BADAI LAUT SELATAN : JILID-55


Joko Wandiro terus didesak, dihujani serangan dari lima penjuru, serangan yang cepat, kuat, dan susul-menyusul. Dengan Aji Bayu Sakti, Joko Wandiro seenaknya mengelak ke sana ke mari. Jangankan baru dikeroyok lima, biarpun ditambah sepuluh orang lagi kalau ia menggunakan aji ini, tak mungkin tubuhnya akan dapat dicium senjata lawan. Lima orang perwira itu menjadi pusing dan mata mereka berkunang ketika tubuh lawan yang dikeroyok bergerak-gerak amat cepatnya sehingga lenyap bentuk tubuhnya, hanya tampak bayangan yang tentu saja sukar sekali untuk diserang.
Sementara itu, perwira berkumis panjang yang tidak ikut mengeroyok, cepat-cepat membujuk dengan kata-kata mengandung ancaman. Karena tidak ingin diperlakukan kasar dan dipaksa naik kuda, terpaksa sekali Sang Puteri Mayagaluh meloncat ke atas punggung kuda itu, diikuti oleh perwira berkumis panjang yang meloncat ke atas seekor kuda lain. Mayagaluh menoleh dan melempar pandang terakhir ke arah Joko Wandiro yang masih sibuk menghadapi lima orang pengeroyoknya, kemudian kudanya dicambuk dari belakang oleh perwira berkumis sehingga kuda itu meloncat ke depan dan berlari cepat.
Joko Wandiro mendengar derap kaki kuda cepat menengok. Alangkah kaget dan mendongkol hatinya melihat sang puteri sudah dilarikan seekor kuda, diikuti si perwira berkumis. Tadinya ia tidak berniat merobohkan lima orang perwira ini karena ia masih merasa segan untuk bermusuhan dengan mereka. Akan tetapi melihat sang puteri dibawa pergi dan menduga bahwa betapa pun juga, puteri seorang musuh tentu takkan mendapat perlayanan baik kalau terjatuh di tangan musuh, timbul kekhawatirannya. Sekali ia berseru keras, kedua tangannya bergerak dan dua orang pengeroyok tak dapat mempertahankan diri terhadap dorongan kedua tangan Joko Wandiro yang mengandung hawa pukulan luar biasa panasnya itu. Mereka berteriak kaget dan terdorong roboh, keris mereka mencelat entah ke mana. Menggunakan kesempatan ini, Joko Wandiro meloncat jauh melakukan pengejaran.
Biarpun kuda yang membawa lari puteri itu membalap, namun Joko Wandiro yang mengerahkan Aji Bayu Sakti, sebentar saja sudah hampir dapat menyusulnya. Namun tiga orang perwira yang belum roboh, juga sudah mencemplak kuda dan mengejar sambil berteriak-teriak. Tiga orang perwira itu adalah ahli-ahli dalam hal menunggang kuda, maka sebelum Joko Wandiro dapat turun tangan merampas kembali Puteri Mayagaluh, la sudah tersusul dan kembali mereka menerjang dan mengurungnya sambil melompat dari atas kuda masirtg-masing. Gerakan mereka cukup gesit dan tangkas dan sekali lagi Joko Wandiro terpaksa menggunakan Aji Bayu Sakti untuk menghindarkan diri dari hujan tikaman keris.
Melihat sang puteri makin jauh, Joko Wandiro panas hatinya. "Kalian ini benar-benar tak tahu diri!" bentaknya dan mulailah ia menggerakkan kaki tangan untuk menangkis dan balas menyerang.
Pada saat itu, dua orang perwira yang tadi hanya roboh oleh tenaga dorongan dahsyat dan tidak terluka, kini sudah datang pula menyerbu sambil melompat turun dari atas kuda masing-masing. Kembali lima orang perwira mengeroyok Joko Wandiro. Dua orang perwira yang kehilangan keris, kini malah menggunakan tombak yang tadinya terselip di punggung kuda. Dari jauh tampak perwira ke enarn yang patah tulang lengannya, berjalan perlahan karena kudanya ditunggangi oleh sang puteri. Tentu saja setelah tulang lengannya patah, ia tidak dapat membantu teman-temannya.
Tadi ketika Joko Wandiro hanya menggunakan kegesitannya berlandaskan Aji Bayu Sakti untuk mengelak ke sana ke sini, lima orang itu sudah tak berdaya dan sama sekali tidak mampu menyentuh ujung bajunya. Sekarang, dengan menggunakan Aji Kukilo Sakti yaitu gerak silat tangan kosong yang amat lincah dan hebat, tubuh Joko Wandiro menyambar-nyambar seperti seekor burung garuda dan kocar-kacirlah lima orang pengeroyoknya. Terdengar teriak-teriakan kaget, keris terlempar dan tubuh terbantmg. Dalam beberapa menit saja, lima orang itu sudah roboh tanpa memegang senjata lagi dan biarpun mereka tidak menderita luka parah, namun tamparan tangan Joko Wandiro membuat mereka pening dan untuk beberapa lama mereka tidak mampu bangun!
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih dan seorang kakek berusia kurang lebih lima puluh lima tahun berdiri di depan Joko Wandiro. Kakek itu bertubuh sedang namun berdiri tegak dan gagah seperti tubuh seorang pemuda, wajahnya kemerahan dan keren gagah, alis, kumis dan jenggotnya masih hitam akan tetapi rambutnya sudah berwarna dua. Di tangan kanannya terpegang sebatang tongkat kehitaman yang mengkilap dan pakaiannya ringkas serba putih.
"Hemmm, pemuda jahat dari manakah berani mengandalkan kepandaian menghina dan merobohkan para perwira Kerajaan Panjalu?" katanya dengan suara keren, matanya bersinar keras dan tangan kirinya mengelus jenggot.
Berkelebatnya bayangan kakek ini tadi membuktikan bahwa kakek ini seorang berilmu, rnaka Joko Wandiro tidak berani memandang rendah. Pemuda ini segera membungkuk dan berkata penuh hormat, "Paman, aku tidak menganggap mereka ini perwira-perwira Panjalu yang gagah, melainkan orang-orang jahat yang hendak menculik seorang wanita. Harap paman jangan mencampuri urusan ini."
Seorang di antara para perwira, yaitu yang lengannya patah, mengenal kakek ini dan segera berkata, "Paman Darmobroto! Saya Jatmiko dari kaki Merbabu pula, sahabat putera paman Joko Seto! Paman, orang muda ini hendak membela seorang puteri Jenggala yang menjadi tawanan kami. Harap paman suka membantu kami dan jangan membiarkan dia mengejar seorang kawan kami yang membawa puteri itu menghadap Gusti Prabu."
"Orang muda, menyerahlah!" Ki Darmobroto, kakek itu membentak.
Mendengar disebutnya nama kakek ini, dan disebutnya pula nama Joko Seto putera kakek ini, sejenak Joko Wandiro tertegun. Itulah nama-nama yang disebut oleh Ki Adibroto dalam pesan terakhir! Inilah Ki Darmobroto calon mertua Ayu Candra! Hatinya makin tidak enak. Kalau tadi ia meragu untuk melawan kakek ini, sekarang ia makin merasa berat pula.
"Paman Darmobroto, kumohon agar paman jangan mencampuri urusan ini, biarlah lain kali aku akan datang menghadap paman, minta maaf dan akan bicara hal yang amat penting bagi paman dan putera paman, Joko Seto "
"Hemm, kau sudah merobohkan perwira-perwira Panjalu, siapa peraaya omonganmu? Bocah, lebih baik kau pergi dan jangan lanjutkan perbuatanmu menentang Panjalu, dan aku pun sudah memaafkanmu."
Diam-diam Ki Darmobroto yang kini memperhatikan para perwira yang roboh, merasa kaget dan kagum. Perwira-perwira itu bukan orang-orang muda, tentu bukan perwira sembarangan dan sudah memiliki kepandaian yang lumayan. Akan tetapi enam perwira itu semua roboh oleh pemuda ini, tanda bahwa pemuda ini benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa. Apalagi melihat betapa mereka berenam itu tidak ada yang menderita luka berat, hal ini kembali membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang yang kejam.
Inilah yang membuat Ki Darmobroto merasa suka dan sayang kepada Joko Wandiro dan ingin menyudahi urusan itu asal Joko Wandiro suka pergi dan tidak melanjutkan usahanya merampas puteri. Akan tetapi justeru hal inilah yang memberatkan hati Joko Wandiro. Ia suka mengalah asal Puteri Mayagaluh dibebaskanl Dengan suara bingung karena sang puteri kini sudah dilarikan jauh, ia berkata,
"Paman Darmobroto, aku tidak berniat melawanmu, juga tidak ingin bermusuhan dengan perwira Panjalu. Aku hanya ingin membebaskan sang puteri!"
Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat cepat sekali, meloncat jauh dan kembali ia mengejar sang puteri dan si perwira berkumis. Ki Darmobroto makin kagum menyaksikan gerakan pemuda itu. Ia pun cepat mengejar sambil mengerahkan ilmunya berlari cepat. Alangkah kagum hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa ilmu lari cepat pemuda ini tidak kalah olehnya.
Padahal ia sudah mempergunakan aji keringanan tubuh yang merupakan ilmu warisan dari nenek moyangnya dan yang sudah amat terkenal di daerah Merbabu! Ia makin penasaran dan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun karena Joko Wandiro juga mengerahkan seluruh tenaganya, menggunakan Aji Bayu Sakti yang ia dapat dari Empu Bharodo, maka pendekar Gunung Merbabu itu hanya mampu membayanginya, belum mampu menyusulnya.
Para perwira juga segera berloncatan ke atas kuda dan mengejar. Perwira yang lengannya patah membonceng salah seekor kuda mereka. Kejar-kejaran terjadi dengan seru. Debu mengepul dan tubuh mereka berkelebat keluar masuk hutan. Dengan loncatan-Ioncatan jauh dan berlari cepat sekali, akhirnya Joko Wandiro berhasil menyusul Mayagaluh dan perwira berkumis.
"Gusti puteri, hentikan kuda paduka! Jangan takut, hamba melindungi paduka!" teriak Joko Wandiro.
Perwira berkumis marah sekali, membalikkan tubuhnya dan menyerang dengan sebatang tombak yang panjang ke arah Joko Wandiro. Akan tetapi tanpa mengelak, pemuda itu menggerakkan tangan dan berhasil menangkap leher tombak lalu membetot keras. Perwira itu terkejut sekali dan terpaksa melepaskan tombak karena kalau tidak, ia tentu akan turut terbetot jatuh dari atas kuda.
"Perwira Panjalu, jangan kurang ajar dan bebaskan sang puteri!" Joko Wandiro membentak marah.
Puteri Mayagaluh kagum memandang Joko Wandiro, mulutnya tersenyum manis dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri. Ia senang sekali melihat kesetiaan pemuda itu. Maka ia lalu menahan kudanya. Akan tetapi pada saat itu, sesosok bayangan putih sudah tiba di tempat itu dan langsung menerjang Joko Wandiro sambil dibarengi bentakan,
"Orang muda, kaulah yang kurang ajar!"
Itulah Ki Darmobroto yang sudah menyerang dengan tangan kirinya mencengkeram ke arah pundak Joko Wandiro. Hebat gerakan kakek ini, didahului angin menyambar amat kuat. Joko Wandiro maklum bahwa kakek ini memiliki tenaga yang hebat, maka ia tidak mau membiarkan pundaknya dicengkeram. Akan tetapi ia pun sebagai seorang sakti ingin sekali menguji sampai di mana keampuhan tangan kakek Merbabu itu, maka ia lalu mengangkat tangan kanannya menangkis sambil berkata, "Paman, aku hanya ingin mencegah orang menghina seorang wanita!"
Dua buah lengan yang mengandung tenaga mujijat itu saling bertemu dan terkejut bukan main hati pendekar Merbabu ketika tidak hanya lengannya tergetar, bahkan sebagian dadanya kesemutan akibat benturan itu. Di lain pihak, Joko Wandiro juga kagum karena tenaga kakek itu cukup ampuh, tidak kalah banyak kalau dibandingkan dengan tenaga sakti mendiang Wirokolo yang tangguh. Karena maklum bahwa pemuda ini merupakan lawan berat, maka Ki Darmobroto lalu memegang tongkatnya erat-erat, melangkah maju dan bertanya,
"Orang muda, apakah engkau seorang ponggawa Jenggala? Kalau engkau seorang ponggawa Jenggala, aku hormati kesetiaanmu dan pembelaanmu terhadap gusti puterimu. Akan tetapi kalau engkau bukan ponggawa Jenggala, harap kau suka pergi dengan aman, jangan mencari penyakit."
"Dia bukan ponggawa Jenggala, akan tetapi sebentar lagi tentu dia diberi anugerah kedudukan mulia oleh ramanda prabu!"
Tiba-tiba Puteri Mayagaluh berkata. Joko Wandiro terkejut dan cepat-cepat ia berkata, "Aku bukan ponggawa kerajaan mana pun, paman. Aku membelanya berdasar keadilan karena aku tidak suka melihat seorang wanita muda tanpa dosa diculik."
Akan tetapi pada saat itu, para perwira yang lain sudah tiba di situ dan mendengar ucapan puteri tadi mereka sudah menerjang lagi dan mengurung Joko Wandiro. Adapun Ki Darmobroto yang melihat kenekatan Joko Wandiro hendak melindungi sang puteri, sudah turun tangan pula memutar tongkatnya ikut menerjang.
Sebetulnya, mengingat kedudukannya sebagai seorang tokoh besar Merbabu, seorang angkatan tua yang terkenal, Ki Darmobroto merasa sungkan untuk melawan Joko Wandiro yang bertangan kosong itu dengan tongkatnya yang sakti, Apa pula mengeroyoknya bersama lima orang perwira Panjalu.
Akan tetapi karena yang dihadapinya ini bukan urusan pribadi, melainkan urusan membela Panjalu, ia mengesampingkan perasaan pribadi dan mendahulukan kepentingan junjungannya. Akan tetapi tidak seperti para perwira yang sudah marah dan terhina karena tadi beberapa kali dikalahkan Joko Wandiro dan kini menyerang dengan mati-matian, Ki Darmobroto menggerakkan tongkatnya hanya untuk merobohkan dan menawan pemuda itu.
Biarpun demikian, segera Joko Wandiro mendapat kenyataan betapa serangan orang tua ini amat hebat, ujung tongkatnya menyambar-nyambar dan pecah menjadi belasan batang agaknya saking cepatnya gerakan. Tongkat kayu cendana itu mengeluarkan bau harum dan ketika digerakkan, memperdengarkan suara mengaung. Joko Wandiro terkejut dan segera ia mengerahkan kepandaiannya untuk menghindari hujan senjata itu.
Serangan para perwira yang lima orang jumlahnya itu dapat dengan mudah ia hindarkan, akan tetapi bayangan tongkat kayu cendana di tangan Ki Darmobroto benar-benar membuat ia repot. Ketika ia melompat jauh ke belakang untuk menjauhi para pengeroyoknya, bayangan tongkat dan bayangan putih itu mengejarnya, ujung tongkat tak pernah meninggalkan jalan darah di lehernya dan terdengar orang tua itu berseru,
"Menyerahlah!" sambil menusukkan ujung tongkat kearah jalan darah di leher yang akan membuatnya lumpuh seketika!
Joko Wandiro terpaksa mengeluarkan kepandaiannya. Dengan kelincahan mengandalkan Aji Bayu Sakti, ia miringkan tubuh ke kiri, kemudian dengan jari jari tangan terbuka ia memukul ujung tongkat. itulah pukulan Aji Pethit Nogo yang ampuhnya bukan main. Jangankan hanya tongkat kayu, biarpun tongkat besi akan dapat dipukul patah oleh jari jari tangan yang penuh Aji Pethit Nogo! Akan tetapi kakek itu ternyata hebat. Agaknya dari sambaran angin yang keluar dari tangan Joko Wandiro, kakek itu maklum akan keampuhan Pethit Nogo, maka ia menarik tongkatnya dan menggoyang tangan sehingga ujung tongkat itu kini menyambar dan menotok ke arah telapak tangan Joko Wandiro.
Pemuda itu terkejut dan kagum. Dalam segebrakan ini saja ia maklum bahwa tingkat kepandaian Ki Darmobroto ini tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Ni Durgogini atau Ni Nogogini! Totokan pada telapak tangannya itu amat berbahaya. Pusat jalan darah di tangan berada di telapak tangan, antara ibu jari dan telunjuk, kalau sampai kena tertotok, tentu kelima buah jarinya akan kaku dan tak dapat dipergunakan lagi untuk beberapa lama. Totokan serupa ini sekaligus melumpuhkan atau membuyarkan keampuhan ilmu pukulan Pethit Nogo yang dilakukan dengan telapak tangan terbuka, mengandalkan kepretan jari-jari tangan.
Maklum bahwa ilmu tongkat kakek Itu dapat mengatasi ilmunya Pethit Nogo, Joko Wandiro segera menggerakkan tubuhnya dan mulailah ia melakukan gerakan-gerakan dari Ilmu Silat Bramoro Seto. Tubuhnya berkelebat cepat sekali dan ia menggunakan kecepatannya yang mengatasi kecepatan kakek itu untuk berusaha merampas tongkat.
Ketika kakek ini menggerakkan tongkatnya menyabet dari kanan ke kiri, Joko Wandiro merendahkan tubuh dan secepat kilat tangannya menyambar ke depan. Di lain saat dua jari tangannya telah berhasil menjepit tongkat kayu cendana itu. Betapa kagetnya hati Ki Darmobroto ketika merasa betapa jepitan itu kuat sekali. la mengerahkan tenaga menarik, namun sia-sia, tongkatnya tak dapat terlepas dan pada detik itu, tangan kiri Joko Wandiro dengan jari tangan terbuka melakukan pukulan Pethit Nogo ke arah pelipisnya!
"Celaka...!" seru Ki Darmobroto, terkejut sekali. La dapat menduga bahwa pukulan dengan jari tangan itu amat berbahaya, maka ia tadi memunahkannya dengan totokan-totokan tongkat. Kini tongkatnya terjepit dan dengan tangan kosong, tak mungkin ia berani menerima tamparan dengan jari jari seperti itu.
Untuk mengelak, terpaksa ia harus melepaskan tongkatnya dan hal ini alangkah akan mendatangkan malu baginya. Ia bertongkat, bahkan dibantu lima orang perwira. Pemuda itu bertangan kosong, namun pemuda itu masih dapat merampas tongkatnya? Tidak! Tiba-tiba Ki Darmobroto mengeluarkan pekik nyaring dan tiba-tiba tubuhnya menggelinding ke bawah, terus bergulingan dan tentu saja tongkat itupun ikut terbawa olehnya. Caranya bergulingan amat aneh, akan tetapi Joko Wandiro merasa betapa lengannya yang jarinya menjepit tongkat itu tak dapat menahan dan hendak ikut terbawa gerakan si kakek. Terkejutlah ia dan pada saat itu, kakek itu meloncat sambil menggerakkan kedua kakinya, bertubi-tubi melakukan tendangan.
"Bagus!" Joko Wandiro berseru kagum. Terpaksa kini ia melepaskan tongkat kakek itu dan melompat ke samping sambil menggerakkan tangan kiri menangkis kaki lawannya.
"Desss...!"
Tubuh kakek itu berputar-putar, namun dengan cekatan sekali kakek itu melompat ke atas dan mematahkan gaya berpusing sehingga ia tidak sampai roboh. Kembali Joko Wandiro memuji. Akan tetapi Ki Darmobroto mengeluarkan keringat dingin. Dua gebrakan tadi hampir saja mencelakainya. Kini tahulah ia bahwa pemuda ini benar-benar amat sakti, maka ia lalu menggerakkan tongkatnya dan menerjang tanpa sungkan-sungkan lagi.
Kalau tadi ia hanya berusaha mengalahkan dan menaklukkan pemuda itu, kini ia menyerang sungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Kebetulan lima orang perwira juga sudah maju lagi mengurung sehingga keadaan Joko Wandiro benar-benar terancam.
"Paman sekalian sungguh terlalu, mendesak-desak tanpa memberi kesempatan kepadaku. Kuharap paman suka membiarkan aku mengantar sang puteri kembali ke Jenggala."
"Tak perlu banyak cakap!" bentak seorang perwira.
Sesabar-sabarnya orang, tentu ada batasnya Joko Wandiro sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan para perwira Panjalu yang ia tahu adalah orang orang gagah perkasa dan perajurit perajurit utama ini, lebih-lebih lagi ia tidak ingin bermusuhan dengan Ki Darmobroto, calon ayah mertua Ayu Candra yang sedang di cari carinya itu!
Akan tetapi ia pun tidak mungkin membiarkan Sang Puteri Mayagaluh menjadi tawanan, karena perang di antara kedua kerajaan kakak beradik itu sebetulnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pribadi sang puteri. la menganggap tidak semestinya dan amat curanglah kalau mempergunakan permusuhan kerajaan itu untuk menyeret seorang gadis muda menjadi tawanan. Melihat betapa kini kuda yang ditunggangi Puteri Mayagaluh kembali sudah dituntun dan dibedalkan cepat oleh si perwira berrkumis, kesabarannya lenyap.
"Paman-paman sekalian, sekali lagi hamba minta bebaskanlah sang puteri. Kalau tidak, terpaksa hamba berlaku kurang hormat!" Sengaja ia merendahkan diri kali ini.
"Joko Wandiro! Dengan berpihak kepada Jenggala, engkau menjadi pengkhianat dan menjadi musuh kami!" bentak seorang perwira dan mereka yang dipimpin oleh Ki Darmobroto yang sakti itu sudah menerjang maju bersama.
"Kalau begitu, terimalah ini!" Joko Wandiro mengeluarkan bentakan nyaring sekali, pekik dahsyat yang bukan menyerupai suara manusia lagi.
Pekik dahsyat ini mengiringi dorongan kedua tangannya yang bergerak mendorong sambil membuat lingkaran kearah pengeroyoknya. Inilah pekik Dirodo Melu (Gajah Mengamuk) yang mengiringi Aji Bojro Dahono (Kilat Berapi) sebuah pukulan sakti yang dahulu pernah membuat Ki Patih Narotama terkenal! Hebat bukan main daya serangnya, baru pekik dahsyat itu saja sudah cukup untuk merobohkan lawan kuat yang tergetar jantungnya dan terbang semangatnya, apalagi aji pukulan yang mendatangkan angin lesus dan panasnya kilat menyambar itu.
Tubuh lima orang perwira Panjalu terlempar ke sana ke mari dalam keadaan pingsan! Hanya Ki Darmobroto yang dapat mempertahankan diri, hanya terhuyung-huyung sampai beberapa meter jauhnya, mukanya pucat dan dahinya mengeluarkan keringat dingin. Masih untung bahwa pemuda itu tidak bermaksud mencelakai mereka, dan hanya mempergunakan tenaga terbatas saja.
Kalau tidak, tentu mereka semua termasuk Ki Darmobroto, akan tewas semua. Kakek itu berdiri terbelalak, menarik napas panjang berkali-kali untuk menghimpun tenaga memulihkan keadaan tubuhnya, memandang tubuh Joko Wandiro yang berkelebat cepat lari mengejar sang puteri yang dilarikan.
Kemudian Ki Darmobroto menggeleng geleng kepalanya dan berkata seorang diri, "Dari mana gerangan datang seorang muda yang begini hebat? Kalau pihak Jenggala memiliki jago muda seperti ini... ahh, tiada harapan bagi Panjalu agaknya...!"
Karena merasa tidak akan mampu melawan Joko Wandiro, Ki Darmobroto tidak mengejar, melainkan segera memberi pertolongan kepada para perwira yang masih pingsan. Ternyata Sang Puteri Mayagaluh telah dilarikan jauh sekali oleh perwira berkumis tadi. Joko Wandiro menjadi bingung ketika tidak melihat bayangan mereka. Terpaksa ia beberapa kali meloncat naik ke atas pohon tinggi untuk melihat ke sekeliling. Setelah berlari-lari cepat dan meloncat ke atas beberapa batang pohon tinggi besar, akhirnya ia melihat banyak sekali pernunggang kuda berkumpul di tempat jauh.
Ia menjadi girang akan tetapi juga khawatir akan keselamatan Puteri Mayagaluh, lalu meloncat turun dan cepat-cepat mempergunakan ilmu lari cepatnya untuk mengejar ke tempat yang tampak dari atas itu. Dia seorang yang amat berhati-hati. Begitu dekat dengan tempat itu, ia tidak langsung memperlihatkan diri. Melihat banyak sekali orang di situ, ia lalu menyelinap dan bersembunyi, memandang penuh perhatian.
Kaget dan heranlah ia melihat betapa sang puteri tadi kini menangis di atas dada seorang pemuda tampan yang menghiburnya dengan ucapan dan belaian mesra, kemudian pemuda tampan itu menghardik kepada perwira berkumis yang berlutut dan menyembah-nyembah di depannya,
"Manusia lancang! Berani sekali kau menghina diajeng Mayagaluh? Biarpun kerajaan kita bermusuh dengan kerajaan paman di Jenggala, akan tetapi musuhmu adalah perajurit-perajurit Jenggala, bukan diajeng Mayagaluh! Laki-laki macam apa engkau ini? Pengawal, hajar dia dengan sepuluh kali cambukan!"
Kasihan juga si perwira berkumis itu. Susah payah ia melarikan Puteri Jenggala dengan harapan mendapat puji dan pahala. Siapa tahu, bukan pahala didapat, melainkan cambukan sepuluh kali. Pengawal yang tubuhnya seperti raksasa itu bertenaga besar. Biarpun hanya sepuluh kali, akan tetapi begitu selesai hukuman itu, si perwira berkumis tak sanggup bangkit lagi dan terpaksa harus digotong pergi dari situ oleh dua orang perajurit.
Melihat perkembangan yang sama sekali tidak diduga-duganya ini, hati Joko Wandiro menjadi girang sekali. Siapakah pemuda itu? Apakah sang pangeran kakak Puteri Mayagaluh yang disebut-sebut oleh gadis bangsawan itu tadi? Bersama para pengawalnya? Akan tetapi, mengapa ucapan pemuda bangsawan itu demikian?
Saking herannya dan karena menduga bahwa tak perlu lagi ia bersembunyi, ia lalu meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan berjalan menghampiri tempat itu. Melihat munculnya seorang pemuda yang tak dikenal, belasan orang pengawal segera maju dan sebentar saja Joko Wandiro sudah dikurung. Akan tetapi terdengar seruan Puteri Mayagaluh.
"Tahan! Dia adalah penolongku. Eh Joko Wandiro ke sinilah engkau. Jangan takut, ini adalah kakangmas Pangeran Darmokusumo!"
Joko Wandiro cepat menghampiri puteri itu dan para pengawal yang mendengar seruan Puteri Mayagaluh memberi jalan kepadanya. Puteri itu kini berpaling kepadanya dan berkata, "Joko Wandiro, kakangmas Pangeran Darmokusumo ini adalah pangeran dari Panjalu, kakak misan saya."
Joko Wandiro terkejut, heran, akan tetapi juga girang hatinya. Kiranya pangeran ini tidak sepicik anak buahnya dan bersikap baik terhadap Puteri Jenggala. Maka ia lalu cepat menghaturkan sembah dengan sikap hormat. Pangeran Darmokusumo adalah putera sang prabu di Panjalu dari selir, berusia dua puluh empat tahun, wajahnya tampan sekali dan sikapnya agung.
Ketika Kerajaan Kahuripan belum terpecah dahulu, yaitu ketika kakek mereka Sang Prabu Airlangga belum meninggal dunia, para pangeran dan puteri cucu Sang Prabu Airlangga masih tinggal menjadi satu dalam lingkungan keraton. Biarpun banyak di antara mereka sudah terbawa dalam permusuhan ayah mereka, namun antara Pangeran Darmokusumo dan Puteri Mayagaluh telah terdapat hubungan yang amat akrab. Bahkan diam-diam kedua orang muda ini saling mencinta.
Ketika kerajaan terpecah, mereka terpaksa saling berpisah dan dengan hati sedih kedua orang muda ini melihat betapa ayah mereka saling bermusuhan. Tentu saja sebagai anak, mereka harus berfihak kepada ayah dan kerajaan masing masing, namun di lubuk hati mereka ini tak dapat saling melupakan. Maka pertemuan di dalam hutan, pertemuan yang tak disangka-sangka antara dua hati yang saling dipisahkan ini merupakan pertemuan mengharukan dan mesra.
Biarpun mereka dahulu belum pernah saling menyatakan perasaan cinta kasih masing-masing, dalam pertemuan ini perasaan itu tertumpah dan tadi mereka saling peluk tanpa malu-malu lagi. Pangeran Darmokusumo ketika mendengar nama Joko Wandiro, sudah terkejut dan memandang penuh perhatian. Kini melihat pemuda yang kelihatannya sederhana itu menghaturkan sembah, ia bertanya, suaranya halus namun mengandung wibawa,
"Joko Wandiro namamu? Bukankah engkau ini satria yang pernah menghadap ramanda prabu dan yang telah mengusir mundur Ni Durgogini dan Ni Nogogini dari Panjalu?"
"Benar seperti yang paduka katakan gusti pangeran."
"Joko Wandiro, kau pernah menghadap ramanda prabu hendak mengabdikan diri, sekarang engkau melakukan perlawanan terhadap perajurit-perajurit Panjalu. Apakah hal ini berarti bahwa engkau kini telah berpihak kepada Jenggala?"
"Tidak, dalam peristiwa ini hamba sama sekali tidak mengingat tentang kerajaan mana pun. Hamba hanya melihat seorang wanita yang hendak dibawa secara paksa oleh serombongan pria yang mempergunakan kekerasan. Andai kata wanita itu bukan kebetulan sang puteri dari Jenggala, sekali pun seorang gadis dusun, sudah pasti hamba juga akan turun tangan membelanya. Sebaliknya, andai kata rombongan pria itu bukan perajurit-perajurit Panjalu, misalnya mereka itu para perajurit Jenggala yang mengganggu seorang puteri Panjalu, hambapun tentu akan bertindak mencegah dan menentang mereka."
Senyum kagum menghias wajah tampan itu dan sepasang mata Pangeran Darmokusumo bersinar-sinar, kemudian ia mengangguk-angguk dan menoleh ke arah Puteri Mayagaluh dan berkata, "Diajeng Mayagaluh, sungguh bahagia sekali engkau mendapatkan seorang penolong seperti satria bagus ini."
Kemudian ia memandang Joko Wandiro dan berkata halus, "Joko Wandiro, aku sudah mendengar tentang pertolonganmu kepada sang puteri dari tangan perampok jahat. Sebagai kakak misannya, aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu dan harap kau jangan kepalang dalam melepas budi kepada kami keluarga yang tak bahagia. Antarkan diajeng Mayagaluh sampai selamat ke Jenggala."
Joko Wandiro menyembah, hatinya kagum terhadap pangeran ini. Alangkah akan senang hatinya kalau ia dapat menghambakan diri kepada seorang junjungan yang bijaksana seperti Pangeran Panjalu ini.
"Memang sudah hamba janjikan kepada gusti puteri untuk mengantar beliau pulang ke Jenggala. Kewajiban ini hamba sekali-kali tidak menganggap sebagai pertolongan, maka harap paduka jangan memuji hamba terlalu tinggi."
Pada saat itu, Ki Darmobroto dan perwira Panjalu yang tadi mengejar sudah tiba di tempat itu. Para perwira masih lemah dan pucat akibat pukulan Bojro Dahono dan mereka hanya dapat menundukkan muka ketika ditegur oleh sang pangeran. Akan tetapi pangeran ini hanya bertanya dengan suara halus kepada Ki Darmobroto,
"Paman Darmobroto, mengapa pula paman mencampuri pertandingan antara Joko Wandiro dan perwira-perwira Panjalu yang kurang ajar ini?"
Ki Darmokusumo menghaturkan sembah lalu menjawab, suaranya tenang karena ia merasa dalam kebenaran, "Hamba hanya melihat para perwira Panjalu bertanding melawan orang muda yang sakti ini dan sebagai seorang hamba Panjalu tentu saja hamba tidak dapat tinggal diam. Menyesal sekali bahwa kepandaian hamba tidak ada artinya sehingga biarpun hamba bantu, para perwira paduka tetap saja mengalami kekalahan."
Setelah berkata demikian, Ki Darmobroto melirik dengan pandang mata kagum terhadap bekas lawannya yang masih bersimpuh di dekatnya, depan sang pangeran. Mendengar ini, Pangeran Darmokusumo menjadi makin kagum terhadap pemuda itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BADAI LAUT SELATAN (BAGIAN KE-03 SERIAL KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA)