BADAI LAUT SELATAN : JILID-15
Terpaksa Jokowanengpati menekan hasrat hatinya yang ingin cepat-cepat
mengambil pusaka keraton Kahuripan, lalu ikut makan bersama. Sayur itu
memang enak dan gurih, dan agak pahit karena dicampur dengan daun
pepaya.
"Pahitkah daun pepayanya, kakangmas?" tanya Mirah.
Emban Mirah ini memang dahulu menjadi seorang di antara kekasih Jokowanengpati ketika mereka berdua masih bertugas di Kahuripan.
"Memang daun pepaya biasanya pahit, akan tetapi kalau engkau yang memasaknya, eh... menjadi sedap, Mirah."
Sunggono tertawa bergelak, Wiratmo tersenyum sambil menundukkan kepala dan Mirah tersipu-sipu malu akan tetapi juga senang. Wanita mana di dunia ini yang tidak senang kalau dipuji? Dipuji apa saja, wajahnya, pandainya memasak, suaranya atau apa saja, asal yang memuji itu pria tentu menyenangkan hatinya. Apalagi kalau pria itu seorang pemuda seganteng Jokowanengpati!
Setelah kenyang makan nasi dan sayur sederhana diikuti air jernih yang amat dingin, bangkitlah Sunggono. Wajah orang tua itu berseri-seri ketika ia berkata, "Marilah, anakmas Jokowanengpati. Mari kita pergi mengambil pusaka yang kusimpan dalam gua Margoleno. Hayo Wiratmo dan Mirah, kalian ikut pula. Urusan ini diawali kita berempat, harus diakhiri kita berempat pula." Berangkatlah mereka mendaki lereng yang terjal menuju ke puncak yang penuh batu kapur.
"Mengapa gua itu bernama Margoleno (jalan maut), paman Sunggono?" tanya Jokowanengpati.
"Entahlah, anakmas. Mungkin karena pertapa Taru Jenar dahulu kabarnya mati di dalam gua ini selagi bertapa," jawab Sunggono.
Perjalanan dilanjutkan dan tak lama kemudian berhentilah mereka di depan sebuah gua yang besar dan gelap. Di atas gua yang merupakan puncak karang kapur, tumbuh rumpun yang lebat, juga di kanan kiri gua. Kelelawar terbang keluar masuk gua itu sehingga menambah serem.
"Mari kita masuk, anakmas," kata Sunggono agak takut-takut.
Namun Jokowanengpati sama sekali tidak takut. Dengan langkah lebar dan gagah ia memasuki gua itu dan sebentar saja mereka ditelan kegelapan, tak tampak dari luar. Terdengar suara Mirah menahan napas dan sedu, disusul suara Wiratmo mendesis mencegahnya bicara. Jokowanengpati menengok.
"Paman, kau di mana...?" Tiada jawaban! Jokowanengpati mendengar suara di sebelah kiri dan melihat dalam remang-remang itu tubuh Sunggono berjongkok lalu berdiri lagi.
"Majulah terus, anakmas..." Suara Sunggono gemetar dan tiba-tiba Jokowanengpati menerima pukulan yang cukup dahsyat dari belakang, mengenai punggungnya.
"Celaka...!" seru pemuda ini, akan tetapi karena ia memang memiliki kepandaian tinggi dan tubuhnya sudah amat kuat, secepat kilat kakinya terayun dan sebelum ia terjerumus ke depan, kakinya yang diayun miring itu berhasil mendupak dada Sunggono yang terhuyung ke belakang.
Betapa pun juga, tubuh Jokowanengpati yang sudah terjerumus itu tak dapat ditahannya dan begitu ia melangkahkan kaki, tubuhnya terjeblos ke dalam sumur. Kiranya gua itu di dalamnya merupakan sumur yang entah sampai di mana dasarnya. Jokowanengpati tentu saja kaget sekali. Tahulah ia sekarang mengapa gua ini disebut jalan maut, kiranya merupakan jebakan yang amat berbahaya. Untung ia memiliki Aji Bayu Sakti, sebuah aji meringankan tubuh yang tiada keduanya.
Begitu tubuhnya terguling masuk sumur, Jokowanengpati mementang kedua lengannya, sekali menyentuh pinggiran sumur ia dapat menahan tubuhnya dan tidak terjerumus ke bawah. Ia berdongak dan mendapat kenyataan bahwa ia telah jatuh sedalam dua tiga tombak. Ia menahan napas, mengerahkan Aji Bayu Sakti. Tenaganya terkumpul pada kedua lengan dan tubuhnya menjadi ringan sehingga ketika ia menggerakkan kedua lengan mendorong, perlahan-lahan ia dapat merayap ke atas seperti seekor kadal saja!
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Jokowanengpati. Begitu ia melompat keluar dari sumur, ia menyerbu keluar. Akan tetapi sebuah batu besar bergerak menutup lubang gua, dan terdengar suara Sunggono tertawa, "Ha-ha-ha, Jokowanengpati! Kau tahu sekarang mengapa ku namakan gua itu Margoleno? Mengasolah dengan tenang, orang muda!"
Kaget juga Jokowanengpati melihat batu sebesar itu bergerak menutup gua. Mungkinkah Sunggono, dibantu oleh Wiratmo dan Mirah, mampu menggerakkan batu sebesar itu yang tentu amat-berat? Akan tetapi ia tidak mau terheran lebih lama, cepat ia melompat maju dan sekali dorong sambil membentak marah, batu itu tertolak keluar dan tubuhnya sudah melompat keluar gua!
Kiranya di situ sudah berdiri lima orang laki-laki tinggi besar yang mengepungnya dengan golok di tangan. Adapun Sunggono sudah berdiri agak jauh, mendekap sebuah bungkusan kuning di dadanya. Wiratmo dan Mirah juga berdiri di dekat Sunggono. Mereka bertiga memandangnya, Wiratmo dan Mirah agak pucat, akan tetapi Sunggono masih tertawa.
"Paman Sunggono, apa artinya ini semua?" Jokowanengpati masih bertanya saking herannya, suaranya dingin sekali membuat tengkuk Wiratmo dan Mirah meremang. Akan tetapi Sunggono berkata dengan suara mengejek.
"Artinya, Jokowanengpati, saat ini adalah saat kematianmu, karena akulah yang berhak memiliki wahyu mahkota Mataram! Engkau ini ular kepala dua, mau enaknya saja. Bunuh dia!"
Suara Sunggono penuh wibawa ketika ia memberi aba-aba kepada lima orang anak buahnya itu. Lima orang ini adalah jagoan-jagoan yang dulu juga merupakan panglima-panglima perang dari Sang Prabu Digdyamenggala, Raja Kerajaan Wura Wari di daerah Ponorogo. Mendengar aba-aba ini, lima orang jago tua yang tubuhnya tinggi besar itu mengeluarkan suara bentakan keras dan menyerbulah mereka dengan golok besar yang datang sebagai hujan membacoki tubuh Jokowanengpati.
Namun Jokowanengpati mengeluarkan suara ketawa mengejek, tubuhnya tiba-tiba lenyap berubah menjadi bayangan hitam yang berkelebat ke sana ke mari, menyelinap di antara sinar golok yang gemerlapan. Bukan main hebatnya gerakan Jokowanengpati ini, bagaikan seekor burung kepinis gesitnya sehingga tak pernah ada sebatangpun golok mampu menyentuhnya. Lima orang jagoan Wura Wari itu kaget dan penasaran. Ketika mereka menghentikan serangan, Jokowanengpati juga berhenti bergerak dan berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang sambil tersenyum mengejek.
"Sudah lelahkah kalian?" ejeknya, akan tetapi matanya selalu melirik ke arah Sunggono. Ia tak menghendaki orang tua yang curang itu melarikan diri membawa pusaka itu selagi ia dikeroyok.
Seorang pengeroyok di depannya mendengus, goloknya menusuk ke arah perut pemuda itu, agaknya saking marah dan penasarannya ia hendak merobek perut dan mengeluarkan usus lawannya. Akan tetapi kini Jokowanengpati tidak lagi mempergunakan Bayu Sakti karena yang menyerangnya hanya seorang saja. la miringkan tubuh membiarkan golok menyambar lewat, kemudian secepat kilat tangan kirinya mengetuk pergelangan tangan kanan lawan dan tangan kanannya mengepal dan menghantam dahi. Hampir berbareng golok itu terlepas dan dahi itu pecah sehingga otaknya berhamburan!
Empat orang jagoan Wurawari terkejut sekali. Hampir mereka tak dapat percaya. Bagaimana seorang kawan mereka dapat binasa sedemikian mudahnya? Keheranan dan kekejutan ini berubah menjadi kemarahan meluap-luap, dan kembali mereka menerjang dengan sabetan dan bacokan membabi-buta.
Jokowanengpati tidak mau bersabar atau main-main lagi. Kembali tubuhnya berkelebat menggunakan Bayu Sakti, namun ia tidak hanya mengelak melainkan balas menyerang dengan hebat karena ia telah mainkan Ilmu Jonggring Saloko! Ilmu ini adalah ciptaan Empu Bharodo, seorang sakti mandraguna. Biarpun hanya merupakan pecahan dari ilmu aslinya permainan tombak, namun sudah amat hebat dan ampuh.
Mana mungkin empat orang jagoan Wurawari itu mampu menghadapinya? Segera terdengar suara berkerontangan dan golok beterbangan, disusul pekik mengaduh dan robohlah empat orang itu satu demi satu, roboh untuk tidak bangkit kembali karena pukulan Jokowanengpati yang mempergunakan Aji Siyung Warak adalah pukulan mematikan yang menghancurkan kepala atau memecahkan dada.
"Kau hendak lari ke mana?" Jokowanengpati melompat dan mengejar Sunggono yang sudah lari kencang meninggalkan tempat itu sambil mendekap bungkusan sutera kuning di depan dadanya.
Sunggono juga bukan seorang lemah. Sebagai putera seorang senopati, ia memiliki ilmu juga. Akan tetapi ia tidak dapat menandingi kecepatan Jokowanengpati yang mempergunakan Bayu Sakti dalam pengejaran ini. Beberapa kali lompatan saja cukup bagi Jokowanengpati untuk menyusulnya.
Tiba-tiba Sunggono yang tahu bahwa lari tiada gunanya, berhenti dan membalikkan tubuh. Tangannya sudah memegang sebatang keris, sikapnya mengancam.
"Hua-ha-ha-ha, lucu pertanyaanmu, Sunggono pengecut curang. Memang sejak semula, aku sudah bermaksud membunuh kalian bertiga agar jangan membocorkan rahasia. Kini kau mendahuluiku, ha-ha-ha, bagus sekali, berarti mengurangi dosaku. Berikan pusaka itu!"
"Tidak! Kau terima pusakaku ini!" Sunggono mendekap bungkusan sutera kuning dengan tangan kiri depan dada, lalu tangan kanannya menusukkan kerisnya.
Hebat juga serangannya, cepat sekali dan kuat. Kalau hanya lawan yang kepalang tanggung saja ilmunya, belum tentu akan mampu menghadapi serangan Sunggono. Akan tetapi Jokowanengpati menggerakkan tangan, menangkap pergelangan tangan yang memegang keris dan sekali putar keris itu sudah berpindah tangan!
"Berikan pusaka itu!" Jokowanengpati membentak dan memandang bengis.
"Tidak... tidak...!" Sunggono melompat mundur, kedua tangannya mendekap bungkusan sutera kuning.
"Setan!" Jokowanengpati menggerakkan tangannya dan keris rampasan itu meluncur ke depan dan..."cepp!" keris itu menghunjam di bawah tenggorokkan Sunggono. Darah mengucur keluar melalui gagang keris, bercucuran menimpa bungkusan sutera kuning, akan tetapi hebatnya, Sunggono tidak roboh.
"Berikan...!" Jokowanengpati membentak lagi sambil melangkah maju.
Akan tetapi Sunggono mengguncang-guncang kepalanya. "Tidak...ti...kkk!" suaranya terhenti seperti lehernya dicekik, mukanya pucat dan matanya melotot. Keris itu menancap sampai ke gagang, namun ia masih belum roboh.
Jokowanengpati menyerbu ke depan dan sekali renggut ia berhasil merampas bungkusan sutera kuning yang sudah berlumur darah. Sambil tersenyum-senyum Jokowanengpati membuka sutera kuning dan matanya silau oleh cahaya yang bersinar ketika bungkusan dibuka. Di tangannya adalah pusaka yang lenyap dari keraton Kahuripan, pusaka bertuah, patung kencana Sri Bathara Wisnu yang kini berlepotan darah, darah Sunggono.
"Kembalikan...!" Sunggono menerjang maju, tangan kirinya mencengkeram baju Jokowanengpati, tangan kanan meraih hendak merampas patung. Jokowanengpati menggerakkan tangannya menghantam lengan kanan Sunggono yang terulur ke depan.
"Krekkkk!"
Lengan itu terkulai karena tulangnya telah terpukul patah. Namun Sunggono seperti orang gila masih meraih lagi, kini dengan lengan kirinya. "Kembalikan...!"
Sekali lagi Jokowanengpati memukul dengan Aji Siyung Warak.
"Krekkkk!"
Patahlah tulang lengan kiri Sunggono sehingga kedua lengannya lumpuh tak dapat digerakkan lagi. Namun dasar orang sudah nekat dan tidak normal lagi pikirannya, ia masih saja berusaha mendekati Jokowanengpati.
"Bedebah, mampuslah!" Jokowanengpati menggunakan tangannya mencengkeram dada lawan, mengerahkan tenaga dan "kkraaaaakkkk!"
Robeklah dada itu karena iganya sempal (patah-patah). Jokowanengpati cepat melompat ke belakang agar jangan terkena percikan darah yang menyemprot. Tubuh Sunggono berkelojotan, matanya masih mendelik-delik dan akhirnya diam tak bergerak lagi. Jokowanengpati menengok, melihat bayangan dua orang berlari-lari. Ia mengeluarkan dengus mengejek dan tubuhnya berkelebat mengejar. Wiratmo dan Mirah lari bergandengan tangan, terengah-engah, melalui jalan setapak di pinggir jurang.
Tiba-tiba terdengar bentakan, "Berhenti!"
Bagaikan disambar petir keduanya berhenti, seperti berubah menjadi batu, kemudian perlahan membalikkan tubuh. Ternyata Jokowanengpati telah berdiri di hadapan mereka sambil tersenyum-senyum, akan tetapi senyum yang bagi mereka berdua amat menyeramkan. Ketika Wiratmo melihat betapa pandang mata itu melekat kepadanya, kakinya menggigil dan ia segera menjatuhkan dirinya berlutut sembah di depan Jokowanengpati sambil meratap-ratap.
"Ampunkan saya, raden... saya tidk ikut-ikut... saya... saya tidak tahu-menahu tentang kecurangan dan pengkhianatan paman Sunggono ".
Senyum mulut Jokowanengpati melebar, pandang matanya bersembunyi di balik bulu mata yang merapat. "Hemm, engkau memang seorang yang baik bukan, kakang Wiratmo?"
Seakan berhenti jalan darah di tubuh Wiratmo, Ucapan itu biarpun terdengar manis, namun sikap dan cara mengucapkannya mengandung ejekan dan ancaman yang mengerikan. Ia menyembah. "Raden jokowanengpati... biarpun saya bukan seorang baik... namun... saya setia terhadap raden... dan..."
"Dan engkau main gila dengan Mirah, bukan? Engkau tahu bahwa Mirah adalah milikku, akan tetapi kau lahap, kau rakus, engkau berani mencuri dan mencicipi dari piringku selama aku tidak ada! Engkau berzina dengan Mirah, dan masih kau bilang bahwa engkau setia kepadaku? Heh? Hayo bicaralah!"
Tubuh Wiratmo menggigil, mukanya pucat dan ia tidak mampu bicara, hanya menyembah-nyembah minta ampun.
"Desss!"
Sebuah tendangan mengenai dagunya. Tubuh Wiratmo seperti disambar petir, terlempar dan terbanting pada karang di belakangnya. Mulutnya berdarah ketika ia merangkak-rangkak bangun akan tetapi kembali kaki Jokowanengpati bergerak menendang.
"Blukkk!"
Dadanya menjadi sasaran. Tendangan kilat itu amat kuat dan kini tubuh Wiratmo terbanting hebat, kepalanya bercucuran darah dari luka di bagian belakang, napasnya terengah-engah karena tendangan itu seakan-akan telah merampas semua napasnya.
"Am... ampun...!" Akan tetapi Jokowanengpati sudah maju lagi dan setiap kali tubuh Wiratmo hendak bangkit, sebuah tendangan merobohkannya kembali.
Mirah menutupi muka dengan kedua tangan, tubuhnya menggigil dan ia tak dapat menahan kengerian hatinya menyaksikan Wiratmo disiksa seperti itu. "Kakangmas Joko... sudahlah, kangmas... ahhh, kasihanilah...!"
"Dessss!"
Kali ini tangan kiri Jokowanengpati menghantam, tepat mengenai puingan (pelipis) kepala Wiratmo. "Aduuhh mati aku...!"
Tubuh Wiratmo bergulingan, berkelojotan di atas tanah dan rintihan yang keluar dari mulutnya bukan seperti suara manusia lagi. Darah keluar dari mulut, hidung, telinga dan matanya! Pukulan tadi menggunakan Aji Siyung Warak, ampuhnya mengerikan.
"Kakangmas Joko...!" Mirah menangis terisak-isak menutupi muka, akan tetapi telinganya mendengar rintihan itu seakan-akan meremas-remas jantungnya, maka ia tersedu dan membalikkan tubuhnya agar tidak melihat Wiratmo sambil menggunakan kedua tangan menutupi telinga agar tidak mendengar lagi rintihan itu.
"Kau... hendak membelanya? Kau mencintanya?" Jokowanengpati bertanya, suaranya dingin menyeramkan.
"Tidak...! Oh, tidak...! Kakangmas, setahun lebih kakangmas tidak datang... saya kesepian, kangmas... dan dia... dia baik sekali kepada ku"
"Cuhh!" Jokowanengpati meludah ke arah Mirah. "Perempuan hina!"
Tubuh Wiratmo masih dapat merangkak lagi, akan tetapi sekali lagi tangan kiri Jokowanengpati menampar kepala dan pecahlah kepala Wiratmo. Dari kepala yang pecah keluar otak bercampur darah, tubuhnya terkulai tak bergerak lagi.
"Hemm, giliranmu sekarang...!" Pemuda yang kini memperlihatkan watak aslinya yang sering disembunyikan di belakang sikap halus karena cerdiknya itu menghampiri Mirah.
Mirah terkejut, lupa akan kengeriannya tadi dan cepat ia melangkah mundur, wajahnya pucat matanya terbelalak. "Jangan, kakangmas...! Sungguh mati saya tidak mencinta dia... cinta saya hanya kepadamu, kangmas. Lupakah kakangmas betapa saya telah berkorban untukmu? Siapakah yang membantu kakangmas membawa lari pusaka itu dari keraton? Kakangmas Joko, kasihanilah saya..."
Jokowanengpati melihat mata yang bening terbelalak, mulut yang merah itu setengah terbuka, agak berkurang marahnya. Apalagi ia teringat bahwa wanita ini memang amat mencinta dan setia kepadanya. Tentang permainannya dengan Wiratmo, hal itu sudah biasa karena Mirah memang ia tinggalkan sampai setahun lebih.
"Hemmm, baiklah. Mengingat perhubungan kita dan jasamu, biarlah kuampunkan kau, Mirah."
"Kakangmas Joko... terima kasih...!" Mirah girang sekali dan maju menubruk kaki Jokowanengpati sambil berlutut. Akan tetapi sekali pemuda itu menggerakkan tangan, ia telah menyambak Mirah, menariknya berdiri, mendekapnya dan mencium bibirnya penuh nafsu. Mirah menjerit lirih dan ketika Jokowanengpati melepaskan ciumannya, bibir wanita itu bercucuran darah!
"Ini untuk hukumanmu, lain kali kalau aku mendapatkan engkau bermain gila dengan laki-laki lain, lehermu kupatahkan!"
Mirah hanya menunduk sambil mengusap darah yang terus mengucur dari bibirnya yang tergigit pecah. Mendadak Jokowanengpati berteriak keras dan muka pemuda itu seketika menjadi pucat sekali, tangan kiri mendekap patung kencana tangan kanan menekan perutnya.
"Aduh... celaka...! Aduhhhh...!" Ia terhuyung-huyung, meramkan mata dan mulutnya menggeget (menggigit keras-keras) gigi sampai mengeluarkan bunyi. Dahinya penuh peluh dan tubuhnya menggigil. Ketika ia membelalakkan matanya yang tiba-tiba menjadi merah itu, ia melihat Mirah sudah lari menjauhkan diri, sejauh sepuluh meter lebih. Wanita itu berdiri dan memandang kepadanya dengan sinar mata tajam dan mulut yang bibir bawahnya berdarah itu membayangkan senyum.
"Kau...! Kau...!" Jokowanengpati melompat, akan tetapi begitu bergerak, ia roboh terguling di atas tanah, mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya. Hebat sekali rasa nyeri yang menyiksanya. Perutnya terasa terbakar dan ditusuk-tusuk sebelah dalam.
Sebagai seorang berilmu tinggi ia maklum bahwa ia telah menjadi korban racun. Tidak mungkin ia terkena racun kecuali melalui masakan Mirah tadi. Ia mengerahkan tenaga untuk bangkit kembali, akan tetapi rasa nyeri membuat ia terguling lagi dan kini patung kencana dalam bungkusan sutera kuning yang berlumur darah itu terlepas dari pegangannya. Ia seperti lupa kepada patung itu karena kedua tangannya meremas-remas perutnya yang sakit bukan main. Mirah melangkah maju, wajahnya berseri, matanya liar dan mulut yang masih ada darahnya di bibir bawah itu tertawa.
"Hi-hi-hik! Jokowanengpati rasakan kau sekarang! Manusia keji, manusia tak kenal budi. Rasakan kau sekarang!"
Sedetik Jokowanengpati melupakan rasa nyeri di perutnya. Ia terbelalak dan memandang Mirah dengan mata mendelik. "Perempuan hina! Kau meracuni aku! Daun... daun kates (pepaya) itu... rasa pahit itu untuk menyembunyikan rasa racun... kau... kau... siluman betina... kubunuh engkau...!"
Ia melompat lagi, akan tetapi untuk ketiga kalinya ia terguling. Tubuhnya bergulingan dan berkelonjotan menjauhi patung kencana. Mirah tertawa lagi, lari maju dan mengambil patung kencana, didekapnya di dadanya. "Heh-heh-hi-hik! Enakkan rasanya, Jokowanengpati? Rasakanlah pembalasan tangan Mirah." Setelah berkata demikian, Mirah lalu lari membawa patung kencana.
"Mirah...!" Bagaikan ada kekuatan gaib yang mendorongnya, Jokowanengpati melompat dan lari mengejar. Ia berhasil mencengkeram dari belakang, akan tetapi karena kegesitannya berkurang banyak, ia hanya berhasil mencengkeram kemben berkembang. Namun tangannya masih hebat karena sekali merenggut, kemben itu terlepas dan Mirah jatuh terguling. Patung kencana terlepas dari pegangannya. Bukan main kagetnya wanita ini, apalagi setelah melihat tubuh Jokowanengpati merangkak menghampirinya.
"Heh-heh-heh., aduhhh..., heh-heh, hendak lari ke mana kau Mirah? Heh-heh... aduhhh..." Sambil tertawa dan meringis-ringis kesakitan Jokowanengpati merangkak maju, kedua tangannya seperti cakar setan hendak meraih Mirah. Mukanya penuh peluh, matanya merah, napasnya terengah-engah dan mulutnya mengeluarkan busa. Wajah yang biasanya ganteng tampan itu kini seperti muka iblis mengerikan.
"Aaiiiihhhh!" Mirah menjerit ketakutan, merangkak bangun dan hendak lari. Akan tetapi tangan Jokowanengpati yang menjangkau berhasil mencengkeram ujung kainnya. Mirah lari dan meronta, Jokowanengpati bertahan.
"Reeeeetttt!"
Kain itu koyak-koyak dan terlepas dari tubuh Mirah. Wanita itu memekik ngeri dan tubuhnya yang kini bertelanjang bulat itu terguling lagi. Jokowanengpati dengan napas terengah-engah menubruk, namun Mirah saking takutnya mendapatkan kegesitan luar biasa, sudah berhasil melompat berdiri lagi dan hendak lari. Jokowanengpati juga melompat berdiri, tangannya meraih namun meleset dan Mirah lari ke depan. Jokowanengpati mengejar dengan sebuah lompatan jauh, tangannya mencengkeram dan kini berhasil memegang rambut hitam panjang yang terurai di belakang.
Sekali menggentarkan tangan, Mirah kembali terguling Namun ia meronta-ronta, mereka bergumul, Jokowanengpati yang sudah lemas tenaganya itu tidak dapat mempergunakan tenaga sakti, hanya berusaha mencekik leher yang berkulit halus kuning. Mirah meronta, mereka bergulingan. Wanita itu menggunakan giginya menggigit lengan sehingga cekikan Jokowanengpati terlepas. Mirah bangkit dan lari, namun rambutnya masih dalam cengkeraman.
"Aduhhh... lepaskan...! Lepaskan... toloooonggg...!" Mirah meronta-rontah sekuat tenaga. Saking takut dan ngerinya, wanita itu menjadi kuat sekali, sebaliknya pengaruh racun membuat Jokowanengpati menjadi lemah. Oleh karena itu Mirah berhasil lari menyeret Jokowanengpati yang tidak juga mau melepaskan rambut panjang itu.
"Aduh...! Lepaskan... lepaskan...!" Mirah berteriak-teriak kalap, meronta-ronta ke kanan kiri, tidak tahu bahwa mereka berdua bergumul di dekat jurang. Jokowanengpati yang cerdik biarpun sudah hampir pingsan oleh pengaruh racun, dapat melihat ini, maka ia tertawa menyeramkan.
"Heh-heh-heh-heh... ahhh, aduhhh... he-he-heh!"
"Lepaskan, Joko..., aduh, lepaskan... tolooonggg...!"
Tiba-tiba Jokowanengpati menendang kaki Mirah. Mirah terhuyung ke belakang dan tubuhnya menginjak tempat kosong. Jokowanengpati cepat bertiarap mencengkeram batu karang, namun masih juga belum melepaskan rambut.
"Aaiiiiihhhhh...!" Mirah menjerit dan tahu-tahu tubuhnya sudah tergantung di bibir jurang yang amat curam, hanya tertahan oleh rambutnya yang masih dicengkeram Jokowanengpati.
"Kakangmas Joko... tolonglah aku... tolonglah aku, naikkan... lekas... aduhhh. tolong..."
"Ha-ha-ha-ha-ha... aduhh kau meracuni aku, ya? Ha-ha-ha!" Sambil tertawa-tawa dan kadang-kadang meringis kesakitan, Jokowanengpati melepaskan rambut yang dicengkeramnya.
"Aaaaaaaaaaahhhh...!" Lengking mengerikan bergema di lereng Lawu menjelang senja itu, mengiringkan tubuh telanjang bulat yang tentu akan hancur dan mawut terbanting di dasar jurang yang curam. Jokowanengpati terengah-engah, merangkak bangun, terhuyung-huyung menghampiri patung kencana yang terbungkus sutera kuning berlumur darah. Diambilnya patung itu, didekapnya erat-erat kemudian ia memaksa diri berjalan menuruni lereng. Kedua kakinya gemetar, tubuhnya menggigil dan kadang-kadang ia menekan perutnya sambil menyumpah-nyumpah.
"Jahanam...! Perempuan laknat...! Aduuhhh..., aku harus bertahan... harus bisa mencapai dusun... harus..., harus...!"
Kekuatan badannya memang luar biasa. Berkat gemblengan Empu Bharodo sejak kecil, racun yang bagi orang lain tentu akan menewaskan seketika itu, ternyata masih belum merobohkannya.
Ia berjalan terhuyung, kadang kala merangkak menuruni lereng Gunung Lawu. Hari sudah gelap ketika ia roboh pingsan di depan pintu pondok kecil di lereng paling bawah, pondok kecil petani yang terpencil. Ia hanya mampu mengeluh ketika melihat sinar lampu yang menerobos celah-celah bilik, "...tolong...!" Kemudian tak sadarkan diri.
Pemilik pondok itu seorang petani berusia tiga puluh tahun yang tinggal di situ bertani bersama isterinya yang hanya dua tiga tahun lebih muda dari padanya. Mereka tinggal bersunyi di lereng ini, hidup bertani sederhana, karena mereka memang tidak mempunyai banyak butuh. Mereka tidak punya anak, dan untuk mencukupi kebutuhan mereka berdua, tanah di lereng Lawu sudah lebih dari cukup, berlimpah-limpah. Nama petani ini Kismoro dan isterinya Wiyanti.
"Kakang, ada suara orang minta tolong..." Wiyanti bangkit dari atas tikar anyaman daun kelapa.
Suaminya juga bangkit, mendengarkan. "Aku juga mendengar, akan tetapi kurasa bukan orang. Mana ada orang minta tolong?"
"Kakang, lebih baik kita lihat dulu,siapa tahu..."
Mereka berdiri dan menuju ke pintu pondok, membuka pintu pondok yang sengaja agak diperkuat, bukan takut akan maling atau rampok, melainkan menjaga jangan sampai harimau atau monyet mengganggu selagi mereka tidur.
"Ah, benar! Ada orang di situ...!" Kismoro segera menghampiri tubuh laki-laki yang rebah miring.
"Wah, jangan-jangan dia mati... ah, tidak, masih hidup, agaknya pingsan..."
Dibantu isterinya, Kismoro mengangkat tubuh Jokowanengpati yang masih tetap mendekap bungkusan sutera kuning itu, masuk ke dalam rumah. Ketika berada di dalam dan tersinar cahaya lampu, mereka melihat pakaian serba hitam yang halus serta raut wajah yang tampan, sehingga Kismoro berseru, "Ah, agaknya ia seorang bangsawan"
"Dia tentu sakit, kakang..."
"Kita tidurkan dia di bilik, biar kita di luar saja. Kita rawat dia seperlunya."
Sibuklah dua orang suami isteri ini. Mereka membaringkan tubuh Jokowanengpati di atas balai-balai bambu, satu-satunya perabot pondok mereka. Dengan hati-hati Kismoro lalu mengambil bungkusan sutera kuning itu agar Jokowanengpati dapat berbaring lebih enak, kemudian ia meletakkan bungkusan itu di sudut balai-balai.
"Lekas kau masak air panas, biar kucuci muka dan dadanya, wah, dia benar-benar sakit, lihat dia mengerang-erang dan tubuhnya penuh peluh. Setelah masak air, kau menganyam janur untuk tikar, kita tidur di luar bilik saja."
Tanpa membantah isteri setia ini cepat melakukan perintah suaminya, hatinya agak tenang karena mengira bahwa yang mereka tolong tentulah seorang bangsawan tinggi. Mungkin seorang pangeran, pikirnya, atau setidaknya tentu putera tumenggung! Orang muda yang begini tampan dan pakaiannya begitu halus, membawa bungkusan sutera kuning pula, tentulah seorang keluarga keraton!
Ketika Kismoro mencuci muka dan dada, Jokowanengpati siuman dari pingsannya. Pikirannya yang cerdik segera membuat ia sadar bahwa ia telah ditolong oleh penduduk dusun, penghuni pondok itu mungkin. Hatinya agak lega, dan dia berbisik lemah, "Kisanak, tolonglah... aku terkena racun..."
Setelah berkata demikian, ia bangkit duduk bersila dan mengerahkan segala kekuatan batin dan tenaga saktinya untuk melawan hawa beracun yang mengeram dalam perutnya. Ia maklum bahwa dengan jalan ini ia akan dapat bertahan, akan dapat mencegah hawa beracun itu merusak isi perutnya sampai datang obat penolong. Kalau ia banyak bicara, hal itu akan membuat keadaannya makin berbahaya. Kalau saja ia tadi tidak mempergunakan terlalu banyak tenaga berkejaran dengan Mirah, tentu keadaannya tidak separah ini. Kismoro terbelalak kaget, melihat laki-laki tampan itu duduk seperti samadhi, ia tidak berani mengganggu dan cepat-cepat ia menyelinap keluar bilik menemui isterinya.
"Wah, celaka, Wiyanti, dia... dia bilang terkena racun..."
"Hee? Terkena racun? Apanya?"
"Dia tidak terluka, tentu ada racun termakan olehnya. Ah, aku harus cepat mencari obat pemunah racun."
"Daun dan akar Widoro Upas...?"
"Apa saja yang dapat melawan racun. Ada dua tiga macam daun yang kutahu dapat melawan racun. Eh, kalau nanti dia minta minum, kau beri minum air dawegan (kelapa muda), pilih yang hijau"
"Ihh, kau sendiri mau ke mana?" tanya isterinya, agak ngeri karena ingat bahwa tamu mereka itu sakit berat, terkena racun. Siapa tahu akan mati selagi suaminya pergi?
"Aku harus mencari obat pemunah."
"Jangan sekarang. Malam-malam begini mau ke hutan? Bagaimana kalau muncul macan atau kau dikeroyok lutung?"
"Tapi dia perlu ditolong..."
"Kakang, memang sudah semestinya dia ditolong. Akan tetapi kalau membahayakan keselamatanmu sendiri, aku tidak rela. Bagaimana kalau kau tertimpa bencana di hutan, dimakan harimau atau dikeroyok lutung? Kau celaka, dia pun tidak tertolong, tinggal aku sendiri yang kebingungan setengah mati. Tidak, tidak boleh kau pergi, besok pagi-pagi saja."
"Tapi dia..." Wiyanti merangkul suaminya. "Kakang, kalau kau memaksa pergi, boleh, akan tetapi aku ikut. Biar mati kalau bersamamu tidak mengapa."
Akhirnya si suami mengalah, apalagi ketika ia melihat betapa tamunya itu masih duduk bersamadhi dan agaknya tenang, tidak terdengar mengeluh lagi, ia merasa lega dan menunda niatnya mencari daun obat. Semalam ini suami isteri ini tidak dapat tidur pulas. Bukan karena tidur di atas tanah bertilam tikar daun kelapa, hal ini sudah biasa bagi mereka, akan tetapi mereka hanya rebah-rebahan saja dan tak dapat tidur karena mereka memikirkan tamu mereka. Sebentar-sebentar Kismoro bangkit dan menjenguk ke dalam bilik. Heran ia melihat tamunya yang muda dan tampan itu masih saja duduk bersila.
"Ah, dia tentu seorang satria," bisiknya dekat telinga isterinya, "agaknya semalam suntuk ia akan bersamadhi. Alangkah kuatnya ia bertapa."
"Tidak seperti engkau, setiap malam tidur melingkar seperti ular kekenyangan!" bisik isterinya.
"Wah, wah! Kau ingin mempunyai suami satria, begitukah?" Suaminya mencela.
"Satria mana sudi dengan aku? Pula, aku lebih senang punya suami engkau dari pada segala macam satria. Menjemukan benar, kerjanya hanya duduk bersila!"
Percakapan itu dilakukan sambil berbisik-bisik agar jangan mengganggu tamu mereka. Namun siapa kira, biarpun dalam samadi mengerahkan tenaga dalam melawan racun, percakapan bisik-bisik ini tidak pernah terlepas dari telinga Jokowanengpati.....!
"Pahitkah daun pepayanya, kakangmas?" tanya Mirah.
Emban Mirah ini memang dahulu menjadi seorang di antara kekasih Jokowanengpati ketika mereka berdua masih bertugas di Kahuripan.
"Memang daun pepaya biasanya pahit, akan tetapi kalau engkau yang memasaknya, eh... menjadi sedap, Mirah."
Sunggono tertawa bergelak, Wiratmo tersenyum sambil menundukkan kepala dan Mirah tersipu-sipu malu akan tetapi juga senang. Wanita mana di dunia ini yang tidak senang kalau dipuji? Dipuji apa saja, wajahnya, pandainya memasak, suaranya atau apa saja, asal yang memuji itu pria tentu menyenangkan hatinya. Apalagi kalau pria itu seorang pemuda seganteng Jokowanengpati!
Setelah kenyang makan nasi dan sayur sederhana diikuti air jernih yang amat dingin, bangkitlah Sunggono. Wajah orang tua itu berseri-seri ketika ia berkata, "Marilah, anakmas Jokowanengpati. Mari kita pergi mengambil pusaka yang kusimpan dalam gua Margoleno. Hayo Wiratmo dan Mirah, kalian ikut pula. Urusan ini diawali kita berempat, harus diakhiri kita berempat pula." Berangkatlah mereka mendaki lereng yang terjal menuju ke puncak yang penuh batu kapur.
"Mengapa gua itu bernama Margoleno (jalan maut), paman Sunggono?" tanya Jokowanengpati.
"Entahlah, anakmas. Mungkin karena pertapa Taru Jenar dahulu kabarnya mati di dalam gua ini selagi bertapa," jawab Sunggono.
Perjalanan dilanjutkan dan tak lama kemudian berhentilah mereka di depan sebuah gua yang besar dan gelap. Di atas gua yang merupakan puncak karang kapur, tumbuh rumpun yang lebat, juga di kanan kiri gua. Kelelawar terbang keluar masuk gua itu sehingga menambah serem.
"Mari kita masuk, anakmas," kata Sunggono agak takut-takut.
Namun Jokowanengpati sama sekali tidak takut. Dengan langkah lebar dan gagah ia memasuki gua itu dan sebentar saja mereka ditelan kegelapan, tak tampak dari luar. Terdengar suara Mirah menahan napas dan sedu, disusul suara Wiratmo mendesis mencegahnya bicara. Jokowanengpati menengok.
"Paman, kau di mana...?" Tiada jawaban! Jokowanengpati mendengar suara di sebelah kiri dan melihat dalam remang-remang itu tubuh Sunggono berjongkok lalu berdiri lagi.
"Majulah terus, anakmas..." Suara Sunggono gemetar dan tiba-tiba Jokowanengpati menerima pukulan yang cukup dahsyat dari belakang, mengenai punggungnya.
"Celaka...!" seru pemuda ini, akan tetapi karena ia memang memiliki kepandaian tinggi dan tubuhnya sudah amat kuat, secepat kilat kakinya terayun dan sebelum ia terjerumus ke depan, kakinya yang diayun miring itu berhasil mendupak dada Sunggono yang terhuyung ke belakang.
Betapa pun juga, tubuh Jokowanengpati yang sudah terjerumus itu tak dapat ditahannya dan begitu ia melangkahkan kaki, tubuhnya terjeblos ke dalam sumur. Kiranya gua itu di dalamnya merupakan sumur yang entah sampai di mana dasarnya. Jokowanengpati tentu saja kaget sekali. Tahulah ia sekarang mengapa gua ini disebut jalan maut, kiranya merupakan jebakan yang amat berbahaya. Untung ia memiliki Aji Bayu Sakti, sebuah aji meringankan tubuh yang tiada keduanya.
Begitu tubuhnya terguling masuk sumur, Jokowanengpati mementang kedua lengannya, sekali menyentuh pinggiran sumur ia dapat menahan tubuhnya dan tidak terjerumus ke bawah. Ia berdongak dan mendapat kenyataan bahwa ia telah jatuh sedalam dua tiga tombak. Ia menahan napas, mengerahkan Aji Bayu Sakti. Tenaganya terkumpul pada kedua lengan dan tubuhnya menjadi ringan sehingga ketika ia menggerakkan kedua lengan mendorong, perlahan-lahan ia dapat merayap ke atas seperti seekor kadal saja!
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Jokowanengpati. Begitu ia melompat keluar dari sumur, ia menyerbu keluar. Akan tetapi sebuah batu besar bergerak menutup lubang gua, dan terdengar suara Sunggono tertawa, "Ha-ha-ha, Jokowanengpati! Kau tahu sekarang mengapa ku namakan gua itu Margoleno? Mengasolah dengan tenang, orang muda!"
Kaget juga Jokowanengpati melihat batu sebesar itu bergerak menutup gua. Mungkinkah Sunggono, dibantu oleh Wiratmo dan Mirah, mampu menggerakkan batu sebesar itu yang tentu amat-berat? Akan tetapi ia tidak mau terheran lebih lama, cepat ia melompat maju dan sekali dorong sambil membentak marah, batu itu tertolak keluar dan tubuhnya sudah melompat keluar gua!
Kiranya di situ sudah berdiri lima orang laki-laki tinggi besar yang mengepungnya dengan golok di tangan. Adapun Sunggono sudah berdiri agak jauh, mendekap sebuah bungkusan kuning di dadanya. Wiratmo dan Mirah juga berdiri di dekat Sunggono. Mereka bertiga memandangnya, Wiratmo dan Mirah agak pucat, akan tetapi Sunggono masih tertawa.
"Paman Sunggono, apa artinya ini semua?" Jokowanengpati masih bertanya saking herannya, suaranya dingin sekali membuat tengkuk Wiratmo dan Mirah meremang. Akan tetapi Sunggono berkata dengan suara mengejek.
"Artinya, Jokowanengpati, saat ini adalah saat kematianmu, karena akulah yang berhak memiliki wahyu mahkota Mataram! Engkau ini ular kepala dua, mau enaknya saja. Bunuh dia!"
Suara Sunggono penuh wibawa ketika ia memberi aba-aba kepada lima orang anak buahnya itu. Lima orang ini adalah jagoan-jagoan yang dulu juga merupakan panglima-panglima perang dari Sang Prabu Digdyamenggala, Raja Kerajaan Wura Wari di daerah Ponorogo. Mendengar aba-aba ini, lima orang jago tua yang tubuhnya tinggi besar itu mengeluarkan suara bentakan keras dan menyerbulah mereka dengan golok besar yang datang sebagai hujan membacoki tubuh Jokowanengpati.
Namun Jokowanengpati mengeluarkan suara ketawa mengejek, tubuhnya tiba-tiba lenyap berubah menjadi bayangan hitam yang berkelebat ke sana ke mari, menyelinap di antara sinar golok yang gemerlapan. Bukan main hebatnya gerakan Jokowanengpati ini, bagaikan seekor burung kepinis gesitnya sehingga tak pernah ada sebatangpun golok mampu menyentuhnya. Lima orang jagoan Wura Wari itu kaget dan penasaran. Ketika mereka menghentikan serangan, Jokowanengpati juga berhenti bergerak dan berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang sambil tersenyum mengejek.
"Sudah lelahkah kalian?" ejeknya, akan tetapi matanya selalu melirik ke arah Sunggono. Ia tak menghendaki orang tua yang curang itu melarikan diri membawa pusaka itu selagi ia dikeroyok.
Seorang pengeroyok di depannya mendengus, goloknya menusuk ke arah perut pemuda itu, agaknya saking marah dan penasarannya ia hendak merobek perut dan mengeluarkan usus lawannya. Akan tetapi kini Jokowanengpati tidak lagi mempergunakan Bayu Sakti karena yang menyerangnya hanya seorang saja. la miringkan tubuh membiarkan golok menyambar lewat, kemudian secepat kilat tangan kirinya mengetuk pergelangan tangan kanan lawan dan tangan kanannya mengepal dan menghantam dahi. Hampir berbareng golok itu terlepas dan dahi itu pecah sehingga otaknya berhamburan!
Empat orang jagoan Wurawari terkejut sekali. Hampir mereka tak dapat percaya. Bagaimana seorang kawan mereka dapat binasa sedemikian mudahnya? Keheranan dan kekejutan ini berubah menjadi kemarahan meluap-luap, dan kembali mereka menerjang dengan sabetan dan bacokan membabi-buta.
Jokowanengpati tidak mau bersabar atau main-main lagi. Kembali tubuhnya berkelebat menggunakan Bayu Sakti, namun ia tidak hanya mengelak melainkan balas menyerang dengan hebat karena ia telah mainkan Ilmu Jonggring Saloko! Ilmu ini adalah ciptaan Empu Bharodo, seorang sakti mandraguna. Biarpun hanya merupakan pecahan dari ilmu aslinya permainan tombak, namun sudah amat hebat dan ampuh.
Mana mungkin empat orang jagoan Wurawari itu mampu menghadapinya? Segera terdengar suara berkerontangan dan golok beterbangan, disusul pekik mengaduh dan robohlah empat orang itu satu demi satu, roboh untuk tidak bangkit kembali karena pukulan Jokowanengpati yang mempergunakan Aji Siyung Warak adalah pukulan mematikan yang menghancurkan kepala atau memecahkan dada.
"Kau hendak lari ke mana?" Jokowanengpati melompat dan mengejar Sunggono yang sudah lari kencang meninggalkan tempat itu sambil mendekap bungkusan sutera kuning di depan dadanya.
Sunggono juga bukan seorang lemah. Sebagai putera seorang senopati, ia memiliki ilmu juga. Akan tetapi ia tidak dapat menandingi kecepatan Jokowanengpati yang mempergunakan Bayu Sakti dalam pengejaran ini. Beberapa kali lompatan saja cukup bagi Jokowanengpati untuk menyusulnya.
Tiba-tiba Sunggono yang tahu bahwa lari tiada gunanya, berhenti dan membalikkan tubuh. Tangannya sudah memegang sebatang keris, sikapnya mengancam.
"Hua-ha-ha-ha, lucu pertanyaanmu, Sunggono pengecut curang. Memang sejak semula, aku sudah bermaksud membunuh kalian bertiga agar jangan membocorkan rahasia. Kini kau mendahuluiku, ha-ha-ha, bagus sekali, berarti mengurangi dosaku. Berikan pusaka itu!"
"Tidak! Kau terima pusakaku ini!" Sunggono mendekap bungkusan sutera kuning dengan tangan kiri depan dada, lalu tangan kanannya menusukkan kerisnya.
Hebat juga serangannya, cepat sekali dan kuat. Kalau hanya lawan yang kepalang tanggung saja ilmunya, belum tentu akan mampu menghadapi serangan Sunggono. Akan tetapi Jokowanengpati menggerakkan tangan, menangkap pergelangan tangan yang memegang keris dan sekali putar keris itu sudah berpindah tangan!
"Berikan pusaka itu!" Jokowanengpati membentak dan memandang bengis.
"Tidak... tidak...!" Sunggono melompat mundur, kedua tangannya mendekap bungkusan sutera kuning.
"Setan!" Jokowanengpati menggerakkan tangannya dan keris rampasan itu meluncur ke depan dan..."cepp!" keris itu menghunjam di bawah tenggorokkan Sunggono. Darah mengucur keluar melalui gagang keris, bercucuran menimpa bungkusan sutera kuning, akan tetapi hebatnya, Sunggono tidak roboh.
"Berikan...!" Jokowanengpati membentak lagi sambil melangkah maju.
Akan tetapi Sunggono mengguncang-guncang kepalanya. "Tidak...ti...kkk!" suaranya terhenti seperti lehernya dicekik, mukanya pucat dan matanya melotot. Keris itu menancap sampai ke gagang, namun ia masih belum roboh.
Jokowanengpati menyerbu ke depan dan sekali renggut ia berhasil merampas bungkusan sutera kuning yang sudah berlumur darah. Sambil tersenyum-senyum Jokowanengpati membuka sutera kuning dan matanya silau oleh cahaya yang bersinar ketika bungkusan dibuka. Di tangannya adalah pusaka yang lenyap dari keraton Kahuripan, pusaka bertuah, patung kencana Sri Bathara Wisnu yang kini berlepotan darah, darah Sunggono.
"Kembalikan...!" Sunggono menerjang maju, tangan kirinya mencengkeram baju Jokowanengpati, tangan kanan meraih hendak merampas patung. Jokowanengpati menggerakkan tangannya menghantam lengan kanan Sunggono yang terulur ke depan.
"Krekkkk!"
Lengan itu terkulai karena tulangnya telah terpukul patah. Namun Sunggono seperti orang gila masih meraih lagi, kini dengan lengan kirinya. "Kembalikan...!"
Sekali lagi Jokowanengpati memukul dengan Aji Siyung Warak.
"Krekkkk!"
Patahlah tulang lengan kiri Sunggono sehingga kedua lengannya lumpuh tak dapat digerakkan lagi. Namun dasar orang sudah nekat dan tidak normal lagi pikirannya, ia masih saja berusaha mendekati Jokowanengpati.
"Bedebah, mampuslah!" Jokowanengpati menggunakan tangannya mencengkeram dada lawan, mengerahkan tenaga dan "kkraaaaakkkk!"
Robeklah dada itu karena iganya sempal (patah-patah). Jokowanengpati cepat melompat ke belakang agar jangan terkena percikan darah yang menyemprot. Tubuh Sunggono berkelojotan, matanya masih mendelik-delik dan akhirnya diam tak bergerak lagi. Jokowanengpati menengok, melihat bayangan dua orang berlari-lari. Ia mengeluarkan dengus mengejek dan tubuhnya berkelebat mengejar. Wiratmo dan Mirah lari bergandengan tangan, terengah-engah, melalui jalan setapak di pinggir jurang.
Tiba-tiba terdengar bentakan, "Berhenti!"
Bagaikan disambar petir keduanya berhenti, seperti berubah menjadi batu, kemudian perlahan membalikkan tubuh. Ternyata Jokowanengpati telah berdiri di hadapan mereka sambil tersenyum-senyum, akan tetapi senyum yang bagi mereka berdua amat menyeramkan. Ketika Wiratmo melihat betapa pandang mata itu melekat kepadanya, kakinya menggigil dan ia segera menjatuhkan dirinya berlutut sembah di depan Jokowanengpati sambil meratap-ratap.
"Ampunkan saya, raden... saya tidk ikut-ikut... saya... saya tidak tahu-menahu tentang kecurangan dan pengkhianatan paman Sunggono ".
Senyum mulut Jokowanengpati melebar, pandang matanya bersembunyi di balik bulu mata yang merapat. "Hemm, engkau memang seorang yang baik bukan, kakang Wiratmo?"
Seakan berhenti jalan darah di tubuh Wiratmo, Ucapan itu biarpun terdengar manis, namun sikap dan cara mengucapkannya mengandung ejekan dan ancaman yang mengerikan. Ia menyembah. "Raden jokowanengpati... biarpun saya bukan seorang baik... namun... saya setia terhadap raden... dan..."
"Dan engkau main gila dengan Mirah, bukan? Engkau tahu bahwa Mirah adalah milikku, akan tetapi kau lahap, kau rakus, engkau berani mencuri dan mencicipi dari piringku selama aku tidak ada! Engkau berzina dengan Mirah, dan masih kau bilang bahwa engkau setia kepadaku? Heh? Hayo bicaralah!"
Tubuh Wiratmo menggigil, mukanya pucat dan ia tidak mampu bicara, hanya menyembah-nyembah minta ampun.
"Desss!"
Sebuah tendangan mengenai dagunya. Tubuh Wiratmo seperti disambar petir, terlempar dan terbanting pada karang di belakangnya. Mulutnya berdarah ketika ia merangkak-rangkak bangun akan tetapi kembali kaki Jokowanengpati bergerak menendang.
"Blukkk!"
Dadanya menjadi sasaran. Tendangan kilat itu amat kuat dan kini tubuh Wiratmo terbanting hebat, kepalanya bercucuran darah dari luka di bagian belakang, napasnya terengah-engah karena tendangan itu seakan-akan telah merampas semua napasnya.
"Am... ampun...!" Akan tetapi Jokowanengpati sudah maju lagi dan setiap kali tubuh Wiratmo hendak bangkit, sebuah tendangan merobohkannya kembali.
Mirah menutupi muka dengan kedua tangan, tubuhnya menggigil dan ia tak dapat menahan kengerian hatinya menyaksikan Wiratmo disiksa seperti itu. "Kakangmas Joko... sudahlah, kangmas... ahhh, kasihanilah...!"
"Dessss!"
Kali ini tangan kiri Jokowanengpati menghantam, tepat mengenai puingan (pelipis) kepala Wiratmo. "Aduuhh mati aku...!"
Tubuh Wiratmo bergulingan, berkelojotan di atas tanah dan rintihan yang keluar dari mulutnya bukan seperti suara manusia lagi. Darah keluar dari mulut, hidung, telinga dan matanya! Pukulan tadi menggunakan Aji Siyung Warak, ampuhnya mengerikan.
"Kakangmas Joko...!" Mirah menangis terisak-isak menutupi muka, akan tetapi telinganya mendengar rintihan itu seakan-akan meremas-remas jantungnya, maka ia tersedu dan membalikkan tubuhnya agar tidak melihat Wiratmo sambil menggunakan kedua tangan menutupi telinga agar tidak mendengar lagi rintihan itu.
"Kau... hendak membelanya? Kau mencintanya?" Jokowanengpati bertanya, suaranya dingin menyeramkan.
"Tidak...! Oh, tidak...! Kakangmas, setahun lebih kakangmas tidak datang... saya kesepian, kangmas... dan dia... dia baik sekali kepada ku"
"Cuhh!" Jokowanengpati meludah ke arah Mirah. "Perempuan hina!"
Tubuh Wiratmo masih dapat merangkak lagi, akan tetapi sekali lagi tangan kiri Jokowanengpati menampar kepala dan pecahlah kepala Wiratmo. Dari kepala yang pecah keluar otak bercampur darah, tubuhnya terkulai tak bergerak lagi.
"Hemm, giliranmu sekarang...!" Pemuda yang kini memperlihatkan watak aslinya yang sering disembunyikan di belakang sikap halus karena cerdiknya itu menghampiri Mirah.
Mirah terkejut, lupa akan kengeriannya tadi dan cepat ia melangkah mundur, wajahnya pucat matanya terbelalak. "Jangan, kakangmas...! Sungguh mati saya tidak mencinta dia... cinta saya hanya kepadamu, kangmas. Lupakah kakangmas betapa saya telah berkorban untukmu? Siapakah yang membantu kakangmas membawa lari pusaka itu dari keraton? Kakangmas Joko, kasihanilah saya..."
Jokowanengpati melihat mata yang bening terbelalak, mulut yang merah itu setengah terbuka, agak berkurang marahnya. Apalagi ia teringat bahwa wanita ini memang amat mencinta dan setia kepadanya. Tentang permainannya dengan Wiratmo, hal itu sudah biasa karena Mirah memang ia tinggalkan sampai setahun lebih.
"Hemmm, baiklah. Mengingat perhubungan kita dan jasamu, biarlah kuampunkan kau, Mirah."
"Kakangmas Joko... terima kasih...!" Mirah girang sekali dan maju menubruk kaki Jokowanengpati sambil berlutut. Akan tetapi sekali pemuda itu menggerakkan tangan, ia telah menyambak Mirah, menariknya berdiri, mendekapnya dan mencium bibirnya penuh nafsu. Mirah menjerit lirih dan ketika Jokowanengpati melepaskan ciumannya, bibir wanita itu bercucuran darah!
"Ini untuk hukumanmu, lain kali kalau aku mendapatkan engkau bermain gila dengan laki-laki lain, lehermu kupatahkan!"
Mirah hanya menunduk sambil mengusap darah yang terus mengucur dari bibirnya yang tergigit pecah. Mendadak Jokowanengpati berteriak keras dan muka pemuda itu seketika menjadi pucat sekali, tangan kiri mendekap patung kencana tangan kanan menekan perutnya.
"Aduh... celaka...! Aduhhhh...!" Ia terhuyung-huyung, meramkan mata dan mulutnya menggeget (menggigit keras-keras) gigi sampai mengeluarkan bunyi. Dahinya penuh peluh dan tubuhnya menggigil. Ketika ia membelalakkan matanya yang tiba-tiba menjadi merah itu, ia melihat Mirah sudah lari menjauhkan diri, sejauh sepuluh meter lebih. Wanita itu berdiri dan memandang kepadanya dengan sinar mata tajam dan mulut yang bibir bawahnya berdarah itu membayangkan senyum.
"Kau...! Kau...!" Jokowanengpati melompat, akan tetapi begitu bergerak, ia roboh terguling di atas tanah, mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya. Hebat sekali rasa nyeri yang menyiksanya. Perutnya terasa terbakar dan ditusuk-tusuk sebelah dalam.
Sebagai seorang berilmu tinggi ia maklum bahwa ia telah menjadi korban racun. Tidak mungkin ia terkena racun kecuali melalui masakan Mirah tadi. Ia mengerahkan tenaga untuk bangkit kembali, akan tetapi rasa nyeri membuat ia terguling lagi dan kini patung kencana dalam bungkusan sutera kuning yang berlumur darah itu terlepas dari pegangannya. Ia seperti lupa kepada patung itu karena kedua tangannya meremas-remas perutnya yang sakit bukan main. Mirah melangkah maju, wajahnya berseri, matanya liar dan mulut yang masih ada darahnya di bibir bawah itu tertawa.
"Hi-hi-hik! Jokowanengpati rasakan kau sekarang! Manusia keji, manusia tak kenal budi. Rasakan kau sekarang!"
Sedetik Jokowanengpati melupakan rasa nyeri di perutnya. Ia terbelalak dan memandang Mirah dengan mata mendelik. "Perempuan hina! Kau meracuni aku! Daun... daun kates (pepaya) itu... rasa pahit itu untuk menyembunyikan rasa racun... kau... kau... siluman betina... kubunuh engkau...!"
Ia melompat lagi, akan tetapi untuk ketiga kalinya ia terguling. Tubuhnya bergulingan dan berkelonjotan menjauhi patung kencana. Mirah tertawa lagi, lari maju dan mengambil patung kencana, didekapnya di dadanya. "Heh-heh-hi-hik! Enakkan rasanya, Jokowanengpati? Rasakanlah pembalasan tangan Mirah." Setelah berkata demikian, Mirah lalu lari membawa patung kencana.
"Mirah...!" Bagaikan ada kekuatan gaib yang mendorongnya, Jokowanengpati melompat dan lari mengejar. Ia berhasil mencengkeram dari belakang, akan tetapi karena kegesitannya berkurang banyak, ia hanya berhasil mencengkeram kemben berkembang. Namun tangannya masih hebat karena sekali merenggut, kemben itu terlepas dan Mirah jatuh terguling. Patung kencana terlepas dari pegangannya. Bukan main kagetnya wanita ini, apalagi setelah melihat tubuh Jokowanengpati merangkak menghampirinya.
"Heh-heh-heh., aduhhh..., heh-heh, hendak lari ke mana kau Mirah? Heh-heh... aduhhh..." Sambil tertawa dan meringis-ringis kesakitan Jokowanengpati merangkak maju, kedua tangannya seperti cakar setan hendak meraih Mirah. Mukanya penuh peluh, matanya merah, napasnya terengah-engah dan mulutnya mengeluarkan busa. Wajah yang biasanya ganteng tampan itu kini seperti muka iblis mengerikan.
"Aaiiiihhhh!" Mirah menjerit ketakutan, merangkak bangun dan hendak lari. Akan tetapi tangan Jokowanengpati yang menjangkau berhasil mencengkeram ujung kainnya. Mirah lari dan meronta, Jokowanengpati bertahan.
"Reeeeetttt!"
Kain itu koyak-koyak dan terlepas dari tubuh Mirah. Wanita itu memekik ngeri dan tubuhnya yang kini bertelanjang bulat itu terguling lagi. Jokowanengpati dengan napas terengah-engah menubruk, namun Mirah saking takutnya mendapatkan kegesitan luar biasa, sudah berhasil melompat berdiri lagi dan hendak lari. Jokowanengpati juga melompat berdiri, tangannya meraih namun meleset dan Mirah lari ke depan. Jokowanengpati mengejar dengan sebuah lompatan jauh, tangannya mencengkeram dan kini berhasil memegang rambut hitam panjang yang terurai di belakang.
Sekali menggentarkan tangan, Mirah kembali terguling Namun ia meronta-ronta, mereka bergumul, Jokowanengpati yang sudah lemas tenaganya itu tidak dapat mempergunakan tenaga sakti, hanya berusaha mencekik leher yang berkulit halus kuning. Mirah meronta, mereka bergulingan. Wanita itu menggunakan giginya menggigit lengan sehingga cekikan Jokowanengpati terlepas. Mirah bangkit dan lari, namun rambutnya masih dalam cengkeraman.
"Aduhhh... lepaskan...! Lepaskan... toloooonggg...!" Mirah meronta-rontah sekuat tenaga. Saking takut dan ngerinya, wanita itu menjadi kuat sekali, sebaliknya pengaruh racun membuat Jokowanengpati menjadi lemah. Oleh karena itu Mirah berhasil lari menyeret Jokowanengpati yang tidak juga mau melepaskan rambut panjang itu.
"Aduh...! Lepaskan... lepaskan...!" Mirah berteriak-teriak kalap, meronta-ronta ke kanan kiri, tidak tahu bahwa mereka berdua bergumul di dekat jurang. Jokowanengpati yang cerdik biarpun sudah hampir pingsan oleh pengaruh racun, dapat melihat ini, maka ia tertawa menyeramkan.
"Heh-heh-heh-heh... ahhh, aduhhh... he-he-heh!"
"Lepaskan, Joko..., aduh, lepaskan... tolooonggg...!"
Tiba-tiba Jokowanengpati menendang kaki Mirah. Mirah terhuyung ke belakang dan tubuhnya menginjak tempat kosong. Jokowanengpati cepat bertiarap mencengkeram batu karang, namun masih juga belum melepaskan rambut.
"Aaiiiiihhhhh...!" Mirah menjerit dan tahu-tahu tubuhnya sudah tergantung di bibir jurang yang amat curam, hanya tertahan oleh rambutnya yang masih dicengkeram Jokowanengpati.
"Kakangmas Joko... tolonglah aku... tolonglah aku, naikkan... lekas... aduhhh. tolong..."
"Ha-ha-ha-ha-ha... aduhh kau meracuni aku, ya? Ha-ha-ha!" Sambil tertawa-tawa dan kadang-kadang meringis kesakitan, Jokowanengpati melepaskan rambut yang dicengkeramnya.
"Aaaaaaaaaaahhhh...!" Lengking mengerikan bergema di lereng Lawu menjelang senja itu, mengiringkan tubuh telanjang bulat yang tentu akan hancur dan mawut terbanting di dasar jurang yang curam. Jokowanengpati terengah-engah, merangkak bangun, terhuyung-huyung menghampiri patung kencana yang terbungkus sutera kuning berlumur darah. Diambilnya patung itu, didekapnya erat-erat kemudian ia memaksa diri berjalan menuruni lereng. Kedua kakinya gemetar, tubuhnya menggigil dan kadang-kadang ia menekan perutnya sambil menyumpah-nyumpah.
"Jahanam...! Perempuan laknat...! Aduuhhh..., aku harus bertahan... harus bisa mencapai dusun... harus..., harus...!"
Kekuatan badannya memang luar biasa. Berkat gemblengan Empu Bharodo sejak kecil, racun yang bagi orang lain tentu akan menewaskan seketika itu, ternyata masih belum merobohkannya.
Ia berjalan terhuyung, kadang kala merangkak menuruni lereng Gunung Lawu. Hari sudah gelap ketika ia roboh pingsan di depan pintu pondok kecil di lereng paling bawah, pondok kecil petani yang terpencil. Ia hanya mampu mengeluh ketika melihat sinar lampu yang menerobos celah-celah bilik, "...tolong...!" Kemudian tak sadarkan diri.
Pemilik pondok itu seorang petani berusia tiga puluh tahun yang tinggal di situ bertani bersama isterinya yang hanya dua tiga tahun lebih muda dari padanya. Mereka tinggal bersunyi di lereng ini, hidup bertani sederhana, karena mereka memang tidak mempunyai banyak butuh. Mereka tidak punya anak, dan untuk mencukupi kebutuhan mereka berdua, tanah di lereng Lawu sudah lebih dari cukup, berlimpah-limpah. Nama petani ini Kismoro dan isterinya Wiyanti.
"Kakang, ada suara orang minta tolong..." Wiyanti bangkit dari atas tikar anyaman daun kelapa.
Suaminya juga bangkit, mendengarkan. "Aku juga mendengar, akan tetapi kurasa bukan orang. Mana ada orang minta tolong?"
"Kakang, lebih baik kita lihat dulu,siapa tahu..."
Mereka berdiri dan menuju ke pintu pondok, membuka pintu pondok yang sengaja agak diperkuat, bukan takut akan maling atau rampok, melainkan menjaga jangan sampai harimau atau monyet mengganggu selagi mereka tidur.
"Ah, benar! Ada orang di situ...!" Kismoro segera menghampiri tubuh laki-laki yang rebah miring.
"Wah, jangan-jangan dia mati... ah, tidak, masih hidup, agaknya pingsan..."
Dibantu isterinya, Kismoro mengangkat tubuh Jokowanengpati yang masih tetap mendekap bungkusan sutera kuning itu, masuk ke dalam rumah. Ketika berada di dalam dan tersinar cahaya lampu, mereka melihat pakaian serba hitam yang halus serta raut wajah yang tampan, sehingga Kismoro berseru, "Ah, agaknya ia seorang bangsawan"
"Dia tentu sakit, kakang..."
"Kita tidurkan dia di bilik, biar kita di luar saja. Kita rawat dia seperlunya."
Sibuklah dua orang suami isteri ini. Mereka membaringkan tubuh Jokowanengpati di atas balai-balai bambu, satu-satunya perabot pondok mereka. Dengan hati-hati Kismoro lalu mengambil bungkusan sutera kuning itu agar Jokowanengpati dapat berbaring lebih enak, kemudian ia meletakkan bungkusan itu di sudut balai-balai.
"Lekas kau masak air panas, biar kucuci muka dan dadanya, wah, dia benar-benar sakit, lihat dia mengerang-erang dan tubuhnya penuh peluh. Setelah masak air, kau menganyam janur untuk tikar, kita tidur di luar bilik saja."
Tanpa membantah isteri setia ini cepat melakukan perintah suaminya, hatinya agak tenang karena mengira bahwa yang mereka tolong tentulah seorang bangsawan tinggi. Mungkin seorang pangeran, pikirnya, atau setidaknya tentu putera tumenggung! Orang muda yang begini tampan dan pakaiannya begitu halus, membawa bungkusan sutera kuning pula, tentulah seorang keluarga keraton!
Ketika Kismoro mencuci muka dan dada, Jokowanengpati siuman dari pingsannya. Pikirannya yang cerdik segera membuat ia sadar bahwa ia telah ditolong oleh penduduk dusun, penghuni pondok itu mungkin. Hatinya agak lega, dan dia berbisik lemah, "Kisanak, tolonglah... aku terkena racun..."
Setelah berkata demikian, ia bangkit duduk bersila dan mengerahkan segala kekuatan batin dan tenaga saktinya untuk melawan hawa beracun yang mengeram dalam perutnya. Ia maklum bahwa dengan jalan ini ia akan dapat bertahan, akan dapat mencegah hawa beracun itu merusak isi perutnya sampai datang obat penolong. Kalau ia banyak bicara, hal itu akan membuat keadaannya makin berbahaya. Kalau saja ia tadi tidak mempergunakan terlalu banyak tenaga berkejaran dengan Mirah, tentu keadaannya tidak separah ini. Kismoro terbelalak kaget, melihat laki-laki tampan itu duduk seperti samadhi, ia tidak berani mengganggu dan cepat-cepat ia menyelinap keluar bilik menemui isterinya.
"Wah, celaka, Wiyanti, dia... dia bilang terkena racun..."
"Hee? Terkena racun? Apanya?"
"Dia tidak terluka, tentu ada racun termakan olehnya. Ah, aku harus cepat mencari obat pemunah racun."
"Daun dan akar Widoro Upas...?"
"Apa saja yang dapat melawan racun. Ada dua tiga macam daun yang kutahu dapat melawan racun. Eh, kalau nanti dia minta minum, kau beri minum air dawegan (kelapa muda), pilih yang hijau"
"Ihh, kau sendiri mau ke mana?" tanya isterinya, agak ngeri karena ingat bahwa tamu mereka itu sakit berat, terkena racun. Siapa tahu akan mati selagi suaminya pergi?
"Aku harus mencari obat pemunah."
"Jangan sekarang. Malam-malam begini mau ke hutan? Bagaimana kalau muncul macan atau kau dikeroyok lutung?"
"Tapi dia perlu ditolong..."
"Kakang, memang sudah semestinya dia ditolong. Akan tetapi kalau membahayakan keselamatanmu sendiri, aku tidak rela. Bagaimana kalau kau tertimpa bencana di hutan, dimakan harimau atau dikeroyok lutung? Kau celaka, dia pun tidak tertolong, tinggal aku sendiri yang kebingungan setengah mati. Tidak, tidak boleh kau pergi, besok pagi-pagi saja."
"Tapi dia..." Wiyanti merangkul suaminya. "Kakang, kalau kau memaksa pergi, boleh, akan tetapi aku ikut. Biar mati kalau bersamamu tidak mengapa."
Akhirnya si suami mengalah, apalagi ketika ia melihat betapa tamunya itu masih duduk bersamadhi dan agaknya tenang, tidak terdengar mengeluh lagi, ia merasa lega dan menunda niatnya mencari daun obat. Semalam ini suami isteri ini tidak dapat tidur pulas. Bukan karena tidur di atas tanah bertilam tikar daun kelapa, hal ini sudah biasa bagi mereka, akan tetapi mereka hanya rebah-rebahan saja dan tak dapat tidur karena mereka memikirkan tamu mereka. Sebentar-sebentar Kismoro bangkit dan menjenguk ke dalam bilik. Heran ia melihat tamunya yang muda dan tampan itu masih saja duduk bersila.
"Ah, dia tentu seorang satria," bisiknya dekat telinga isterinya, "agaknya semalam suntuk ia akan bersamadhi. Alangkah kuatnya ia bertapa."
"Tidak seperti engkau, setiap malam tidur melingkar seperti ular kekenyangan!" bisik isterinya.
"Wah, wah! Kau ingin mempunyai suami satria, begitukah?" Suaminya mencela.
"Satria mana sudi dengan aku? Pula, aku lebih senang punya suami engkau dari pada segala macam satria. Menjemukan benar, kerjanya hanya duduk bersila!"
Percakapan itu dilakukan sambil berbisik-bisik agar jangan mengganggu tamu mereka. Namun siapa kira, biarpun dalam samadi mengerahkan tenaga dalam melawan racun, percakapan bisik-bisik ini tidak pernah terlepas dari telinga Jokowanengpati.....!
Komentar
Posting Komentar