BADAI LAUT SELATAN : JILID-73
Gadis itu terkejut, bangkit berdiri dan memutar tubuhnya. Joko Wandiro
sudah lari mendekat. Mereka berdiri, berhadapan, saling pandang
seakan-akan baru bertemu setelah berpisah berbulan-bulan. Padahal baru
tiga hari mereka saling berpisah. Bukan saling melihat pakaian mereka
yang indah-indah, sama sekali bukan. Pakaian indah itu bagi mereka tidak
ada artinya, dan orangnyalah yang penting. Pandang mata mereka bertaut,
akhirnya, aneh sekali, Ayu Candra menundukkan matanya dan kedua pipinya
kemerahan!
"Kakang mas... adipati" Gadis itu membuka mulut, suaranya gemetar, mukanya menunduk.
Joko Wandiro coba mengusir suasana lucu dan aneh itu dengan ketawanya. "Ha-ha-ha! Ayu Candra! Apa-apaan ini? Aku masih tetap kakang Joko, kakakmu yang nakal, kakakmu yang terkasih. Mengapa mesti mengubah kebiasaan? Bagi orang lain aku adalah kanjeng adipati, akan tetapi bagimu tetap kakang Joko Wandiro Kau anak nakal, mana paman Darmobroto?"
Joko Wandiro melompat dan memegang tangan yang halus dan aneh sekali. Tangan yang biasanya hangat dan jari-jari tangan yang biasanya mencengkeram jari-jarinya itu kini menggigil dingin. Muka itu masih belum terangkat, bahkan kini Ayu Candra menarik tangannya yang terpegang Joko Wandiro.
"Ayah... ayah... masih bersamadhi... silakan duduk, kakang-mas adipati aku... aku "
"Eh, eh, bocah nakal! Hentikan kelakarmu! Apa artinya semua ini? Ayah? Siapa ayahmu? Kau mengapa, Ayu?" Kembali Joko Wandiro memegang tangan adiknya, dan sekali lagi Ayu Candra merenggut lepas tangannya.
"Aku... telah menjadi anak ramanda Darmobroto, dan kau...
"Apa katamu? Mengapa begitu? Eh, Ayu Candra, bukannya aku melarang engkau menjadi anak angkat paman Darmobroto, akan tetapi, mengapa kau tidak tanya dulu kepadaku? Aku pengganti ayah bundamu, aku walimu, aku kakak kandungmu!"
"Bukan...!" Tiba-tiba Ayu Candra mengangkat mukanya yang kemerahan, membentak keras. "Bukan apa-apakul Bukan kakak kandung, sama sekali bukan. Kakak tiripun bukan! Di antara kita tidak ada hubungan darah...!"
"Apa...? Ayu Candra, apa artinya... semua ini? Kau bukan adikku?" Joko Wandiro memandang adiknya dengan mata terbelalak dan kerling berkerut. Gilakah gadis ini? Atau... jangan-jangan... terkena bujukan orang lain. Apakah Ki Darmobroto juga berhati palsu dan sejahat Ki Jatoko? Gadis itu dengan muka masih kemerahan akan tetapi sinar matanya tajam dan nakal seperti biasa, agaknya sudah pulih ketegangan hatinya, menggeleng kepala dan berkata lagi,
"Bukan adikmu, bukan apa-apa, karena itu jangan kau pegang-pegang tanganku, tidak pantas dilihat orang, tidak sopan...!"
Saking kaget dan herannya, Joko Wandiro tidak melihat betapa gadis itu menggigit bibir dengan sikap nakal menggoda. "Ayu... Siapa bilang begitu? Dari mana kau tahu...?" Kini suara Joko Wandiro gemetar. Urusan ini bukan kecil artinya bagi dia, hampir sama dengan urusan mati atau hidup!
"Ramanda Darmobroto yang bilang. Dia mengenal ayah semenjak muda, dan dia tahu bahwa ibuku bernama Rasmi, sudah meninggal dunia ketika aku masih kecil. Jadi, ayah adalah seorang duda dan sudah mempunyai anak aku ketika bertemu dengan ibumu dan menikah dengannya, ibumu yang sudah meninggalkan anak, yaitu engkau. Jadi... kita ini... bukan apa-apa, tidak seayah tidak seibu..."
Jantung Joko Wandiro berdebar keras, kedua kakinya menggigil. Ia. mengucek mata dengan tangan kanan, seakan-akan ia tidak percaya akan semua yang dihadapinya ini, khawatir kalau-kalau ini hanya terjadi dalam mimpi.
Melihat keadaan pemuda ini, Ayu Candra melangkah maju setindak dan bertanya, "Kau... kau kenapa...?"
Joko Wandiro menangkap tangan gadis itu, memandang tajam, bertanya dengan suara lirih gemetar, "Jadi kau... kau bukan adikku...?:
Ayu Candra menggeleng kepala. "Bukan, bukan apa-apa"
"Siapa bilang bukan apa-apa? Kau bukan adik memang dan terima kasih kepada Dewata bahwa kau bukan adikku, akan tetapi kau... kau... kekasihku..!" Sebelum Ayu Candra sempat menjawab, Joko Wandiro sudah menarik tangannya, memeluknya erat-erat.
"Aahhhh, kakang..."
Akan tetapi Joko Wandiro sudah memotong protes lemah ini dengan menutup mulut yang mungil itu dengan bibirnya. Naik sedu-sedan dari dalam rongga dada Ayu Candra dan gadis itu merangkulkan kedua lengannya, memeluk ketat. Demikian besar rasa bahagia hati mereka berdua, dan Ayu Candra hanya meramkan kedua mata dengan air mata bercucuran ketika orang yang paling dikasihinya di dunia ini memeluk dan menciumi seluruh mukanya. Air mata itu bagaikan air embun menyegarkan hati Joko Wandiro, dikecup dan dihisapnya.
"Ayu... Ayu... tidak mimpikah kita...?" Akhirnya setelah mampu menguasai hatinya, ia berbisik di dekat telinga.
Suara Ayu Candra juga gemetar dan hanya dapat berbisik lemah, "entahlah, kakang... entahlah... serasa.. mimpi.."
Memang kebahagiaan itu terlalu besar bagi mereka, serasa tidak mungkin terjadi. Rasa cinta kasih yang besar sejak dahulu memenuhi perasaan hati mereka, akan tetapj, secara terpaksa harus mereka tindih dengan kesadaran akan kenyataan bahwa mereka itu saudara sekandung, tak mungkin dilanjutkan pertalian cinta kasih antara pria dan wanita itu. Akan tetapi sekarang keadaan berubah sama sekali. Mereka bukan saudara sekandung, bahkan saudara tiripun bukan. Mereka orang-orang lain!
"Kalau begitu, mari kita buktikan, Ayu. Kalau hanya mimpi, biar kita sadar!"
Sebelum gadis itu mengerti akan maksud kata-katanya, Joko Wandiro sudah memondong gadis itu dan langsung membawanya terjun ke dalam kolam ikan!
"Byuuurrr...!"
Kolam itu tidak terlalu dalam, hanya sebatas dada. Akan tetapi karena Joko Wandiro yang mabuk kebahagiaan itu membawa Ayu Candra terjun dengan kepala lebih dahulu, gelagapan juga dan basah kuyup. Mereka tertawa-tawa dan saling rangkul dalam keadaan basah kuyup, berdiri di dalam kolam ikan.
"Eh-eh... auuupphh... kau nakal... kakang...!" Ayu Candra gelagapan, akan tetapi membalas peluk cium pemuda itu dengan mesra dan penuh kasih.
"Ha-ha-ha! Kita tidak mimpi...!"
"Aiihhh...!" Tiba-tiba Ayu Candra menjerit kegelian dan Joko Wandiro terbahak tertawa sambil menarik keluar seekor ikan emas kecil yang dengan nakalnya menyusup di balik kemben Ayu Candra. Kembali mereka tertawa-tawa sambil berpelukan, seperti dua orang anak-anak bermain dalam kolam air.
Pada saat itu terdengar suara Ki Darmobroto yang tahu-tahu sudah berada di taman, "Eehh... ehhh... anakku... Ayu Candra, engkau sedang apa itu? Dan... siapakah orang muda yang kurang... eh, kiranya anak-mas adipati! Wah-wah, bagaimana ini? Kolam ikan bukan tempat mandi, anakmas adipati. Anakku Ayu Candra, bagaimana kau ini? Tamu agung kita kau ajak mandi dalam kolam ikan? Ataukah anak-mas adipati yang memaksamu mandi di situ?"
Sejenak muka kedua orang muda itu menjadi merah sekali. Akan tetapi Joko Wandiro lalu menuntun Ayu Candra, diajak keluar dari dalam kolam. Basah kuyup tubuh mereka. Pakaian yang basah itu menempel ketat di tubuh Ayu Candra, mencetak tubuh itu sehingga tampak jelas bentuk tubuh yang menggairahkan. Gadis itu cepat-cepat duduk bersimpuh di depan Ki Darmobroto. Joko Wandiro juga cepat-cepat memberi hormat kepada Ki Darmobroto. Kini pandangannya terhadap Ki Darmobroto berubah sama sekali, bukan lagi sebagai sahabat, melainkan sebagai seorang tua. Bukankah orang tua ini sekarang menjadi ayah Ayu Candra?
"Mohon maaf sebanyaknya, paman. Baru saja saya mendengar dari Ayu Candra bahwa... bahwa di antara kami... tidak ada ikatan keluarga. Maka dari... itu... ehh, saking girang... eh, bukan...karena merasa aneh dan ingin mendapat kepastian apakah kami mimpi, kami lalu... eh... mandi di kolam!" Baru kali ini selama hidupnya Joko Wandiro tergagap-gagap.
Ki Darmobroto tertawa, suara ketawanya seorang tua yang maklum akan keadaan dan menganggapnya sebagai sebuah lelucon yang wajar. Ia pun pernah muda dan tahu apa artinya sikap aneh-aneh orang muda yang mabuk asmara.
"Saya tahu, anakmas. Saya sudah mendengar dari Ayu tentang hubungan andika berdua sebelum terjadi salah sangka antara kalian sebagai kakak beradik itu, Saya pun sudah dapat menduganya ketika melihat sikap andika berdua pada waktu mendengar tentang kematian puteraku. Karena itulah maka saya mengangkat Ayu Candra sebagai anak. Dia seorang bocah lola, dan sekarang akulah yang menjadi walinya. Aku memang seperti saudara atau kakak sendiri dengan mendiang ayahnya. Dengan ada walinya, maka derajatnya sebagai seorang gadis akan pulih kembali sebagai seorang gadis terhormat, anakmas. Saya yakin anakmas maklum akan maksud hati saya."
Joko Wandiro mengangguk-angguk. Tentu saja ia maklum. Setelah ternyata bahwa Ayu Candra bukan adiknya, berarti ia akan dapat melanjutkan tali perjodohan yang terputus, melanjutkan tali asmara yang tadinya terpaksa diputuskan. Dan alangkah buruknya dalam mata umum apabila ia mengambil Ayu sebagai isteri begitu saja, seakan-akan seorang adipati memungut seorang perawan terlantar di tepi jalan.
Kini Ayu mempunyai ayah angkat, mempunyai wali yang cukup terhormat. Sehingga ia dapat mengajukan pinangan secara terhormat pula dan dengan demikian, derajat Ayu Candra sebagai calon isterinya, sebagai calon isteri adipati, akan terangkat naik di mata umum. Tanpa ragu-ragu lagi Joko Wandiro lalu maju dan menghaturkan sembah dengan khidmat. Cepat-cepat Ki Darmobroto mencegahnya.
"Harap anakmas jangan sungkan-sungkan. Percayalah, apa yang Saya lakukan ini sama sekali bukan untuk menanam budi, bukan pula menolong andika, melainkan menjadi sebuah kebahagiaan bagi saya orang tua. Dengan mempunyai seorang anak seperti Ayu Candra dan kelak mempunyai mantu seperti andika, akan terobati luka di hati kehilangan Joko Seto.”
Joko Wandiro terharu hatinya. Orang tua ini amat bijaksana, mulia budinya. "Terima kasih saya kepada paman, hanya Dewata yang mengetahuinya. Semua yang paman nyatakan benar adanya. Setelah kini Ayu Candra di tangan yang tepat dan mempunyai wali yang terhormat, saya pun hendak menemui bibi saya sebagai pengganti orang tua saya."
"Baik sekjali, anak-mas. Memang sebaiknya demikian. Anak-mas berangkatlah ke Selopenangkep dengan hati lapang dan setelah urusan di Selopenangkep beres, anakmas boleh memilih hari baik mengajukan pinangan resmi."
Joko Wandiro ingin sekali menari-nari saking girangnya. Kalau nasib sedang mujur, bertumpuk-tumpuk dan berlimpah-limpah berkat menghujani dirinya. Diangkat menjadi Adipati Selopenangkep disusul berita bahagia bahwa Ayu Candra bukan adiknya sehingga tiada halangan untuk menjadi isterinya, ditambah lagi campur tangan Ki Darmobroto yang melancarkan segala urusan!
"Terima kasih, paman. Kalau begitu, saya bermohon diri untuk memimpin pasukan ke Selopenangkep."
"Selamat jalan, anakmas. Doa restu paman saja mengiringi anakmas."
"Terima kasih, paman. Ayu, kau di sini dulu, Ayu, aku hendak membereskan urusan di Selopenangkep."
"Kakang, jangan terlalu lama...!"
"Tentu saja tidak, Ayu. Aku sendiri mana senang bersunyi diri berjauhan dengan engkau? Selamat tinggal, Ayu."
"Selamat jalan, kakang..!"
Setelah pandang mata mereka sejenak bertaut penuh kasih mesra, Joko Wandiro lalu membalikkan tubuh dan melangkah keluar dari taman sari.
"Kakang..!"
Joko Wandiro menengok. Kiranya Ki Darmobroto sudah tidak ada di situ dan tampak Ayu Candra berlari-lari mengejarnya.
"Ada apa, Ayu?"
Ayu Candra memegang tangannya. "Pakaianmu itu, kakang. Basah semua. Masa engkau akan melakukan perjalanan dalam pakaian basah kuyup begitu?"
"Tidak apa, sayang."
"Engkau masuk angin nanti, kakang."
"Ah, tidak, Ayu. Pula, pasukanku telah lama menanti di alun-alun. Aku harus berangkat sekarang, dewiku. Selamat tinggal." Joko Wandiro membalikkan tubuhnya.
"Kakangmas..."
Joko Wandiro kembali membalikkan tubuh.
"Ada apakah, sayang?"
Ayu Candra terisak dan menubruknya. "Jangan lama-lama, kakang. Aku tak tahan terlalu lama kau tinggalkan "
Joko Wandiro tersenyum, memeluk dan mengangkat muka yang jelita itu, lalu menciumnya mesra. "Tidak sayang. Aku segera datang bersama bibi Roro Luhito untuk meminangmu secara resmi."
Sejenak mereka berpelukan dan berciuman, kemudian Joko Wandiro melepaskan rangkulannya dan melangkah pergi dengan tindakan lebar, diikuti pandang mata Ayu Candra yang berlinang air mata bahagia…..!
********************
Semenjak pusaka Mataram kembali ke tangan sang prabu di Panjalu, keadaan menjadi berubah. Memang agaknya tidak percuma kepercayaan umum bahwa pusaka Mataram itu sedemikian ampuhnya sehingga apabila berada di tempatnya, yaitu di kerajaan, maka seluruh kerajaan akan menjadi aman, tenteram dan damai.
Entah sampai di mana kebenaran ini, akan tetapi nyatanya, pengiriman pasukan besar untuk kedua kalinya telah dapat bekerja sama amat baiknya dengan pasukan Jenggala sehingga pemberontakan di Nusabarung dapat dipadamkan dengan segera. Adipati Jagalmanik di Nusabarung dapat ditawan, pasukannya dihancurkan dan Nusabarung ditaklukkan. Dengan kemenangan besar pasukan Panjalu kembali.
Demikian pula pasukan Jenggala pulang sambil membawa tawanan yang segera dijatuhi hukuman mati oleh sang prabu di Jenggala. Bukan hanya kemenangan atas Nusabarung saja yang menggirangkan hati rakyat. Juga bantuan Panjalu itu merupakan jembatan pendamai antara kakak beradik, antara Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Jenggala.
Pertama-tama, untuk menyatakan terima kasihnya atas bantuan kakaknya, sang prabu di Jenggala mengirim upeti dan mengirim sebagian harta rampasan Nusabarung berikut sejumlah wanita-wanita cantik hasil rampasan dari Kerajaan Nusabarung kepada sang prabu di Panjalu. Kiriman ini diterima dengan hati gembira dan dibalas dengan kiriman berharga disertai doa restu seorang kakak terhadap adik. Hubungan dilanjutkan dan tak lama kemudian sang prabu di Jenggala berkenan datang mengunjungi kakaknya di Panjalu. Semenjak itu, kedua keirajaan menjadi akur kembali.
Peristiwa menggembirakan ini disambut rakyat kedua kerajaan dengan penuh kegembiraan. Terhentinya perang berarti terhentinya segala malapetaka dan kesukaran bagi rakyat. Hubungan baik itu bahkan kemudian dipererat dengan pernikahan antara Pangeran Darmokusumo, Pangeran Panjalu yang tampan, dengan Puteri Mayagaluh, Puteri Jenggala!
Rakyat berpesta-pora. Tentu saja tidak semua orang di Panjalu dan Jenggala menyambut hubungan baik antara kedua kerajaan itu dengan hati gembira. Banyak pula yang menaruh hati dengki, dan tidak kurang pula yang merasa terancam kedudukannya atau dirugikan. Mereka adalah orang-orang yang mendapat keuntungan dengan adanya permusuhan.
Diam-diam mereka ini berprihatin dan mencari kesempatan untuk mengeruhkan suasana, mengacaukan keadaan. Namun pengaruh mereka tidak besar dan usaha-usaha buruk mereka itu tidak ada artinya, tenggelam dalam lautan damai. Seperti telah direncanakan semula, Roro Luhito dihubungi Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono. Ketika Joko Wandiro tiba di Pulau Sempu, ia hanya mendapatkan Kartikosari dan Roro Luhito, Endang Patibroto tidak berada di pulau itu lagi.
"Dia telah pergi...! Tidak mau disini bersamaku. Dia merasa hancur hatinya, dia merasa tidak ada orang di dunia ini yang mengasihinya, dia ingin hidup sendiri, entah di mana. Ahh, aku tidak dapat membayangkan apa jadinya dengan Endang Patibroto," kata Kartikosari dengan wajah muram.
Diam-diam Joko Wandiro menaruh kasihan kepada Kartikosari yang banyak mengalami penderitaan ini. "Salahku sendiri," wanita itu melanjutkan, "aku tidak menyalahkan Endang Patibroto... terlahir dalam keadaan tidak sewajarnya, dia pernah dilanda kebencian dalam hatiku, pernah kulemparkan dia dalam badai. Sekarang semua ini hanyalah buah yang harus kupetik dari pohon yang kutanam sendiri. Dewata adil, dan aku akan menerima segala derita dan hukumannya..."
Joko Wandiro dan Roro Luhito menghibur dan akhirnya Kartikosari yang sudah mengandung tua itu menurut juga ketika diajak oleh Joko Wandiro dan Roro Luhito untuk tinggal di Selopenangkep, bersama Joko Wandiro yang menganggap mereka berdua seperti orang-orang tua yang harus ia hormati dan junjung sebagai pengganti orang tuanya.
"Mendiang paman Pujo adalah ayah saya di dalam hati, bibi," katanya antara lain, "karena itu, bibi sebagai isterinya juga sudah sepatutnya kalau kuanggap sebagai ibu sendiri. Bersama bibi Roro Luhito, sudilah bibi tinggal bersama saya di Selopenangkep."
Pinangan terhadap Ayu Candra dilakukan dan semua berlangsung lancar sampai tiba saat pernikahan dirayakan. Ramai dan meriah pesta pernikahan ini. Bahkan sang prabu di Panjalu sendiri berkenan hadir dan memberi doa restu. Seluruh rakyat Selopenangkep bergembira ria. Mereka semua menaruh harapan baik atas diri adipati muda di Selopenangkep yang kabarnya amat adil, arif bijaksana, dan sakti mandraguna itu. Menaruh harapan agar di bawah bimbingannya, rakyat daerah pantai selatan akan hidup aman makmur, tata tenteram, kerta raharja.
Hanya dapat dibayangkan, sungguh sukar dituturkan, betapa bahagia rasa hati Joko Wandiro dan Ayu Candra ketika mereka bertemu sebagai sepasang mempelai. Mereka tidak hanya saling mencinta dengan hati tulus ikhlas, juga yang terpenting dari sebuah ikatan pernikahan, mereka sudah saling mengenal watak masing-masing, sudah melihat dengan mata terbuka segala segi sifat buruknya.
Karena hanya pengertian dan pemakluman akan semua sifat baik maupun buruk dari sisihannya inilah yang akan mengekalkan cinta kasih suami isteri, akan memperbesar toleransi, saling mengasuh, saling mengalah, saling mengasih, saling mengolah sehingga tercapailah keluarga bahagia yang menjadi idaman semua pasangan di dunia ini.
Jauh di pantai Laut Selatan, di tempat yang sunyi sepi, di antara batu-batu karang yang berdiri kokoh kuat dan tegak bagaikan raksasa-raksasa, duduklah seorang wanita di atas batu karang menghadapi Laut Selatan yang menggelora. Pantai itu adalah pantai Karangracuk di Baron dan wanita itu bukan lain adalah Endang Patibroto!
Di sinilah ia hidup sejak kecil. Di sinilah ia dahulu diasuh ibunya, digembleng dan dididik. Batu-batu karang ini tetap tidak berubah. Semua manusia berubah. Ibu kandungnya sendiripun kini membencinya. Joko Wandiro membencinya. Bibi Roro Luhito membencinya. Apalagi Ayu Candra.
Tak seorangpun di dunia ini suka kepadanya. Hanya batu karang-batu karang di tepi pantai Karangracuk tidak berubah. Masih seperti dahulu ketika ia kecil. Dan ombak-ombak yang tak kunjung henti itupun tidak pernah berubah. Masih berdendang menyanyikan lagu badai, menghiburnya.
Endang Patibroto sudah berhari-hari duduk di situ seperti arca. Rambutnya kusut masai dan terurai berkibar-kibar ditiup angin Laut Selatan. Wajahnya pucat, pandang matanya sayu, hatinya perih dan duka. Masih terngiang di telinganya suara ibunya di Pulau Sempu,
"Engkau anak durhaka, engkau anak yang mengotori pesan kakangmas Pujo. Engkau pantas menjadi anak Jokowanengpati, karena itu engkau patut pula menjadi musuhku!"
Hebat kata-kata ini, menusuk jantungnya sampai tembus. Ucapan itulah yang membuat ia segera pergi meninggalkan Sempu setelah ia siuman dalam pelukan ibunya. Ibunya menangisinya, menahannya, namun ia tidak mau. Ia tahu bahwa di lubuk hati ibunya sudah terdapat keraguan, mengira ia anak Jokowanengpati yang harus dibencinya!
Endang Patibroto menutupi muka dengan kedua tangannya. Pundaknya terguncang tanda bahwa ia menangis. Semenjak kemarin dulu ia selalu begini. Termenung atau menangis. Ia tidak tahu batapa udara menjadi gelap, tidak tahu bahwa mendung mulai berkumpul, tidak tahu betapa laut menjadi tenang, terlalu tenang sebagai tanda akan datangnya badai yang mengamuk.
Biasanya kalau badai akan mengamuk, Laut Selatan menjadi tenang, tenang sekali seakan-akan raksasa yang tidur atau samadhi mengumpulkan tenaganya sebelum mengamuk dahsyat. Ia tidak tahu pula betapa angin seperti berhenti meniup.
"Apa dosaku?" Pertanyaan ini berkali-kali menghantam hati dan pikirannya. "Apa salahku kalau aku benar keturunan Jokowanengpati? Salahkah aku kalau aku menjadi murid Dibyo Mamangkoro? Salahkah aku kalau aku membenci Joko Wandiro dan Ayu Candra karena mereka saling mencinta dan karena pemuda itu tidak mempedulikan diriku? Salahkah aku kalau aku mencinta Joko Wandiro dengan sepenuh hatiku, kemudian berbalik benci karena dia tidak mempedulikanku? Salahkah aku kalau aku membunuh Jokowanengpati? Salahkah aku kalau aku membunuh Listyakumolo yang telah membunuh Pujo ayahku?"
Pertanyaan-pertanyaan ini selalu mengiang di telinganya dan tiada seorangpun menjawab. Jawaban yang ia terima hanya dari Laut Selatan yang bergemuruh seperti kakek-kakek menggumam dan tiupan angin yang melengking seperti tangis perawan cengeng. Kini angin mulai bertiup kencang. Air mulai mendidih. Makin lama angin bertiup makin kencang, air laut mulai berguncang dan menggelora.
Badai mulai datang. Cuaca makin gelap. Akan tetapi Endang Patibroto seperti tidak merasakan itu semua. Ia menangis tersedu-sedu, persis seperti Kartikosari dulu menangis, di atas batu karang itu pula. Hanya bedanya, kalau Kartikosari menangis karena teringat Pujo, Endang Patibroto kini menangis bukan hanya teringat kepada Joko Wandiro, melainkan terutama sekali teringat akan keadaan dirinya!
Tiba-tiba Endang Patibroto memandang ke depan. Ombak Laut Selatan mengamuk setinggi bukit, saling terjang dengan ombak yang kembali dari pantai, menimbulkan suara menjelegur, bergemuruh.
"Kenapa...?" Endang Patibroto memekik, seakan-akan ia bertanya, kepada badai. "Kenapa semua orang membenciku?"
Sebagai jawaban, sebuah ombak yang besar menyambar dan menubruknya, kemudian pecah di sekitar tubuhnya. Namun Endang Patibroto masih duduk di situ, tak bergeming. Hanya tubuhnya basah kuyup. Terasa asin di mulutnya dan tidak tahu lagi, air lautkah atau air matanya yang asin itu. Ia tidak peduli akan amukan badai Laut Selatan karena badai di dalam hatinya mengamuk lebih hebat, menggelora dari pada badai Laut Selatan.
Makin seringlah ombak mencambuknya, makin lama makin kuat. Kalau saja Endang Patibroto seorang biasa, tentu tubuhnya sudah rusak-rusak dibanting lidah ombak yang amat kuat itu kepada batu karang. Akan tetapi Endang Patibroto merasa seperti dielu-elukan, seperti dibuai dan dicumbu. Wajahnya berubah, makin bersinar mukanya dan kini ia bangkit berdiri tegak menanti datangnya lidah ombak dengan penuh penyerahan, seperti menanti datangnya kekasih yang hendak menjemputnya.
"Tidak ada manusia yang cinta kepadaku! Tapi badai Laut Selatan mencintakan Mengapa tidak? Marilah, badai majulah. Marilah kekasihku, jemputlah aku"
Bagaikan seorang gila, Endang Patibroto menyambut datangnya serbuan ombak yang amat kuat. Kalau tadi ia duduk, lidah ombak menelannya dan kekuatan lidah ombak yang mencambuk itu lewat di atas kepalanya. Akan tetapi kini lidah ombak itu langsung menghantam tubuhnya yang berdiri. Ia kuat menahan, namun tubuhnya bergoyang-goyang. Terdengar suara lengking tawanya di antara gemuruh suara ombak. Suara ketawa yang nyaring dan bebas sewajarnya, seperti anak-anak bermain atau seperti seorang gadis manja digoda kekasihnya.
"Endangggg...! Endaannng...! Endang Patibroto...!"
Suara panggilan ini sebetulnya sudah sejak tadi diteriakkan orang. Seorang laki-laki yang dengan susah payah menempuh angin badai. Beberapa kali orang roboh terjengkang tertiup angin bergulingan, akan tetapi ia berhasil memegang batu karang dan merangkak maju lagi. Kini ia sudah dekat dengan batu-batu karang besar yang berbaris di tepi pantai, di mana lidah-lidah ombak memecah dahsyat. Ia maju terus. tertatih tatih, terhuyung-huyung, kadang-kadang merangkak, maju demi seduit terus berteriak memanggil dengan suara serak, "Endaaaangggg...!"
Lidah ombak melampaui batu karang, menyambar laki-laki itu, menyeret kakinya sehingga ia jatuh dan terbawa Ke darat kembali. Namun ia bangkit berdiri dan lari ke pinggir, tidak peduli badai yang mengamuk hebat, tak peduli, bahwa keselamatan nyawanya sendiri terancam kalau ia sempat diseret ombak ke tengah, dibanting ke atas batu karang sampai tubuhnya akan hancur berkeping-keping. Ia terhuyung-huyung maju, memanggil-manggil nama Endang Patibroto Sudah tampak olehnya tubuh gadis itu berdiri tegak di atas batu karang, menantang ombak dan badai, dengan kedua lengan direntangkan, seperti hendak memeluk kekasih yang datang dari depan. Sudah terdengar olehnya suara ketawa Endang Patibroto, dan semua itu membangkitkan tekadnya, memperkuat tenaganya yang sudah rnulai lelah.
"Endang...! Endang...! Jangan... jangan pergi, Endang kekasihku... Tunggulah aku... tunggu...!"
Sebuah ombak yang besar datang menerjang melenyapkan tubuh Endang Patibroto, terus menelan batu karang dan menelah tubuh laki-laki itu. Laki-laki itu meramkan mata, mulutnya menyebut nama dewata dan ia tertelungkup, merangkul sebuah batu karang. Ketika ombak itu menipis dan kembali ke laut, Endang Patibroto masih berdiri tegak, dan laki-laki itu setengah pingsan.
Namun ia masih memaksa diri mendaki, batu karang yang runcing tajam-tajam dan amat tinggi itu. Akhirnya dengan susah payah sampailah ia di puncak batu karang, lalu tanpa mempedulikan ancaman ombak badai ia menubruk dan merangkul kaki Endang Patibroto sambil memekik, "Endang Patibroto... kekasihku... aku cinta kepadamu, Endang...!" Laki-laki itu jatuh bergelimpangan, pingsan sambil memeluk kedua kaki Endang Patibroto!
Bagaikan sadar dari sebuah mimpi buruk, Endang Patibroto menundukkan mukanya, terkejut melihat laki-laki itu. "Pangeran Panjirawit...!"
Pada saat itu, kembali ombak besar datang menyerbu. Endang Patibroto yang sudah sadar, cepat meraih tubuh itu dan mengangkatnya naik, mengerahkan tenaganya dan sambil memondong tubuh itu melompat ke atas batu karang yang lebih tinggi, satu-satunya batu karang yang tak pernah dilanda ombak dalam badai itu, hanya dihujani percikan ombak yang pecah menjadi atom. Laki-laki itu sudah siuman, segera sadar dan ingat akan keadaannya yang sudah dirangkul. Keduanya berangkulan. Bertangisan.
"Endang... Endang Patibroto... aku menyusulmu dan bertanya-tanya ke... Selopenangkep... aku mendengar dari ibumu... beliaulah yang mengatakan bahwa mungkin kau kembali ke tempat ini, tempat kau dibesarkan... aku... aku khawatir sekali Endang, aku mencintamu engkau dewi pujaan hatiku, tak tahukah engkau? Aku cinta kepadamu... eh, betapa bahagia melihatmu masih hidup..."
"Sstttt, diamlah... diamlah... biarkan aku menikmati kebahagiaan ini tanpa suara..." Endang Patibroto merangkul, mencium, menangis, kemudian ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Pangeran Panjirawit.
Pangeran itupun tersedu dan mengangkat bangun tubuh Endang Patibroto, merangkulnya erat-erat tak hendak dilepaskannya lagi.
"Endang, tak boleh kau meninggalkan aku lagi..." bisiknya.
"Tapi, gusti..."
"Husshhh, aku bukan gustimu, aku kekasihmu, calon suamimu..."
"Tapi... tapi aku... seorang yang..."
Pangeran Panjirawit menutup mulut itu dengan sebuah ciuman mesra. "Engkau seorang dewi, dewiku. Engkau akan menjadi isteriku"
"Akan tetapi aku tidak mau hidup di istana, tak mau terlibat dalam perang dan pertandingan..."
"Takkan ada perang, takkan ada pertandingan, dan aku sendiripun sudah mendapat ijin dari ramanda prabu untuk tinggal di luar istana, membentuk keluarga bersamamu. Perang sudah berakhir, yang ada hanya damai dan tenteram. Jangan khawatir, jiwaku, engkau takkan bertanding lagi. Engkau akan mengganti keris dengan pisau..."
"Pisau...?"
"Ya, pisau dapur karena engkau harus pandai masak untukku, untuk kita, untuk anak-anak kita." Pangeran itu tersenyum. "Endang, jiwaku, kekasihku, mari kita pulang..."
"Pulang...?"
"Ya, pulang ke rumah kita, sayang. Mempersiapkan upacara pernikahan. Kita undang mereka semua. Ibumu pun sudah siap. Kita undang mereka semua agar mereka dapat menyaksikan dan ikut bergembira. Bukankah kau bahagia, Endang?"
"Aku... aku... ahh..." Gadis itu menangis tersedu-sedu dalam pelukan Pangeran Panjirawit yang membiarkannya menangis untuk menguras habis semua kepahitan dan kedukaaan hati.
Kalau kepahitan sudah dikuras oleh tangis, maka tangis itu akan berubah menjadi tangis bahagia. Sementara itu, ombak badai Laut Selatan mulai mereda. Tiada keadaan yang tak berubah di dunia ini. Badai akan mereda, hujan akan berhenti, tangispun akan berhenti dan mengalah, memberikan kesempatan kepada tawa. Yang gelap terganti terang, mendung menjadi cerah, tangis menjadi tawa dan duka berganti suka. Tiada yang langgeng di dalam kehidupan ini, semua akan berubah, berubah dan berubah lagi. Berubahkah semua itu? Sesungguhnyalah, namun perubahan itu memang wajar, sudah semestinya, dan wajar inilah langgeng.....
"Kakang mas... adipati" Gadis itu membuka mulut, suaranya gemetar, mukanya menunduk.
Joko Wandiro coba mengusir suasana lucu dan aneh itu dengan ketawanya. "Ha-ha-ha! Ayu Candra! Apa-apaan ini? Aku masih tetap kakang Joko, kakakmu yang nakal, kakakmu yang terkasih. Mengapa mesti mengubah kebiasaan? Bagi orang lain aku adalah kanjeng adipati, akan tetapi bagimu tetap kakang Joko Wandiro Kau anak nakal, mana paman Darmobroto?"
Joko Wandiro melompat dan memegang tangan yang halus dan aneh sekali. Tangan yang biasanya hangat dan jari-jari tangan yang biasanya mencengkeram jari-jarinya itu kini menggigil dingin. Muka itu masih belum terangkat, bahkan kini Ayu Candra menarik tangannya yang terpegang Joko Wandiro.
"Ayah... ayah... masih bersamadhi... silakan duduk, kakang-mas adipati aku... aku "
"Eh, eh, bocah nakal! Hentikan kelakarmu! Apa artinya semua ini? Ayah? Siapa ayahmu? Kau mengapa, Ayu?" Kembali Joko Wandiro memegang tangan adiknya, dan sekali lagi Ayu Candra merenggut lepas tangannya.
"Aku... telah menjadi anak ramanda Darmobroto, dan kau...
"Apa katamu? Mengapa begitu? Eh, Ayu Candra, bukannya aku melarang engkau menjadi anak angkat paman Darmobroto, akan tetapi, mengapa kau tidak tanya dulu kepadaku? Aku pengganti ayah bundamu, aku walimu, aku kakak kandungmu!"
"Bukan...!" Tiba-tiba Ayu Candra mengangkat mukanya yang kemerahan, membentak keras. "Bukan apa-apakul Bukan kakak kandung, sama sekali bukan. Kakak tiripun bukan! Di antara kita tidak ada hubungan darah...!"
"Apa...? Ayu Candra, apa artinya... semua ini? Kau bukan adikku?" Joko Wandiro memandang adiknya dengan mata terbelalak dan kerling berkerut. Gilakah gadis ini? Atau... jangan-jangan... terkena bujukan orang lain. Apakah Ki Darmobroto juga berhati palsu dan sejahat Ki Jatoko? Gadis itu dengan muka masih kemerahan akan tetapi sinar matanya tajam dan nakal seperti biasa, agaknya sudah pulih ketegangan hatinya, menggeleng kepala dan berkata lagi,
"Bukan adikmu, bukan apa-apa, karena itu jangan kau pegang-pegang tanganku, tidak pantas dilihat orang, tidak sopan...!"
Saking kaget dan herannya, Joko Wandiro tidak melihat betapa gadis itu menggigit bibir dengan sikap nakal menggoda. "Ayu... Siapa bilang begitu? Dari mana kau tahu...?" Kini suara Joko Wandiro gemetar. Urusan ini bukan kecil artinya bagi dia, hampir sama dengan urusan mati atau hidup!
"Ramanda Darmobroto yang bilang. Dia mengenal ayah semenjak muda, dan dia tahu bahwa ibuku bernama Rasmi, sudah meninggal dunia ketika aku masih kecil. Jadi, ayah adalah seorang duda dan sudah mempunyai anak aku ketika bertemu dengan ibumu dan menikah dengannya, ibumu yang sudah meninggalkan anak, yaitu engkau. Jadi... kita ini... bukan apa-apa, tidak seayah tidak seibu..."
Jantung Joko Wandiro berdebar keras, kedua kakinya menggigil. Ia. mengucek mata dengan tangan kanan, seakan-akan ia tidak percaya akan semua yang dihadapinya ini, khawatir kalau-kalau ini hanya terjadi dalam mimpi.
Melihat keadaan pemuda ini, Ayu Candra melangkah maju setindak dan bertanya, "Kau... kau kenapa...?"
Joko Wandiro menangkap tangan gadis itu, memandang tajam, bertanya dengan suara lirih gemetar, "Jadi kau... kau bukan adikku...?:
Ayu Candra menggeleng kepala. "Bukan, bukan apa-apa"
"Siapa bilang bukan apa-apa? Kau bukan adik memang dan terima kasih kepada Dewata bahwa kau bukan adikku, akan tetapi kau... kau... kekasihku..!" Sebelum Ayu Candra sempat menjawab, Joko Wandiro sudah menarik tangannya, memeluknya erat-erat.
"Aahhhh, kakang..."
Akan tetapi Joko Wandiro sudah memotong protes lemah ini dengan menutup mulut yang mungil itu dengan bibirnya. Naik sedu-sedan dari dalam rongga dada Ayu Candra dan gadis itu merangkulkan kedua lengannya, memeluk ketat. Demikian besar rasa bahagia hati mereka berdua, dan Ayu Candra hanya meramkan kedua mata dengan air mata bercucuran ketika orang yang paling dikasihinya di dunia ini memeluk dan menciumi seluruh mukanya. Air mata itu bagaikan air embun menyegarkan hati Joko Wandiro, dikecup dan dihisapnya.
"Ayu... Ayu... tidak mimpikah kita...?" Akhirnya setelah mampu menguasai hatinya, ia berbisik di dekat telinga.
Suara Ayu Candra juga gemetar dan hanya dapat berbisik lemah, "entahlah, kakang... entahlah... serasa.. mimpi.."
Memang kebahagiaan itu terlalu besar bagi mereka, serasa tidak mungkin terjadi. Rasa cinta kasih yang besar sejak dahulu memenuhi perasaan hati mereka, akan tetapj, secara terpaksa harus mereka tindih dengan kesadaran akan kenyataan bahwa mereka itu saudara sekandung, tak mungkin dilanjutkan pertalian cinta kasih antara pria dan wanita itu. Akan tetapi sekarang keadaan berubah sama sekali. Mereka bukan saudara sekandung, bahkan saudara tiripun bukan. Mereka orang-orang lain!
"Kalau begitu, mari kita buktikan, Ayu. Kalau hanya mimpi, biar kita sadar!"
Sebelum gadis itu mengerti akan maksud kata-katanya, Joko Wandiro sudah memondong gadis itu dan langsung membawanya terjun ke dalam kolam ikan!
"Byuuurrr...!"
Kolam itu tidak terlalu dalam, hanya sebatas dada. Akan tetapi karena Joko Wandiro yang mabuk kebahagiaan itu membawa Ayu Candra terjun dengan kepala lebih dahulu, gelagapan juga dan basah kuyup. Mereka tertawa-tawa dan saling rangkul dalam keadaan basah kuyup, berdiri di dalam kolam ikan.
"Eh-eh... auuupphh... kau nakal... kakang...!" Ayu Candra gelagapan, akan tetapi membalas peluk cium pemuda itu dengan mesra dan penuh kasih.
"Ha-ha-ha! Kita tidak mimpi...!"
"Aiihhh...!" Tiba-tiba Ayu Candra menjerit kegelian dan Joko Wandiro terbahak tertawa sambil menarik keluar seekor ikan emas kecil yang dengan nakalnya menyusup di balik kemben Ayu Candra. Kembali mereka tertawa-tawa sambil berpelukan, seperti dua orang anak-anak bermain dalam kolam air.
Pada saat itu terdengar suara Ki Darmobroto yang tahu-tahu sudah berada di taman, "Eehh... ehhh... anakku... Ayu Candra, engkau sedang apa itu? Dan... siapakah orang muda yang kurang... eh, kiranya anak-mas adipati! Wah-wah, bagaimana ini? Kolam ikan bukan tempat mandi, anakmas adipati. Anakku Ayu Candra, bagaimana kau ini? Tamu agung kita kau ajak mandi dalam kolam ikan? Ataukah anak-mas adipati yang memaksamu mandi di situ?"
Sejenak muka kedua orang muda itu menjadi merah sekali. Akan tetapi Joko Wandiro lalu menuntun Ayu Candra, diajak keluar dari dalam kolam. Basah kuyup tubuh mereka. Pakaian yang basah itu menempel ketat di tubuh Ayu Candra, mencetak tubuh itu sehingga tampak jelas bentuk tubuh yang menggairahkan. Gadis itu cepat-cepat duduk bersimpuh di depan Ki Darmobroto. Joko Wandiro juga cepat-cepat memberi hormat kepada Ki Darmobroto. Kini pandangannya terhadap Ki Darmobroto berubah sama sekali, bukan lagi sebagai sahabat, melainkan sebagai seorang tua. Bukankah orang tua ini sekarang menjadi ayah Ayu Candra?
"Mohon maaf sebanyaknya, paman. Baru saja saya mendengar dari Ayu Candra bahwa... bahwa di antara kami... tidak ada ikatan keluarga. Maka dari... itu... ehh, saking girang... eh, bukan...karena merasa aneh dan ingin mendapat kepastian apakah kami mimpi, kami lalu... eh... mandi di kolam!" Baru kali ini selama hidupnya Joko Wandiro tergagap-gagap.
Ki Darmobroto tertawa, suara ketawanya seorang tua yang maklum akan keadaan dan menganggapnya sebagai sebuah lelucon yang wajar. Ia pun pernah muda dan tahu apa artinya sikap aneh-aneh orang muda yang mabuk asmara.
"Saya tahu, anakmas. Saya sudah mendengar dari Ayu tentang hubungan andika berdua sebelum terjadi salah sangka antara kalian sebagai kakak beradik itu, Saya pun sudah dapat menduganya ketika melihat sikap andika berdua pada waktu mendengar tentang kematian puteraku. Karena itulah maka saya mengangkat Ayu Candra sebagai anak. Dia seorang bocah lola, dan sekarang akulah yang menjadi walinya. Aku memang seperti saudara atau kakak sendiri dengan mendiang ayahnya. Dengan ada walinya, maka derajatnya sebagai seorang gadis akan pulih kembali sebagai seorang gadis terhormat, anakmas. Saya yakin anakmas maklum akan maksud hati saya."
Joko Wandiro mengangguk-angguk. Tentu saja ia maklum. Setelah ternyata bahwa Ayu Candra bukan adiknya, berarti ia akan dapat melanjutkan tali perjodohan yang terputus, melanjutkan tali asmara yang tadinya terpaksa diputuskan. Dan alangkah buruknya dalam mata umum apabila ia mengambil Ayu sebagai isteri begitu saja, seakan-akan seorang adipati memungut seorang perawan terlantar di tepi jalan.
Kini Ayu mempunyai ayah angkat, mempunyai wali yang cukup terhormat. Sehingga ia dapat mengajukan pinangan secara terhormat pula dan dengan demikian, derajat Ayu Candra sebagai calon isterinya, sebagai calon isteri adipati, akan terangkat naik di mata umum. Tanpa ragu-ragu lagi Joko Wandiro lalu maju dan menghaturkan sembah dengan khidmat. Cepat-cepat Ki Darmobroto mencegahnya.
"Harap anakmas jangan sungkan-sungkan. Percayalah, apa yang Saya lakukan ini sama sekali bukan untuk menanam budi, bukan pula menolong andika, melainkan menjadi sebuah kebahagiaan bagi saya orang tua. Dengan mempunyai seorang anak seperti Ayu Candra dan kelak mempunyai mantu seperti andika, akan terobati luka di hati kehilangan Joko Seto.”
Joko Wandiro terharu hatinya. Orang tua ini amat bijaksana, mulia budinya. "Terima kasih saya kepada paman, hanya Dewata yang mengetahuinya. Semua yang paman nyatakan benar adanya. Setelah kini Ayu Candra di tangan yang tepat dan mempunyai wali yang terhormat, saya pun hendak menemui bibi saya sebagai pengganti orang tua saya."
"Baik sekjali, anak-mas. Memang sebaiknya demikian. Anak-mas berangkatlah ke Selopenangkep dengan hati lapang dan setelah urusan di Selopenangkep beres, anakmas boleh memilih hari baik mengajukan pinangan resmi."
Joko Wandiro ingin sekali menari-nari saking girangnya. Kalau nasib sedang mujur, bertumpuk-tumpuk dan berlimpah-limpah berkat menghujani dirinya. Diangkat menjadi Adipati Selopenangkep disusul berita bahagia bahwa Ayu Candra bukan adiknya sehingga tiada halangan untuk menjadi isterinya, ditambah lagi campur tangan Ki Darmobroto yang melancarkan segala urusan!
"Terima kasih, paman. Kalau begitu, saya bermohon diri untuk memimpin pasukan ke Selopenangkep."
"Selamat jalan, anakmas. Doa restu paman saja mengiringi anakmas."
"Terima kasih, paman. Ayu, kau di sini dulu, Ayu, aku hendak membereskan urusan di Selopenangkep."
"Kakang, jangan terlalu lama...!"
"Tentu saja tidak, Ayu. Aku sendiri mana senang bersunyi diri berjauhan dengan engkau? Selamat tinggal, Ayu."
"Selamat jalan, kakang..!"
Setelah pandang mata mereka sejenak bertaut penuh kasih mesra, Joko Wandiro lalu membalikkan tubuh dan melangkah keluar dari taman sari.
"Kakang..!"
Joko Wandiro menengok. Kiranya Ki Darmobroto sudah tidak ada di situ dan tampak Ayu Candra berlari-lari mengejarnya.
"Ada apa, Ayu?"
Ayu Candra memegang tangannya. "Pakaianmu itu, kakang. Basah semua. Masa engkau akan melakukan perjalanan dalam pakaian basah kuyup begitu?"
"Tidak apa, sayang."
"Engkau masuk angin nanti, kakang."
"Ah, tidak, Ayu. Pula, pasukanku telah lama menanti di alun-alun. Aku harus berangkat sekarang, dewiku. Selamat tinggal." Joko Wandiro membalikkan tubuhnya.
"Kakangmas..."
Joko Wandiro kembali membalikkan tubuh.
"Ada apakah, sayang?"
Ayu Candra terisak dan menubruknya. "Jangan lama-lama, kakang. Aku tak tahan terlalu lama kau tinggalkan "
Joko Wandiro tersenyum, memeluk dan mengangkat muka yang jelita itu, lalu menciumnya mesra. "Tidak sayang. Aku segera datang bersama bibi Roro Luhito untuk meminangmu secara resmi."
Sejenak mereka berpelukan dan berciuman, kemudian Joko Wandiro melepaskan rangkulannya dan melangkah pergi dengan tindakan lebar, diikuti pandang mata Ayu Candra yang berlinang air mata bahagia…..!
********************
Semenjak pusaka Mataram kembali ke tangan sang prabu di Panjalu, keadaan menjadi berubah. Memang agaknya tidak percuma kepercayaan umum bahwa pusaka Mataram itu sedemikian ampuhnya sehingga apabila berada di tempatnya, yaitu di kerajaan, maka seluruh kerajaan akan menjadi aman, tenteram dan damai.
Entah sampai di mana kebenaran ini, akan tetapi nyatanya, pengiriman pasukan besar untuk kedua kalinya telah dapat bekerja sama amat baiknya dengan pasukan Jenggala sehingga pemberontakan di Nusabarung dapat dipadamkan dengan segera. Adipati Jagalmanik di Nusabarung dapat ditawan, pasukannya dihancurkan dan Nusabarung ditaklukkan. Dengan kemenangan besar pasukan Panjalu kembali.
Demikian pula pasukan Jenggala pulang sambil membawa tawanan yang segera dijatuhi hukuman mati oleh sang prabu di Jenggala. Bukan hanya kemenangan atas Nusabarung saja yang menggirangkan hati rakyat. Juga bantuan Panjalu itu merupakan jembatan pendamai antara kakak beradik, antara Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Jenggala.
Pertama-tama, untuk menyatakan terima kasihnya atas bantuan kakaknya, sang prabu di Jenggala mengirim upeti dan mengirim sebagian harta rampasan Nusabarung berikut sejumlah wanita-wanita cantik hasil rampasan dari Kerajaan Nusabarung kepada sang prabu di Panjalu. Kiriman ini diterima dengan hati gembira dan dibalas dengan kiriman berharga disertai doa restu seorang kakak terhadap adik. Hubungan dilanjutkan dan tak lama kemudian sang prabu di Jenggala berkenan datang mengunjungi kakaknya di Panjalu. Semenjak itu, kedua keirajaan menjadi akur kembali.
Peristiwa menggembirakan ini disambut rakyat kedua kerajaan dengan penuh kegembiraan. Terhentinya perang berarti terhentinya segala malapetaka dan kesukaran bagi rakyat. Hubungan baik itu bahkan kemudian dipererat dengan pernikahan antara Pangeran Darmokusumo, Pangeran Panjalu yang tampan, dengan Puteri Mayagaluh, Puteri Jenggala!
Rakyat berpesta-pora. Tentu saja tidak semua orang di Panjalu dan Jenggala menyambut hubungan baik antara kedua kerajaan itu dengan hati gembira. Banyak pula yang menaruh hati dengki, dan tidak kurang pula yang merasa terancam kedudukannya atau dirugikan. Mereka adalah orang-orang yang mendapat keuntungan dengan adanya permusuhan.
Diam-diam mereka ini berprihatin dan mencari kesempatan untuk mengeruhkan suasana, mengacaukan keadaan. Namun pengaruh mereka tidak besar dan usaha-usaha buruk mereka itu tidak ada artinya, tenggelam dalam lautan damai. Seperti telah direncanakan semula, Roro Luhito dihubungi Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono. Ketika Joko Wandiro tiba di Pulau Sempu, ia hanya mendapatkan Kartikosari dan Roro Luhito, Endang Patibroto tidak berada di pulau itu lagi.
"Dia telah pergi...! Tidak mau disini bersamaku. Dia merasa hancur hatinya, dia merasa tidak ada orang di dunia ini yang mengasihinya, dia ingin hidup sendiri, entah di mana. Ahh, aku tidak dapat membayangkan apa jadinya dengan Endang Patibroto," kata Kartikosari dengan wajah muram.
Diam-diam Joko Wandiro menaruh kasihan kepada Kartikosari yang banyak mengalami penderitaan ini. "Salahku sendiri," wanita itu melanjutkan, "aku tidak menyalahkan Endang Patibroto... terlahir dalam keadaan tidak sewajarnya, dia pernah dilanda kebencian dalam hatiku, pernah kulemparkan dia dalam badai. Sekarang semua ini hanyalah buah yang harus kupetik dari pohon yang kutanam sendiri. Dewata adil, dan aku akan menerima segala derita dan hukumannya..."
Joko Wandiro dan Roro Luhito menghibur dan akhirnya Kartikosari yang sudah mengandung tua itu menurut juga ketika diajak oleh Joko Wandiro dan Roro Luhito untuk tinggal di Selopenangkep, bersama Joko Wandiro yang menganggap mereka berdua seperti orang-orang tua yang harus ia hormati dan junjung sebagai pengganti orang tuanya.
"Mendiang paman Pujo adalah ayah saya di dalam hati, bibi," katanya antara lain, "karena itu, bibi sebagai isterinya juga sudah sepatutnya kalau kuanggap sebagai ibu sendiri. Bersama bibi Roro Luhito, sudilah bibi tinggal bersama saya di Selopenangkep."
Pinangan terhadap Ayu Candra dilakukan dan semua berlangsung lancar sampai tiba saat pernikahan dirayakan. Ramai dan meriah pesta pernikahan ini. Bahkan sang prabu di Panjalu sendiri berkenan hadir dan memberi doa restu. Seluruh rakyat Selopenangkep bergembira ria. Mereka semua menaruh harapan baik atas diri adipati muda di Selopenangkep yang kabarnya amat adil, arif bijaksana, dan sakti mandraguna itu. Menaruh harapan agar di bawah bimbingannya, rakyat daerah pantai selatan akan hidup aman makmur, tata tenteram, kerta raharja.
Hanya dapat dibayangkan, sungguh sukar dituturkan, betapa bahagia rasa hati Joko Wandiro dan Ayu Candra ketika mereka bertemu sebagai sepasang mempelai. Mereka tidak hanya saling mencinta dengan hati tulus ikhlas, juga yang terpenting dari sebuah ikatan pernikahan, mereka sudah saling mengenal watak masing-masing, sudah melihat dengan mata terbuka segala segi sifat buruknya.
Karena hanya pengertian dan pemakluman akan semua sifat baik maupun buruk dari sisihannya inilah yang akan mengekalkan cinta kasih suami isteri, akan memperbesar toleransi, saling mengasuh, saling mengalah, saling mengasih, saling mengolah sehingga tercapailah keluarga bahagia yang menjadi idaman semua pasangan di dunia ini.
Jauh di pantai Laut Selatan, di tempat yang sunyi sepi, di antara batu-batu karang yang berdiri kokoh kuat dan tegak bagaikan raksasa-raksasa, duduklah seorang wanita di atas batu karang menghadapi Laut Selatan yang menggelora. Pantai itu adalah pantai Karangracuk di Baron dan wanita itu bukan lain adalah Endang Patibroto!
Di sinilah ia hidup sejak kecil. Di sinilah ia dahulu diasuh ibunya, digembleng dan dididik. Batu-batu karang ini tetap tidak berubah. Semua manusia berubah. Ibu kandungnya sendiripun kini membencinya. Joko Wandiro membencinya. Bibi Roro Luhito membencinya. Apalagi Ayu Candra.
Tak seorangpun di dunia ini suka kepadanya. Hanya batu karang-batu karang di tepi pantai Karangracuk tidak berubah. Masih seperti dahulu ketika ia kecil. Dan ombak-ombak yang tak kunjung henti itupun tidak pernah berubah. Masih berdendang menyanyikan lagu badai, menghiburnya.
Endang Patibroto sudah berhari-hari duduk di situ seperti arca. Rambutnya kusut masai dan terurai berkibar-kibar ditiup angin Laut Selatan. Wajahnya pucat, pandang matanya sayu, hatinya perih dan duka. Masih terngiang di telinganya suara ibunya di Pulau Sempu,
"Engkau anak durhaka, engkau anak yang mengotori pesan kakangmas Pujo. Engkau pantas menjadi anak Jokowanengpati, karena itu engkau patut pula menjadi musuhku!"
Hebat kata-kata ini, menusuk jantungnya sampai tembus. Ucapan itulah yang membuat ia segera pergi meninggalkan Sempu setelah ia siuman dalam pelukan ibunya. Ibunya menangisinya, menahannya, namun ia tidak mau. Ia tahu bahwa di lubuk hati ibunya sudah terdapat keraguan, mengira ia anak Jokowanengpati yang harus dibencinya!
Endang Patibroto menutupi muka dengan kedua tangannya. Pundaknya terguncang tanda bahwa ia menangis. Semenjak kemarin dulu ia selalu begini. Termenung atau menangis. Ia tidak tahu batapa udara menjadi gelap, tidak tahu bahwa mendung mulai berkumpul, tidak tahu betapa laut menjadi tenang, terlalu tenang sebagai tanda akan datangnya badai yang mengamuk.
Biasanya kalau badai akan mengamuk, Laut Selatan menjadi tenang, tenang sekali seakan-akan raksasa yang tidur atau samadhi mengumpulkan tenaganya sebelum mengamuk dahsyat. Ia tidak tahu pula betapa angin seperti berhenti meniup.
"Apa dosaku?" Pertanyaan ini berkali-kali menghantam hati dan pikirannya. "Apa salahku kalau aku benar keturunan Jokowanengpati? Salahkah aku kalau aku menjadi murid Dibyo Mamangkoro? Salahkah aku kalau aku membenci Joko Wandiro dan Ayu Candra karena mereka saling mencinta dan karena pemuda itu tidak mempedulikan diriku? Salahkah aku kalau aku mencinta Joko Wandiro dengan sepenuh hatiku, kemudian berbalik benci karena dia tidak mempedulikanku? Salahkah aku kalau aku membunuh Jokowanengpati? Salahkah aku kalau aku membunuh Listyakumolo yang telah membunuh Pujo ayahku?"
Pertanyaan-pertanyaan ini selalu mengiang di telinganya dan tiada seorangpun menjawab. Jawaban yang ia terima hanya dari Laut Selatan yang bergemuruh seperti kakek-kakek menggumam dan tiupan angin yang melengking seperti tangis perawan cengeng. Kini angin mulai bertiup kencang. Air mulai mendidih. Makin lama angin bertiup makin kencang, air laut mulai berguncang dan menggelora.
Badai mulai datang. Cuaca makin gelap. Akan tetapi Endang Patibroto seperti tidak merasakan itu semua. Ia menangis tersedu-sedu, persis seperti Kartikosari dulu menangis, di atas batu karang itu pula. Hanya bedanya, kalau Kartikosari menangis karena teringat Pujo, Endang Patibroto kini menangis bukan hanya teringat kepada Joko Wandiro, melainkan terutama sekali teringat akan keadaan dirinya!
Tiba-tiba Endang Patibroto memandang ke depan. Ombak Laut Selatan mengamuk setinggi bukit, saling terjang dengan ombak yang kembali dari pantai, menimbulkan suara menjelegur, bergemuruh.
"Kenapa...?" Endang Patibroto memekik, seakan-akan ia bertanya, kepada badai. "Kenapa semua orang membenciku?"
Sebagai jawaban, sebuah ombak yang besar menyambar dan menubruknya, kemudian pecah di sekitar tubuhnya. Namun Endang Patibroto masih duduk di situ, tak bergeming. Hanya tubuhnya basah kuyup. Terasa asin di mulutnya dan tidak tahu lagi, air lautkah atau air matanya yang asin itu. Ia tidak peduli akan amukan badai Laut Selatan karena badai di dalam hatinya mengamuk lebih hebat, menggelora dari pada badai Laut Selatan.
Makin seringlah ombak mencambuknya, makin lama makin kuat. Kalau saja Endang Patibroto seorang biasa, tentu tubuhnya sudah rusak-rusak dibanting lidah ombak yang amat kuat itu kepada batu karang. Akan tetapi Endang Patibroto merasa seperti dielu-elukan, seperti dibuai dan dicumbu. Wajahnya berubah, makin bersinar mukanya dan kini ia bangkit berdiri tegak menanti datangnya lidah ombak dengan penuh penyerahan, seperti menanti datangnya kekasih yang hendak menjemputnya.
"Tidak ada manusia yang cinta kepadaku! Tapi badai Laut Selatan mencintakan Mengapa tidak? Marilah, badai majulah. Marilah kekasihku, jemputlah aku"
Bagaikan seorang gila, Endang Patibroto menyambut datangnya serbuan ombak yang amat kuat. Kalau tadi ia duduk, lidah ombak menelannya dan kekuatan lidah ombak yang mencambuk itu lewat di atas kepalanya. Akan tetapi kini lidah ombak itu langsung menghantam tubuhnya yang berdiri. Ia kuat menahan, namun tubuhnya bergoyang-goyang. Terdengar suara lengking tawanya di antara gemuruh suara ombak. Suara ketawa yang nyaring dan bebas sewajarnya, seperti anak-anak bermain atau seperti seorang gadis manja digoda kekasihnya.
"Endangggg...! Endaannng...! Endang Patibroto...!"
Suara panggilan ini sebetulnya sudah sejak tadi diteriakkan orang. Seorang laki-laki yang dengan susah payah menempuh angin badai. Beberapa kali orang roboh terjengkang tertiup angin bergulingan, akan tetapi ia berhasil memegang batu karang dan merangkak maju lagi. Kini ia sudah dekat dengan batu-batu karang besar yang berbaris di tepi pantai, di mana lidah-lidah ombak memecah dahsyat. Ia maju terus. tertatih tatih, terhuyung-huyung, kadang-kadang merangkak, maju demi seduit terus berteriak memanggil dengan suara serak, "Endaaaangggg...!"
Lidah ombak melampaui batu karang, menyambar laki-laki itu, menyeret kakinya sehingga ia jatuh dan terbawa Ke darat kembali. Namun ia bangkit berdiri dan lari ke pinggir, tidak peduli badai yang mengamuk hebat, tak peduli, bahwa keselamatan nyawanya sendiri terancam kalau ia sempat diseret ombak ke tengah, dibanting ke atas batu karang sampai tubuhnya akan hancur berkeping-keping. Ia terhuyung-huyung maju, memanggil-manggil nama Endang Patibroto Sudah tampak olehnya tubuh gadis itu berdiri tegak di atas batu karang, menantang ombak dan badai, dengan kedua lengan direntangkan, seperti hendak memeluk kekasih yang datang dari depan. Sudah terdengar olehnya suara ketawa Endang Patibroto, dan semua itu membangkitkan tekadnya, memperkuat tenaganya yang sudah rnulai lelah.
"Endang...! Endang...! Jangan... jangan pergi, Endang kekasihku... Tunggulah aku... tunggu...!"
Sebuah ombak yang besar datang menerjang melenyapkan tubuh Endang Patibroto, terus menelan batu karang dan menelah tubuh laki-laki itu. Laki-laki itu meramkan mata, mulutnya menyebut nama dewata dan ia tertelungkup, merangkul sebuah batu karang. Ketika ombak itu menipis dan kembali ke laut, Endang Patibroto masih berdiri tegak, dan laki-laki itu setengah pingsan.
Namun ia masih memaksa diri mendaki, batu karang yang runcing tajam-tajam dan amat tinggi itu. Akhirnya dengan susah payah sampailah ia di puncak batu karang, lalu tanpa mempedulikan ancaman ombak badai ia menubruk dan merangkul kaki Endang Patibroto sambil memekik, "Endang Patibroto... kekasihku... aku cinta kepadamu, Endang...!" Laki-laki itu jatuh bergelimpangan, pingsan sambil memeluk kedua kaki Endang Patibroto!
Bagaikan sadar dari sebuah mimpi buruk, Endang Patibroto menundukkan mukanya, terkejut melihat laki-laki itu. "Pangeran Panjirawit...!"
Pada saat itu, kembali ombak besar datang menyerbu. Endang Patibroto yang sudah sadar, cepat meraih tubuh itu dan mengangkatnya naik, mengerahkan tenaganya dan sambil memondong tubuh itu melompat ke atas batu karang yang lebih tinggi, satu-satunya batu karang yang tak pernah dilanda ombak dalam badai itu, hanya dihujani percikan ombak yang pecah menjadi atom. Laki-laki itu sudah siuman, segera sadar dan ingat akan keadaannya yang sudah dirangkul. Keduanya berangkulan. Bertangisan.
"Endang... Endang Patibroto... aku menyusulmu dan bertanya-tanya ke... Selopenangkep... aku mendengar dari ibumu... beliaulah yang mengatakan bahwa mungkin kau kembali ke tempat ini, tempat kau dibesarkan... aku... aku khawatir sekali Endang, aku mencintamu engkau dewi pujaan hatiku, tak tahukah engkau? Aku cinta kepadamu... eh, betapa bahagia melihatmu masih hidup..."
"Sstttt, diamlah... diamlah... biarkan aku menikmati kebahagiaan ini tanpa suara..." Endang Patibroto merangkul, mencium, menangis, kemudian ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Pangeran Panjirawit.
Pangeran itupun tersedu dan mengangkat bangun tubuh Endang Patibroto, merangkulnya erat-erat tak hendak dilepaskannya lagi.
"Endang, tak boleh kau meninggalkan aku lagi..." bisiknya.
"Tapi, gusti..."
"Husshhh, aku bukan gustimu, aku kekasihmu, calon suamimu..."
"Tapi... tapi aku... seorang yang..."
Pangeran Panjirawit menutup mulut itu dengan sebuah ciuman mesra. "Engkau seorang dewi, dewiku. Engkau akan menjadi isteriku"
"Akan tetapi aku tidak mau hidup di istana, tak mau terlibat dalam perang dan pertandingan..."
"Takkan ada perang, takkan ada pertandingan, dan aku sendiripun sudah mendapat ijin dari ramanda prabu untuk tinggal di luar istana, membentuk keluarga bersamamu. Perang sudah berakhir, yang ada hanya damai dan tenteram. Jangan khawatir, jiwaku, engkau takkan bertanding lagi. Engkau akan mengganti keris dengan pisau..."
"Pisau...?"
"Ya, pisau dapur karena engkau harus pandai masak untukku, untuk kita, untuk anak-anak kita." Pangeran itu tersenyum. "Endang, jiwaku, kekasihku, mari kita pulang..."
"Pulang...?"
"Ya, pulang ke rumah kita, sayang. Mempersiapkan upacara pernikahan. Kita undang mereka semua. Ibumu pun sudah siap. Kita undang mereka semua agar mereka dapat menyaksikan dan ikut bergembira. Bukankah kau bahagia, Endang?"
"Aku... aku... ahh..." Gadis itu menangis tersedu-sedu dalam pelukan Pangeran Panjirawit yang membiarkannya menangis untuk menguras habis semua kepahitan dan kedukaaan hati.
Kalau kepahitan sudah dikuras oleh tangis, maka tangis itu akan berubah menjadi tangis bahagia. Sementara itu, ombak badai Laut Selatan mulai mereda. Tiada keadaan yang tak berubah di dunia ini. Badai akan mereda, hujan akan berhenti, tangispun akan berhenti dan mengalah, memberikan kesempatan kepada tawa. Yang gelap terganti terang, mendung menjadi cerah, tangis menjadi tawa dan duka berganti suka. Tiada yang langgeng di dalam kehidupan ini, semua akan berubah, berubah dan berubah lagi. Berubahkah semua itu? Sesungguhnyalah, namun perubahan itu memang wajar, sudah semestinya, dan wajar inilah langgeng.....
tamat
Komentar
Posting Komentar