BADAI LAUT SELATAN : JILID-35


Wirokolo terkekeh-kekeh dan ia benar-benar menguasai pertandingan itu sehingga kini Resi Bhargowo sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membalas, melainkan meloncat ke sana ke mari, mengelak dan sedapat mungkin menangkis. Namun setiap kali menangkis, ia terpental dan terhuyung-huyung.
Wirokolo manusia iblis! Masih belum bertobat engkau sejak dahulu?"
Suara ini keluar dari mulut Empu Bharodo yang ternyata sudah maju dan membantu adik seperguruannya. Begitu suaranya terdengar, orangnya sudah datang dan tangannya sudah menampar. Bukan main cepatnya gerakan Empu Bharodo. Memang, dalam hal ilmu meringankan tubuh dan gerak cepat, agaknya sukar dicari bandingnya karena Empu Bharodo memiliki Aji Bayu Sakti! Gerakannya ringan dan cepat sekali sehingga tahu-tahu tangannya menampar seperti kilat, tak sempat ditangkis maupun dielakkan lagi oleh Wirokolo.
"Plakk!"
Tamparan itu tepat mengenai dada Wirokolo, sebuah tamparan dahsyat yang didasari ilmu pukulan Jonggring Saloko.
"Huah-hah-hah! Tanganmu empuk seperti tangan perempuan, Empu Bharodo pendeta cacingen!"
Wirokolo yang hanya tergeser selangkah oleh tamparan itu tertawa mengejek lalu balas memukul dengan tangannya yang merah membara. Namun dengan amat cepatnya Empu Bharodo mengelak sehingga pukulan ini mengenai tempat kosong. Juga desakan yang bertubi-tubi merupakan pukulan berantai sampai tujuh kali, sama sekali tidak dapat menyentuh ujung baju si pertapa yang amat cepat gerakannya ini. Setelah Empu Bharoflo turun tangan membantu Resi Bhargowo, pertandingan menjadi lebih ramai, tidak berat sebelah seperti tadi.
Kalau tadi Resi Bhargowo terdesak hebat dan hanya mampu mengelak ke sana ke mari, sekarang dengan bantuan Empu Bharodo keadaan berubah. Biarpun tubuh Wirokolo kebal dan amat sakti sehingga tidak roboh oleh pukulan Pethit Nogo maupun pukulan Jonggring Saloko, namun karena kini kedua orang pertapa itu menujukan pukulan-pukulan mereka ke bagian- bagian tubuh yang lemah, raksasa yang sakti itu menjadi repot juga. Ia sudah mengamuk dan balas memukul atau mencengkeram dengan kedua tangan yang membara, namun gerakan kedua orang lawannya itu terlalu gesit sehingga semua balasan serangannya gagal.
"Plakk! Dess...!"
Tamparan Pethit Nogo oleh jari tangan Resi Bhargowo mengenai pundaknya dan selagi terhuyung, ia dihantam oleh tangan kiri Empu Bharodo yang mengenai lambungnya. Biarpun dua pukulan ampuh ini tidak merobohkannya, namun cukup membuat tulang pundak ngilu dan perut mulas. Bangkitlah kemarahan Wirokolo. Untuk mempergunakan ilmu hitam seperti tadi, ia maklum tidak akan ada gunanya karena Empu Bharodo adalah seorang ahli dalam hal ilmu sihir, sehingga ilmu hitam seperti yang telah ia keluarkan tadi, yaitu Calon Arang, juga dapat dipukul buyar.
Maka kini Wirokolo mengeluarkan teriakan keras sekali sehingga bumi seakan goncang, pohon-pohon bergoyang dan banyak daun pohon berguguran. Di saat lain Wirokolo telah menerjang maju dengan hebat sekali. Kini ular-ular yang tadinya melingkar di pergelangan tangannya, ikut bergerak dan setiap kali ia menghantam, maka ular di pergelangan tangan ikut pula menyambar dan menggigit. Demikian pula ular-ular di kedua kakinya. Bahkan ular di lehernya mengulur leher dan menyembur kan uap berbisa! Semua ini masih ditambah lagi dengan sepasang tombak pendek yang entah kapan telah dicabut oleh Wirokolo dari belakang pinggangnya.
Hebat bukan main raksasa ini sehingga Resi Bhargowo dan Empu Bharodo terkejut juga dan melompat mundur. Empu Bharodo cepat mengeluarkan tombaknya, tombak pusaka yang tadi ia letakkan di depan gua, sedangkan Resi Bhargowo juga menyambar tombak milik Gagak Kunto yang tadi ia rampas. Mereka kini sudah siap dengan senjata di tangan, siap untuk bertanding mati-matian menghadapi lawan yang amat sakti itu.
"Kakang berdua Bharodo dan Bhargowo, harap kalian mundur dan biarkan Wirokolo menjumpai aku."
Suara ini halus, namun mengandung getaran penuh wibawa. Mendengar suara ini, seketika kedua orang pertapa itu melangkah mundur dan kembali duduk bersila di tempat semula. Napas mereka agak terengah, tanda bahwa pertandingan melawan Wirokolo tadi benar-benar amat berat bagi mereka yang sudah berusia lanjut.
Diam-diam Joko Wandiro merasa khawatir sekali. Kalau kedua orang kakek sakti ini tidak mampu mengalahkan lawan, bagaimanakah kakek di depan itu akan menghadapinya seorang diri?
Sementara itu, Wirokolo dengan kedua tombak pendek di tangan, tertawa bergelak sampai perutnya yang besar bergerak-gerak dan mukanya yang beringas menengadah. Kemudian ia menghentikan tawanya dan melangkah maju menghampiri Resi Jatinendra yang masih duduk bersila, akan tetapi kini tidak bersamadhi lagi, sepasang matanya terbuka, memandang penuh kelembutan dan bibirnya tersenyum ramah.
"Kisanak, apakah kau yang bernama Wirokolo?" Pertanyaan ini terdengar halus dan sedikitpun tidak membayangkan kemarahan atau permusuhan.
"Huah-hah-hah! Sang Prabu Airlangga, betul aku Wirokolo!"
"Wirokolo, aku sekarang bukan lagi sang prabu, melainkan Resi Gentayu atau Resi Jatinendra. Andika bertekad datang ke Jalatunda, ada keperluan apakah? Katakan jangan meragu karena apa pun permintaanmu, jika aku kuasa memberi, akan kuberikan kepadamu."
"Huah-hah, Raja Airlangga! Jangan coba bersembunyi di balik kedok pertapa! Setelah kedua orang jagoanmu tak dapat mengalahkan aku, engkau lalu menggunakan kata-kata manis untuk menyenangkan hatiku? Engkau menjadi ketakutan? Takut kepadaku? Hah-hah, Sang Prabu Airlangga yang dahulu disohorkan gagah perkasa itu kini menjadi seperti harimau kehilangan kukunya, garuda kehilangan sayapnya!"
Di dalam hatinya Joko Wandiro terkejut ketika mendengar bahwa kakek pertapa yang tenang dan ramah itu ternyata adalah sang prabu sendiri! Hatinya berdebar penuh kekhawatiran, akan tetapi melihat sikap yang kurang ajar dan sombong dari Wirokolo, jiwa satrianya memberontak, semua urat syaraf di tubuhnya menegang dan hampir tak dapat ia menahan dirinya yang hendak meloncat dan menandingi raksasa sakti itu. Akan tetapi Sang Prabu Airlangga atau Resi Jatinendra sendiri sama sekali tidak kelihatan marah mendengar ejekan dan cemoohan itu, melainkan tersenyum dan suaranya tetap halus dan ramah,
"Satu-satunya hal yang kutakuti di dunia ini hanyalah kalau-kalau aku menyeleweng dari pada kebenaran tanpa kusadari, Wirokolo. Selain itu, tidak ada yang kutakuti, juga engkau tidak. Aku telah sadar, Wirokolo, bahwa penggunaan kekerasan adalah penyelewengan manusia yang paling parah. Dari kekerasan inilah timbulnya segala perkosaan dan kerusakan, wahai kisanak, demi kebaikanmu sendiri, hentikanlah segala kekerasanmu dan katakanlah apa yang kau kehendaki dan aku akan memberikannya kepadamu."
Sejenak sunyi menyambut ucapan yang amat sedap didengar ini. Suasana sunyi yang mengaman kan hati, sunyi yang amat indah di mana tidak ada sesuatu yang mengganggu perasaan. Akan tetapi hanya sebentar karena segera terganggulah getaran damai yang timbul dari sabda sang resi itu oleh suara Wirokolo, "Heh, Airlangga! Siapa percaya obrolanmu? Kau tanya apa kehendakku? Aku menghendaki nyawamu! Lihat, aku akan membunuhmu!"
Wirokolo mengamang-amangkan kedua tombaknya dengan sikap mengancam sambil melangkah makin dekat. Akan tetapi sang resi tersenyum, kemudian terdengar kata-katanya penuh wibawa sehingga ucapan yang keluar dari mulut sang resi mengandung getaran dan gema,
"Hai Wirokolo, dengarlah baik-baik selagi engkau mendapat kesempatan mendengar kebenaran ini. Siapakah engkau ini yang akan dapat membunuh Aku? Siapakah engkau ini yang akan dapat menentukan mati hidup seseorang? Yang tidak berawal takkan berakhir, dan Aku tidak berawal, maka tidak berakhir pula. Yang tidak terlahir, takkan mati, dan Aku tidak terlahir. Yang berawal dan terlahir hanyalah tubuhku, maka yang berakhir atau mati kelak hanya tubuhku. Jangan kira engkau akan dapat membunuhku, oh, Wirokolo, engkau tersesat amat jauh kalau berpikir demikian! Sebaliknya tubuhku ini takkan terluput dari pada kematian, namun jangan pula mengira bahwa engkau yang akan menentukan mati hidup tubuhku, karena hal itu tidak berada dalam kekuasaanmu atau kekuasaan siapa pun juga.Di samping bahwa engkau tidak berdaya untuk menguasai mati hidup seseorang, juga Aku telah diwajibkan menjaga wadah di mana Aku tinggal berupa tubuh ini, Wirokolo! Karena kalau tidak kulakukan hal itu, maka berarti meninggalkan wajib dan hal ini menyalahi keadaan!"
Kembali sunyi yang mendalam menyambut ucapan Sang Resi Jatinendra ini. Lebih lama dari pada tadi. Tiada suara terdengar, bahkan angin sekali pun seperti berhenti bertiup untuk menghormati kata-kata yang merupakan untaian mutiara keluar dari mulut sang resi. Mutiara filsafat yang menjadi ajaran Sang Bhatara Wishnu, dituangkan dalam Bagawad Gita, yaitu ketika Sri Kresna (titisan Wishnu) memberi wejangan kepada Sang Arjuna dalam perang Bharatayuda. Akan tetapi, semua ajaran dan filsafat yang baik hanya dapat memasuki sanubari orang yang hatinya terbuka untuk kebajikan. Hati Wirokolo sama sekali tertutup oleh nafsu-nafsu duniawi yang menggelora sehingga kesadarannya terselimut oleh uap hitam yang timbul dari hawa nafsu, membuat mata sadarnya sementara menjadi buta akan kebenaran. Ia tertawa bergelak penuh ejekan, lalu berkata,
"Apa pun yang kau katakan, Airlangga, takkan dapat menahan kehendakku membunuhmu. Hendak kulihat apakah engkau mampu mengelakkan diri dari pada mati di tanganku, huah-hah-hah!"
"Sesukamulah, Wirokolo. Aku sudah memperingatkanmu!"
Wirokolo kemudian menggunakan sepasang tombaknya. Karena ia maklum bahwa pertapa tua yang duduk bersila itu adalah Sang Prabu Airlangga yang amat sakti. Dahulupun rajanya yang terkenal sakti, Sang Prabu Boko, tak sanggup melawan, maka kini ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ajinya. Sebelum menerjang maju, ia berkemak- kemik membaca mantera dan muncullah bayangan nenek tinggi besar yang tadi muncul dan kemudian mundur karena dikalahkan Empu Bharodo.
Nenek Calon Arang itu tampak bayangannya di belakang Wirokolo! Ketika Wirokolo menggereng, tidak hanya kedua telapak tangannya yang membara, bahkan mulutnya seakan-akan mengeluarkan api bernyala dahsyat, matanya mencorong seperti ada api di dalamnya. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
"Iblis jahat! Biar aku mengadu nyawa denganmu!"
Bentakan ini keluar dari mulut Joko Wandiro yang sudah meloncat maju sambil menggerakkan sepasang goloknya. Hati anak ini tidak dapat menahan lagi menyaksikan sikap Wirokolo yang dahsyat itu. Ia merasa ngeri membayangkan betapa pertapa bekas raja itu sama sekali tidak melawan menghadapi ancaman yang begitu buasnya. Maka tanpa berpikir panjang lagi, mengikuti getar hatinya, ia sudah meloncat dan menerjang Wirokolo dengan sepasang goloknya.
"Joko...!"
Resi Bhargowo berteriak, namun terlambat karena anak itu sudah menggerakkan tubuh dan goloknya, bagaikan seekor harimau muda menerjang Wirokolo dengan kecepatan mengagumkan. Wirokolo sama sekali tidak menduga bahwa dirinya akan diserang seorang anak-anak, menjadi terheran-heran dan hanya memandang dengan mata terbelalak.
"Werr... werr...! Trangg... trangg...!"
"Heh-heh-heh!"
Wirokolo tertawa dan sekali lengannya bergerak, tubuh Joko Wandiro terlempar dan roboh bergulingan, pingsan! Tadi sepasang golok anak ini dengan tepat mengenai sasaran, yaitu di dada dan pundak. Akan tetapi, sepasang golok itu membalik seperti menghantam baja saja ketika bertemu dengan tubuh Wirokolo yang kebal, dan sekali raksasa itu menampar, Joko Wandiro terlempar dan pingsan.
"Huah-hah, Airlangga, setelah kehabisan jago tidak malukah engkau mengajukan seorang bocah? Nah, terimalah kematianmu!"
Tubuh yang tinggi besar itu kini menerjang maju, sepasang tombaknya diputar-putar. Akan tetapi Sang Resi Jatinendra sama sekali tidak bergerak, hanya memandang dengan senyum menghias bibir dan masih duduk bersila di atas batu.
"Wuuuuttt... Desssss!"
Bunga api berhamburan ketika batu yang diduduki Resi Jatinendra pecah ujungnya, dihantam tombak pendek di tangan kanan Wirokolo. Akan tetapi anehnya, Resi Jatinendra masih duduk bersila di situ sambil tersenyum, seujung rambutpun tidak bergeming, apalagi terluka, tombak itu tadi kelihatan tepat mengenai dada pertapa bekas raja ini!
Sejenak Wirokolo terbelalak kaget, akan tetapi ia menjadi makin marah dan penasaran. Ia sama sekali tidak merasa betapa bayangan nenek mengerikan Calon Arang di belakangnya mundur-mundur ketakutan satelah dekat dengan sang pertapa. Selagi Wirokolo melangkah mundur lalu mengambil ancang-ancang untuk menerjang lebih hebat lagi, tiba-tiba menyambar angin keras dari samping, dibarengi bentakan nyaring, "Bedebah Wirokolo, pergilah!"
Angin itu menyambar datang, lalu tampak kaki tangan orang bergerak menerjang Wirokolo! Raksasa itu berusaha menangkis dan melawan, namun sia-sia belaka. Tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat seperti daun kering ditiup angin, terlempar sampai sepuluh meter jauhnya dan jatuh berdebuk seperti batang pohon pisang tumbang!
Ketika raksasa yang sejenak merasa nanar kepalanya itu merangkak bangun sambil menyumpah-nyumpah marah lalu memandang, kiranya yang menyambar dan menghantamnya seperti terjangan Sang Haryo Werkudoro itu bukan lain adalah Ki Patih Narotama!.
"Si keparat Wirokolo! Berani engkau mengganggu junjunganku? Hayo majulah dan kerahkan semua kedigdayaanmu. Inilah musuh lamamu, akulah tandingmu!"
Wirokolo merasa ngeri. Bertahun-tahun yang lalu, ia sudah merasai betapa keras pukulan tangan Ki Patih Narotama! betapa cepat tendangan kakinya. Bahkan kakak seperguruannya sendiri, Dibyo Mamangkoro yang lebih sakti, setelah mengerahkan semua kedigdayaannya dan bertanding yuda melawan patih ini, akhirnya harus mengakui keunggulan ki patih. Dan melihat akibat terjangan ki patih tadi, yang mampu melemparkan ia sampai jauh, membuktikan bahwa selama ini ilmu kesaktian ki patih juga maju pesat.
"Cukuplah, kakang Narotama! Jika engkau membalas kekerasan dengan kekerasan pula, akan berlarut-larut jadinya."
Suara ini diucapkan oleh Resi Jatinendra, dan Ki Patih Narotama merasa seakan-akan kepalanya disiram air wayu yang dingin. Ia segera sadar betapa ia berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang seperti Sang Werkudoro di depan junjungannya yang masih duduk bersila, maka cepat-cepat ia mengebutkan ujung kakinya, lalu duduk bersimpuh penuh hormat.
"Mohon maaf, yayi (adinda) prabu tidak kuat hati hamba menyaksikan kesombongan Wirokolo."
Pada saat itu, Joko Wandiro sudah siuman dari pingsannya. Ia lalu meraih sepasang goloknya yang terlepas dekat disitu lalu bersila lagi, terheran-heran betapa kakek yang dikenalnya sebagai Ki Patih Narotama yang sakti, kini sudah bersimpuh menghadap Sang Prabu Jatinendra.
Sementara itu Wirokolo yang gentar menghadapi Ki Patih Narotama, lalu bangkit dan mengamang-amangkan sepasang tombaknya, lalu berkata dengan penuh geram, "Airlangga dan Narotama! Sekarang kalian boleh tertawa-tawa atas kemenangan kalian. Akan tetapi awas, kelak akan datang saatnya kami membalas dendam! Kami akan selalu berusaha agar Kahuripan menjadi ajang perang saudara, sehingga terkutuklah semua keturunanmu sampai terbasmi habis. Huah-hah-hah!" Suara ketawa manusia iblis ini masih terdengar dari jauh biarpun orangnya sudah lenyap tak tampak lagi.
"Kakang Narotama, apakah yang menyebabkan kakang datang menemui aku? Bukankah engkau amat dibutuhkan di kota raja, kakang?"
"Duhai gusti junjungan hamba! Yayi prabu... hamba datang membawa berita buruk. Kalau paduka tidak lekas datang ke istana dan melerai, agaknya akan terjadilah apa yang dikatakan Wirokolo tadi. Pertentangan antara Gusti Pangeran Sepuh dan Gusti Pangeran Anom tak dapat hamba cegah lagi, perang saudara sudah meletus secara terbuka. Duh yayi prabu, tegakah hati paduka membiarkan perang dan bunuh-membunuh antar keluarga?"
Resi Jatinendra mengerutkan kening memejamkan mata, lalu meraba dadanya sambil menarik napas panjang. "Duhai Dewata yang berwenang menguasai jagad raya! Sudah mulaikah malapetaka yang didahului lenyapnya pusaka Mataram dan terpisahnya keris dari warangkanya?"
Sejenak pertapa ini menundukkan mukanya, kemudian berkata kepada Ki Patih Narotama, "Wahai kakang Narotama, sampai sedemikian rupakah mereka berlomba memperebutkan kekuasaan, memperebutkan kedudukan selagi aku masih hidup?" Di dalam ucapan ini terkandung rasa duka.
"Gusti junjungan hamba. Sekali-kali bukan hamba berat sebelah atau memihak. Akan tetapi menurut pendapat hamba, Gusti Pangeran Anom yang berusaha mempergunakan kekerasan untuk merampas kekuasaan dari rakandanya. Banyak tokoh-tokoh sakti yang menyeleweng dari pada kebenaran dipergunakan tenaganya oleh Gusti Pangeran Anom. Betapa pun juga, andai kata perang berlarut-larut, hamba terpaksa memihak kepada Gusti Pangeran Sepuh, hanya karena mereka itu menjadi kaki tangan Gusti Pangeran Anom."
"Hemm, sampai sedemikian hebat? Kakang Narotama, tentu saja aku takkan membiarkan darah mengalir di antara mereka. Akan tetapi, kakang. Sungguh kecewa hatiku mendengar pelaporanmu dan mendapat kenyataan bahwa engkau masih memihak seorang di antara mereka. Kalau engkau tidak berada di atas keduanya dan memihak, tentu akan lebih hebat kesudahannya, kakang. Apakah kau menghendaki aku turun tangan pula membantu Pangeran Anom?"
"Duhai, yayi prabu... bukan begitu maksud hamba... "
Sang resi tersenyum pahit. "Kalau kau yang maju dalam medan yuda, kakang Narotama, siapa lagi yang akan menjadi lawanmu? Tentu keadaan menjadi berat sebelah dan agaknya baru akan seimbang kalau aku maju pula menjadi lawanmu agar seimbang dan adil."
"Ampun, yayi prabu...!"
"Kakang, ingatlah bahwa apa pun yang terjadi, mereka itu keduanya adalah puteraku, keduanya adalah darah keturunanku. Oleh karena itu, berjanjilah bahwa sejak detik ini, engkau tidak akan turun tangan mencampuri pertikaian mereka, tidak akan turun tangan memusuhi seorang di antara putera-puteraku, ialah keponakan-keponakanmu sendiri."
"Hamba berjanji!" jawab Ki Patih Narotama, suaranya gemetar.
"Dan berjanji bahwa setelah aku tidak berada lagi di sini, kau tetap tidak akan turun tangan memusuhi seorang di antara putera-puteraku, kakang Narotama?"
"Hamba berjanji!"
"Nah, puaslah hatiku, kakang. Sekarang aku hendak datang sendiri ke istana untuk menghentikan keributan yang tiada guna itu. Kau tidak perlu ikut, kakang, karena aku tidak akan memerlukan bantuan kekerasan. Biarlah kedua kakang Empu Bharodo dan Resi Bhargowo menyertaiku."
Setelah berkata demikian, Resi Jatinendra atau Resi Gentayu itu memberi isyarat kepada dua orang pertapa yang segera bangkit berdiri, siap mengikuti perjalanan junjungan itu ke kota raja. Joko Wandiro cepat bangkit pula hendak mengikuti eyang gurunya, akan tetapi Resi Bhargowo segera melarangnya sambil berkata, "Joko Wandiro, engkau tinggallah di sini bersama gusti patih yang tentu akan sudi memberi petunjuk-petunjuk kepadamu. Perjalanan eyangmu mengantar sang agung Resi Jatinendra ke medan yuda takkan makan waktu terlalu lama."
Joko Wandiro menjadi kecewa sekali. Bukankah menurut Ki Tejoranu, sangat boleh jadi ayahnya berada pula di kota raja, ikut dalam perang? Akan tetapi, ia tidak berani membantah, apalagi ia amat takut kepada Resi Jatinendra yang bersikap agung dan penuh wibawa itu. Maka ia lalu bersimpuh kembali, menundukkan mukanya. Tiba-tiba Resi Jatinendra menahan langkahnya, menoleh ke arah Joko Wandiro, memandang sejenak, lalu berkatalah sang resi kepada Resi Bhargowo,
"Inikah cucumu, kakang Resi Bhargowo?"
"Betul, Joko Wandiro ini adalah cucu murid hamba, adi resi."
"Bagian apakah yang diterimanya? Keris ataukah warangka?"
"Dia mendapatkan warangkanya, patung kencana."
Resi Jatinendra mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. "Heh, orang muda! Sudah kau sembunyikan patung kencana itu?" Tiba-tiba sang resi bertanya.
Joko Wandiro mengangkat muka lalu menyembah. "Sudah, eyang."
"Bagus! Kakang Narotama, anak ini tadi sudah membuktikan kebulatan hatinya untuk menentang kejahatan. Hanya dia inilah yang kelak boleh kita harapkan. Engkau sudah sepatutnya mendidiknya, kakang."
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Sang Resi Jatinendra meninggalkan tempat itu, diikuti dari belakang oleh Empu Bharodo dan Resi Bhargowo. Setelah tiga orang kakek itu pergi, Narotama patih sakti itu memandang penuh perhatian kepada Joko Wandiro, wajahnya berseri ketika ia mengingat kembali ucapan Sang Resi Jatinendra junjungannya yang ia cinta seperti saudara kandung sendiri.
"Anak muda, apakah namamu Joko Wandiro?" Kemudian ia bertanya sambil menatap wajah yang menunduk itu.
"Betul sekali, gusti patih," jawab Joko Wandiro penuh hormat.
Ki Patih Narotama tercengang. "Heh? Engkau sudah tahu siapa aku?"
Joko Wandiro menyembah. "Hamba sudah tahu bahwa paduka adalah Gusti Patih Kanuruhan, juga disebut Gusti Patih Narotama."
"Joko Wandiro, pernahkan kita saling berjumpa?"
"Penah, gusti. Akan tetapi paduka tidak melihat hamba, yaitu ketika paduka bertanding dikeroyok oleh Cekel Aksomolo dan teman-temannya, karena hamba bersembunyi di atas pohon."
"Hemm... hemmm..."
Narotama mengelus-elus jenggotnya "Mereka mengeroyokku dekat muara Sungai Lorog. Joko Wandiro, katanya engkau cucu murid Resi Bhargowo. Siapakah gurumu?"
"Guru hamba adalah ayah hamba sendiri yang bernama Pujo, yang dahulu datang membantu paduka dalam pertandingan."
"Aaaaahh...?"
Narotama makin tertarik dan mengelus-elus jenggotnya, keningnya berkerut. Tepat sekali, pikirnya. Anak ini berdarah satria. Dipandang sekelebatan saja sudah nampak bakatnya menjadi satria perkasa. Dan terutama sekali, Sang Resi Jatinendra sendiri yang tentu saja awas paningal itu telah memujinya. Lebih-lebih lagi, anak ini agaknya menyimpan pusaka Mataram, patung kencana Sri Bathara Wishnu! Dia tadi telah berjanji takkan turun tangan mencampuri urusan antara para pangeran.
Hemm... betapa pun juga, junjungannya tak dapat melupakan kasih sayang terhadap putera, maklum bahwa kalau dia turun tangan, tentu ada puteranya yang menjadi korban. Akan tetapi, bagaimana kalau Pangeran Anom yang ia tahu benar mengadakan hubungan dan dibujuk-bujuk kakeknya, Maha Raja Sriwijaya untuk merebut kedudukan di Kahuripan? Dan Pangeran Anom yang ibunya seorang puteri Sriwijaya itu mempergunakan tokoh-tokoh bekas musuh Sang Prabu Airlangga! Bagaimana ia dapat mendiamkan saja kalau kelak Pangeran Anom membuat gara-gara? Akan tetapi ia telah berjanji kepada junjungannya dan ia maklum bahwa lebih baik ia mati dari pada melanggar janjinya itu. "Engkau sudah sepatutnya mendidiknya, kakang."
Demikian ucapan Sang Resi Jatinendra tadi ketika hendak pergi. Narotama tersenyum. Betapa pun juga ia hampir lupa akan kebijaksanaan junjungannya itu. Kini mengertilah dia. Sang Resi Jatinendra tidak menghendaki ia kelak turun tangan ikut berperang saudara, karena sang resi menganggap ia kakak sendiri, berarti paman putera-puteranya! Tentu saja tidak rela hati Sang Resi Jatinendra kalau Narotama ikut berperang antar saudara.
Dan tadi junjungannya telah memberi jalan keluar, yaitu dengan jalan menurunkan kepandaian kepada seorang murid yang tepat! Seorang murid yang kelak dapat menggantikannya menggunakan kepandaian untuk menjamin ketentraman kerajaan, membela yang benar menghancurkan yang salah, siapa pun adanya yang benar atau yang salah itu. Menjadi penggantinya membela kebenaran dan keadilan, karena dia sendiri tidak mungkin dapat turun tangan, terbelenggu oleh janjinya tadi!
"Joko Wandiro, maukah engkau menjadi muridku?"
Saking heran, kaget dan juga girang Joko Wandiro mengangkat muka dan memandang dengan sepasang matanya yang bersinar-sinar. Ia tadi sudah menyaksikan betapa hebat sepak terjang ki patih yang sakti, bahkan dahulu pernah pula menikmati kesaktian kakek ini dikeroyok oleh tokoh-tokoh pandai. Tentu saja ia suka sekali menjadi murid Ki Patih Narotama yang menurut kabar adalah seorang yang paling sakti di Kahuripan, kecuali Sang Prabu Airlangga sendiri tentunya. Maka cepat-cepat ia menyembah.
"Hamba suka sekali, gusti patih..."
"Bagus, dan mulai sekarang jangan menyebut gusti patih kepadaku, melainkan bapa guru. Sekarang jawablah, apakah engkau tadi menyaksikan segala peristiwa yang terjadi di sini?"
Joko Wandiro mengangguk. Ki Patih Narotama bermaksud mengambil murid Joko Wandiro hanya dengan satu tujuan, yaitu agar kelak ia mempunyai wakil penjaga keselamatan Kerajaan Kahuripan yang ia cinta, agar ia dapat mewakilkan muridnya untuk mempertahankan kebenaran dan keadilan di Kahuripan tanpa dia sendiri turun tangan. Maka ia ingin agar anak yang menjadi muridnya ini mengerti benar akan keadaan di Kerajaan Kahuripan, mengenal pula musuh-musuh Sang Prabu Airlangga yang amat banyak dan amat sakti, di antaranya Wirokolo tadi.
"Mengertikah engkau akan segala peristiwa yang terjadi tadi, muridku? Kalau ada yang belum kau mengerti, sekarang juga kau boleh bertanya dan aku akan memberi penjelasan."
Berkata demikian, Narotama lalu duduk di atas batu di depan Joko Wandiro. Girang hati anak ini. Tidak saja ia diterima menjadi murid kakek sakti mandraguna ini, juga ia mendapat kenyataan bahwa gurunya ini amat peramah dan sabar. Maka ia lalu segera mengajukan pertanyaan tentang peristiwa yang amat mengesankan hatinya tadi.
"Bapa guru, sebelum manusia iblis Wirokolo tadi muncul, terjadi peristiwa aneh sekali. Serombongan kelelawar yang jumlahnya beribu-ribu datang menyerang ke sini, disambut ribuan burung sriti yang mengalahkan dan mengusir mereka. Bagaimana hal itu bisa terjadi, bapa guru?"
"Hal itu terjadi karena aji yang disebut Panji Satwo. Aji ini adalah aji penakluk segala macam binatang. Akan tetapi seperti juga semua ilmu di dunia ini, bisa dihitamkan atau diputihkan oleh pelakunya. Segala aji di dunia ini bisa menjadi ilmu yang baik, bisa juga buruk, tergantung dari si manusia sendiri. Wirokolo menggunakan Aji Panji Satwo untuk melakukan hal-hal keji, maka ia memilih rombongan kelelawar untuk menyesuaikan diri. Di lain pihak, kakang Empu Bharodo juga menggunakan aji itu dan barisannya adalah burung-burung sriti yang memang bersarang di dalam gua. Pilihan tepat untuk mengusir kelelawar itu."
Joko Wandiro merasa kagum, juga bangga. "Bapa guru, sesudah kelelawar-kelelawar itu dikalahkan dan pergi, lalu muncul nenek mengerikan yang mengeluarkan lidah api. Hamba pukul dan serang dia dengan golok, namun pukulan dan bacokan hamba tembus saja, seakan-akan tubuhnya hanya bayangan. Siapakah dia itu, bapa guru, dan mengapa setelah disambit puspa (bunga) oleh eyang Empu Bharodo, dia lenyap?"
"Aahhh, sungguh keji si Wirokolo." Kakek sakti itu menghela napas. "Untung ada kakang Empu Bharodo yang ahli dalam hal ilmu sihir. Kalau tidak kedigdayaan saja akan sukar mengalahkan Wirokolo. Ketahuilah, muridku. Nenek itu adalah iblis ciptaan ilmu hitam Calon Arang yang amat keji, juga amat dahsyat sukar dikalahkan. Kalau si Wirokolo sudah memiliki ilmu macam itu, sungguh ia merupakan manusia iblis yang berbahaya dan sudah selayaknya dibasmi. Sayang bahwa junjungan kita tadi melarang, kalau tidak, tentu sudah kubinasakan si jahat Wirokolo."
"Siapakah dia itu, bapa guru? Dan mengapa dia memusuhi Sang Prabu Airlangga?"
"Dia seorang bekas senopati Kerajaan Wengker yang dahulu dikalahkan oleh tentara Kahuripan. Agaknya ia masih mendendam dan hendak menuntut balas."
Kemudian Ki Patih Narotama menyuruh muridnya memperlihatkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya, dan mulailah ia memberi petunjuk-petunjuk yang didengarkan oleh Joko Wandiro penuh perhatian. Mulailah Joko Wandiro menerima gemblengan dari kakek sakti ini dan dari permulaannya, anak ini sudah dapat melihat bahwa gemblengan dari kakek sakti ini, dan dari permulaannya, anak ini sudah dapat melihat bahwa gemblengan ini jauh bedanya dengan gemblengan-gemblengan yang pernah ia terima, dapat mengerti bahwa gurunya ini memiliki ilmu kesaktian yang amat hebat. Maka ia pun amat tekun mengikuti pelajaran yang diberikan Ki Patih Narotama…..
********************
"Serbuuuuuu...! Hantam...!"
"Gempurr...! Bunuh...! Hidup Pangeran Anom...!"
"Hayo maju...! Habiskan antek antek Sriwijaya! Hidup Pangeran Sepuh...!"
Teriak pekik menggegap-gempita. Debu mengebul tinggi menggelapkan udara. Kilatan keris, tombak, kelewang dan senjata-senjata lain menyilaukan mata. Derap kaki dan ringkik kuda menambah gaduh. Perang campuh terjadilah. Perang saudara antara pasukan-pasukan Pangeran Sepuh dan pasukan-pasukan Pangeran Anom! Kalau di waktu-waktu yang lalu hanya terjadi bentrokan-bentrokan kecil, pelototan mata dan saling melontarkan sindir ejek, kini meledaklah perang yang sekian lama ditekan-tekan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BADAI LAUT SELATAN (BAGIAN KE-03 SERIAL KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA)