BADAI LAUT SELATAN : JILID-21


Sabetan pertama pada kepalanya dapat dielakkan oleh Endang Patibroto yang cepat membungkuk untuk mengambil cundriknya. Dalam keadaan membungkuk inilah perampok ke dua sudah menggerakkan golok hendak membacoknya!
"Endang, awas...!"
Saking khawatirnya melihat bahaya mengancam Endang, Joko Wandiro melesat meninggalkan kedua orang pengeroyoknya dan karena lompatannya ini dilakukan sambil mengerahkan Bayu Tantra, tubuhnya melayang dan tahu-tahu telah berada di atas tengkuk si muka pucat yang hendak membacok Endang. Dalam keadaan seperti itu, Joko Wandiro tidak ingat untuk menggunakan ilmu silat lagi, ia segera mencengkeram ke depan sambil berjongkok di atas tengkuk dan pundak dan begitu jari tangannya bertemu benda lunak di depan, terus ia mencengkeram dan menarik.
"Auggghhhh!" Si muka pucat berteriak kesakitan karena cengkeraman itu tepat mengenai mukanya. Celakanya jari tangan yang kecil itu ada yang memasuki lubang hidungnya sehingga ketika Joko Wandiro mencengkeram dan menarik, sebagian hidung si muka pucat menjadi semplok (pecah) dan darah mengucur keluar. Lebih sialan lagi baginya, kawannya yang melihat Joko Wandiro jongkok di atas pundak si muka pucat, cepat mengayun goloknya membacok. Joko Wandiro secepat burung terbang telah melompat turun dari pundak si muka pucat itulah yang menjadi makanan golok. Si muka pucat mengeluh lirih dan roboh terkulai seperti kain basah.
Tiga orang perampok yang lain menjadi makin marah dan mengamuk dengan golok mereka diobat-abitkan. Terpaksa Joko Wandiro dan Endang Patibroto hanya menggunakan kegesitan tubuh mengelak ke sana sini. Pada saat itu tampak bayangan orang berkelebat seperti kilat menyambar-nyambar cepatnya dan berturut-turut tiga orang perampok itu berjatuhan, golok mereka terlempar. Sebelum kedua orang anak itu tahu apa yang terjadi, tahu-tahu mereka telah dikempit seorang kakek tua yang membawa mereka lari secepat terbang!
Betapa pun mereka berdua berusaha meronta dan melepaskan diri, sia-sia belaka dan saking cepatnya si kakek ini "terbang", Joko Wandiro dan Endang Patilbroto merasa ngeri dan akhirnya mereka hanya meramkan mata dan menerima nasib…..!
********************
"Hamba merasa heran sekali mengapa paduka dikeroyok oleh tokoh-tokoh itu," Pujo berkata ketika Ki Patih Narotama sudah tiba di pondoknya, di muara Sungai Lorog. Narotama menarik naipas panjang.
"Pujo, engkau adalah murid Resi Bhargowo yang memiliki kesaktian. Sungguh mengecewakan sekali engkau sebagai seorang satria terlalu tenggelam dalam dendam dan urusan pribadi sehingga sama sekali tidak tahu akan keadaan di kerajaan. Ahhh, bukan baru tadi saja orang-orang itu berusaha membunuhku, sudah sering sekali. Bahkan beberapa orang tumenggung dan senopati yang setia kepada sri baginda, telah dibunuh orang. Sungguh menyedihkan sekali, semenjak Gusti Prabu Airlangga mengundurkan diri, terjadi perebutan pengaruh dan kekuasaan di kerajaan. Aku hanya seorang patih bagaimana dapat mengurusi nafsu para pangeran?" Narotama menarik napas panjang dan kelihatan berduka sekali.
"Perebutan kekuasaan?" Pujo yang selama bertahun-tahun mengasingkan diri, sama sekali tidak tahu akan hal ini.
Ki Patih Narotama mengangguk-angguk,
"Engkau tentu sudah tahu bahwa sri baginda mempunyai dua orang permaisuri, yang pertama adalah Puteri Mataram, sedangkan yang ke dua adalah Puteri Sriwijaya. Nah, kini terjadilah perebutan pengaruh antara kedua pangeran dari dua permaisuri itu. Atau lebih tepat lagi, pangeran muda, putera permaisuri ke dua berdarah Sriwijaya itu berusaha secara sembunyi-sembunyi untuk meruntuhkan kekuasaan dan pengaruh kakak tirinya, pangeran tua putera permaisuri pertama. Pangeran muda ini banyak sekali pengikutnya, di antaranya para senopati yang membenci Sang Prabu Airlangga karena telah ditaklukkan. Kau tahu, orang-orang seperti Cekel Aksomolo, Warok Gendroyono dan kepala rampok Ki Krendoyakso yang mengeroyokku tadipun adalah kaki tangan pangeran muda."
"Kalau memang mereka itu jahat dan bermaksud merebut kekuasaan, mengapa tidak dilaporkan saja kepada gusti prabu?"
Narotama menggeleng-geleng kepala.
"Gusti prabu sudah lima tahun ini mengundurkan diri dan bertapa. Bagaima mungkin diganggu dengan hal-hal seperti itu? Beliau sudah menyerahkan kepadaku akan tetapi... persaingan antara pangeran-pangeran putera sang prabu sendiri, bagaimana mengatasinya? Sayang... pusaka keraton yang hilang belum juga dapat diketemukan kembali. Inilah agaknya yang menjadi sebab malapetaka ini. Kalau pusaka itu tak dapat diketemukan kembali, berarti kerajaan kehilangan cahaya dan wahyunya, dan tentu akan terjadi malapetaka yang akan menghancurkan kerajaan!" Narotama menarik napas panjang lagi, wajahnya muram."Apalagi kalau para satrianya, seperti engkau ini, hanya tenggelam ke dalam dendam pribadi, tidak peduli lagi akan kewajiban sebagai seorang satria!"
"Ampunkan hamba, gusti patih. Hamba berjanji bahwa jika saya sudah dapat melakukan pembalasan atas diri Wisangjiwo, hamba akan menyerahkan jiwa raga untuk membela kerajaan."
"Hemm, begitukah? Kalau begitu kau boleh segera mulai. Tentang Wisangjiwo, mudah saja. Dia terhitung orang kepercayaan pangeran muda, akan tetapi karena aku yang memasukkannya menjadi pengawal sehingga kini ia menjadi senopati muda, maka aku dapat mengatur agar ia datang ke tempat ini dan kau dapat berhadapan empat mata dengannya. Akan tetapi, jangan engkau menjadi buta oleh dendam pribadi engkau harus dapat membantuku melakukan penyelidikan. Kalau tidak salah, para pembantu pangeran muda itu sebagian besar dikumpulkan oleh Adipati Joyowiseso ayah Wisangjiwo. Nah, kau cobalah untuk memaksanya mengaku, peran apakah yang dilakukan ayahnya dan oleh dia sendiri."
"Sendika dawuh paduka, gusti!" jawab Pujo dengan hati girang.
Memang ia dahulu sudah menduga di dalam hatinya, Adipati Joyowiseso dan puteranya itu tidak tunduk benar-benar kepada Mataram, maka dalam keadaan Kerajaan sedang kacau di mana dua orang pangeran saling berebut kekuasaan, tentu memberi kesempatan kepada orang-orang yang tidak setia untuk mainkan perannya.
Ki Patih Narotama lalu pergi meninggalkan muara Sungai Lorog, dan beberapa hari kemudian, benar saja Pujo dari tempat sembunyinya melihat seorang laki-laki gagah perkasa naik kuda besar hilir mudik di sekitar muara. Siapa lagi orang itu kalau bukan Wisangjiwo! Senopati muda ini menerima perintah dari ki patih sendiri untuk menyelidiki muara Sungai Lorog yang menurut ki patih, mungkin menjadi tempat disembunyikannya pusaka kerajaan yang hilang dan masih dicari-cari oleh semua tokoh di empat penjuru.
Seperti para tokoh lainnya, Wisangjiwo tentu saja ingin sekali bisa menemukan dan merampas pusaka itu karena kedua pangeran diam-diam saling memperebutkan pusaka dan mengutus orang-orang kepercayaan untuk mencarinya. Hal ini tidaklah aneh kalau terdapat kepercayaan bahwa siapa yang memiliki patung pusaka, dialah yang mendapat wahyu untuk menjadi raja!
Seperti telah sedikit disinggung Ki Patih Narotama ketika berceritera kepada Pujo, memang terjadi perebutan pengaruh dan kekuasaan di istana. Semestinya, putera yang pertama atau pangeran tua yang sepatutnya menjadi pangeran mahkota. Hal ini sudah lajim karena sebagai putera tertua, tentu saja pangeran tua yang menjadi calon raja. Sang Prabu Airlangga juga tidak melanggar kelajiman ini dan sebelum beliau mengundurkan diri untuk menjadi pertapa, kekuasaan sementara ia serahkan kepada pangeran tua, diembani oleh Ki Patih Narotama yang oleh Sang Prabu Airlang- ga dianggap sebagai wakil beliau pribadi.
Hal ini menimbulkan iri dalam hati pangeran muda dan ibunya, maka mulailah mereka berusaha untuk mengenyahkan setidaknya mengurangi pengaruh dan kekuasaan pangeran tua. Dengan menggunakan barang-barang berharga seperti emas dan permata, pangeran muda ini mengumpulkan orang-orang pandai dan menjanjikan kedudukan-kedudukan mulia, mengadakan persekutuan dengan mereka yang memang memusuhi Prabu Airlangga dan menanti kesempatan untuk memberontak.
Di antara cara-cara yang digunakan pangeran muda untuk mengurangi kekuasaan kakak tirinya adalah mempergunakan orang-orang pandai membunuhi tumenggung-tumenggung dan senopati-senopati yang setia kepada Prabu Airlangga dan karenanya mereka taat akan perintah dan bersetia pula kepada pangeran tua. Banyaklah sudah para tumenggung yang tewas tentu saja dengan dalih permusuhan pribadi. Bahkan Ki Patih Narotama sendiri sudah sering dihadang di tengah jaian dan dikeroyok. Hanya berkat kesaktiannya, selama itu ki patih masih dapat menyelamatkan diri. Dan karena adanya Ki Patih Narotama inilah pangeran muda masih belum berani terang-terangan berusaha merebut kekuasaan, apalagi Sang Prabu Airlangga sendiri masih hidup, biarpun sudah menjadi pertapa dan tidak mau mencampuri urusan duniawi.
Wisangjiwo adalah seorang pemuda yang cerdik. Ia tahu ke mana angin bertiup, sebentar saja bertugas di dalam keraton, tahulah ia akan persaingan ini dan tahulah ia fihak mana yang harus ia bantu. Karena ia dan ayahnya memang bermaksud memberontak, maka segera ia mendekati pangeran muda dan mengambil hati pangeran ini.
Maka dalam waktu singkat saja Wisangjiwo ditarik oleh pangeran muda dan menjadi senopatinya, bahkan menjadi orang kepercayaannya. Melalui Wisangjiwo inilah pangeran muda dapat berkenalan dan menarik bantuan tokoh-tokoh yang memang sudah lama dihimpun oleh ayah Wisangjiwo, yaitu Adipati Joyowiseso.
Tentu saja begitu mendengar dari ki patih bahwa ada kemungkinan patung pusaka disembunyikan di muara Sungai Lorog, Wisangjiwo menjadi girang sekali dan tergesa-tega berangkat naik kuda ke daerah itu. la tidak heran mengapa ki patih justru menyuruh dia, karena hal ini baginya tidak aneh. Bukankah ia selalu bersikap hormat dan baik terhadap ki patih? Bukankah ki patih ini bekas kekasih gurunya, Ni Durgogini?
Hal ini baru ia ketahui setelah ia bekerja di istana. Dan bukankah Ki Patih Narotama yang membantunya mendapatkan kedudukan di istana? Tanpa curiga sedikitpun, Wisangjiwo berangkat naik kuda. Kalau benar-benar ia dapat menemukan patung pusaka, hemmm... ia masih ragu-ragu apakah akan diserahkannya pusaka itu kepada pangeran muda. Bagaimana nanti sajalah, pikirnya dan dengan hati gembira ia mempercepat larinya kuda.
Di balik batang pohon, Pujo yang mengintai kedatangan Wisangjiwo, menjadi tegang seluruh tubuhnya. Melihat musuh besarnya ini, terbayanglah semua peristiwa sepuluh tahun yang lalu, peristiwa malam jahanam di dalam Gua Siluman. Kedua tangan Pujo dikepalkan erat-erat, matanya menjadi merah beringas, gigi atas dan bawah bertemu ketat menimbulkan bunyi berkerotan, jantungnya berdegup seakan hendak pecah, nafasnya mendesis keluar di antara gigi yang merapat.
Ketika kuda yang ditunggangi Wisangjiwo lewat, Pujo cepat-cepat lari membayangi sambil bersembunyi dari pohon ke pohon. Akhirnya, di dekat muara di mana air Sungai Lorog yang kemerahan memasuki laut yang airnya kebiruan, Wisangjiwo melompat turun dari atas kudanya. Ia tidak mengikat kuda ini pada pohon, tanda bahwa kuda itu jinak dan baik. Kemudian Wisangjiwo melangkah ke kanan menyusuri pinggir muara, matanya memandang ke empat penjuru.
Bagaimana di tempat yang sunyi ini disembunyikan patung pusaka? Apakah Ki Patih Narotama sengaja berbohong dan mempermainkannya? Akan tetapi hatinya berdebar ketika ia melihat sebuah pondok kecil di sudut sana, dekat hutan. Hemm, agaknya pondok itu ada penghuninya dan penghuni pondok itu agaknya yang tahu akan pusaka yang disembunyikan. Dengan langkah lebar Wisangjiwo berjalan menuju ke pondok. Akan tetapi tiba-tiba dari balik sebatang pohon meloncat keluar seorang laki-laki yang menghadapinya dengan muka beringas dan mata merah.
"Pujo...?!?"
Wisangjiwo berseru kaget sekali. Kaget dan heran, karena sungguh ia sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Pujo di tempat ini. Akan tetapi ia sama sekali tidak takut. Dahulu ia pernah kalah oleh Pujo di dalam gua itu, akan tetapi lain dulu lain sekarang. Ia telah memperdalam ilmunya. Pula, ia malah girang bertemu dengan musuh besarnya, yang telah memperkosa isterinya dan adiknya, dan telah menculik puteranya.
Pujo tertawa menyeramkan, tawa mengandung dendam, benci, dan juga girang. Bertahun-tahun ia menanti datangnya saat ini dengan penuh ketekunan. Belum pernah sedetikpun api dendam yang menyala di dalam hatinya itu padam. Bahkan mengecilpun tidak kalau tak dapat dikatakan makin membesar.
"Wisangjiwo jahanam pengecut! Akhirnya kita berhadapan empat mata di tempat sunyi ini. Agaknya Dewa Keadilan sengaja mempertemukan kita agar semua perhitungan yang lalu dapat dibereskan sekarang juga. Wisangjiwo, sepuluh tahun lebih yang telah lalu, engkau melakukan perbuatan keji dan biadab. Kau merobohkan aku dengan serangan pengecut dan curang, kemudian engkau melakukan perbuatan biadab terhadap isteriku. Nah, sekarang bersiaplah untuk menebus dosamu dengan nyawa!"
Wisangjiwo bertolak pinggang dan tertawa mengejek. "Ha-ha-ha-ha! Benar-benar engkau pria yang sama sekali tidak jantan! Engkau memutarbalikkan fakta dan pandai melontarkan fitnah hanya untuk mencarikan dalih penutup perbuatan-perbuatanmu yang biadab. Ha-ha- ha!"
Pujo mengerutkan keningnya. "Apa maksud kata-katamu yang busuk ini? Kau berani menyangkal bahwa malam itu kau tidak datang ke Gua Siluman, memukul roboh aku secara curang kemudian engkau memperkosa isteriku yang telah terluka dan tak berdaya?"
Wisangjiwo menggeleng kepala cepat-cepat. "Datang ke guha dan bertanding denganmu sampai isterimu dan engkau roboh, itu memang betul. Akan tetapi setelah itu aku pergi ke luar gua, sama sekali tidak memperkosa "
"Bohong...!"
Saking marahnya Pujo sudah menerjang maju, memukul dahsyat sekali karena ia telah mempergunakan Aji Gelap Musti dalam keadaan dendam dan penuh kebencian. Wisangjiwo selama sepuluh tahun inipun tidak tinggal diam, melainkan melatih diri dengan tekun. Betapa dahsyatnya pukulan Pujo, sekali miringkan tubuh pukulan itu menyambar lewat dan cepat Wisangjiwo membalas dengan ilmu pukulan Tirto Rudiro karena sejak turun dari kuda tadi, untuk menjaga bahaya ia sudah menggenggam ajimatnya kerang merah sehingga sewaktu-waktu dapat ia pergunakan.
Hawa dingin menyambar ke arah lambung Pujo ketika pukulan Tirto Rudiro itu dilakukan lawan dari sebelah kanannya. Pujo yang tadi tak berhasil pukulannya, kini malah terus memutar tubuh ke kiri amat cepatnya sambil melakukan gerakan mendorong dengan lengan tangan kirinya yang mendahului tubuhnya membalik. Tentu saja ia mengerahkan tenaga saktinya dalam tangkisan ini karena maklum bahwa lawannya bukan orang lemah.
"Dukkk!"
Tepat sekali gerakan Pujo tadi sebab tangan kirinya dengan jari-jari terbuka itu menangkis hantaman kepalan kanan Wisangjiwo. Kesudahannya, Pujo tergetar mundur tiga langkah, akan tetapi Wisangjiwo terhuyung ke belakang hampir roboh kalau ia tidak cepat-cepat meloncat untuk mematahkan tenaga benturan yang mendorongnya! Ketika Pujo hendak mendesak lagi, Wisangjiwo menyetopnya dengan tangan kanan diangkat dan membentak marah,
"Heh keparat Pujo. Jangan kira aku takut padamu. Kita sama-sama laki-laki gemblengan. Kalah dan maut dalam pertandingan bukan apa-apa! Akan tetapi kau bicaralah yang genah (masuk akal)! Jangan membuang fitnah ke kanan kiri seperti orang mabok saja. Hayo katakan, di mana kau sembunyikan puteraku yang kau culik?"
Senyum paksaan, senyum masam membayang di wajah yang muram itu. "Apa yang kau kehendaki akan terjadi Wisangjiwo. Kau ingin dia mati? Mudah. Ingin melihat dia menjadi penderita cacat, menjadi anggota para jembel gelandangan atau menjadi anggota maling dan rampok?"
"Setan iblis! Kau apakan puteraku? Kau bunuh dia? Jahanam keji, kau telah merusak kehormatan adikku, isteriku, dan kiranya kau malah telah membunuh puteraku. Di samping kekejianmu ini kau masih mendakwa aku yang bukan-bukan. Cuh, tak tahu malu! Laki-laki macam apa kau ini? Hayo, sekarang tidak perlu beradu suara lagi, biarlah senjata yang menentukan!"
Setelah berkata demikian Wisangjiwo menggerakkan tangannya dan tampaklah sinar hitam bergulung-gulung sambil memperdengarkan suara "tar-tar-tar!" Itulah cambuk sakti Sarpokenoko milik Ni Durgogini yang telah dihadiahkan kepada murid dan kekasih rupawan ini! Memang bukan cambuk sembarang cambuk. Cambuk pusaka ampuh yang dimainkan dalam ilmu yang hebat sehingga cambuk itu berubah menjadi sinar hitam yang bergulung-gulung yang mengeluarkan suara meledak-ledak dan mengeluarkan asap hitam tipis!
"Wuuut-tar-tar-tar!"
Gulungan sinar hitam cambuk Sarpokenoko menyambar ganas. Pujo mengenal senjata ampuh. Cepat ia menggedruk (menendang dengan tumit) tanah sehingga tubuhnya mencelat ke atas dengan kecepatan luar biasa. Cambuk Sarpokenoko menyambar-nyambar dan meledak-ledak di bawah kakinya. Akan tetapi sambaran ke tiga menyentuh ujung tumit kirinya dan Pujo terpaksa membuang diri ke kiri lalu tubuhnya jatuh ke tanah, terus bergulingan dan meloncat bangun dengan wajah agak pucat. Tumit kirinya terasa panas sekali.
"Ha-ha-ha, Pujo. Kepandaian hanya sebegitu akan tetapi berani mati engkau menuduh yang bukan-bukan kepadaku hanya untuk menutupi perbuatan-perbuatan yang rendah dan keji. Lebih baik lekas kauberitahu di mana puteraku, mungkin aku masih akan mempertimbangkan dosamu. Sebagai laki-laki sejati, aku tidak akan meributkan benar perkara wanita. Kalau kau berkeras hemmmmm, Sarpokenoko akan merobek-robek tubuhmu!"
Pujo tadi memang terkejut sekali. Ia tadi meloncat dengan Aji Bayu Tantra, ilmu meringankan tubuh ajaran Resi Bhargowo yang selama ini telah ia sempurnakan. Dan menilik gerakannya, Wisangjiwo tidak secepat itu sehingga dapat mengenai tumitnya dengan cambuk. Maka ia menduga bahwa tentu cambuk hitam itulah yang hebat, cambuk sakti yang amat ampuh dan ia kini berlaku hati-hati sekali.
"Wisangjiwo keparat sombong! Baru dapat menjilat tungkakku saja engkau sudah menyombong. Kau kira aku kalah olehmu? Nah, majulah!"
Pujo menggerakkan tangan kanan dan sudah mencabut sebatang keris yang mengeluarkan sinar kehijauan. Inilah keris pusaka yang ia namakan Banuwilis karena sinarnya yang kehijauan. Keris eluk sembilan yang pamornya seperti ombak Laut Selatan dengan airnya yang hijau saking dalamnya.
Wisangjiwo tertawa mengejek, cambuknya melecut keras dan menyambar kepala Pujo. Pujo sudah siap sedia, sengaja ia tidak mengelak melainkan menangkis dengan kerisnya ke atas dengan pengerahan tenaga agar cambuk lawannya terbabat putus. Ketika ujung cambuk bertemu dengan mata keris, dari kedua senjata itu keluar hawa mujijat yang ampuh dan saling bertentangan. Keris Banuwilis tidak cukup kuat untuk dapat membabat putus Sarpokenoko, akan tetapi tenaga sakti yang tersalur melalui keris itu masih lebih kuat dari pada tenaga Wisangjiwo sehingga cambuk itu terpental ke atas dan telapak tangan Wisangjiwo terasa panas dan sakit.
Marahlah senopati muda ini. Ia mengeluarkan gerengan keras dan cepat cambuknya bergerak menyambar-nyambar, dan diam-diam tangan kirinya sudah melolos keluar sehelai kain merah dari saku baju. Selama sepuluh tahun ini, selain memperoleh kemajuan dalam semua ilmu yang telah dimilikinya, juga Wisangjiwo menerima hadiah lain dari Ni Nogogini bibi guru yang menjadi juga kekasihnya, yaitu kain ini yang mengandung hawa beracun amat berbahaya. Sekali mengebutkan kain ini, bau yang harum akan tercium lawan dan betapa pun tangguhnya lawan, tentu akan roboh pingsan mencium bau ini. Senjata yang amat curang dan hanya digunakan oleh laki-laki yang suka mengganggu wanita baik-baik, atau setidaknya oleh orang yang suka merebut kemenangan dengan jalan apa pun juga.
Melihat betapa gulungan sinar cambuk hitam itu kini menyambar-nyambar membentuk lingkaran-lingkaran ruwet seperti banyak ular bermain-main, sukar diduga mana ujungnya yang akan menerjangnya, Pujo berlaku hati-hati sekali. Ia berdiri tegak memasang kuda-kuda, membiarkan sinar hitam itu bergulung-gulung mengitari atas kepalanya. Ketika sampai lama gulungan sinar hitam itu tidak menerjangnya, maklumlah ia bahwa Wisangjiwo memang hendak memancingnya agar ia mempergunakan kecepatan gerakan mengimbangi gerakan cambuk. Pujo tahu akan hal ini dan tahu pula bahwa biarpun ia memiliki Bayu Tantra yang membuat ia mampu bergerak secepat gerakan cambuk, namun mana mungkin ia dapat bertanding kecepatan melawan sebatang cambuk yang digerakkan tangan? Lama-lama ia tentu akan lelah dan kalah.
Oleh karena itulah, ia diam saja tidak melayani permainan cambuk lawan. Ia pun maklum bahwa biarpun cambuk itu kini bergulung-gulung sinarnya di atas kepala, namun Wisangjiwo sedang menanti saat baik. Kalau ia terpancing dan melakukan serangan lebih dulu, tentu Wisangjiwo akan menjatuhkan serangannya secara tak tersangka-sangka. Di lain pihak, Wisangjiwo mendongkol dan kecewa sekali, juga kagum. Siasat pertempuran ini ia dapat dari gurunya belum lama ini.
"Menghadapi lawan tangguh yang sedang marah, biarkanlah ia bingung dengan bayangan cambuk berputar-putar di atas kepalanya, pancing dia supaya menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya mengimbangi kecepatan gerak cambukmu. Nah,kalau sudah demikian, mudah saja merobohkannya. Baik dia menyerang dulu atau tidak, kau boleh gerakkan samputangan merah mengebut mukanya atau menangkis serangannya dan pada saat itu ujung cambukmu menghantam dari atas memilih Sasaran yang tepat."
Demikian itu ajaran dari gurunya. Akan tetapi sekarang Pujo diam saja, hanya berdiri memasang kuda-kuda dan menatap kepadanya penuh kewaspadaan, benar-benar membuat ia sendiri yang bingung! Akhirnya Wisangjiwo menjadi tidak sabar. Secara tiba-tiba ia menggerakkan saputangan merahnya dengan tangan kiri, dikebutkan ke arah muka Pujo lalu menyusul dengan gerakan cambuknya yang siap menghantam bagian berbahaya sesuai dengan gerakan Pujo apabila mengelak serangan saputangan merah.
Pujo melihat bayangan merah saputangan ini, cepat menahan napas, lalu mengerahkan hawa bakti meniup dari mulutnya, dibarengi tangan kirinya menyampok dari depan. Lima jari tangannya berkembang menyambut saputangan merah dan...
"breeittt...!"
Pecahlah kain merah itu, pecah dan hangus lalu hancur, tidak kuat senjata mujijat yang beracun itu bertemu dengan hawa pukulan Pethit Nogo yang dilancarkan tangan kiri Pujo. Dalam kaget dan marahnya, Wisangjiwo menggerakkan Sarpokenoko yang melecut dan ujungnya bagaikan paruh elang mematuk ubun-ubun kepala Pujo. Celakalah Pujo jika serangan ini mengenai sasaran. Tentu ubun-ubun kepalanya akan pecah. Akan tetapi ketika tadi menghancurkan senjata kain merah lawan, Pujo sudah siap sedia, sudah dapat menduga bahwa tentu Wisangjiwo akan menyusul dengan serangan susulan yang menggunakan cambuknya.
Maka giranglah hatinya melihat lawannya marah dan tidak sabar, karena makin marah dan tidak sabar keadaan seorang lawan, makin mudah diatasi. Melihat datangnya lecutan cambuk, ia tidak menangkis dengan kerisnya karena maklum bahwa tangkisan tidak dapat mengalahkan lawan. Secepat kilat tangan kirinya bergerak ke atas dan di lain detik, ujung cambuk itu sudah terjepit jari-jari tangan kirinya yang masih mengerahkan Aji Pethit Nogo.
"Cappp!"
Sekali terjepit, ujung cambuk itu tak mungkin dapat terlepas lagi. Wisangjiwo makin kaget, akan tetapi selagi ia berusaha menarik cambuknya, ujung keris Banuwilis dengan tak tersangka-sangka telah meluncur ke depan dan telah menusuk pergelangan tangan kanannya. Wisangjiwo berseru kaget, terpaksa mengelak, namun masih ada ujung keris melukai pangkal ibu jari tangan kanannya. Rasa nyeri membuat ia terpaksa melepaskan gagang cambuk dan saking marah melihat cambuknya terampas ia mengirim tendangan kilat sekenanya. Tendangan memang berhasil mengenai paha kiri Pujo, akan tetapi pada saat itu, lehernya terpukul oleh tangan kanan Pujo yang sudah membalikkan kerisnya sehingga bukan mata keris yang menusuk leher, melainkan gagang keris yang keras. Wisangjiwo mengeluh dan roboh terguling, matanya berkunang-kunang.
"Aduhhh, mati aku...!"
Ia mengeluh dan sebuah tendangan keras yang mengenai pangkal telinganya membuat ia tak dapat mengeluh lagi dan tidak ingat apa-apa. Akan tetapi Wisangjiwo tidak mati, atau setidaknya belum mati ketika ia siuman kembali. Ia sadar dan mendapatkan dirinya berdiri bersandarkan batang pohon dalam keadaan terikat erat-erat pada batang pohon dengan kedua lengannya ditelikung ke belakang. Bahkan bagian lehernyapun dikalungi tambang yang ternyata adalah cambuknya sendiri, cambuk Sarpokenoko! Ketika berusaha meronta, ia merasa sakit-sakit pada lengannya dan lehernya makin tercekik, maka ia tidak lagi meronta dan memandang kepada musuhnya yang berdiri di depannya, memandangnya sambil tersenyum-senyurn, senyum iblis!
"Pujo, aku sudah kalah. Kenapa engkau tidak membunuhku saja? Untuk apa mesti mengikatku di sini?"
"Untuk apa? Terlalu enak kalau kau dibunuh begitu saja!"
"Hemm, Pujo, begitu bencikah engkau kepadaku? Memang aku pernah mengganggumu ketika kau dan isterimu bertapa di Gua Siluman, akan tetapi pembalasanmu sungguh keterlaluan. Aku hanya merobohkan kau dan isterimu, karena hatiku panas disebabkan engkau dahulu tidak ikut mempertahankan Selopenangkep dari serbuan balatentara Mataram. Akan tetapi, hanya sampai di situ saja perbuatanku. Setelah engkau dan isterimu roboh karena... hemm, terus terang saja, karena akalku, aku lalu pergi meninggalkan gua. Akan tetapi pembalasanmu sungguh berlebihan. Kau menyebu Selopenangkep, membunuh banyak pengawal bahkan hampir membunuh ayahku, kemudian kau memperkosa Roro Luhito adikku, menculik kemudian memperkosa isteriku, dan membawa pergi puteraku! Dan kau masih belum puas dengan perbuatan-perbuatan keji itu! Pujo, apakah kau sudah menjadi gila, ataukah kau berubah menjadi iblis?"
Tentu saja makin panas dan marah hati Pujo mendengar ini. Ia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Tiada manusia di dunia ini yang suka mengakui akan kesalahannya! Apalagi manusia macam engkau, Wisangjiwo! Karena banyaknya manusia macam engkau inilah maka dunia ini menjadi makin kotor dan makin keruh, karena itu sebaiknya orang macam engkau ini dibasmi habis! Memang semula aku hendak memperkosa isterimu di gua, hendak kulakukan persis seperti yang kau lakukan terhadap isteriku. Sayang aku bukan manusia macam engkau sehingga aku tak sanggup melakukan hal itu. Ocehanmu tentang memperkosa isterimu dan adikmu boleh saja kau keluarkan, akan tetapi aku sama sekali tidak melakukan hal itu. Andai kata ada orang lain melakukan hal itu, sudah menjadi bagianmu, karena hukum karma takkan melepaskan korbannya. Tentang anakmu, haha-ha! Kau tunggu saja, aku sengaja mendidik dia untuk membunuhmu, Wisangjiwo!"
Wisangjiwo terpekik ngeri, mukanya pucat. Maklum ia apa yang akan dilakukan Pujo. Agaknya puteranya itu dipelihara dan dididik Pujo dan ditanamkan dalam jiwa anaknya itu bahwa dia adalah musuh anaknya sendiri, dan setelah sekarang ia menjadi tawanan, agaknya Pujo menanti datangnya anak itu untuk turun tangan membunuhnya! Inilah sebabnya mengapa ia diikat erat-erat pada pohon agar supaya tidak dapat melawan jika anak itu turun tangan. Tadinya ia merasa heran mengapa dia yang sudah kalah masih harus diikat, padahal kalau Pujo hendak membunuhnya, adalah amat mudah.
"Pujo...! Kuminta kepadamu demi dewata yang agung lekas bunuh saja padaku agar punah sudah perhitungan kita. Akan tetapi, kau kembalikan puteraku ke kadipaten..." Ia memohon, mukanya masih pucat sekali.
Pujo tersenyum, tangan kirinya mencengkeram baju dekat pundak, tangan kanannya mencengkeram keris Banuwilis. "Keparat! Sekarang kau ada muka untuk minta-minta? Kau tidak ingat betapa aku hampir gila mengingat akan kebiadabanmu terhadap isteriku dahulu? Hemmm, seluruh urat syaraf di tubuhku mendesak agar kucincang tubuhmu sekarang juga dengan keris ini! Akan tetapi terlampau enak bagimu, Wisangjiwo, terlampau enak dan terlalu lekas mampus. Kau tunggulah...! Engkau laki-laki perusak wanita, mengandalkan kedudukan, harta benda dan wajah tampan. Bagaimana kalau kubuntungkan saja hidungmu? Dan kedua telingamu? Bagaimana kalau kurajang mukamu sehingga kelak setiap orang wanita yang memandang mukamu, biar nenek-nenek sekali pun, akan muntah karena jijik dan muak?"
Gelora dendam membuat Pujo bicara seperti orang tidak waras lagi pikirannya, matanya merah dan mukanya menjadi buas sehingga Wisangjiwo makin pucat dan ngeri. Biarpun Wisangjiwo merasa tidak pernah memperkosa isteri Pujo, namun mulailah ia menyesali perbuatan-perbuatannya yang lalu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BADAI LAUT SELATAN (BAGIAN KE-03 SERIAL KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA)