnya bergerak menerjang empat orang penjaga itu, tangannya bergerak dan mata pisau berkilat. Empat orang pengawal yang sama sekali tidak menyangka akan datangnya serangan hebat ini, terkena tusukan di bagian tubuh yang mematikan. Mereka roboh dan berkelojotan, hanya mampu mengeluarkan sedikit suara. Bayangan itu lalu melompat ke dalam kamar dan ternyata dia adalah Roro Luhito yang membawa sebuah pisau belati!
"Oh... diajeng, syukur kau datang...!"
Kartikosari berseru girang sekali. Memang tadi dia dan suaminya juga mengharapkan pertolongan Roro Luhito, akan tetapi mengingat akan saktinya Jokowanengpati ditambah bantuan para pengawal, rnereka sudah putus harapan karena mereka bersangsi apakah Roro Luhito akan mampu menghadapi Jokowanengpati dan kaki tangannya. Kini puteri ayu itu muncul setelah Jokowanengpati keluar, sungguh amat membesarkan hati.
Pujo juga rnemandang girang, akan tetapi tidak kuasa mengeluarkan kata-kata. Ia hanya terheran-heran melihat bekas air mata di kedua pipi wanita itu, dan tampak betapa kedua tangan Roro Luhito gemetar ketika ia menggunakan pisau belati untuk mengiris putus belenggu yang mengikat kedua lengan dan kaki Pujo dengan isterinya.
Bagaimanakah Roro Luhito tahu-tahu muncul di tempat tahanan rahasia itu? Seperti kita ketahui, puteri adipati ini memasuki kadipaten melalui pintu rahasia yang berada di taman sari. Agaknya Jokowanengpati dan kaki tangannya belum menemukan pintu rahasia ini sehingga ia dapat masuk dengan leluasa tanpa ada gangguan. Biarpun rumah besar itu adalah rumahnya dan sejak lahir sampai enam belas tahun lamanya ia tidak pernah meninggalkan rumah ini, namun Roro Luhito merasa asing. Sudah sepuluh tahun ia meninggalkan rumah ini. Kini usianya sudah dua puluh enam tahun. Betapa besar rindunya kepada ayah bundanya.
Akan tetapi sekarang ia merasa asing, seakan-akan memasuki rumah orang lain. Hal ini adalah karena ia tidak melihat seorangpun manusia yang dikenalnya dalam rumah itu. Dengan amat hati-hati ia memasuki rumah dan bersembunyi, melihat wajah-wajah pengawal yang asing, melihat wajah pelayan-pelayan wanita muda cantik-cantik yang asing pula.
Celaka, pikirnya. Benar-benar Kadipaten Selopenangkep telah diambil alih dan ke manakah perginya keluarganya? Ke manakah ibunya, ayahnya, isteri-isteri lain dari ayahnya? Kemana perginya kakaknya, Wisangjiwo dan mbakyu iparnya, Listyokumolo?. Dengan hati penuh kegelisahan Roro Luhito lalu menyelinap ke belakang. Ia melihat empat orang wanita muda, dandanannya seperti pelayan, akan tetapi pakaiannya itu baru dan rapi, orangnya masih muda-muda dan cantik, sedang bercakap-cakap sambil terkekeh genit. Roro Luhito mengenal seorang di antara mereka, seorang penari yang seringkali dahulu bermain di pendopo kadipaten. Ia tidak tahu siapa namanya, akan tetapi wajah itu masih diingatnya. Ia menyelinap, mendekat akan tetapi tetap bersembunyi.
"Wah, Lasmini tentu menerima Hadiah hebat dari Raden Mas Joko!" kata seorang di antara mereka yang berkutang kuning.
"Dengan menyuguhkan keponakanmu yang remaja dan cantik itu, tentu hadiahnya besar, kalau tidak engkau sendiri menerima kehormatan melayani radenmas... hi-hi-hik!"
"Hisshh!" desis yang berkutang biru, yaitu wanita yang dikenal Roro Luhito. "Jangan bicara sembarangan, kau! Keponakanku itu bocah tak tahu diuntung tidak menurut, menyepak-nyepak meronta-ronta ketika dibawa masuk, sungguh memalukan hatiku dan juga menguatirkan. Jangan-jangan Raden Mas Joko akan marah..."
"Mana bisa marah?" sambung orang ke tiga. "Dik Lasmini agaknya tidak tahu akan kesukaan Raden Mas Joko. Menurut kakangmas Banu..."
"Hi-hi-hik…! Pacarmu yang baru itu, pengawal yang bertugas di luar pintu gerbang, yang kumisnya tebal hidungnya panjang?" orang ke empat memotong.
"Hushh, jangan buka rahasia orang, dong!" seru yang digoda.
"Bagaimana kesukaan Raden Mas Joko?" desak Lasmini.
"Menurut... eh, kakangmas Banu, justeru bocah yang seperti keponakanmu itulah yang disukai Raden Mas Jokowanengpati, lebih suka yang demikian dari pada yang jinak dan penurut. Katanya... eh, katanya beliau lebih menyukai kuda liar dari pada kuda jinak. Entah apa maksudnya, hi-hi-hik!"
Empat orang itu tertawa cekikikan. Muak rasa hati Roro Luhito mendengar percakapan ini, dan kebenciannya terhadap Jokowanengpati makin mendalam. Cepat ia mengambil empat buah batu kerikil, tangannya lalu diayun dan empat orang wanita itu roboh pingsan karena pelipis mereka disambar batu kerikil yang meluncur cepat dan kuat. Di Iain saat, tubuh Roro Luhito sudah berkelebat masuk dan melompat keluar lagi sambil memanggul Lasmini yang masih pingsan. Dengan gerakan laksana burung srikatan, cepat dan trampil, Roro Luhito berlompatan ke dalam taman sari, lalu keluar lagi dari taman sari melalui pintu rahasia, membawa tawanannya ketempat gelap di luar tembok kadipaten.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan bingungnya hati Lasmini ketika ia siuman kembali, tahu-tahu ia telah berada di bawah pohon, di udara terbuka, hanya diterangi bintang dan bulan sepotong. Serasa mimpi ia bangun duduk, dan memandang bengong kepada wanita cantik yang berdiri di depannya. Kini Roro Luhito tahu nama wanita ini, maka segera ia menegur, "Lasmini, masih kenalkah engkau kepadaku?"
Lasmini bangkit berdiri. Rasa nyeri dan takutnya lenyap ketika ia mendapat kenyataan bahwa yang berdiri di situ adalah seorang wanita pula, seorang manusia, bukan setan.
"Bagaimanakah saya bisa berada di sini? Kepalaku pening tadi dan..."
Ia meraba pelipisnya dan kagetlah ia karena di pelipis kanannya kini tumbuh bisul!
"Aduhhh... kenapa pelipisku ini...?"
"Jangan banyak cerewet! Akulah yang merobohkan kau dan tiga orang temanmu tadi. Lihat baik-baik, siapa aku?"
Lasmini kaget, mulai gelisah hati, lalu memandang dan mengingat-ingat.
"Serasa kenal... eh, bukankah andika ini... Raden Ajeng Roro Luhito...?"
"Hemm, ternyata engkau masih mengenalku..." kata Roro Luhito, agak terharu.
"Aduh, den ajeng...!" Lasmini lalu menjatuhkan diri, memeluk lutut wanita perkasa itu sambil menangis.
“Diam. Tak usah menangis. Mari duduk yang baik dan ceritakan semuanya. Apakah yang terjadi di kadipaten? Dan kemana ayah bunda dan keluargaku semua?”
Lasmini masih menangis terisak-isak, kemudian setelah agak reda ia bercerita. Cerita yang membuat Roro Luhito terkejut bukan main, membuat wajahnya sebentar pucat sebentar merah dan giginya yang putih berkerot saking marahnya. Untung bagi Roro Luhito bahwa ia menculik Lasmini sehingga ia dapat mendengar semua urusan yang terjadi di situ. Lasmini adalah penari muda cantik yang dulu pernah diganggu oleh Cekel Aksomolo, bahkan dikorbankan kepada cekel tua yang mata keranjang itu.
Karena sejak peristiwa itu wataknya lalu berubah genit dan jalang, mudah saja bagi Lasmini untuk menarik perhatian dan ia berhasil menarik hati seorang perwira pasukan kota raja sehingga mendapat kepercayaan dari Jokowanengpati dan dijadikan pelayan. Dari perwira yang menjadi pacarnya itulah Lasmini mendengar akan semua peristiwa yang kini ia ceritakan sambil menangis di depan Roro Luhito. Betapa pun juga, karena semenjak kecilnya ia ngenger (mengabdi) Adipati Joyowiseso, ada juga kesetiaan dan keharuan menyelinap di hatinya ketika bersua dengan puteri bekas gustinya itu.
Memang terjadi perubahan besar dalam persekutuan antara Adipati Joyowiseso dan tokoh-tokoh sakti termasuk Jokowanengpati, setelah terjadi perpecahan di kota raja antara Pangeran Sepuh (Tua) dan Pangeran Anom (Muda). Jokowanengpati dan tokoh-tokoh sakti yang tadinya membantu niat berontak adipati ini, melihat kesempatan yang lebih besar untuk kemuliaan di kemudian hari. Mereka seakan-akan tidak menghiraukan lagi Adipati Joyowiseso setelah mereka diberi kesempatan oleh Pangeran Anom yang pandai mengumpulkan tenaga orang-orang sakti untuk mencapai cita-citanya, yaitu menguasai kerajaan yang diperebutkan dengan kakak tirinya, Pangeran Sepuh.
Melihat ini, Adipati Joyowiseso tentu saja juga menyerahkan diri menghamba kepada Pangeran Anom, akan tetapi dalam perebutan kekuasaan secara diam-diam itu, tenaga sang adipati belum sangat dibutuhkan sehingga adipati ini terdesak oleh Jokowanengpati, Cekel Aksomolo, dan yang lain.
Perubahan besar terjadi ketika secara tiba-tiba Wisangjiwo yang tadinya juga menjadi kepercayaan Pangeran Anom membalik dan menghamba kepada Pangeran Sepuh! Hal ini benar-benar mengejutkan dan tidak dimengerti oleh orang lain, juga tidak dimengerti pula oleh Adipati Joyowiseso sendiri. Kejadian aneh ini ada sebabnya, yaitu sejak Wisangjiwo ditangkap oleh Pujo di pantai selatan! Ketika mendapat kesempatan melarikan diri setelah ikatannya dilepaskan oleh Kartikosari, Wisangjiwo diam-diam bersembunyi dan mendengarkan percakapan suami isterl itu.
Alangkah kaget hatinya mendengar akan perbuatan Jokowanengpati yang luar biasa kejinya. Dia sendiripun seorang laki-laki rnata keranjang, akan tetapi tak pernah ia melakukan perbuatan keji seperti yang dilakukan Jokowanengpati. Tahulah ia bahwa Jokowanengpati orang yang telah memperkosa Kartikosari di dalam guha, mempergunakan namanya! Sungguhpun Kartikosari ketika bercerita kepada Pujo tidak menyebut-nyebut nama karena suami isteri itu sendiri masih menduga-duga, ia yakin bahwa Jokowanengpatilah orangnya. Kelingking kiri Jokowanengpati juga buntung! Pantas saja pengakuan Jokowanengpati tentang kelingking itu berubah-ubah Dan perbuatan Jokowanengpati itulah yang mendatangkan dendam di hati Pujo dan Kartikosari, sehingga terjadi penyerbuan ke Kadipaten Selopenangkep dan puteranya terculik! Semua gara-gara Jokowanengpati.
Mulai menyesallah hati W isangjiwo. Mulai terbuka matanya betapa Pujo dan Kartikosari adalah korban-korban keganasan orang jahat. Mulai insyaf ia betapa semua itu juga merupakan akibat dari pada kesesatannya sendiri. Ia menyesal dan insyaf bahwa dengan menghamba kepada Pangeran Anom, ia bersekongkol dengan orang-orang jahat macam Jokowanengpati, Cekel Aksomolo, dan lain-lain. Inilah yang menyebabkan Wisangjiwo mengambil keputusan bulat, menyeberang kepada Pangeran Sepuh. Karena ia dahulu masuk dan mengabdi kerajaan atas perantaraan Ki Patih Narotama, tentu saja Pangeran Sepuh suka menerimanya dengan girang.
Wisangjiwo yang kebingungan, kehilangan pegangan dan merasakan pahitnya bibit yang ia tanam sendiri dahulu itu, sama sekali tidak menyangka bahwa Pangeran Anom menjadi marah sekali kepadanya. Tentu saja Pangeran Anom tidak berani berterang menyuruh orang menyerangnya di depan mata Pangeran Sepuh, akan tetapi atas hasutan Jokowanengpati, Pangeran Anom lalu mengutus pasukan pengawalnya, dikepalai Jokowanengpati dan kedua wanita iblis Ni Durgogini dan Ni Nogogini, mendatangi Selopenangkep dan memberi hukuman kepada keluarga Wisangjiwo, yaitu semua penghuni kadipaten dengan tuduhan memberontak yang diperkuat oleh Jokowanengpati!
Pasukan kota raja amat terlatih dan kuat, apalagi dikepalai oleh seorang sakti seperti Jokowanengpati dibantu Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Tanpa perlawanan berarti, Kadipaten Selopenangkep dapat diserbu, banyak di antara keluarga kadipaten dibunuh, dan kadipaten diambil alih. Peristiwa itu sudah terjadi beberapa pekan lamanya. Kemudian, Lasmini menceritakan pula betapa Jokowanengpati dibantu oleh Ni Durgogini dan Ni Nogogini, pergi ke Sungapan, katanya hendak mencari pusaka Mataram, demikian cerita pacarnya.
"Baru tadi mereka bertiga kembali dari Sungapan, den ajeng. Malah dua orang wanita yang menakutkan itu siang tadi terus pergi, kabarnya hendak pergi ke kota raja. Ah, banyak kejadian mengerikan, den ajeng. Malah belum lama tadi, menurut pengawal dalam, ada dua orang musuh tertawan, kini dikurung dalam kamar tahanan bawah tanah yang menyeramkan itu..."
"Begitukah...?"
Roro Luhito terkejut karena dapat menduga bahwa dua orang musuh yang dimaksudkan itu tentulah Pujo dan Kartikosari.
"Dan ayah di mana sekarang...? Masih... masih hidupkah...?"
Lasmini menangis tersedu-sedu. Roro Luhito berdebar hatinya dan ia mengguncang-guncang pundak wanita itu, kehilangan sabar.
"Hayo cepat jawab, di mana ayah dan ibu?"
"Hamba... hamba tidak tahu jelas... kabarnya... gusti adipati ditahan dalam kamar tahanan di belakang... dijaga ketat..."
Roro Luhito meloncat berdiri tegak. "Keparat kau Jokowanengpati!" serunya marah. Kemudian sekali renggut, ia melepaskan kemben yang melibat pinggang ramping Lasmini. Wanita itu kaget sekali, tubuhnya gemetar wajahnya pucat.
"Raden ajeng... hamba... hamba..."
"Diam! Kau juga bukan manusia baik-baik, Lasmini. Kau mengorbankan keponakanmu yang masih kecil untuk memuaskan nafsu jahat Jokowanengpati, agar kau disuka dan mendapat kedudukan baik. Kau perempuan rendah dan keji, sudah sepatutnya kalau kubunuh engkau. Akan tetapi karena kau telah menceritakan semua dengan jujur, kuampunkan nyawamu!"
Sambil bicara, Roro Luhito menelikung (mengikat kaki tangan) Lasmini seperti kambing akan disembelih.
"Katakan, selain Jokowanengpati dan para pengawal, ada siapa lagi di sana? Para pinisepuh (orang tua) sakti maksudku."
Dengan tubuh menggigil ketakutan Lasmini pienjawab, "Ti... tidak ada lagi, setelah dua orang wanita iblis itu pergi..."
Roro Luhito menggunakan tangannya merenggut putus ujung kemben, menyumpal mulut Lasmini, tubuh Lasmini terguling ke dalam gerombola alang- alang. Cepat Roro Luhito kembali memasuki pintu rahasia di taman sari, masuk dengan hati-hati, langsung ia menuruni jalan rahasia dari kamar belakang yang kosong, yang membawanya ke bagian bawah tanah di mana terdapat beberapa ruangan untuk menahan tawanan-tawanan penting.
Tentu saja ia hafal akan keadaan di kadipaten ini. Menurutkan kata hatinya memang ia ingin segera pergi menjenguk ke belakang gedung, ke tempat tahanan di mana mungkin ia dapat bertemu dengan ayah bundanya, akan tetapi pikirannya mengingatkan bahwa untuk bergerak selanjutnya, tak mungkin dapat ia lakukan tanpa bantuan Pujo dan Kartikosari.
Ia tahu bahwa Jokowanengpati adalah seorang sakti. Biarpun sekarang ia tidak takut, dan belum tentu kalah setelah ia menerima gemblengan gurunya, Resi Telomoyo, namun ia harus berlaku hati-hati, apalagi kalau diingat bahwa Jokowanengpati dibantu oleh banyak pengawal. Baru saja menuruni ruangan di bawah tanah, yang agak gelap, tiba-tiba seorang penjaga. sudah menegurnya.
"Hordah! Siapa ini...?"
Dan sebelum ia sempat menjawab, penjaga itu sudah mencabut pisau belatinya dengan tangan kanan, lalu tangan kirinya mencengkeram ke arah pundak sambil berbisik, "Ah, kau dayang dalam jangan berteriak!"
Penjaga itu dengan dengus penuh nafsu menyeringai dan hendak menciumnya, pisau belati dipakai mengancam, tangan kiri hendak berkurang ajar. Bagaikan kilat cepatnya, sekali menggerakkan tangan, Roro Luhito sudah membuat dua gerakan. Pertama merampas pisau dan kedua membenamkan mata pisau ke dalam dada penjaga sambil rnelompat mundur sehingga ketika tubuh penjaga yang jantungnya sudah ditembus pisau itu roboh, darah yang muncrat tidak mengenai bajunya. Kemudian, setelah membersihkan pisau pada baju korbannya, Roro Luhito melanjutkan perjalanan, berindap-indap di ruangan bawah, pisau tajam di tangannya.
Demikianlah, secara kebetulan sekali Jokowanengpati pergi meninggalkan ruangan tahanan, menyerahkan penjagaan kepada empat orang penjaga itu, menunda niatnya yang amat keji, niat yang kiranya hanya dapat dilakukan oleh iblis. Karena empat orang penjaga tidak menyangka-nyangka, secara mudah sekali mereka menjadi korban pisau belati di tangan Roro Luhito. Dengan menahan kemarahan dan tergesa-gesa, Roro Luhito membebaskan suami isteri itu, lalu berbisik,
"Lekas, mari keluar dari sini! Kalian bantu aku menyelidiki orang tuaku...ini"
Suaranya gemetar dan tangannya menarik lengan Kartikosari diajak keluar tahanan. Pujo mengikuti dari belakang setelah mengambil kerisnya Banuwilis dan cundrik isterinya yang tadi terlepas di lantai ketika mereka berjuang melawan asap belerang. Tanpa bicara ia menyerahkan cundrik isterinya dan mereka bertiga kini keluar dari kamar, senjata masing-masing di tangan.
Roro Luhito sudah membuang pisau rampasannya, kini juga menghunus kerisnya dan memegang di tangan kanan. Berkat ketrampilan Roro Luhito yang hafal benar akan keadaan di dalam kadipaten, mereka bertiga dapat keluar dari ruangan di bawah tanah, lalu langsung ke bagian belakang gedung kadipaten yang luas itu. Sunyi saja keadaannya. Tidak tampak seorangpun penjaga maupun pelayan, seakan-akan semua orang telah meninggalkan gedung. Di depan pintu kamar tahanan yang letaknya di belakang gedung, Roro Luhito berhenti, ragu-ragu.
"Tidak baik ini..." bisiknya.
"Ada apakah, diajeng?" Pujo berbisik pula.
"Begini sunyi, tiada rintangan..."
Kartikosari melangkah maju. "Terjang saja ke dalam. Takut apa?"
Penuh semangat tiga orang itu mendorong daun pintu kamar tahanan, Daun pintu terbuka dan... Roro Luhito menahan pekik, lalu menerjang masuk diikuti Pujo dan Kartikosari.
"Ha-ha-ha-ha! Sudah kuduga tentu engkau yang datang, adinda yang manis Roro Luhito! Berhenti! Maju setindak lagi, keris ini akan memasuki tubuh ayahmu!"
Dengan muka pucat Roro Luhito terpaksa tidak berani bergerak, juga Pujo dan Kartikosari sebab pada saat itu Jokowanengpati sedang mengancamkan kerisnya pada dada Adipati Joyowiseso yang kelihatan lemah dan lemas.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BADAI LAUT SELATAN (BAGIAN KE-03 SERIAL KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA)