BADAI LAUT SELATAN : JILID-65


Dia terbayang pada saat Joko Wandiro memeluknya di hutan itu, membelai dan menciumi rambutnya dari belakang. Dia disangka kekasihnya. Tentu disangka gadis inilah!
Sesungguhnya Endang Patibroto tidak mengenal Ayu Candra, juga tidak ada hubungan sesuatu antara dia dan Ayu Candra. Akan tetapi entah mengapa, kenyataan bahwa gadis itu kekasih Joko Wandiro, menimbulkan benci di dalam hatinya. Ia tersenyum mengejek dan memandang dengan sinar mata tajam.
Di lain pihak, Ayu Candra menahan kebencian hatinya yang meluap-luap ketika ia melihat bahwa yang datang berkuda adalah Endang Patibroto. Inilah wanita yang telah membunuh ibunya! Ketika Joko Wandiro muncul dan bertanding dengan Ki Jatoko, Ayu Candra telah menyembunyikan diri. Kemudian ia lari dan di dalam hutan secara kebetulan sekali ia menyaksikan pertempuran antara Joko Wandiro dan Endang Patibroto, melihat betapa Joko Wandiro kakak kandungnya itu memeluk Endang Patibroto yang disangka dirinya.
Kemudian mendengar percakapan mereka. Betapa hancur hatinya ketika Joko Wandiro secara terang-terangan menyatakan kepada Endang Patibroto bahwa biarpun pemuda yang menjadi kakaknya itu tahu bahwa puteri perkasa ini yang membunuh ibu kandung mereka, kakaknya itu tidak akan membalas dendam! Jadi gadis inilah yang membunuh ayah bundanya. Gadis ini yang pernah melukainya pula dengan panah tangan!
Karena hatinya kecewa meiihat kakak kandungnya, ia tidak kuat mendengarkan percakapan mereka lebih lanjut sehingga tidak sempat menyaksikan pertandingan antara Joko Wandiro dan Endang Patibroto, tidak tahu pula bahwa Joko Wandiro hampir tewas dalam pertandingan itu oleh kecurangan Ki Jatoko. Ia sudah mendengar cukup jelas. Ia tahu bahwa ia tidak akan dapat melawan Endang Patibroto, maka ia mengambil keputusan untuk mencari ke Pulau Sempu, untuk membalas dan membunuh ibu gadis itu yang menurut percakapan itu telah pindah dan bersembunyi ke Sempu.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat munculnya Endang Patibroto yang ia sangka tentu mengejar dan kini menyusulnya. Biarpun ia tahu bahwa ia tidak menang menghadapi Endang Patibroto, namun Ayu Candra sudah bulat tekatnya untuk membalas dendam atas kematian ayah bundanya. la telah melakukan perjalanan yang penuh kesukaran dan amat lambat. Ia tidak berani melakukan perjalanan di siang hari, takut kalau-kalau tersusul oleh Ki Jatoko atau Endang Patibroto atau Joko Wandiro yang mengejarnya. Di waktu siang ia bersembunyi, di waktu malam saja ia melanjutkan perjalanan ke Sempu. Setelah dekat dengan pantai selatan, barulah beberapa hari ini ia melakukan perjalanan di siang hari. Siapa kira, di sini ia tersusul musuh.
"Perempuan keji!" Tiba-tiba Ayu Candra mendamprat, ia tidak tahan melihat senyum mengejek dan menghina itu. "Turunlah dari kudamu dan mari kita bertanding mengadu nyawa. Aku untuk membalas kematian ayah bundaku di tanganmu, dan engkau untuk memperbesar dosa-dosamu sebagai seorang iblis betina!"
Endang Patibroto hanya mengenal Ayu. Candra sebagai kekasih Joko Wandiro, ia malah tidak tahu siapa nama gadis ini dan dari mana. Maka tentu saja ia menjadi terheran-heran mendengar ucapan itu. Dengan gerakan ringan ia melompat turun dari atas kudanya, lalu membiarkan kudanya makan rumput. Ia sendiri menghampiri Ayu Candra yang sudah menghunus keris, lalu bertanya, lebih heran dan ingin tahu dari pada marah,
"Eh, eh, kau ini bocah lancang mulut! Dahulu engkau kupanah karena lancang mulut, sekarang mungkin akan kubunuh karena lancang mulut pula. Siapakah engkau ini dan mengapa kau bilang hendak membalas kematian ayah bundamu di tanganku? Siapa mereka?"
"Perempuan iblis! Dengarlah baik- baik. Namaku Ayu Candra dan ayahku adalah Ki Adibroto, ibuku Listyokumolo. Karena mereka itu sudah kaubunuh, sekarang aku minta ganti jiwamu atau kau bunuh sekalian aku!" Setelah berkata demikian, Ayu Candra sudah menerjang maju dengan tusukan kerisnya.
Endang Patibroto hanya miringkan tubuh mengelak lalu menangkis lengan Ayu Candra. Perlahan gerakan ini namun cukup membuat Ayu Candra terhuyung ke depan. Endang Patibroto menjadi terheran-heran kemudian mendongkol sekali. Jadi gadis inikah yang disebut-sebut oleh Ki Jatoko? Gadis inikah yang oleh Ki Jatoko dikatakan adik kandung juga kekasih Joko Wandiro? Tak salah lagi. Gadis ini mengaku sebagai puteri Listyokumolo, sedangkan Joko Wandiro juga putera listyokumolo. Mereka ini seibu lain ayah, akan tetapi saling mencinta!
"Aha, jadi engkaukah yang bernama Ayu Candra? Hendak membalas kematian ayah bundamu? Hemm, boleh sekali. Majulah!"
Ayu Candra sudah menerjang lagi, mengerahkan seluruh tenaganya menusukkan kerisnya ke arah perut Endang Patibroto. Tentu saja ilmu kepandaian Ayu Candra bukan apa-apa bagi Endang Patibroto. Tanpa mengelak, ia menggunakan tangan kirinya menangkap pergelangan tangan lawan yang memegang keris dan sekali tangan kanannya menyambar dengan dua buah jarinya mengetuk leher, Ayu Candra mengeluh perlahan dan roboh terguling, pingsan!
Ketika sadar dari pingsannya, Ayu Candra mendapatkan dirinya diseret-seret di atas tanah. Untung ia tidak lama pingsan sehingga kulit punggungnya tidak terluka parah, hanya lecet sedikit. Cepat ia mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi punggungnya yang tersangkut-sangkut tanah kasar dan rumput serta duri. Kedua tangannya ternyata terbelenggu pada pergelangannya. Kemudian ia meloncat bangun dan terpaksa melangkah ke depan.
Endang Patibroto memegangi ujung tali yang mengikat kedua tangan Ayu Candra. Ia menunggang kudanya yang dijalankan perlahan. Dari gerakan pada tali yang dipegangnya ia maklum bahwa orang yang menjadi tawanannya itu telah siuman, akan tetapi Endang Patibroto diam saja, pura-pura tidak tahu.
"Endang Patibroto perempuan keji! Kalau kau seorang wanita gagah dan bukan pengecut rendah, hayo kau lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa lagi!"
Akan tetapi Ending Patibroto tidak menjawab, menengokpun tidak, hanya mempercepat jalannya kuda sehingga terpaksa Ayu Candra berlari-lari kecil mengikuti kuda karena kalau tidak demikian ia tentu akan jatuh dan diseret-seret seperti tadi! Ayu Candra memaki-maki dan menantang-nantang namun sia-sia belaka. Endang Patibroto tidak menjawabnya.
"Iblis betina, kalau begitu kau bunuh saja aku! Perlu apa kau tawan aku? Hayo, bunuhlah aku. Ayu Candra tidak takut mati!" teriak Ayu Candra yang sudah tak kuat menahan kemarahannya lagi sehingga suaranya mengandung isak.
Kini Endang Patibroto menoleh, tersenyum mengejek. "Membunuhmu? Hah, mudah sekali kalau aku mau membunuhmu. Akan tetapi tidak begitu enak saja, Ayu Candra! Engkau tidak akan kubunuh, melainkan akan kujadikan mangsa orang buntung yang menjijikkan itu!"
Ayu Candra tercengang. Orang buntung? Bukankah Ki Jatoko yang dimaksudkan wanita iblis itu? Agaknya Endang Patibroto juga dapat menduga apa yang dipikirkan Ayu Candra. Ia menahan kudanya dan berkata, suaranya nyaring penuh ejekan,
"Benar dugaan pikiranmu, Ayu Candra. Orang yang kau anggap manusia baik-baik, Ki Jatoko itu, hi-hi-hik dia tergila-gila kepadamu dan ingin menjadikan engkau isterinya! Ah, aku seribu kali lebih suka melihat engkau menjadi isteri si buntung yang mukanya seperti serigala itu dari pada melihat kau mati!"
Setelah berkata demikian, kembali Endang Patibroto menjalankan kudanya agak cepat. Ayu Candra terguling roboh dan terseret sampai beberapa meter, akan tetapi ia segera meloncat dengan sigapnya dan kembali ia harus berlarian untuk mencegah jangan sampai terseret-seret. Tadi ia terlongong sehingga terseret jatuh. Ia terlalu heran. Ki Jatoko menghendaki aku menjadi isterinya? Ia masih amat heran dan merasa ngeri juga. Akan tetapi berbareng timbul harapannya. Ia masih belum percaya penuh bahwa Ki Jatoko mempunyai niat seperti itu. Siapa tahu kalau orang buntung itu akan menolongnya apabila melihat dia menjadi tawanan Endang Patibroto.
Namun, betapa pun juga, hatinya merasa tidak enak karena ia teringat akan sikap si buntung itu yang terlalu manis kepadanya, bahkan kini terngiang di telinganya ucapan Ki Jatoko pada waktu mereka berada di bukit Anjasmoro. Ucapan yang dikeluarkan dengan suara menggetar penuh perasaan,
"sisa hidupku ini kuperuntukkan dirimu seorang. Asal kelak engkau dapat mengasihi seorang buntung seperti aku, ahhh... rela aku berkorban apa saja untukmu, manis."
Teringat ini semua bulu tengkuk Ayu Candra meremang. Jangan-jangan benar ancaman Endang Patibroto itu! Jangan-jangan si buntung tua bangka itu benar-benar mengandung niat keji terhadap dirinya! Mulailah Ayu Candra menyesal. Bayangan Joko Wandiro memenuhi pandang matanya dan beberapa titik air mata menimpa kedua pipinya. Mengapa ia meninggalkan Joko Wandiro? Mengapa ia tidak menggantungkan nasib dirinya dalam perlindungan kakak kandung, bekas kekasihnya itu? Mengapa ia terlalu percaya kepada Ki Jatoko? Kalau saja ia bersama Joko Wandiro, tiada seorangpun akan berani mengganggunya. Sambil berlari-lari cepat mengikuti larinya kuda, Ayu Candra menangis penuh sesal di hatinya. Ia tidak takut mati, namun ia merasa ngeri mendengar ancaman tadi, ngeri dan takut.
Sebagai puteri Ki Adibroto yang menggemblengnya sejak kecil dengan watak satria dan pendekar, ia sanggup menghadapi maut dengan mata terbuka. Akan tetapi sebagai seorang wanita, ia merasa ngeri sekali menghadapi ancaman yang lebih hebat dari pada maut itu. Diperisteri si buntung yang buruk rupa Ki Jatoko! Dan dalam keadaan bagaimana pun juga, ia maklum bahwa ia bukan lawan Endang Patibroto maupun Ki Jatoko sehingga melawanpun akan sia-sia. Lebih baik ia bunuh diri! Akan tetapi, bahkan bunuh diripun takkan mungkin kalau ia berada di dekat dua orang yang sakti ini…..!
********************
Di kaki Gunung Bromo sebelah timur, dalam sebuah hutan yang amat angker di mana terdapat sumber mata air Sungai Bondoyudo, di situlah tempat pertapaan Bhagawan Kundilomuko, yang sekaligus menjadi pusat atau markas para pengikutnya yang jumlahnya mendekati seratus orang! Di dalam hutan itu dibangun pondok-pondok bambu yang banyak jumlahnya, mengelilingi sebuah bangunan kayu yang besar dan megah, yang berdiri di dekat mata air Sungai Bondoyudo di mana tumbuh sebatang pohon waringin yang besar sekali.
Bangunan kayu inilah tempat sang bhagawan bertapa dan bersenang-senang, dan di situ pula terdapat sebuah ruangan yang luas sekali, tempat para pengikutnya berkumpul dan tempat diadakannya upacara-upacara keagamaan. Hutan ini disebut hutan Durgaloka. Selain hutan Durgaloka yang menjadi pusat, sang bhagawan mempunyai pula sebuah tempat bertapa di mana ia sering kali pergi mengasingkan diri, hanya diikuti beberapa orang muridnya tersayang, yaitu di hutan Gumukmas yang berada di tepi pantai Laut Selatan. Sang Bhagawan Kundilomuko adalah seorang kakek yang sudah berusia tinggi.
Tidak ada seorangpun tahu berapa usia kakek ini. Banyak di antara para muridnya menduga bahwa sedikitnya kakek itu tentu sudah berusia seratus tahun! Tubuhnya tinggi kurus, akan tetapi masih tegak dan nampak kuat. Rambutnya panjang terurai, sudah putih semua, halus seperti benang sutera. Kumis dan jenggotnya juga panjang dan putih semua. Namun rambut, kumis dan jenggot itu selalu terpelihara baik-baik, biarpun terurai, namun halus dan bersih, tidak kumal berkat pemeliharaan para murid- muridnya terkasih yang setiap waktu menyisiri rambut itu.
Wajahnya yang kurus masih membayangkan garis-garis wajah laki-laki tampan, tidak tampak kisut, masih segar seperti wajah seorang muda. Bahkan sepasang matanya sama sekali belum lamur, masih tajam dan penuh semangat. Hanya gerak-geriknya yang halus, suaranya yang lemah lembut itu saja yang menyatakan bahwa dia seonang kakek pertapa yang berilmu tinggi. Inilah dia pendeta yang menjadi ayah Ni Durgogini dan Ni Nogogini! Dan agaknya dua buah anting-anting yang tergantung di kedua telinganya itulah yang membuat ia mempunyai sebutan Kundilomuko (kundilo = anting anting).
Apabila orang bertemu dengan Bhagawan Kundilomuko, apalagi bertemu di tempat sunyi, tentu akan mengganggap tanpa keraguan lagi bahwa dia adalah seorang pendeta yang hidup bersih dan suci seorang yang berilmu dan sakti. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa Bhagawan Kundilomuko adalah seorang pendeta yang berilmu dan sakti. Akan tetapi hidup bersih dan suci? Hal ini masih disangsikan, melihat keadaan di pertapaan Durgaloka itu. Sebagian besar murid-muridnya adalah wanita-wanita muda yang cantik-cantik dan yang memenuhi tempat itu. Pakaian para murid itu hanyalah kain putih yang tipis dan halus seperti sutera sehingga terbayanglah bentuk tubuh mereka.
Murid-murid prianya ada tiga puluh orang dan semua murid pria bertugas di luar rumah sang pendeta. Memang kalau siang hari tempat itu tampak sunyi dan bersih mirip tempat-tempat pertapaan yang keramat. Akan tetapi apabila matahari telah menghilang, tempat itu berubah menjadi tempat pengumbar nafsu sang pendeta dan murid-muridnya. Lebih-lebih lagi kalau malam bulan purnama! Sebulan sekali di waktu bulan purnama, Bhagawan Kundilomuko mengadakan upacara keagamaan, memuja Bathari Durgo dengan tari-tarian yang luar biasa!
Murid-muridnya yang cantik akan melakukan tari-tarian yang hebat menggairahkan, penuh nafsu, dan pada puncak tari-tarian, gadis-gadis yang bergerak bukan atas kehendak pribadi melainkan sudah dikuasai kekuasaan-kekuasaan hitam itu menanggalkan pakaian mereka sampai telanjang bulat sambil menari-nari!
Bhagawan Kundilomuko adalah seorang penyembah Bathari Durgo. Tempat pertapaannya penuh dengan arca-arca Bathari Durgo, bahkan di ruangan yang luas, tepat di atas sumber mata air Sungai Bondoyudo, terdapat sebuah patung Bathari Durgo yang indah sekali buatannya, sebuah patung kayu sebesar manusia yang seakan-akan hidup, dihias dengan emas intan dan sutera beraneka warna. Di sinilah pusat keramaian upacara di malam bulan purnama memuja Sang Bathari Durgo ratu sekalian iblis!
Namun pada pagi hari itu, pada wajah para murid sang bhagawan, terbayang kecemasan. Mereka tidak banyak bicara, namun pandang mata yang saling ditukar cukup menyatakan kegelisahan hati mereka. Apakah yang telah terjadi? Pagi tadi, pagi-pagi sekali, seorang tamu yang buruk rupa dan buntung kedua kakinya datang mengunjungi sang bhagawan. Ki Jatoko atau Jokowanengpati telah datang di tempat itu. Seperti diketahui, di waktu belum cacad dahulu, Jokowanengpati adalah kekasih Ni Durgogini dan sudah mengenal pula Bhagawan Kundilomuko, bahkan sudah beberapa kali datang mengunjungi tempat ini. Semenjak kakinya buntung, belum pernah ia datang.
Mengapa kini ia datang berkunjung? Ki Jatoko memang seorang yang cerdik bukan main. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia mencari-cari Ayu Candra, akan tetapi bertemu dengan Endang Patibroto yang dapat pula dibujuknya. Ketika ia tiba di Kerajaan Jenggala dan mendengar akan persekutuan yang hendak merobohkan Jenggala, tentu saja ia lalu menanti angin baik dan mencari siasat. Ia maklum bahwa tak mungkin ia seterusnya bersekutu dengan Endang Patibroto yang memandang rendah kepadanya. Apalagi kalau kelak puteri Kartikosari ini tahu bahwa dia adalah Jokowanengpati musuh besar ibunya, tentu gadis yang sakti dan ganas melebihi setan itu akan membunuhnya. Maka segera memihak para pemberontak dan diam-diam menanti saat baik untuk masuk persekutuan itu. Diam-diam ia memasang mata dan telinga, mencari kesempatan.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan takutnya ketika ia mendengar tentang matinya Ni Durgogini dan Ni Nogogini di tangan Endang Patibroto! Tadinya ia sudah kegirangan karena dua orang wanita itu telah dapat menguasai sang prabu. Maka Ki Jatoko yang cerdik itu lalu cepat-cepat mengunjungi Bhagawan Kundilomuko untuk mengabarkan tentang kematian dua orang puterinya itu, sekalian untuk menawarkan tenaganya untuk bersekutu.
Setelah Bhagawan Kundilomuko mengadakan persekutuan rahasia dengan Adipati Jagalmanik di Nusabarung, pertapaan Durgaloka dijaga keras oleh anak buah atau murid-muridnya. Oleh karena ini, ketika Ki Jatoko yang buntung dan buruk rupa itu muncul, para murid yang menjaga menjadi curiga dan hampir saja menyerangnya. Biarpun Ki Jatoko telah memperkenalkan diri sebagai Jokowanengpati, namun mereka tidak percaya dan tidak memperkenankan dia memasuki wilayah pertapaan Durgaloka.
Untung bagi Ki Jatoko bahwa pada saat itu kebetulan sekali sang bhagawan keluar dari pondok dan melihat ribut-ribut ini lalu menghampiri. Sang bhagawan adalah seorang yang waspada dan ia mengenal Jokowanengpati yang kini telah menjadi seorang tapadaksa, buntung dan buruk rupa. Maka cepat ia mempersilakan si buntung itu masuk dan mengikutinya ke dalam pondok.
"Raden Jokowanengpati, bagaimanakah keadaan andika sampai seperti ini?" Setelah mereka duduk berhadapan di dalam pondok, pendeta tua itu bertanya, memandang tajam penuh iba hati.
Ki Jatoko mengerutkan alisnya dan menggeleng-geleng kepala sambil menarik napas panjang. "Aaahhh, memang sudah dikehendaki Dewata, paman bhagawan. Nasib buruk terpedaya musuh sampai menjadi begini. Akan tetapi, biarpun tubuh sudah menjadi begini dan nama saya sudah berubah menjadi Ki Jatoko, setidaknya saya masih hidup! Yang lebih menyedihkan adalah nasib kedua puteri paman, Ni Durgogini dan Ni Nogogini, mereka telah dibunuh orang"
"Aaauuuurrrrgggghh...!" Tiba-tiba pendeta tua itu meloncat dari bangkunya sampai tinggi dan suara yang bukan menyerupai suara manusia keluar dari kerongkongannya. Ketika tubuhnya turun, ia berdiri tegak, kedua tangan terkepal, mata menyinarkan cahaya berapi-api, mulut yang tersembunyi di balik Jengger lebat itu mengeluarkan busa!
"Siapa pembunuhnya bagaimana...?" Suaranya tersendat-sendat, sukar keluarnya.
"Ah, ketiwasan (celaka), paman bhagawan. Rencana gusti adipati di Nusabarung dan paman sekalian untuk menyerbu Jenggala telah diketahui. Tadinya kedua puteri paman memang sudah hampir berhasil menguasai sang prabu di Jenggala. Akan tetapi, celaka sekali, para pangeran sudah dapat menduga akan rencana pemberontakan sehingga mereka mengutus kepala pengawal, puteri sakti Endang Patibroto menyerbu ke taman sari istana dan membunuh mereka! Bahkan Endang Patibroto telah diberi tugas untuk memimpin pasukan menyerbu ke Nusabarung, paman!"
"Babo-babo, si keparat Endang Patibroto! Seperti apa macamnya wanita itu... hemmm... akan kuhancur lumatkan tubuhnya...!" Kakek tua renta itu berkerot gigi dan mengepal kedua tangannya.
"Ah, paman bhagawan, dia sungguh seorang wanita muda yang sakti mandraguna, sama sekali tak boleh dibuat main-main. Dia adalah murid tunggal terkasih dari Sang Dibyo Mamangkoro."
Terkejutlah Bhagawan Kundilomuko mendengar ini dan sejenak ia termenung. Ia pernah bertemu dengan Dibyo Mamangkoro dan harus ia akui bahwa ilmu kesaktian Dibyo Mamangkoro adalah luar biasa sekali, jauh di atas tingkat ilmunya sendiri. Untuk menghadapi murid raksasa itu, agaknya sukar untuk mencari kemenangan. Ia mengangguk-angguk dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmu hitamnya. Hanya dengan ilmu hitamnya, ia akan dapat mengatasi lawan setangguh itu. Hatinya agak cemas ketika ia mendengarkan Ki Jatoko yang mulai menuturkan tentang kesaktian Endang Patibroto yang kini diangkat senopati oleh Sang Prabu Jenggala untuk memimpin barisan menyerbu Nusabarung.
"Kalau begitu kita harus cepat-cepat memberi laporan ke Nusabarung. Harus bersiap sedia menyambut datangnya barisan Jenggala!" Kakek itu dengan gugup lalu mengumpulkan anak muridnya dengan isyarat tepukan tangan.
Berserabutanlah wanita muda dan cantik datang ke ruangan itu sehingga Ki Jatoko yang terkenal mata keranjang sibuk menggunakan matanya berpesta-pora memandangi wajah yang cantik-cantik dan tubuh yang muda dan montok menarik. Kakek pendeta itu membagi-bagi tugas. Ada yang disuruh mengabarkan ke Nusabarung, ada yang disuruh mengatur penjagaan ketat di sekitar daerah pertapaan Durgaloka, dan lain-lain persiapan. Bahkan ada yang disuruh mencari keterangan tentang pasukan musuh yang sedang mendatangi. Seketika keadaan di pertapaan Durgaloka menjadi gelisah dan semua anak murid bersiap-siap. Melihat kegugupan kakek pendeta, Ki Jatoko diam saja, kemudian setelah sang pendeta selesai membagi-bagi tugas, ia lalu berkata,
"Harap paman tenang. Saya sudah mempunyai rencana bagus dan jika paman bhagawan menyetujui rencana dan siasat saya, tanggung sekali pukul kita akan dapat memetik dua keuntungan."
Bhagawan Kundilomuko yang merasa berduka atas kematian kedua orang anaknya dan juga gelisah mendengar akan kegagalan siasat pemberontakan mereka, cepat menaruh perhatian dan segera menarik tangan Ki Jatoko diajak berunding di kamar dalam. Ia memberi isyarat kepada lima orang wanita cantik yang menjadi murid-murid terkasih untuk meninggalkan kamar itu, kemudian menghadapi Ki Jatoko.
"Sekarang jelaskanlah apa rencanamu itu, Raden Joko"
"Harap paman selanjutnya menyebut saya Jatoko saja, karena nama lama itu sudah saya kubur bersama...dua buah kaki saya."
"Hemm, baiklah, anakmas Jatoko. Katakanlah bagaimana rencanamu itu dan percayalah, kelak aku yang akan menyampaikan jasa-jasamu kepada adipati di Nusabarung apabila rencanamu berhasil."
"Begini, paman bhagawan. Siasat saya ini untuk menghadapi tiga persoalan. Pertama untuk menanggulangi tentara Jenggala yang dipimpin Endang Patibroto menyerbu ke Nusabarung. Ke dua untuk melanjutkan rencana penyerangan kita ke Jenggala dan ke tiga untuk menghadapi Endang Patibroto yang sakti mandraguna."
Girang hati kakek pendeta Bhagawan Kundilomuko mendengar ini. Ia segera mendesak si buntung itu menjelaskan siasatnya. Dengan suara berbisik-bisik Ki Jatoko yang sudah kehilangan kedua kaki namun tidak kehilangan muslihat dan kecerdikannya, menjelaskan siasatnya. Kakek pendeta itu mengangguk-angguk dan dengan wajah girang sekali ia menepuk-nepuk pundak Ki Jatoko.
"Bagus...! Bagus sekali, anakmas Jatoko... Ha-ha-haha, bagus sekali! Ah, sayang mengapa baru sekarang kau muncul. Kalau dulu-dulu kau datang membantu, kita tidak akan mengalami malapetaka seperti sekarang ini..!"
Bhagawan Kundilomuko lalu memanggil Pusponila, seorang di antara muridnya yang terkasih dan terpercaya. Gadis berusia dua puluh tahun lebih ini cantik manis dan cekatan, berkulit hitam manis dan bermata tajam. Ia datang berlutut dan menyembah guru dan junjungannya. Pusponila ini yang mendapat tugas untuk secepat mungkin pergi menghadap Sang Adipati Jagalmanik di Nusabarung untuk menyampaikan siasat yang diajukan Ki Jatoko, mempersiapkan dua pasukan. Pasukan kecil untuk membantu pertapaan Durgaloka menyambut pasukan Jenggala, adapun pasukan besar untuk menyerang Jenggala.
Belum lama Pusponila berangkat, datanglah tiga orang murid laki-laki berlari-lari dengan muka pucat. Mereka datang menunggang kuda dan tak pernah berhenti siang malam sehingga kuda mereka roboh mati di jalan, lalu mereka terus melanjutkan perjalanan dengan berlari-lari cepat. Mereka adalah sebagian dari anak murid yang bertugas di luar dan sudah lama mereka bertugas memata-matai gerak-gerik Kerajaan Jenggala. Dengan napas tersengal-sengal mereka menyampaikan berita tentang kematian Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyakso di tengah jalan, tewas di tangan Endang Patibroto!
Seketika pucat wajah Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko. Sejenak mereka saling pandang dan merasa ngeri. Betapa saktinya gadis itu yang sekaligus seorang diri telah berhasil menewaskan tiga orang tokoh jagoan seperti orang-orang sakti itu. Dan sekaligus rusaklah siasat dan rencana ke tiga yang dikemukakan Ki Jatoko tadi, yaitu siasat hendak mencegat dan mengeroyok Endang Patibroto mengandalkan bantuan tiga orang yang sekarang sudah mati itu!
"Lalu bagaimana? Di mana sekarang gadis iblis itu?" Bhagawan Kundilomuko bertanya kepada tiga orang muridnya yang masih terengah-engah. "Ataukah barang kali kalian sudah begitu ketakutan sehingga tidak berani menyelidiki pula?" Kalimat terakhir terdengar bengis.
"Ampunkah hamba, bapa bhagawan yang mulia. Tidak sekali-kali hamba bertiga melalaikan kewajiban. Hamba bertiga dengan susah payah mencari jejak senopati wanita itu yang meninggalkan pasukannya. Ia menuju ke selatan dan di tengah jalan ketika hamba bertiga dapat menyusulnya, dia telah menyeret-nyeret seorang puteri cantik. Hamba bertiga lalu cepat-cepat pulang untuk melaporkan semua itu kepada bapa guru."
Dengan alis putih berkerut pendeta itu lalu memberi isyarat menyuruh murid-muridnya pergi, kemudian ia berpaling kepada Ki Jatoko. Ia melihat si buntung itu termenung-menung dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.
"Bagaimana baiknya sekarang, anakmas Jatoko?"
Ki Jatoko tampak terkejut. Ketika mendengar penuturan murid-murid pendeta itu tentang diseret-seretnya seorang gadis cantik oleh Endang Patibroto, seketika ia teringat kepada Ayu Candra. Siapa lagi kalau bukan Ayu Candra yang tertawan oleh Endang Patibroto? Tentu Ayu Candra sudah mendengar pula percakapan di dalam hutan antara Joko Wandiro dan Endang Patibroto, dan mengetahui bahwa musuh yang membunuh ayah bundanya adalah Endang Patibroto. Mendengar pula bahwa Kartikosari tinggal di Pulau Sempu dan mungkin dia ingin membalas dendamnya ke pulau itu! Maka terkejutlah ia ketika ditegur oleh Sang Bhagawan Kundilomuko.
"Ehh...! Jangan khawatir, paman bhagawan. Bahkan kebetulan sekali kalau Endang Patibroto masih mendahului pasukannya. Kalau pasukan dari Nusabarung tiba, ditambah murid-murid paman yang perkasa, supaya mengadakan pencegatan seperti yang telah saya gambarkan. Adapun tentang Endang Patibroto, karena sekarang tak mungkin kita menggunakan kekerasan menghadapinya setelah tiga orang paman yang kita harapkan bantuannya itu tewas semua, biarlah saya seorang diri menghadapinya. Percayalah, paman bhagawan, jelek-jelek Ki Jatoko sanggup memancingnya masuk ke pertapaan Durgaloka dan dengan akal dan kesaktian paman bhagawan, saya harap gadis perkasa itu dapat ditundukkan."
"Ah-ah, bagus sekali, anakmas Jatoko! Asal kau dapat memancingnya seorang diri memasuki tempat ini, aku punya akal untuk menaklukkan iblis itu! Hemm... pasti dapat kuhancur leburkan si keparat yang telah membunuh dua orang anakku!"
"Eh, paman bhagawan. Saya kira paman akan berpendapat lain kalau dia sudah masuk ke sini dan dapat ditundukkan."
"Mengapa? Bagaimana...?"
Ki Jatoko tersenyum menyeringai.
"Paman saksikan sendiri sajalah nanti! Sekarang saya memohon doa restu paman agar saya berhasil memancingnya masuk ke sini."
Segera disediakan seekor kuda yang amat baik untuk Ki Jatoko dan biarpun ia sudah buntung kedua kakinya, tubuhnya masih cekatan sekali ketika meloncat naik ke punggung kuda. Ia sudah mendengarkan lagi penjelasan-penjelasan tiga orang anak murid Bhagawan Kundilomuko tadi dan mendengar gambaran mereka tentang puteri jelita yang ditawan Endang Patibroto, ia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentulah Ayu Candra puteri itu. Ia menanyakan di mana mereka melihat wanita perkasa itu, kemudian membalapkan kudanya meninggalkan pertapaan Durgaloka untuk memapaki perjalanan Endang Patibroto dan Ayu Candra yang menjadi tawanannya.
Adapun Bhagawan Kundilomuko juga sudah bersiap-siap mengatur semua siasat yang dijalankan Ki Jatoko. Ketika pasukan Nusabarung tiba, ia mengerahkan anak buah atau anak muridnya, sesuai dengan siasat dan petunjuk Ki Jatoko, untuk ikut bersama pasukan ini menghadang barisan Jenggala yang akan melakukan penyerbuan ke Nusabarung…..
********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BADAI LAUT SELATAN (BAGIAN KE-03 SERIAL KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA)