BADAI LAUT SELATAN : JILID-40


"Jangan main gila!" bentak Roro Luhito. "Hayo semua mundur, kalau tidak, aku akan menggunakan orang tua ini sebagai senjata melawan kalian!"
Berkata demikian, begitu kedua tangannya bergerak, benar saja, tubuh pak lurah sudah ia putar-putar di atas kepala seperti kitiran angin! Tentu saja pak lurah menjadi ketakutan dan berkaok-kaok, dan semua penduduk kampung melangkah mundur dengan muka jerih. Roro Luhito menurunkan lagi pak lurah yang ketakutan itu, lalu menghardik,
"Hayo katakan! Apa artinya semua ini? Kami berdua adalah orang baik-baik, mengapa baru saja datang hendak kalian keroyok dan bunuh?"
Saking takutnya, pak lurah sampai sukar mengeluarkan kata-kata. Ia tetap menduga bahwa dua orang wanita yang sakti ini tentulah sahabat laki-laki keji yang telah menyebar maut di rumahnya. Bagaimana ia dapat menuturkan peristiwa itu dan memburukkan nama laki-laki keparat itu? Namun Kartikosari sudah tertarik akan perintah-perintah pak lurah tadi. la melangkah maju dan bertanya, suaranya tidak segalak Roro Luhito.
"Paman, kau tadi bilang bahwa kami tentu teman-teman si keparat. Siapakah si keparat itu? Apakah ia seorang laki-laki berusia tiga puluh enam tahun, pakaiannya seperti perwira kerajaan, wajahnya tampan dan sikapnya gagah, datangnya ke kampung ini menunggang kuda?"
Makin jerih muka pak lurah.
"Beb... betul sekali...!"
Kartikosari dan Roro Luhito terkejut dan girang sekali. "Bagus! Kami datang untuk mencarinya, memang. Akan tetapi sama sekali bukan teman, bahkan musuh. Kami mengejar dan hendak membunuhnya. Apa yang terjadi di sini? Di mana dia sekarang?"
Mendengar ini, pak lurah tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, menyembah dan menangis! Juga para penduduk lenyap sikapnya bermusuhan, kini mendengar dan duduk di atas tanah mengelilingi mereka. Roro Luhito dan Kartikosari saling pandang, mengerutkan kening. Perbuatan laknat apa lagi yang dilakukan Jokowanengpati di sini?
"Sudahlah, jangan menangis seperti anak kecil!" Roro Luhito membentak, habis kesabarannya. "Lebih baik lekas ceritakan!"
Dengan suara terputus-putus pak lurah bereerita tentang peristiwa semalam sambil menangis. Tentu saja dua orang wanita itu menjadi marah bukan main, dan makin besar nafsu untuk dapat segera bectemu muka dan membalas dendam kepada laki-laki jahat dan keji itu.
"Di mana dia sekarang, paman? Mana keparat itu?" bentak Roro Luhito, suaranya nyaring, sikapnya mengancam, giginya berkerot.
"Dia sudah lari... pagi tadi, entah ke mana...!"
Begitu mendengar jawaban ini, seperti diberi komando saja, Kartikosari dan Roro Luhito lari dan melompat ke atas kuda mereka, lalu membalapkan kuda keluar dari dusun itu, melakukan pengejaran. Mereka tadi memasuki kampung dari utara, maka agaknya si keparat Jokowanengpati itu tentu lari terus ke selatan, melanjutkan pelariannya, pikir mereka. Membalapkan kuda mereka keluar dari dusun ke jurusan selatan.
Jokowanengpati yang berjalan seenaknya, telah tiba di pantai Laut Selatan. Ia merasa aman dan gembira. Merasa tubuhnya lelah dan alangkah nikmatnya melepas lelah di pantai yang berpasir, menghadap ke selatan melihat ombak mengganas memecah di pantai. Angin laut sejuk bersih. Dadanya masih terasa sakit, bekas pukulan Wisangjiwo. Namun ia pereaya akan segera sembuh setelah ia beristirahat satu dua bulan. apalagi kalau kelak ia bertemu dengan Ni Nogogini, guru ilmu pukulan yang dipakai Wisangjiwo melukainya, tentu wanita sakti itu akan mampu menyembuhkannya dengan segera. Dan penyembuhan dengan cara bagaimana!
Jokowanengpati tertawa sendiri, tertawa bergelak mengingat akan hal itu. Betapa pun juga, Ni Nogogini hanya umurnya saja yang tua, tubuh dan wajahnya sama sekali tidak tua! Bagaikan iblis, atau seorang yang miring otaknya, ia tertawa bergelak di antara suara ombak menderu.
"Iblis laknat! Tertawalah. sepuasmu selagi masih ada kesempatan terakhir!"
"Si keparat Jokowanengpati! Bersiaplah mampus di tanganku!"
Hampir Jokowanengpati tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Suara setankah itu yang terbawa angin bersama suara ombak menderu? Perlahan ia bangkit berdiri dan memutar tubuh. Ia menahan rasa terkejut dan cemas yang mencengkeram jantungnya ketika melihat dua orang wanita itu!
Deru ombak yang tiada berkeputusan telah memenuhi telinganya sehingga ia tadi tidak mendengar kedatangan mereka. Kini Kartikosari, cantik jelita, dengan sikap tenang dan mata penuh benci, memandang kepadanya. Di sampingnya berdiri Roro Luhito, denok ayu, sikapnya mengancam, matanya yang jeli seperti memancarkan api yang hendak membakarnya. Angin laut membuat ujung kain dan rambut mereka berkibar-kibar, membuat mereka kelihatan seperti dua orang dewi laut yang cantik menarik rnenggirahkan.
Akan tetapi pada saat itu, sama sekali tidak timbul gairah dalam hati Jokowanengpati. Ia maklum sedalamnya betapa kedua orang wanita ini membencinya, membenci sampai ke tulang sumsum, dan bahwa kedua wanita ini datang dengan hanya satu hasrat, yaitu membalas dendam dan membunuhnya! Namun, Jokowanengpati bukah seorang penakut, bukan pula bodoh. Biarpun ia tahu bahwa dua orang ini adalah wanita-wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan ia telah tahu pula bahwa setelah menjadi murid si raja kera Resi Telomoyo kini ilmu kepandaian Roro Luhito sama sekali tidak boleh dipandang ringan, namun ia tidak memperlihatkan sikap takut. Malah ia segera tersenyum manis sambil memandang mereka,
"Duhai! Dewata Agung! Baru saja aku melamun, betapa akan senangnya di tempat seindah ini bertemu dengan orang-orang terkasih. Dan tanpa kusang-kusangka, kalian muncul di sini. Diajeng Kartikosari, engkau makin cantik jelita. Roro Luhito, kau makin manis merak ati!"
"Jananam keji, tutup mulutmu yang busuk!" bentak Roro Luhito marah.
"Jokowanengpati, dosamu sudah bertumpuk. Kini tiba waktunya engkau menebus dosamu dengan nyawa!"
Kartikosari mengancam sambil menghunus keris, demikian pula Roro Luhito. Kedua orang wanita ini sudah siap menerjang, setiap urat dalam tubuh sudah menegang, nafsu membunuh membayang di mata. Namun Jokowanengpati masih tertawa. Setidaknya, aku harus membuat mereka ini gila oleh kemarahan lebih dulu, pikirnya. Dalam kemarahan meluap, gerakan akan menjadi kurang sempurna dan tenaga sakti akan banyak terbuang sia-sia.
"Ha-ha-ha, kedua adik yang manis. Mengapa mengancam? Mengapa kita harus bertempur? Kalian tidak akan menang. Sayang kalau sampai aku melukai kulit yang halus lunak itu, apalagi sampai membikin cacat wajah yang cantik. Aku amat sayang kepada kalian. Bukankah sudah kubuktikan kasih sayangku di dalam Gua Silurnan dahulu, diajeng Kartikosari? Dan engkau, Roro Luhito, lupakah akan kasih sayangku di dalam kamarmu dahulu? Marilah kita berdamai saja, mari kalian ikut bersamaku, hidup mulia di dalam keraton Pangeran Anom, menjadi isteriku yang tercinta dan..."
"Keparat busuk!"
"Iblis laknat!"
Dua orang wanita itu sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi dan mereka sudah menerjang maju. Jokowanengpati sudah memperhitungkan hal ini. Cepat ia mengelak dan membalas dengan pukulan dan tendangan, kemudian ia pun mencabut kerisnya ketika melihat betapa sepak terjang kedua orang lawannya itu amat hebat. Ketika melihat keris Kartikosari meluncur cepat menuju lambung, ia menggeser tubuh ke kanan lalu membalas dari samping dengan luncuran kerisnya mengarah leher kiri Kartikosari. Wanita perkasa ini menggunakan tangan kirinya menyabet dengan cengkeraman ke arah siku kanan lawan sambil mengelak dan sambaran kaki Jokowanengpati yang menendang sebagai lanjutan serangannya ia elakkan dengan loncatan menyamping.
Pada saat itu, Roro Luhito dengan gerakan secepat kilat sudah pula datang menyerang dengan tusukan keris diarahkan ke dada lawan. Ketika Jokowanengpati menangkis dengan kerisnya pula, dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, Roro Luhito menarik kembaii kerisnya dengan gerakan yang sedemikian cepat dan tak tersangka-sangka, kini dengan tangan kirinya menarnpar dari samping dan kaki kanannya menendang ke arah pusar. Benar-benar serangan yang hebat dan cepat tak tersangkasangka! Apalagi pada saat itu Kartikosari sudah menerjang lagi dengan tusukan keris dari belakang disusul dengan hantaman tangan kiri dengan pukulan Gelap Musti yang ampuh.
Jokowanengpati benar-benar terdesak. Ia sudah menangkis Kartikosari dan mengelak dari terjangan lain, namun dia kurang cepat dan sambaran tangan kiri Roro Luhito masih berhasil menyerempet pundak kanannya, membuat ia terhuyung-huyung ke belakang. Tamparan Roro Luhito memang tidaklah begitu hebat bagi tubuhnya yang kebal, akan tetapi karena dadanya masih menderita luka dalam, tamparan itu terasa juga. Baiknya ia cepat menggerakkan kerisnya dengan Ilmu Jonggring Saloko sehingga ujung keris di tangannya berubah menjadi belasan banyaknya, membuat dua orang lawannya tidak berani sembrono menerjang terlalu dekat.
Pertandingan itu makin lama makin seru dan mati-matian. Namun makin lama makin berat terasa oleh Jokowanengpati. Kartikosari hebat bukan main. Tiap kali keris mereka beradu, biarpun ia telah mengerahkan segenap tenaganya, tetap saja ia merasa betapa tangannya tergetar saking hebatnya pertemuan itu, tanda bahwa Kartikosari kini memiliki tenaga dalam yang hebat! Roro Luhito tidaklah memiliki tenaga dalam yang terlalu besar, akan tetapi wanita ini cerdik bukan main dan memiliki gerakan yang tangkas dan aneh. Tak pernah Roro Luhito mau mengadu senjata dan selalu menarik kerisnya tiap kali ditangkis, untuk disusul dengan terjangan-terjangan yang aneh dan cepat.
Ketika merasa bahwa dadanya makin lama makin sakit karena ia harus mengerahkan tenaga dalam, Jokowanengpati maklum bahwa kalau pertandingan dilanjutkan, akhirnya ia tentu roboh. Maka mulailah ia mencari kesempatan untuk lari. Ia mulai melakukan perlawanan sambil menjauhkan diri. Setiap kali ada kesempatan, ia meloncat jauh, akan tetapi celaka baginya, kedua wanita itu dalam hal kecepatan, tidak kalah olehnya.
Andai kata ia tidak terluka di dalam dadanya, tentu ia dapat menggunakan Aji Bayu Sakti yang sampai saat itu merupakan aji keringanan tubuh yang tak terkalahkan, untuk melarikan diri. Akan tetapi, dengan luka dalam di dadanya, ia tidak mampu menggunakan Aji Bayu Sakti sepenuhnya, dan karena kedua wanita itupun memiliki aji meringankan tubuh yang hebat, terutama sekali Roro Luhito, sukar baginya untuk dapat melarikan diri dari pada kepungan mereka.
Namun yang dipergunakan Jokowanengpati untuk bertanding sambil berlompatan menjauh ini membuat tempat pertandingan berpindah-pindah. Makin lama karena loncatan-loncatan untuk berusaha lari ini, mereka bertempur tidak di atas pasir di pantai lagi melainkan berloncatan ke atas batu karang, makin lama makin tinggi sehingga akhirnya mereka bertanding di tebing karang yang curam!
Jokowenengpati yang makin terdesak itu tiba-tiba menjadi nekad. la menggunakan kesempatan ketika Kartikosari terhuyung ke belakang oleh tangkisan kerisnya yang kuat, menggunakan kecepatan menerjang Roro Luhito yang lebih lemah kalau dibandingkan Kartikosari.
"Heeeiiit! Mampuslah!" la membentak, kerisnya menusuk dada, tangan kiri menggempur kepala!
Roro Luhito tidak menjadi gentar. Setelah ia menguasai ilmu Kapi Dibyo, ia memiliki gerakan otomatis yang amat gesit. Menghadapi terjangan ini, ia dapat membuang tubuh kebelakang, berjungkir balik cepat sekali dan di lain saat ia malah menyerang lawan dari kiri dengan tusukan cepat. Girang hati Roro Luhito melihat bahwa dalam keadaan posisi tubuh miring, Jokowanengpati kurang cepat bergerak sehingga keris yang ditusukkannya itu agaknya akan berhasil kali ini!
Akan tetapi, siapa kira, kelambatan Jokowanengpati itu adalah pancingan belaka. Memang harus diakui bahwa dalam hal pertandingan, Jokowanengpati jauh lebih berpengalaman dan mempunyai banyak siasat licik. Begitu keris sudah dekat perutnya, tiba-tiba Jokowanengpati menggerakkan kerisnya dari atas ke bawah, menangkis disertai tenaga dalam sekuatnya.
"Cringgg...!"
"Aiiihhh!" Roro Luhito menjerit kaget ketika merasa tangannya sakit dan lumpuh sehingga keris yang dipegangnya terlepas, terlempar ke bawah tebing, masuk laut! Cepat ia menjatuhkan diri dan bergulingan menjauhi lawan.
Pada saat itu, melihat keadaan Roro Luhito, Kartikosari marah sekali. la menerjang dengan cepat dan dahsyat. Padahal saat itu, Jokowanengpati baru saja menangkis keris Roro Luhito dan tubuhnya masih setengah berputar. Tidak ada jalan lain baginya kecuali menangkis tusukan hebat itu dengan pengerahan tenaga dalam tanpa mempedulikan dadanya yang terasa sakit sekali.
"Trakkkl!"
Dua batang keris yang bertemu dengan tenaga dalam yang dahsyat itu menjadi patah! Dua batang keris itu adalah keris pusaka yang terbuat dari wesi aji (besi mulia) pilihan. Namun karena digetarkan oleh tenaga sakti, tidak dapat menahan dan patah-patah. Jokowanengpati menyumpah dan melempar gagang kerisnya. Juga Kartikosari membuang gagang kerisnya. Pertandingan dilanjutkan dengan tangan kosong.
"Kucekik lehermu!" Jokowanengpati mendesis marah, matanya sudah merah dan mukanya penuh keringat, bukan hanya keringat lelah, melainkan lebih banyak keringat menahan sakit pada dadanya.
"Maut sudah di depan mata masih banyak lagak!"
Roro Luhito berseru dan tiba-tiba wanita ini menerjang maju dengan kedua kaki tangan bergerak sekaligus! Serangan ini adalah bagian dari Aji Sosro Satwo, mirip dengan serangan seekor garuda yang menggunakan sepasang kaki. Kartikosari juga tidak mau ketinggalan, menyerbu dengan dahsyat didorong kebencian yang mendalam.
Jokowanengpati berusaha mengelak, namun tetap saja pundaknya terkena hantaman tungkak kaki Roro Luhito. Tungkak yang berkulit halus berwarna kemerahan, lunak dan hangat. Akan tetapi karena dipergunakan untuk mendugang dan disertai tenaga keras, membuat tulang pundak serasa remuk! Jokowanengpati menggulingkan tubuhnya, akan tetapi begitu ia meloncat bangun, ia sudah menghadapi serbuan yang lebih hebat lagi!
Diam-diam ia mengeluh. Dua orang wanita ini tanpa senjata malah lebih hebat! la sudah berusaha membalas dengan pukulan yang tidak kepalang tanggung, yaitu dengan Aji Siyung Warak yang apabila mengenai sasaran tentu akan meremukkan kepala memecahkan rongga dada. Namun kedua lawannya amat gesit dan saling bantu, sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya.
Ia dapat membayangkan betapa sangat ngeri nasibnya apabila roboh di tangan kedua wanita ini. Masih lebih ringan jatuh ke tangan dua ekor harimau betina dari pada terjatuh ke tangan dua orang wanita yang mabok dendam sakit hati! Apalagi ketika ia mendengar seruan-seruan mereka yang agaknya sudah membayangkan kemenangan, jantungnya serasa beku.
"Tangkap hidup-hidup, jeng! Akan kubeset kulitnya, kuminum darahnya!" teriak Kartikosari.
"Baik, mbokayu! Aku pun hendak melihat bagaimana macam jantungnya!" teriak pula Roro Luhito.
Jokowanengpati merasa serem dan hal ini membuat gerakannya agak lamban sehingga sebuah pukulan Kartikosari berhasil masuk dan menghantam perutnya.
"Ngekkk!"
Pukulan yang keras sekali dan biarpun Jokowanengpati sudah mengerahkan tenaga dalam untuk melawan, tetap saja ia merasa seakan-akan isi perutnya berantakan di dalam dan dadanya terasa nyeri dan napasnya sesak.
"Aduh, mati aku...!" teriaknya.
Untung ia masih sempat menghindarkan tendangan kaki Roro Luhito yang menyambar ke arah pusarnya, lalu menangkis pukulan ke dua Kartikosari yang melayang ke arah dadanya. Kalau tendangan atau pukulan ini mengenai sasaran, tentu ia akan roboh. Sepasang mata Jokowanengpati jelilatan. Ia sudah putus harapan untuk melawan lebih lama lagi. Sudah tidak kuat.
Matanya mencari-cari, akan tetapi sudah tidak ada batu atau senjata lain di atas karang itu. Ia melirik ke belakang. Tebing tinggi dan laut bergelombang. Laut...! Jalan keluar satu-satunya dari ancaman maut mengerikan di tangan dua orang musuhnya.
Tiba-tiba, sebelum dua orang lawannya sempat mencegah, ia telah meloncat ke belakang dan dengan tiga kali berjungkir balik terus ke belakang, akhirnya tubuhnya melayang ke bawah tebing batu karang besar dan...
"Byuuurrr...!"
Tidak berapa tinggi air muncrat ketika tubuhnya terbanting ke air, karena ombak Laut Selatan yang mulai membesar itu telah mulai menelannya. Kartikosari dan Roro Luhito cepat lari ke pinggir tebing batu karang dan mencari-cari dengan pandang mata mereka. Hati mereka kecewa sekali.
"Ahh, celaka, dia berhasil lolos..." Kartikosari membanting-banting kakinya dengan penuh sesal.
"Tidak mungkin! Biar kita ikuti dia, kemana pun dia mendarat, kita akan siap memberi hajaran. Binatang itu kali ini harus mampus di tangan kita!" kata Roro Luhito.
Mereka mencari terus dengan pandang mata mereka. Ombak yang memecah di batu karang, berbeda dengan ombak yang menepis di pantai pasir. Air laut dipukul-pukulkan pada batu karang menciptakan busa membuih putih sehingga menyilaukan mata dan agak sukar mencari tubuh Jokowanengpati di antara buih putih menyilaukan. Sinar matahari yang terik membuat air laut berkilauan seperti kaca.
"Itu dia...!"
Tiba-tiba Roro Luhito bersorak dan menudingkan telunjuknya ke laut. Kartikosari cepat memandang dan benar saja, ia melihat Jokowanengpati menggerak-gerakkan tangannya, berenang agak tengah, sudah lewat ombak. Jelas tampak Jokowanengpati melambai-lambaikan tangannya dengan sikap mengejek, bahkan terdengar suara ketawanya menggema terbawa angin!
"Binatang! la dapat berenang ke tengah. Celaka sekali, kalau ia menyelam, sukar mencegat dia mendarat! Kartikosari berkata dengan suara menyesal sekali.
"Tempat ini tinggi, tentu akan kelihatan ke mana dia mendarat. Kurasa ia takkan kuat bertahan sampai malam nanti di tengah laut."
"Belum tentu! Dia tentu saja tidaklah begitu bodoh, diajeng. Bagaimana kalau dia tidak mau mendarat sebelum hari menjadi gelap? Aku akan mengejarnya. Di lautpun aku tidak takut, dia harus mati di tanganku!" Berkata demikian, Kartikosari melangkah ke bagian yang paling rendah untuk melompat ke laut dan mengejar musuh besarnya.
"Mbokayu... jangan...!" Roro Luhito memegang lengan Kartikosari, wajahnya tampak ketakutan.
Kartikosari menoleh kepadanya dan mengerutkan kening. "Kau kenapakah, jeng? Takutkah engkau?" Suaranya penuh ketidak percayaan.
Akan tetapi Roro Luhito mengangguk. "Aku... aku takut, aku... aku selamanya tak pernah berenang, apalagi di laut..."
Kartikosari mengangguk-angguk. Tentu saja, ia sampai lupa. Dia sendiri adalah seorang wanita yang tidak asing dengan laut, bahkan semenjak kecil ia tinggal di tepi laut, pandai berenang dan selama bersembunyi di Karang Racuk ia telah memperdalam ilmunya, termasuk ilmu bermain dalam air laut. Akan tetapi bagi Roro Luhito yang berenangpun tidak pandai, tentu saja tak mungkin dapat mengejar Jokowanengpati.
"Engkau lihatlah saja dari sini, diajeng. Biar aku sendiri yang mengejarnya dan menyeretnya ke darat. Dia agaknya sudah terluka."
"Jangan... berbahaya sekali. Andai kata kali ini tidak berhasil kita menewaskannya, masih banyak waktu dan kita selalu akan mencari dan mengejarnya, mbokayu. Lihat, dia masih segar-bugar dan nampaknya ia pandai sekali bermain di air. Kalau engkau mengejar kemudian kalah dan bahkan tewas olehnya di air, lalu bagaimana?" Roro Luhito memegang lengan Kartikosari erat-erat, tidak mau melepaskan lagi.
Memang betul kata-kata Roro Luhito dan diam-diam Kartikosari mulai merasa sangsi apakah ia benar-benar akan dapat menangkan Jokowanengpati di air. Orang itu kini berenang mendekat, berenang dengan gerakan mahir, ketika akan dekat lalu melambaikan tangannya ke arah mereka.
"Mari, kekasihku berdua...! Marilah ikut kakangmas Jokowanengpati bermain di air! Ha-ha-ha-ha! Apakah kalian takut, manis? Biarlah kugendong, seorang sebelah, ha-ha-ha!
Kartikosari menggigit bibirnya menahan marah. Si bedebah itu benar saja amat pandai berenang. Dan agaknya betul dugaannya, Jokowanengpati sengaja mengejek dan mempermainkan mereka, tentu menanti sampai matahari terbenam. Kalau hari sudah menjadi gelap, tentu saja ia akan dapat mendarat dengan aman Dan untuk bertahan di atas air sampai malam nanti, bukan merupakan hal yang sukar, bahkan sama sekali tidak melelahkan bagi seorang perenang mahir seperti Jokowanengpati. Ia tentu takkan membiarkan kesempatan amat baik itu lalu begitu saja. Jelas tadi bahwa Jokowanengpati telah mengalami tendangan yang jitu. Tentu orang itu sudah terluka di sebelah dalam tubuhnya. Kalau tidak terluka, tentu dia tidak selemah tadi dan tidak akan lari meloncat ke laut. Kalau aku kejar dia sekarang, mungkin belum terlambat.
"Diajeng, biarkan aku mengejarnya! Dia harus mati di tanganku!
"Tidak! Jangan, mbokayu!"
Kartikosari memberontak, Roro Luhito mempertahankan. Keduanya bersitegang dan untuk sementara tidak memperhatikan Jokowanengpati. Tiba-tiba terdengar pekik melengking mengerikan. Otomatis keduanya berhenti meronta dan keduanya menoleh ke laut, mencari-cari dengan pandang matanya.
Tiba-tiba keduanya terbelalak memandang ke bawah, ke arah air, dengan mata dibuka lebar dan mulut celangap, terlampau kaget, terlampau kesima sehingga tidak kuasa mengeluarkan kata-kata, bahkan seakan-akan berhenti bernapas untuk menyaksikan pemandangan di air itu. Sepasang mata Roro Luhito bersinar-sinar, sedangkan ujung bibir Kartikosari membayangkan senyum. Mereka tadi tidak berdaya menghadapi Jokowanengpati yang agaknya sudah akan lolos, akan tetapi kiranya Dewata Agung sendiri yang berkenan menghukumnya!
"Toloooooooongggg...!"
Untuk ketiga kalinya tubuh Jokowanengpati tersembul ke permukaan air, kedua tangannya meronta-ronta, memukul-mukul ke arah kakinya. Untuk ketiga kalinya ia memekik minta tolong, matanya terbelalak lebar sekali, mukanya yang sebagian tertutup rambut yang awut-awutan itu menyerupai muka setan. Dan di sebelah bawahnya, seekor ikan hiu menggigit kakinya, seekor ikan hiu yang ganas dan liar!
Kiranya selagi berenang kian ke mari sambil mengejek Kartikosari dan Roro Luhito, seekor ikan hiu besar telah menyerangnya, menggigit kakinya. Terjadi pergulatan hebat antara Jokowanengpati yang mempertahankan nyawanya dan ikan hiu yang mempertahankan mangsanya. Kalau saja tadi tidak mencurahkan perhatiannya untuk mengejek kedua orang bekas lawannya, tentu Jokowanengpati dapat menjaga diri, dapat menggunakan kepandaiannya untuk menendang atau memukul ikan hiu. Akan tetapi karena perhatiannya ke atas, ia tidak melihat ikan itu yang tahu-tahu sudah menyambar dan menggigit kakinya.
Ikan hiu itu berusaha menyeret korbannya ke bawah dan berkali-kali ia berhasil. Namun dalam keadaan penuh ketakutan seperti itu, timbul semua tenaga Jokowanengpati dan berkali-kali pula ia berhasil meronta dan timbul di permukaan air, menyerang ikan itu, meronta memukul menendang. Namun ikan itu tak pernah mau melepaskan gigitannya. Sekilas pandang Jokowanengpati melihat dua orang wanita di atas batu karang. Saking takutnya ia berteriak, menjerit parau,
"Tolooooooongggg...! Tooll... auupp...!"
Tubuhnya sudah diseret masuk ke dalam air lagi. Sejenak tampak kedua tangannya menjangkau ke atas permukaan air, kedua tangan yang jari-jarinya kaku seperti cakar setan, lalu kedua tangan inipun lenyap ditelan air. Bagaikan dua buah arca batu, Kartikosari dan Roro Luhito berdiri terbelalak memandang peristiwa mengerikan di depan mata itu.
Setelah beberapa lama Jokowanengpati tidak timbul kembali dan air di mana untuk terakhir kali tubuhnya terseret dan tenggelam tadi berwarna agak kemerahan, keduanya melepas isak dan menutupi muka dengan kedua tangan. Pundak mereka menggigil. Betapa pun juga, mereka bukanlah wanita yang berhati kejam. Hukuman yang dialami Jokowanengpati merupakan siksaan yang terlalu mengerikan bagi mereka.
"Duh Jagad Dewa Batara... tiada kejahatan tanpa hukuman! Habislah riwayat Jokowanengpati manusia berhati iblis...!"
Kartikosari dan Roro Luhito terkejut sekali. Tersentak kagetlah mereka, akan tetapi ketika keduanya membalikkan tubuh, kiranya yang mengeluarkan kata-kata itu bukan lain adalah Pujo, suami mereka! Kartikosari dan Roro Luhito kembali melepas isak, lalu keduanya lari ke depan, menjatuhkan diri berlutut dan menubruk kaki suami mereka. Pujo berlutut pula, merangkul kedua isterinya penuh kasih sayang.
"Nimas berdua... sudahlah. Memang pemandangan yang mengerikan hati. Akan tetapi, kiranya sudah sepatutnya manusia keji dan jahat itu menemui siksa seperti itu. Marilah kita lupakan itu semua. Kita telah bebas, bebas dari dendam yang menyiksa batin. Marilah kita pergi, nimas. Jangan lupa, kita masih ada kewajiban mencari Joko Wandiro dan Endang Patibroto."
Kedua orang wanita itu mengangkat muka dan mereka bertiga saling pandang dengan mesra. Biarpun mulut tidak mengatakan sesuatu, namun pandang mata mereka kini lebih mesra, penuh kasih sayang, tidak dibayangi lagi oleh dendam dan aib. Bebaslah mereka kini, dapat melakukan tugas sebagai suami isteri sebagaimana mestinya, dapat menyatakan cinta kasih sepenuhnya tanpa diganggu keraguan dan sakit hati. Dengan hati bunga penuh bahagia, mereka bertiga bergandeng tangan meninggalkan pantai Laut Selatan.
Karena mereka pun melihat betapa Resi Bhargowo muncul di medan perang di samping Sang Prabu Airlangga, maka tentu saja mereka segera langsung menuju ke pertapaan bekas raja itu, di Jalatunda. Tepat seperti perhitungan mereka, mereka dapat bertemu dengan Resi Bhargowo di tempat itu.
Perlu diketahui bahwa ketika Pujo dan kedua isterinya berada di keraton Pangeran Sepuh sebelum terjadi perang campuh di alun-alun, Resi Bhargowo yang ketika itu tengah melakukan penyelidikan ke kota raja, bertemu dengan mereka, Pertemuan yang mengharukan dan menggirangkan, akan tetapi bagi Resi Bhargowo tidaklah mengherankan karna kakek ini sudah seringkali melihat Pujo dan puterinya ketika mereka berdua masih berpisah dan bertapa masing-masing di muara Sungai Lorog dan di Karang Racuk.
Dalam pertemuan singkat itulah, Pujo dan isterinya menceritakan segala pengalaman mereka tanpa menyembunyikan sesuatu. Di lain pihak, Resi Bhargowo menceritakan bahwa dialah yang membawa pergi Endang Patibroto dan Jok卯 Wandiro ke Pulau Sempu dan menganjurkan agar kedua orang anak itu dibiarkan belajar disana untuk sementara waktu.
Setelah ketiga orang itu menghaturkan sembah sujud kepada Sang Resi Jatinendra dan Empu Bharodo, mereka lalu menceritakan betapa mereka mengejar Jokowanengpati yang akhirnya menemui kematian mengerikan di Laut Selatan, menjadi mangsa ikan hiu. Ketika bercerita perihal kematian Jokowanengpati inilah, mau tak mau Pujo melirik kepada uwak gurunya. Ia melihat Empu Bharodo menarik napas panjang dan berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya yang rambutnya sudah putih.
"Alangkah akan baik dan untungnya andai kata ia benar telah berhenti menjadi hamba nafsu-nafsunya."
Pujo dan kedua isterinya heran mendengar kata-kata ini. Pujo dan Kartikosari tahu betul betapa dahulu Empu Bharodo amat mencinta muridnya itu. Akan tetapi ketika mereka memandang, mereka melihat Empu Bharodo, seperti juga Resi Jatinendra, duduk tepekur dan meramkan mata, tampaknya pulas dalam samadhi. Resi Bhargowo lalu memberi isyarat kepada mereka untuk keluar dari gua, agar mereka dapat melakukan percakapan tanpa mengganggu kedua orang pertapa itu.
"Rama, di manakah Endang Patibroto anakku? Apakah rama tinggalkan di Pulau Sempu?" Serta-merta Kartikosari bertanya ketika mereka sudah duduk di bawah pohon beringin yang terdapat di tempat agak jauh dari gua pertapaan.
Kini Resi Bhargowo menarik napas panjang dengan wajah agak muram. "Segala perbuatan di dunia ini tentu ada akibatnya, seperti juga pohon ada buahnya. Mereka berdua itu tadinya lenyap dari pulau ketika aku diserbu oleh kaki tangan Pangeran Anom." Resi Bhargowo lalu menceritakan peristiwa yang terjadi di Sempu. "Joko Wandiro sudah berada di sini, sekarang menjadi murid Ki Patih Narotama. Akan tetapi... tentang Endang Patibroto, sampai sekarang aku sendiripun tidak tahu ke mana perginya."
Roro Luhito girang sekali mendengar bahwa keponakannya telah berada di situ, akan tetapi melihat Pujo dan Kartikosari menjadi muram wajahnya mendengar akan hilangnya Endang Patibroto, ia menekan kegirangannya di dalam hati dan ikut berprihatin. Melihat kemuraman wajah puteri dan mantunya, Resi Bhargowo berkata,
"Sudah kukatakan tadi, Sari dan engkau, Pujo. Tiada perbuatan yang tak berakibat, tiada pohon yang tak berbuah. Akibat selalu mengikuti perbuatan seperti bayangan mengikuti dirimu. Kadang-kadang tidak tampak namun pasti ada dan tidak pernah jauh. Engkau merasa bagaimana prihatin dan khawatir kehilangan anak. Pikir dan kenanglah, apakah ini bukan merupakan akibat dari pada perbuatanmu sendiri?"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BADAI LAUT SELATAN (BAGIAN KE-03 SERIAL KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA)