BADAI LAUT SELATAN : JILID-63
"Eyang, lepaskan! Tidak boleh kau membunuh pemimpin kami..."
Joko Wandiro mendengar suara menggereng hebat dan tahu-tahu tubuhnya terlempar ke depan. Untung ia masih belum pingsan sehingga ia dapat cepat mematahkan tenaga lontaran itu dengan berjungkir balik beberapa kali. Namun tetap saja ia terbanting, sungguhpun tidak terlalu keras. Ketika ia meloncat bangun, mengatur pernapasan memulihkan tenaga dan memandang ke depan, ia melihat Dibyo Mamangkoro berdiri dengan mata terbelalak marah sambil memaki-maki Dewi dan ke empat orang adiknya. Ia merasa bersyukur sekali dan mau rasanya ia memberi hadiah ciuman seorang tiga kali kepada lima orang dara yang telah menyelamatkan nyawanya itu!
Memang sesungguhnyalah bahwa mati hidup seorang manusia seluruhnya berada di tangan Hyang Maha Wisesa. Jika belum dikehendakiNya, banyak jalan untuk menolong seseorang dari pada marabahaya. Secara kebetulan sekali, ketika Joko Wandiro menggunakan usaha terakhir membebaskan diri tadi, muncul Dewi dan empat orang adiknya yang datang berlari-lari setelah mendapat pelaporan seorang anak buah mereka yang menyaksikan betapa Joko Wandiro terancam maut di tangan Dibyo Mamangkoro.
Anak buah itu tentu saja tak berani bergerak karena Dibyo Mamangkoro adalah terhitung kakek Dewi. Dibyo Mamangkoro adalah paman dari ayah Dewi dan biarpun amat jarang, pernah beberapa kali mengunjungi cucunya di Anjasmoro maka dikenal pula oleh anak buah Dewi. Melihat betapa Joko Wandiro terancam bahaya maut, serentak Dewi dan empat orang adiknya datang menolong. Dewilah yang tadi berteriak menegur eyangnya, dan mereka berlima tadi sudah maju dan memukul ke arah punggung Dibyo Mamangkoro!
Tentu saja pukulan-pukulan lima orang gadis itu tidak terlalu hebat bagi Dibyo Mamangkoro. Akan tetapi pada saat itu Joko Wandro telah mencengkeram siku kanan dan pusat kekuatan tangan kirinya. Karena kedua serangan yang secara kebetulan dating berbareng inilah yang membuat Dibyo Mamangkoro terpaksa melemparkan tubuh Joko Wandiro ke depan, Andai kata lima orang gadis itu tidak menyerang di saat itu, jangan harap cengkeraman Joko Wandiro akan dapat membebaskan dirinya karena selain tenaga pemuda ini sudah mulai lemah, juga lawannya tentu akan dapat mengubah posisi. Juga, andai kata Joko Wandiro tidak sedang mencengkeramnya di saat lima orang gadis itu menyerang, tentu serangan dari belakang itu tidak akan dirasanya, bahkan dengan mudah, menggunakan kedua kakinya kakek raksasa ini akan dapat menghalau lima gadis itu. Memang segalanya tiba secara kebetulan dan seperti sudah diatur sebelumnya sehingga hasilnya menyelamatkan Joko Wandiro!
"Setan cilik! Kucing betina! Berani engkau menyerang eyangmu dan menolong musuh?"
"Eyang, dia junjungan kami! Tidak boleh kaubunuh dia!" Dewi membantah sambil mengangkat dadanya yang membusung, penuh tantangan.
"Bocah goblok! Tidak tahukah kau siapa dia itu? Dia itu murid Ki Patih Narotama, musuh gerotan kita!"
"Tidak, eyang. Dia sudah menjadi pemimpin kami, sudah kami serahkan jiwa raga kami kepadanya." kata pula Dewi.
"Bedebah! Kau berani berkhianat? Kalau begitu lebih dulu kalian akan kubunuh!"
Dengan kemarahan meluap-luap Dibyo Mamangkoro mengangkat tangan kanan ke atas dan menghantam ke arah Dewi dan empat orang adiknya dengan pukulan jarak jauh yang ampuh. Ia terlalu memandang rendah kepada cucunya maka ia hanya menggunakan sebagian kecil tenaga dalamnya. Terdengar suara angin bersiutan menyambar ke arah Dewi dan empat orang adiknya. Namun lima orang gadis itu sudah terlatih baik dan keistimewaan mereka adalah gerakan yang amat cekatan. Mereka menjerit nyaring saking ngeri dan kaget, namun loncatan mereka berhasil menyelamatkan diri mereka dari pada sambaran angin pukulan dahsyat itu.
"Krakkkk... brruuukkkk...!"
Sebatang pohon sebesar manusia yang mewakili mereka, terkena pukulan itu seperti disambar petir, tumbang seketika? Lima orang gadis itu menjadi pucat mukanya. Di lain fihak, muka Dibyo Mamangkoro menjadi merah sekali saking penasaran dan marah melihat pukulannya hanya menumbangkan pohon. Ia melangkah tiga tindak ke depan hendak memukul lagi dengan tenaga penuh akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan dan tahu-tahu Joko Wandiro sudah berada di depannya!
"Dibyo Mamangkoro. Lawanmu adalah aku, Joko Wandiro. Bukan segala bocah perawan yang lemah! Dewi, kau dan adik-adikmu menyingkirlah jauh-jauh dan kalian tonton saja betapa pemimpin kalian merobohkan manusia iblis yang kejam ini!"
Karena amat taat kepada Joko Wandiro, biarpun di dalam hati merasa amat gelisah karena maklum betapa sakti mandraguna eyangnya itu, Dewi mengajak empat orang adiknya menjauhkan diri dan menonton dari jauh dengan jantung berdebar. Mereka diam-diam memberi isyarat kepada semua anak buah mereka, yaitu apabila Joko Wandiro roboh binasa, mereka semua, tiga puluh lima orang wanita banyaknya, akan nekat mengeroyok Dibyo Mamangkoro dan kalau perlu ikut mati bersama pemimpin mereka yang tercinta!
Dibyo Mamangkoro merasa betapa dadanya seperti akan meledak saking marahnya. Ia harus mengakui bahwa setelah berkali-kali mencoba, belum pernah ia dapat mengatasi kesaktian Ki Patih Narotama. Akan tetapi kini ia hanya berhadapan dengan muridnya, seorang bocah yang baru berusia dua puluhan tahun! Dan bocah ini sudah berani menentangnya dengan kata-kata yang diang gapnya sombong.
"Babo-babo...! Joko Wandiro, sumbarmu menunjukkan bahwa engkau tentulah murid terkasih Narotama yang sudah mewarisi semua aji kesaktiannya. Bagus! Dengan membunuhmu, sama halnya dengan membunuh Narotama sendiri. Akan puaslah hatiku, tertebus sebagian dari pada dendamku kepadanya. Huah-ha-ha-ha!"
Tubuh yang tinggi besar itu bergoyang-goyang, kepalanya menengadah dan dalam keadaan begini, siapa mengira bahwa raksasa tua ini siap menyerang? Di sinilah terletak kelicikan dan kecerdikannya. Joko Wandiro juga tidak mengira bahwa lawannya ini sudah siap bertempur maka ia pun belum berjaga-jaga. Namun tahu-tahu, dengan suara ketawanya masih menderu, kakek raksasa itu sudah mencelat ke depan dan mengirim pukulan yang hebat bukan main ke arah dada Joko Wandiro!
"Werrr... dessss...!"
Bukan main hebatnya pertemuan kedua lengan ini. Pukulan yang mengandung tenaga dalam yang amat tinggi, datangnya tidak tersangka-sangka, sungguhpun dapat ditangkis oleh Joko Wandiro, namun tangkisan itu kurang tenaga. Akibatnya tubuh Joko Wandiro mencelat sampai lima meter lebih dan baru berhenti ketika menabrak pohon waru yang menjadi patah seketika!
"Huah-ha-ha-ha! Hanya sebegitu saja kedigdayaanmu bocah sombong? Ha-ha-ha-ha! Bersiaplah untuk mampus!"
Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak sambil melangkah lebar menghampiri Joko Wandiro yang biarpun tidak terluka namun agak pening dan kini merangkak bangun sambil menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningannya.
"Iblis curang, majulah!"
la menantang, kini waspada dan hati-hati. la tenang saja karena pertemuan tenaga tadi melegakan hatinya. Biarpun hebat tenaga kakek raksasa ini, namun kiranya ia akan dapat menandinginya. Dari gurunya ia maklum bahwa tenaga sakti timbul dari hawa yang murni di dalam tubuh. Hawa murni hanya dapat dihimpun oleh mereka yang hati dan pikirannya bersih, yang tidak menjadi abdi nafsu. Orang yang menyeleweng hidupnya seperti Dibyo Mamangkoro, hanya dapat memperkuat tenaga saktinya dengan ilmu hitam, namun hawa murni di tubuh makin mengurang dan lemah. Karena inilah, benturan tenaga tadi membuat Joko Wandiro tenang. Akan tetapi, seujung rambutpun ia tidak berani memandang rendah lawannya dan tetap bersikap waspada dan hati-hati.
"Hua-ha-ha, terimalah ini!"
Dibyo Mamangkoro menyeruduk lagi seperti lagak seekor gajah mengamuk. Kedua lengannya yang besar dikembangkan dan kedua kepalan tangannya yang hampir menyamai kepala Joko Wandiro besarnya, menyambar dari kanan kiri, yang kanan menghantam pelipis pemuda itu, yang kiri mencengkeram ke arah lambung. Dua serangan sekaligus yang amat keji dan berbahaya. Satu saja di antara dua tangan itu mengenai sasaran, akan celakalah Joko Wandiro!
Namun kini Joko Wandiro sudah siap siaga. Ia sudah mengisi tubuhnya dengan Aji Bayu Sakti sehingga kedua kakinya seakan-akan dipasangi per yang kuat. Melihat datangnya pukulan, ia mengelak dengan lincah dan mudah sehingga dua tangan raksasa itu hanya mengenai tempat kosong. Namun harus diakui bahwa kakek raksasa yang tinggi besar itu tidak selamban gajah gerakannya, melainkan setangkas harimau kelaparan.
Begitu serangannya gagal oleh elakan lawan yang melompat ke kiri, ia sudah menubruk lagi ke kiri dengan kedua tangan terbuka jari-jarinya seperti cakar burung elang menyambar anak ayam. Sampai bersuitan menyakitkan telinga bunyi angin serangan kedua tangan ini sehingga dapat dibayangkan betapa dahsyatnya kalau mengenai sasaran. Serangan susulan ini harus diakui amat cepat. Joko Wandiro sendiri menjadi kagum karena memang di luar persangkaan orang betapa tubuh yang tinggi besar ini dapat bergerak secepat dan selincah itu.
Karena baru saja kedua kaki Joko Wandiro hinggap di atas tanah ketika melompat menghindarkan diri dari serangan pertama tadi, kini menghadapi serangan ke dua, Joko Wandiro sudah roenggulingkan tubuh ke kanan dan dengan jalan ini, kembali terkaman Dibyo Mamangkoro hanya membuat tanah beterbangan. Joko Wandiro sengaja tersenyum-senyum mengejek.
"Hanya sebegitu sajakah hebatnya seranganmu, Dibyo Mamangkoro?"
Sikap ini merupakan siasat pertempuran yang ia pelajari dahulu dari Ki Tejoranu. Menghadapi lawan tangguh, paling penting harus mencari titik kelemahannya, demikian Ki Tejoranu memberi nasehat. Dan sebagian besar orang sakti, tentu memiliki kelemahan masing-masing. Kelemahan umum adalah tak pandai mengendalikan perasaan. Buatlah lawan kacau perhatiannya dan untuk mengacau perhatiannya paling baik membangkitkan amarah di hatinya. Makin marah dia, makin kacau perhatiannya dan makin mudah dicari gerakan-gerakan yang dibuatnya karena terlampau marah dan terburu nafsu hendak menang.
Akal Joko Wandiro itu berhasil. Tentu saja pemuda ini tidaklah sedemikian sombongnya sehingga ia berani memandang rendah kepada Dibyo Mamangkoro. Ia tahu bahwa kakek raksasa ini sakti mandraguna dan digdaya sekali. Mana ia berani memandang rendah? Dibyo Mamangkorolah yang memandang rendah kepada Joko Wandiro. Hal ini tidak aneh. Kakek raksasa ini memang seorang yang sakti pilih tanding. Jarang ia mengalami kekalahan dan hanya oleh Ki Patih Narotama saja ia berkali-kali dikalahkan.
Kini menghadapi seorang pemuda seperti Joko Wandiro tentu saja ia memandang rendah. Betapa takkan memandang rendah kalau diingat bahwa sebelum pemuda itu terlahir di dunia ia sudah menjadi seorang jagoan yang sukar dikalahkan! Inilah kesalahan Dibyo Mamangkoro, juga kesalahan banyak orang-orang pandai. Setelah pandai, mereka mengira bahwa merekalah yang terpandai di jagad raya ini, menjadikan mereka somborg. Dibyo Mamangkoro tidak insyaf bahwa dia kini telah menjadi tua dan menghadapi Joko Wandiro, dalam banyak hal ia kalah oleh pemuda ini. Pertama-tama kalah muda, ke dua kalah tenang, dan ke tiga kalah bersih hatinya.
"Heh, si keparat! Berani engkau memandang rendah kepadaku? Setan alas, rasakan ini!"
Tiba-tiba tubuh Dibyo Mamangkoro berputar-putar dan bagaikan angin puyuh ia menerjang maju. Hebat bukan main gelombang serangan ini. Tubuhnya berputar-putar sehingga kaki tangannya seakan-akan berubah menjadi banyak sekali yang menyerang tubuh Joko Wandiro dari delapan penjuru! Bertubi-tubi datangnya pukulan, tamparan, cengkeraman, dan tendangan yang dilakukan oleh banyak tangan dan kaki itu. Setiap pukulan pasti mengandung tenaga yang dahsyat! Daun-daun kering yang berada di atas tanah terbawa oleh pusingan angin yang diakibatkan tubuh kakek ra ksasa. Yang berputar-putar itu sehingga tubuh keduanya terselimut oleh daun-daun kering dan debu yang membubung ke atas berpusingan!
Hebat bukan main serangan Dibyo Mamangkoro. Namun lebih hebat kegesitan tubuh Joko Wandiro. Tubuh pemuda ini seketika lenyap bagi pandangan Dewi dan adik-adik serta anak buahnya yang menonton dari jauh dengan mata terbelalak dan muka pucat. Tubuh pemuda itu lenyap berubah menjadi bayangan hitam yang berkelebat menyelinap di antara tangan dan kaki yang banyak itu. Sungguh merupakan pemandangan yang bagus, aneh, dan menyeramkan. Pertandingan ini jauh lebih hebat dari pada pertandingan antara Joko Wandiro dan Endang Patibroto.
Kalau dalam pertandingan antara Joko Wandiro dan Endang Patibroto, pemuda ini banyak mengalah, selalu mengelak dan tak pernah membalas dengan sungguh-sungguh, adalah pertandingan sekarang ini dilakukan dengan mati-matian. Keduanya menyerang dengan serangan maut. Juga Joko Wandiro selalu membalas sedapat mungkin dengan pukulan-pukulan ampuh. Namun karena lawannya menggunakan ilmu silat yang liar dan ganas seperti tanpa diatur lagi, ia terdesak dan hanya dapat membalas satu kali untuk penyerangan lima kali.
Makin lama Dibyo Mamangkoro makin penasaran. Sungguh di luar perkiraannya bahwa pemuda ini demikian hebat. Memang ia tahu bahwa murid Narotama ini seorang yang berbakat baik ketika dahulu anak ini mengalahkan Wirokolo, dan ia sudah mengkhawatirkan bahwa muridnya, Endang Patibroto, tentu akan bertemu tanding yang kuat dalam diri anak ini. Akan tetapi siapa kira bahwa dia sendiri setelah mengerahkan tenaga dan kepandaian, setelah lewat seratus jurus lebih, belum juga berhasil merobohkannya. Dengan gerakan marah ia kembali menubruk, kemudian mengirim pukulan disertai pekik dahsyat. Itulah pekik Sardulo Bairowo (Pekik Harimau) yang disertai pukulan mematikan!
Joko Wandiro terkejut. Berbahaya kalau mengelak pukulan ini, karena pukulan ini mengandung hawa yang menghadang semua jalan keluar. Di samping itu, ia harus pula menghadapi getaran hebat dari pekik Sardulo Bairowo. Maka ia pun memekik dengan pengerahan Aji Dirodo Meto, kemudian mengangkat tangannya menangkis pukulan itu. Dua buah tangan yang amat kuat, mendorong ke depan dan dua telapak tangan bertemu di udara!
"Bressss...!"
Kalau tubuh Joko Wandiro yang tampak kecil apabila dibandingkan dengan tubuh lawannya itu terlempar seperti daun kering tertiup angin, hal ini masih tidak mengherankan setelah pertemuan dua tenaga dahsyat itu. Akan tetapi adalah amat aneh melihat tubuh kakek raksasa itupun terlempar seperti layang-layang putus talinya, tidak kalah jauhnya oleh tubuh Joko Wandiro. Benturan tenaga mujijat itu membuat mereka terlempar ke belakang sampai sepuluh meter lebih!
Bukan main marahnya Dibyo Mamangkoro. Ia merangkak bangun, dadanya turun naik, napasnya menggos-menggos seperti kuda habis membalap, matanya jelilatan merah, mulutnya menyeringai dan ada busa put ih di kedua ujungnya. Joko Wandiro juga sudah melompat lagi. Seperti juga lawannya, ia pun tidak terluka, namun terkejut oleh kehebatan hawa pukulan lawan. Kini dengan tenang ia berdiri menentang pandang mata lawannya.
"Bocah keparat, boleh juga kepandaianmu. Akan tetapi kau berhati-hatilah terhadap seranganku kali ini!"
Sambil berkata demikian, Dibyo Mamangkoro menggosok-gosok kedua tangannya dan tampaklah asap tebal mengepul dari gosokan kedua telapak tangan itu. Mula-mula kedua tangan yang besar itu tampak kemerahan sampai ke kuku-kukunya seperti membara, makin lama menjadi makin menghitam dan terasalah hawa panas di sekitar kakek ini. Itulah Aji Wisangnolo yang hebatnya menggila!
Untung bagi Joko Wandiro bahwa dia pernah bertanding melawan Endang Patibroto yang seakan-akan merupakan Dibyo Mamangkoro ke dua. Karena itu maka ia mengenal gerakan-gerakan kakek itu, mengenal pula kehebatan Wisangnolo yang berhawa panas. Ia makin berhati-hati dan diam-diam ia membaca mantera dan mengerahkan aji kesaktian Bojro Dahono ke dalam kedua lengan tangannya. Kemudian, untuk memperlihatkan pada lawan bahwa ia sama sekali tidak takut menghadapi kedua tangan yang mengeluarkan asap tebal itu, Joko Wandiro mendahului lawannya melangkah maju!
Setelah jarak di antara mereka tinggal tiga meter lagi, tiba-tiba Dibyo Mamangkoro mengeluarkan pekik dahsyat Sardulo Bairowo dan tubuhnya mencelat ke atas. Bagaikan terbang saja kakek raksasa ini meloncat tinggi dan dari udara ia menyambar turun sambil menghantamkan kedua tangannya berturut-turut ke arah Joko Wandiro. Pemuda ini merasa betapa hawa panas menyambar ke arahnya. Cepat ia meloncat sambil menangkis. Walau tangan mereka tidak bersentuhan dan tubuh mereka mencelat di udara, namun dalam gerakan ini mereka telah saling tangkis dengan ilmu-ilmu pukulan jarak jauh yang amat berbahaya. Keduanya kini terpelanting dan berjungkir balik sehingga dapat berdiri kembali di atas tanah. Tanpa membuang waktu lagi, keduanya berlomba untuk membalikkan tubuh dan kembali mereka saling serang mati-matian.
Gerakan mereka kini tidak secepat tadi, bahkan amat lambat seperti orang sedang latihan atau sedang menari saja. Tidak pernah kedua tangan itu bersentuhan, namun mereka itu ternyata sedang mengadu kesaktian dengan cara mati-matian. Tentu saja kedua pasang tangan itu tak sempat bersentuhan karena didahului oleh hawa pukulan jarak jauh yang amat kuat. Dibyo Mamangkoro adalah tokoh besar Kerajaan Wengker, sebuah kerajaan yang dirajai oleh manusia siluman, yaitu Prabu Boko yang makanannyapun daging bayi! Tentu saja ilmu kepandaiannya hebat, tergolong seorang datuk kalangan hitam yang memiliki bermacam-macam ilmu kesaktian yang aneh-aneh. Ilmu silatnyapun banyak ragamnya dan kini setelah mendapat kenyataan bahwa lawannya yang muda belia ini ternyata benar-benar sakti mandraguna, Dibyo Mamangkoro menjadi penasaran dan keluarlah semua ajiannya.
Berkali-kali kakek raksasa ini menukar gerakannya dengan bermacam ilmu silat yang aneh-aneh. Ia menang latihan dan menang pengalaman sehingga dengan cara ini ia berhasil membuat Joko Wandiro kebingungan. Selain itu, pengalamannya yang luas itu membuat ia mudah mengenal ilmu orang. Setelah lewat puluhan jurus, kakek itu sudah mengenal inti dari pada Ilmu Silat Bramoro Seto yang dimainkan pemuda itu, maka pada jurus berikutnya setelah ia tahu bagaimana perubahan selanjutnya dari gerakan lawan, kakek ini mendahului dengan sebuah dupakan yang tepat mengenai pundak kiri Joko Wandiro.
"Blekkk...!"
Tubuh Joko Wandiro seperti disambar petir, terputar-putar sampai lima kali baru roboh bergulingan di atas tanah. Dari jauh terdengar jerit-jerit mengerikan dari Dewi dan empat orang adiknya. Mereka ngeri menyaksikan orang yang mereka kasihi itu tertendang sampai berputaran dan bergulingan seperti itu. Akan tetapi mereka tidak jadi lari menghampiri ketika melihat betapa pemuda itu sudah melompat bangun lagi dengan sigapnya.
Pada saat itu, kaki kiri Dibyo Mamangkoro sudah menyusulkan sebuah tendangan lagi ke arah kepala Joko Wandiro yang dimaksudkan sebagai tendangan maut. Joko Wandiro miringkan kepala dan jari tangannya yang terbuka dikipatkan ke arah betis lawan.
"Plakkk...! Auuggghhh...!"
Kakek raksasa itu berjingkrak-jingkrak dengan kaki kanan sambil mengangkat-angkat kaki kiri yang terasa amat nyeri dan panas karena dicium jari-jari tangan yang mengandung Aji Pethit Nogo.
Terdengar sorak-sorai Dewi dan empat orang adiknya, diikuti oleh tiga puluh orang wanita anak buahnya. Dibyo Mamangkoro marah bukan main lalu menubruk maju dan kembali ia mengganti gerakan ilmu siiatnya. Kini ilmu siiatnya itu amat aneh karena ia menyerang sambil menggulingkan tubuh ke atas tanah. Sambil bergulingan ia menerjang, mendekati lawan lalu tiba-tiba dari bawah mengirim pukulan, tendangan, atau cengkeraman. Joko Wandiro kembali dibuat bingung oleh gerakan-gerakan ini.
Terpaksa pemuda ini meloncat ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri tanpa mendapat kesempatan untuk membalas serangan lawan. Ia menanti kesempatan untuk balas menyerang dan ketika ia melihat pada suatu saat kakek itu agak lambat menggulingkan diri, ia segera melangkah maju dan menendang punggung kakek itu. Akan tetapi, siapa duga, gerakan melambat itu adalah sebuah pancingan. Begitu Joko Wandiro menendang, kakek itu tiba-tiba mengulur kedua tangan ke depan dan kaki kanan pemuda yang menendang itu telah tertangkap oleh tangan kiri Dibyo Mamangkoro dan sebelum pemuda itu lenyap kagetnya, kaki kirinya sudah ditangkap pula oleh tangan kanan!
"Hua-ha-ha-ha, kubeset kau menjadi dua potong" kakek itu yang masih rebah di atas tanah tertawa sambil mengerahkan tenaga pada kedua lengannya.
Tentu saja Joko Wandiro tidak sudi tubuhnya dirobek menjadi dua seperti orang merobek kedua paha ayam saja. Ia pun mengerahkan seluruh tenaga dan mempertahankan kedua kakinya. Celaka baginya, kakek yang amat licik itu tiba-tiba menyentakkan kakinya. Tidak dapat ditahan iagi, tergulinglah Joko Wandiro dengan kedua kaki masih dipegangi lawan! Saat itulah yang amat berbahaya karena kalau tidak kuat-kuat ia mempertahankan tubuhnya tentu akan benar-benar robek menjadi dua! Ia sudah merasa sakit pada selangkangannya, maka cepat-cepat tangannya meraih ke pinggang dan ia sudah mencabut keris pusaka Megantoro, keris lekuk tujuh yang ia dapat dari gurunya, Ki Patih Narotama. Ia menekuk pinggangnya dan keris itu ia ayun ke arah kedua tangan lawan yang masih memegangi kaki.
"Heehhhhh...!"
Dibyo Mamangkoro menggereng dan cepat melepaskan pegangannya sambil melompat bangun. Kembali mereka sudah saling berhadapan. Dibyo Mamangkoro penuh peluh leher dan mukanya. Joko Wandiro agak pucat, dan basah dahinya. Kedua kakinya terasa nyeri dan perih. Biarpun ia sudah berhasil menyelamatkan diri, namun pergelangan kedua kakinya yang tadi kena dicengkeram oleh dua tangan yang mengandung Aji Wisangnolo, kini menjadi merah seperti terbakar!
"Huah-ha-ha! Engkau kewalahan dan memegang pusaka?" Raksasa itu mengejek.
"Engkau memang digdaya, Mamangkoro. Akan tetapi aku masih belum kalah. Keluarkanlah senjatamu dan mari kita lanjutkan!" jawab Joko Wandiro dengan sikap tenang dan pandang mata
penuh keberanian.
Dibyo Mamangkoro menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepalanya. "Hebat! Baru ini seumur hidupku bertemu tanding seorang muda begini hebat. Kalau aku kalah oleh seorang muda seperti engkau, Joko Wandiro, agaknya memang sudah sepatutnya aku lenyap dari permukaan bumi ini."
Setelah berkata demikian, kedua tangannya meraba pinggang dan di lain saat kedua tangannya sudah memegang sepasang tombak pendek yang dipegang pada tengah-tengahnya. Tombak pendek yang mempunyai dua mata di depan dan belakang itu kini diputar-putar di kedua tangannya dan ia menerjang maju sambil mengeluarkan pekik dahsyat.
Joko Wandiro cepat mengelak dan keris pusaka di tangannya meluncur maju mencari sasaran melalui bawah tangan lawan yang menyambar. Setelah digembleng oleh Ki Tejoranu, tangan pemuda itu amat gapah mainkan senjata. Senjata keris Megantoro adalah senjata pusaka pemberian Ki Patih Narotama, tentu saja ampuh sekali. Namun menghadapi sepasang tombak pendek yang dimainkan secara hebat luar biasa itu, sebentar saja Joko Wandiro sudah terdesak hebat! Ia kini hanya dapat menangkis dan mengelak saja, dicecer terus secara bertubi-tubi oleh lawannya.
Di dalam hati ia sudah khawatir karena maklum bahwa dalam hal ilmu silat maupun tenaga, ia masih kalah seusap oleh jagoan tua ini. Ia hanya mengharapkan menang napas dan menang daya tahan. Akan tetapi kalau ia teringat akan cerita bahwa dahulu Dibyo Mamangkoro sanggup melayani gurunya, Ki Patih Narotama sampai dua hari dua malam dalam pertandingan mati- matian, ia menjadi bimbang ragu. Mungkinkah ia dapat menang dalam hal keuletan?
Mereka sudah bertanding selama tiga jam lebih. Kini Dibyo Mamangkoro yang makin bernafsu mengakhiri pertandingan dengan kemenangan di pihaknya, terus-menerus menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga. Napasnya mendengus-dengus, peluhnya memercik ke sana ke mari dan mulailah Joko Wandiro melihat hal yang melegakan hatinya. Gerakan kakek itu mulai gemetar dan angin pukulannya tidaklah sehebat tadi. Jelas bahwa kakek itu mulai berkurang tenaganya, mulai lelah dan kehabisan napas!
Akan tetapi, dasar ia masih muda, dalam kegirangannya Joko Wandiro lupa bahwa perasaan ini juga merupakan pantangan dalam ilmu bertanding. Tidak hanya kemarahan yang membikin kacau perhatian, juga rasa girang akan mendapatkan kemenangan ini membuat ia kurang waspada. Maka kagetlah ia ketika kerisnya menangkis tombak kiri lawan yang menusuk perutnya, tombak kanan lawan tahu-tahu sudah menyambar dada! Ia tahu bahwa ia telah membuat kesalahan.
Tidak seharusnya ia menangkis tombak kiri yang merupakan serangan pembuka. Serangan pembuka harus dielakkan dan barulah serangan penutup kalau perlu boleh ditangkis. Ia telah lupa dan menangkis serangan pembuka sehingga ketika serangan penutup menyusul ke arah dada, ia menjadi bingung. Cepat ia miringkan tubuhnya, namun kurang cepat!
"Desss...!"
Pundak kirinya dihajar mata tombak lawan. Biarpun ia sudah menyalurkan tenaga dalam ke arah pundak, tetap saja baju berikut kulit dan dagingnya robek, tulang pundaknya retak! Tubuhnya terguling dan terdengar ia mengeluh.
"Huah-ha-ha-ha! Hanya sekian saja kepandaianmu? Ha-haha, bersiaplah untuk mati di tangan Dibyo Mamangkoro, hehheh-heh. Joko Wandiro, engkau tidak malu mati dan kalah oleh Dibyo Mamangkoro karena telah melakukan perlawanan yang mengagumkan!"
Setelah berkata demikian, Dibyo Mamangkoro memutar-mutar kedua tombak pendeknya dan melangkah lebar ke depan.
Akan tetapi Joko Wandiro sudah bangun kembali. Pundak kirinya sakit bukan main, lengan kirinya lumpuh tak dapat digerakkan, akan tetapi tangan kanannya masih menggenggam gagang Megantoro erat-erat. Tiba-tiba pemuda ini membelalakkan mata, memandang lawan penuh wibawa. Kaki kanannya menggedrug (menjejak) tanah tiga kali dan terdengar suaranya berpengaruh,
"Apa engkau bilang, Dibyo Mamangkoro? Engkau dapat mengalahkan AKU? Engkau akan dapat membunuh AKU? Hemm, engkau kira siapakah kau ini, Mamangkoro, maka akan dapat membunuh AKU? Buka matamu, pandanglah AKU baik-baik, Mamangkoro. Lihat siapa AKU ini, dan kalau engkau berani, cobalah engkau melawan AKU!"
Luar biasa sekali akibatnya. Dibyo Mamangkoro tiba-tiba terbelalak, matanya melotot dan mulutnya ternganga, mukanya pucat sekali, tubuhnya menggigil. Dalam pandang matanya, ia melihat Joko Wandiro telah berubah menjadi raksasa yang besar sekali, mengerikan dengan muka yang tak terhitung banyaknya, dengan mulut dan mata yang menyemburkan api, dengan tangan yang tak terhitung banyaknya memegang segala macam senjata yang ada di mayapada ini!
Joko Wandiro melangkah maju, keris di tangannya bergerak dua kali ke depan. Dibyo Mamangkoro berusaha menangkis, namun dengan putaran pergelangan yang amat cepat, keris itu menyelinap dan menusuk lengan kakek raksasa itu. Dua kali tusukan tepat mengenai kedua lengan dan terlepaslah tombak-tombak pendek itu dari kedua tangan Dibyo Mamangkoro.
Pada saat itu, kakek raksasa yang sakti mandraguna ini sudah dapat menguasai dirinya kembali. Ia tadi telah terpengaruh oleh aji kesaktian yang mujijat, yang terpaksa dipergunakan oleh Joko Wandiro untuk menolong dirinya. Itulah aji kesaktian Triwikrama dari mendiang Sang Prabu Airlangga atau Sang Resi Gentayu! Akan tetapi karena kurang latihan dan kurang pengalaman, pengaruhnya hanya sebentar saja terhadap seorang sakti seperti Dibyo Mamangkoro.
Dengan lengking panjang macam lengking iblis, Dibyo Mamangkoro yang bertangan kosong itu sudah melompat ke depan, menubruk Joko Wandiro dengan kemarahan meluap-luap. Kedua lengannya terluka oleh keris pusaka, namun tidak mengurangi tenaganya. Hebat bukan main terkaman ini sehingga Joko Wandiro tak sempat mengelak sama sekali. Tahu-tahu kedua tangan raksasa itu, dengan jari-jari tangan yang besar-besar lagi kuat, sudah mencekik lehernya!
Joko Wandiro terguling roboh, tertindih oleh tubuh kakek raksasa itu yang terus mencekik sekuat tenaga. Joko Wandiro mengerahkan tenaga menjaga leher, kemudian tangan kanannya bergerak menusuk dalam keadaan setengah sadar karena cekikan itu benar-benar telah menghentikan jalan darahnya ke kepala. Tiga kali ia menusuk dalam-dalam, dan tusukan yang ketiga kalinya tak dapat diulangi lagi karena kerisnya tertinggal di dalam rongga dada Dibyo Mamangkoro, tinggal gagangnya saja sedangkan Joko Wandiro sendiri juga sudah pingsan.....!
Joko Wandiro mendengar suara menggereng hebat dan tahu-tahu tubuhnya terlempar ke depan. Untung ia masih belum pingsan sehingga ia dapat cepat mematahkan tenaga lontaran itu dengan berjungkir balik beberapa kali. Namun tetap saja ia terbanting, sungguhpun tidak terlalu keras. Ketika ia meloncat bangun, mengatur pernapasan memulihkan tenaga dan memandang ke depan, ia melihat Dibyo Mamangkoro berdiri dengan mata terbelalak marah sambil memaki-maki Dewi dan ke empat orang adiknya. Ia merasa bersyukur sekali dan mau rasanya ia memberi hadiah ciuman seorang tiga kali kepada lima orang dara yang telah menyelamatkan nyawanya itu!
Memang sesungguhnyalah bahwa mati hidup seorang manusia seluruhnya berada di tangan Hyang Maha Wisesa. Jika belum dikehendakiNya, banyak jalan untuk menolong seseorang dari pada marabahaya. Secara kebetulan sekali, ketika Joko Wandiro menggunakan usaha terakhir membebaskan diri tadi, muncul Dewi dan empat orang adiknya yang datang berlari-lari setelah mendapat pelaporan seorang anak buah mereka yang menyaksikan betapa Joko Wandiro terancam maut di tangan Dibyo Mamangkoro.
Anak buah itu tentu saja tak berani bergerak karena Dibyo Mamangkoro adalah terhitung kakek Dewi. Dibyo Mamangkoro adalah paman dari ayah Dewi dan biarpun amat jarang, pernah beberapa kali mengunjungi cucunya di Anjasmoro maka dikenal pula oleh anak buah Dewi. Melihat betapa Joko Wandiro terancam bahaya maut, serentak Dewi dan empat orang adiknya datang menolong. Dewilah yang tadi berteriak menegur eyangnya, dan mereka berlima tadi sudah maju dan memukul ke arah punggung Dibyo Mamangkoro!
Tentu saja pukulan-pukulan lima orang gadis itu tidak terlalu hebat bagi Dibyo Mamangkoro. Akan tetapi pada saat itu Joko Wandro telah mencengkeram siku kanan dan pusat kekuatan tangan kirinya. Karena kedua serangan yang secara kebetulan dating berbareng inilah yang membuat Dibyo Mamangkoro terpaksa melemparkan tubuh Joko Wandiro ke depan, Andai kata lima orang gadis itu tidak menyerang di saat itu, jangan harap cengkeraman Joko Wandiro akan dapat membebaskan dirinya karena selain tenaga pemuda ini sudah mulai lemah, juga lawannya tentu akan dapat mengubah posisi. Juga, andai kata Joko Wandiro tidak sedang mencengkeramnya di saat lima orang gadis itu menyerang, tentu serangan dari belakang itu tidak akan dirasanya, bahkan dengan mudah, menggunakan kedua kakinya kakek raksasa ini akan dapat menghalau lima gadis itu. Memang segalanya tiba secara kebetulan dan seperti sudah diatur sebelumnya sehingga hasilnya menyelamatkan Joko Wandiro!
"Setan cilik! Kucing betina! Berani engkau menyerang eyangmu dan menolong musuh?"
"Eyang, dia junjungan kami! Tidak boleh kaubunuh dia!" Dewi membantah sambil mengangkat dadanya yang membusung, penuh tantangan.
"Bocah goblok! Tidak tahukah kau siapa dia itu? Dia itu murid Ki Patih Narotama, musuh gerotan kita!"
"Tidak, eyang. Dia sudah menjadi pemimpin kami, sudah kami serahkan jiwa raga kami kepadanya." kata pula Dewi.
"Bedebah! Kau berani berkhianat? Kalau begitu lebih dulu kalian akan kubunuh!"
Dengan kemarahan meluap-luap Dibyo Mamangkoro mengangkat tangan kanan ke atas dan menghantam ke arah Dewi dan empat orang adiknya dengan pukulan jarak jauh yang ampuh. Ia terlalu memandang rendah kepada cucunya maka ia hanya menggunakan sebagian kecil tenaga dalamnya. Terdengar suara angin bersiutan menyambar ke arah Dewi dan empat orang adiknya. Namun lima orang gadis itu sudah terlatih baik dan keistimewaan mereka adalah gerakan yang amat cekatan. Mereka menjerit nyaring saking ngeri dan kaget, namun loncatan mereka berhasil menyelamatkan diri mereka dari pada sambaran angin pukulan dahsyat itu.
"Krakkkk... brruuukkkk...!"
Sebatang pohon sebesar manusia yang mewakili mereka, terkena pukulan itu seperti disambar petir, tumbang seketika? Lima orang gadis itu menjadi pucat mukanya. Di lain fihak, muka Dibyo Mamangkoro menjadi merah sekali saking penasaran dan marah melihat pukulannya hanya menumbangkan pohon. Ia melangkah tiga tindak ke depan hendak memukul lagi dengan tenaga penuh akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan dan tahu-tahu Joko Wandiro sudah berada di depannya!
"Dibyo Mamangkoro. Lawanmu adalah aku, Joko Wandiro. Bukan segala bocah perawan yang lemah! Dewi, kau dan adik-adikmu menyingkirlah jauh-jauh dan kalian tonton saja betapa pemimpin kalian merobohkan manusia iblis yang kejam ini!"
Karena amat taat kepada Joko Wandiro, biarpun di dalam hati merasa amat gelisah karena maklum betapa sakti mandraguna eyangnya itu, Dewi mengajak empat orang adiknya menjauhkan diri dan menonton dari jauh dengan jantung berdebar. Mereka diam-diam memberi isyarat kepada semua anak buah mereka, yaitu apabila Joko Wandiro roboh binasa, mereka semua, tiga puluh lima orang wanita banyaknya, akan nekat mengeroyok Dibyo Mamangkoro dan kalau perlu ikut mati bersama pemimpin mereka yang tercinta!
Dibyo Mamangkoro merasa betapa dadanya seperti akan meledak saking marahnya. Ia harus mengakui bahwa setelah berkali-kali mencoba, belum pernah ia dapat mengatasi kesaktian Ki Patih Narotama. Akan tetapi kini ia hanya berhadapan dengan muridnya, seorang bocah yang baru berusia dua puluhan tahun! Dan bocah ini sudah berani menentangnya dengan kata-kata yang diang gapnya sombong.
"Babo-babo...! Joko Wandiro, sumbarmu menunjukkan bahwa engkau tentulah murid terkasih Narotama yang sudah mewarisi semua aji kesaktiannya. Bagus! Dengan membunuhmu, sama halnya dengan membunuh Narotama sendiri. Akan puaslah hatiku, tertebus sebagian dari pada dendamku kepadanya. Huah-ha-ha-ha!"
Tubuh yang tinggi besar itu bergoyang-goyang, kepalanya menengadah dan dalam keadaan begini, siapa mengira bahwa raksasa tua ini siap menyerang? Di sinilah terletak kelicikan dan kecerdikannya. Joko Wandiro juga tidak mengira bahwa lawannya ini sudah siap bertempur maka ia pun belum berjaga-jaga. Namun tahu-tahu, dengan suara ketawanya masih menderu, kakek raksasa itu sudah mencelat ke depan dan mengirim pukulan yang hebat bukan main ke arah dada Joko Wandiro!
"Werrr... dessss...!"
Bukan main hebatnya pertemuan kedua lengan ini. Pukulan yang mengandung tenaga dalam yang amat tinggi, datangnya tidak tersangka-sangka, sungguhpun dapat ditangkis oleh Joko Wandiro, namun tangkisan itu kurang tenaga. Akibatnya tubuh Joko Wandiro mencelat sampai lima meter lebih dan baru berhenti ketika menabrak pohon waru yang menjadi patah seketika!
"Huah-ha-ha-ha! Hanya sebegitu saja kedigdayaanmu bocah sombong? Ha-ha-ha-ha! Bersiaplah untuk mampus!"
Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak sambil melangkah lebar menghampiri Joko Wandiro yang biarpun tidak terluka namun agak pening dan kini merangkak bangun sambil menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningannya.
"Iblis curang, majulah!"
la menantang, kini waspada dan hati-hati. la tenang saja karena pertemuan tenaga tadi melegakan hatinya. Biarpun hebat tenaga kakek raksasa ini, namun kiranya ia akan dapat menandinginya. Dari gurunya ia maklum bahwa tenaga sakti timbul dari hawa yang murni di dalam tubuh. Hawa murni hanya dapat dihimpun oleh mereka yang hati dan pikirannya bersih, yang tidak menjadi abdi nafsu. Orang yang menyeleweng hidupnya seperti Dibyo Mamangkoro, hanya dapat memperkuat tenaga saktinya dengan ilmu hitam, namun hawa murni di tubuh makin mengurang dan lemah. Karena inilah, benturan tenaga tadi membuat Joko Wandiro tenang. Akan tetapi, seujung rambutpun ia tidak berani memandang rendah lawannya dan tetap bersikap waspada dan hati-hati.
"Hua-ha-ha, terimalah ini!"
Dibyo Mamangkoro menyeruduk lagi seperti lagak seekor gajah mengamuk. Kedua lengannya yang besar dikembangkan dan kedua kepalan tangannya yang hampir menyamai kepala Joko Wandiro besarnya, menyambar dari kanan kiri, yang kanan menghantam pelipis pemuda itu, yang kiri mencengkeram ke arah lambung. Dua serangan sekaligus yang amat keji dan berbahaya. Satu saja di antara dua tangan itu mengenai sasaran, akan celakalah Joko Wandiro!
Namun kini Joko Wandiro sudah siap siaga. Ia sudah mengisi tubuhnya dengan Aji Bayu Sakti sehingga kedua kakinya seakan-akan dipasangi per yang kuat. Melihat datangnya pukulan, ia mengelak dengan lincah dan mudah sehingga dua tangan raksasa itu hanya mengenai tempat kosong. Namun harus diakui bahwa kakek raksasa yang tinggi besar itu tidak selamban gajah gerakannya, melainkan setangkas harimau kelaparan.
Begitu serangannya gagal oleh elakan lawan yang melompat ke kiri, ia sudah menubruk lagi ke kiri dengan kedua tangan terbuka jari-jarinya seperti cakar burung elang menyambar anak ayam. Sampai bersuitan menyakitkan telinga bunyi angin serangan kedua tangan ini sehingga dapat dibayangkan betapa dahsyatnya kalau mengenai sasaran. Serangan susulan ini harus diakui amat cepat. Joko Wandiro sendiri menjadi kagum karena memang di luar persangkaan orang betapa tubuh yang tinggi besar ini dapat bergerak secepat dan selincah itu.
Karena baru saja kedua kaki Joko Wandiro hinggap di atas tanah ketika melompat menghindarkan diri dari serangan pertama tadi, kini menghadapi serangan ke dua, Joko Wandiro sudah roenggulingkan tubuh ke kanan dan dengan jalan ini, kembali terkaman Dibyo Mamangkoro hanya membuat tanah beterbangan. Joko Wandiro sengaja tersenyum-senyum mengejek.
"Hanya sebegitu sajakah hebatnya seranganmu, Dibyo Mamangkoro?"
Sikap ini merupakan siasat pertempuran yang ia pelajari dahulu dari Ki Tejoranu. Menghadapi lawan tangguh, paling penting harus mencari titik kelemahannya, demikian Ki Tejoranu memberi nasehat. Dan sebagian besar orang sakti, tentu memiliki kelemahan masing-masing. Kelemahan umum adalah tak pandai mengendalikan perasaan. Buatlah lawan kacau perhatiannya dan untuk mengacau perhatiannya paling baik membangkitkan amarah di hatinya. Makin marah dia, makin kacau perhatiannya dan makin mudah dicari gerakan-gerakan yang dibuatnya karena terlampau marah dan terburu nafsu hendak menang.
Akal Joko Wandiro itu berhasil. Tentu saja pemuda ini tidaklah sedemikian sombongnya sehingga ia berani memandang rendah kepada Dibyo Mamangkoro. Ia tahu bahwa kakek raksasa ini sakti mandraguna dan digdaya sekali. Mana ia berani memandang rendah? Dibyo Mamangkorolah yang memandang rendah kepada Joko Wandiro. Hal ini tidak aneh. Kakek raksasa ini memang seorang yang sakti pilih tanding. Jarang ia mengalami kekalahan dan hanya oleh Ki Patih Narotama saja ia berkali-kali dikalahkan.
Kini menghadapi seorang pemuda seperti Joko Wandiro tentu saja ia memandang rendah. Betapa takkan memandang rendah kalau diingat bahwa sebelum pemuda itu terlahir di dunia ia sudah menjadi seorang jagoan yang sukar dikalahkan! Inilah kesalahan Dibyo Mamangkoro, juga kesalahan banyak orang-orang pandai. Setelah pandai, mereka mengira bahwa merekalah yang terpandai di jagad raya ini, menjadikan mereka somborg. Dibyo Mamangkoro tidak insyaf bahwa dia kini telah menjadi tua dan menghadapi Joko Wandiro, dalam banyak hal ia kalah oleh pemuda ini. Pertama-tama kalah muda, ke dua kalah tenang, dan ke tiga kalah bersih hatinya.
"Heh, si keparat! Berani engkau memandang rendah kepadaku? Setan alas, rasakan ini!"
Tiba-tiba tubuh Dibyo Mamangkoro berputar-putar dan bagaikan angin puyuh ia menerjang maju. Hebat bukan main gelombang serangan ini. Tubuhnya berputar-putar sehingga kaki tangannya seakan-akan berubah menjadi banyak sekali yang menyerang tubuh Joko Wandiro dari delapan penjuru! Bertubi-tubi datangnya pukulan, tamparan, cengkeraman, dan tendangan yang dilakukan oleh banyak tangan dan kaki itu. Setiap pukulan pasti mengandung tenaga yang dahsyat! Daun-daun kering yang berada di atas tanah terbawa oleh pusingan angin yang diakibatkan tubuh kakek ra ksasa. Yang berputar-putar itu sehingga tubuh keduanya terselimut oleh daun-daun kering dan debu yang membubung ke atas berpusingan!
Hebat bukan main serangan Dibyo Mamangkoro. Namun lebih hebat kegesitan tubuh Joko Wandiro. Tubuh pemuda ini seketika lenyap bagi pandangan Dewi dan adik-adik serta anak buahnya yang menonton dari jauh dengan mata terbelalak dan muka pucat. Tubuh pemuda itu lenyap berubah menjadi bayangan hitam yang berkelebat menyelinap di antara tangan dan kaki yang banyak itu. Sungguh merupakan pemandangan yang bagus, aneh, dan menyeramkan. Pertandingan ini jauh lebih hebat dari pada pertandingan antara Joko Wandiro dan Endang Patibroto.
Kalau dalam pertandingan antara Joko Wandiro dan Endang Patibroto, pemuda ini banyak mengalah, selalu mengelak dan tak pernah membalas dengan sungguh-sungguh, adalah pertandingan sekarang ini dilakukan dengan mati-matian. Keduanya menyerang dengan serangan maut. Juga Joko Wandiro selalu membalas sedapat mungkin dengan pukulan-pukulan ampuh. Namun karena lawannya menggunakan ilmu silat yang liar dan ganas seperti tanpa diatur lagi, ia terdesak dan hanya dapat membalas satu kali untuk penyerangan lima kali.
Makin lama Dibyo Mamangkoro makin penasaran. Sungguh di luar perkiraannya bahwa pemuda ini demikian hebat. Memang ia tahu bahwa murid Narotama ini seorang yang berbakat baik ketika dahulu anak ini mengalahkan Wirokolo, dan ia sudah mengkhawatirkan bahwa muridnya, Endang Patibroto, tentu akan bertemu tanding yang kuat dalam diri anak ini. Akan tetapi siapa kira bahwa dia sendiri setelah mengerahkan tenaga dan kepandaian, setelah lewat seratus jurus lebih, belum juga berhasil merobohkannya. Dengan gerakan marah ia kembali menubruk, kemudian mengirim pukulan disertai pekik dahsyat. Itulah pekik Sardulo Bairowo (Pekik Harimau) yang disertai pukulan mematikan!
Joko Wandiro terkejut. Berbahaya kalau mengelak pukulan ini, karena pukulan ini mengandung hawa yang menghadang semua jalan keluar. Di samping itu, ia harus pula menghadapi getaran hebat dari pekik Sardulo Bairowo. Maka ia pun memekik dengan pengerahan Aji Dirodo Meto, kemudian mengangkat tangannya menangkis pukulan itu. Dua buah tangan yang amat kuat, mendorong ke depan dan dua telapak tangan bertemu di udara!
"Bressss...!"
Kalau tubuh Joko Wandiro yang tampak kecil apabila dibandingkan dengan tubuh lawannya itu terlempar seperti daun kering tertiup angin, hal ini masih tidak mengherankan setelah pertemuan dua tenaga dahsyat itu. Akan tetapi adalah amat aneh melihat tubuh kakek raksasa itupun terlempar seperti layang-layang putus talinya, tidak kalah jauhnya oleh tubuh Joko Wandiro. Benturan tenaga mujijat itu membuat mereka terlempar ke belakang sampai sepuluh meter lebih!
Bukan main marahnya Dibyo Mamangkoro. Ia merangkak bangun, dadanya turun naik, napasnya menggos-menggos seperti kuda habis membalap, matanya jelilatan merah, mulutnya menyeringai dan ada busa put ih di kedua ujungnya. Joko Wandiro juga sudah melompat lagi. Seperti juga lawannya, ia pun tidak terluka, namun terkejut oleh kehebatan hawa pukulan lawan. Kini dengan tenang ia berdiri menentang pandang mata lawannya.
"Bocah keparat, boleh juga kepandaianmu. Akan tetapi kau berhati-hatilah terhadap seranganku kali ini!"
Sambil berkata demikian, Dibyo Mamangkoro menggosok-gosok kedua tangannya dan tampaklah asap tebal mengepul dari gosokan kedua telapak tangan itu. Mula-mula kedua tangan yang besar itu tampak kemerahan sampai ke kuku-kukunya seperti membara, makin lama menjadi makin menghitam dan terasalah hawa panas di sekitar kakek ini. Itulah Aji Wisangnolo yang hebatnya menggila!
Untung bagi Joko Wandiro bahwa dia pernah bertanding melawan Endang Patibroto yang seakan-akan merupakan Dibyo Mamangkoro ke dua. Karena itu maka ia mengenal gerakan-gerakan kakek itu, mengenal pula kehebatan Wisangnolo yang berhawa panas. Ia makin berhati-hati dan diam-diam ia membaca mantera dan mengerahkan aji kesaktian Bojro Dahono ke dalam kedua lengan tangannya. Kemudian, untuk memperlihatkan pada lawan bahwa ia sama sekali tidak takut menghadapi kedua tangan yang mengeluarkan asap tebal itu, Joko Wandiro mendahului lawannya melangkah maju!
Setelah jarak di antara mereka tinggal tiga meter lagi, tiba-tiba Dibyo Mamangkoro mengeluarkan pekik dahsyat Sardulo Bairowo dan tubuhnya mencelat ke atas. Bagaikan terbang saja kakek raksasa ini meloncat tinggi dan dari udara ia menyambar turun sambil menghantamkan kedua tangannya berturut-turut ke arah Joko Wandiro. Pemuda ini merasa betapa hawa panas menyambar ke arahnya. Cepat ia meloncat sambil menangkis. Walau tangan mereka tidak bersentuhan dan tubuh mereka mencelat di udara, namun dalam gerakan ini mereka telah saling tangkis dengan ilmu-ilmu pukulan jarak jauh yang amat berbahaya. Keduanya kini terpelanting dan berjungkir balik sehingga dapat berdiri kembali di atas tanah. Tanpa membuang waktu lagi, keduanya berlomba untuk membalikkan tubuh dan kembali mereka saling serang mati-matian.
Gerakan mereka kini tidak secepat tadi, bahkan amat lambat seperti orang sedang latihan atau sedang menari saja. Tidak pernah kedua tangan itu bersentuhan, namun mereka itu ternyata sedang mengadu kesaktian dengan cara mati-matian. Tentu saja kedua pasang tangan itu tak sempat bersentuhan karena didahului oleh hawa pukulan jarak jauh yang amat kuat. Dibyo Mamangkoro adalah tokoh besar Kerajaan Wengker, sebuah kerajaan yang dirajai oleh manusia siluman, yaitu Prabu Boko yang makanannyapun daging bayi! Tentu saja ilmu kepandaiannya hebat, tergolong seorang datuk kalangan hitam yang memiliki bermacam-macam ilmu kesaktian yang aneh-aneh. Ilmu silatnyapun banyak ragamnya dan kini setelah mendapat kenyataan bahwa lawannya yang muda belia ini ternyata benar-benar sakti mandraguna, Dibyo Mamangkoro menjadi penasaran dan keluarlah semua ajiannya.
Berkali-kali kakek raksasa ini menukar gerakannya dengan bermacam ilmu silat yang aneh-aneh. Ia menang latihan dan menang pengalaman sehingga dengan cara ini ia berhasil membuat Joko Wandiro kebingungan. Selain itu, pengalamannya yang luas itu membuat ia mudah mengenal ilmu orang. Setelah lewat puluhan jurus, kakek itu sudah mengenal inti dari pada Ilmu Silat Bramoro Seto yang dimainkan pemuda itu, maka pada jurus berikutnya setelah ia tahu bagaimana perubahan selanjutnya dari gerakan lawan, kakek ini mendahului dengan sebuah dupakan yang tepat mengenai pundak kiri Joko Wandiro.
"Blekkk...!"
Tubuh Joko Wandiro seperti disambar petir, terputar-putar sampai lima kali baru roboh bergulingan di atas tanah. Dari jauh terdengar jerit-jerit mengerikan dari Dewi dan empat orang adiknya. Mereka ngeri menyaksikan orang yang mereka kasihi itu tertendang sampai berputaran dan bergulingan seperti itu. Akan tetapi mereka tidak jadi lari menghampiri ketika melihat betapa pemuda itu sudah melompat bangun lagi dengan sigapnya.
Pada saat itu, kaki kiri Dibyo Mamangkoro sudah menyusulkan sebuah tendangan lagi ke arah kepala Joko Wandiro yang dimaksudkan sebagai tendangan maut. Joko Wandiro miringkan kepala dan jari tangannya yang terbuka dikipatkan ke arah betis lawan.
"Plakkk...! Auuggghhh...!"
Kakek raksasa itu berjingkrak-jingkrak dengan kaki kanan sambil mengangkat-angkat kaki kiri yang terasa amat nyeri dan panas karena dicium jari-jari tangan yang mengandung Aji Pethit Nogo.
Terdengar sorak-sorai Dewi dan empat orang adiknya, diikuti oleh tiga puluh orang wanita anak buahnya. Dibyo Mamangkoro marah bukan main lalu menubruk maju dan kembali ia mengganti gerakan ilmu siiatnya. Kini ilmu siiatnya itu amat aneh karena ia menyerang sambil menggulingkan tubuh ke atas tanah. Sambil bergulingan ia menerjang, mendekati lawan lalu tiba-tiba dari bawah mengirim pukulan, tendangan, atau cengkeraman. Joko Wandiro kembali dibuat bingung oleh gerakan-gerakan ini.
Terpaksa pemuda ini meloncat ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri tanpa mendapat kesempatan untuk membalas serangan lawan. Ia menanti kesempatan untuk balas menyerang dan ketika ia melihat pada suatu saat kakek itu agak lambat menggulingkan diri, ia segera melangkah maju dan menendang punggung kakek itu. Akan tetapi, siapa duga, gerakan melambat itu adalah sebuah pancingan. Begitu Joko Wandiro menendang, kakek itu tiba-tiba mengulur kedua tangan ke depan dan kaki kanan pemuda yang menendang itu telah tertangkap oleh tangan kiri Dibyo Mamangkoro dan sebelum pemuda itu lenyap kagetnya, kaki kirinya sudah ditangkap pula oleh tangan kanan!
"Hua-ha-ha-ha, kubeset kau menjadi dua potong" kakek itu yang masih rebah di atas tanah tertawa sambil mengerahkan tenaga pada kedua lengannya.
Tentu saja Joko Wandiro tidak sudi tubuhnya dirobek menjadi dua seperti orang merobek kedua paha ayam saja. Ia pun mengerahkan seluruh tenaga dan mempertahankan kedua kakinya. Celaka baginya, kakek yang amat licik itu tiba-tiba menyentakkan kakinya. Tidak dapat ditahan iagi, tergulinglah Joko Wandiro dengan kedua kaki masih dipegangi lawan! Saat itulah yang amat berbahaya karena kalau tidak kuat-kuat ia mempertahankan tubuhnya tentu akan benar-benar robek menjadi dua! Ia sudah merasa sakit pada selangkangannya, maka cepat-cepat tangannya meraih ke pinggang dan ia sudah mencabut keris pusaka Megantoro, keris lekuk tujuh yang ia dapat dari gurunya, Ki Patih Narotama. Ia menekuk pinggangnya dan keris itu ia ayun ke arah kedua tangan lawan yang masih memegangi kaki.
"Heehhhhh...!"
Dibyo Mamangkoro menggereng dan cepat melepaskan pegangannya sambil melompat bangun. Kembali mereka sudah saling berhadapan. Dibyo Mamangkoro penuh peluh leher dan mukanya. Joko Wandiro agak pucat, dan basah dahinya. Kedua kakinya terasa nyeri dan perih. Biarpun ia sudah berhasil menyelamatkan diri, namun pergelangan kedua kakinya yang tadi kena dicengkeram oleh dua tangan yang mengandung Aji Wisangnolo, kini menjadi merah seperti terbakar!
"Huah-ha-ha! Engkau kewalahan dan memegang pusaka?" Raksasa itu mengejek.
"Engkau memang digdaya, Mamangkoro. Akan tetapi aku masih belum kalah. Keluarkanlah senjatamu dan mari kita lanjutkan!" jawab Joko Wandiro dengan sikap tenang dan pandang mata
penuh keberanian.
Dibyo Mamangkoro menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepalanya. "Hebat! Baru ini seumur hidupku bertemu tanding seorang muda begini hebat. Kalau aku kalah oleh seorang muda seperti engkau, Joko Wandiro, agaknya memang sudah sepatutnya aku lenyap dari permukaan bumi ini."
Setelah berkata demikian, kedua tangannya meraba pinggang dan di lain saat kedua tangannya sudah memegang sepasang tombak pendek yang dipegang pada tengah-tengahnya. Tombak pendek yang mempunyai dua mata di depan dan belakang itu kini diputar-putar di kedua tangannya dan ia menerjang maju sambil mengeluarkan pekik dahsyat.
Joko Wandiro cepat mengelak dan keris pusaka di tangannya meluncur maju mencari sasaran melalui bawah tangan lawan yang menyambar. Setelah digembleng oleh Ki Tejoranu, tangan pemuda itu amat gapah mainkan senjata. Senjata keris Megantoro adalah senjata pusaka pemberian Ki Patih Narotama, tentu saja ampuh sekali. Namun menghadapi sepasang tombak pendek yang dimainkan secara hebat luar biasa itu, sebentar saja Joko Wandiro sudah terdesak hebat! Ia kini hanya dapat menangkis dan mengelak saja, dicecer terus secara bertubi-tubi oleh lawannya.
Di dalam hati ia sudah khawatir karena maklum bahwa dalam hal ilmu silat maupun tenaga, ia masih kalah seusap oleh jagoan tua ini. Ia hanya mengharapkan menang napas dan menang daya tahan. Akan tetapi kalau ia teringat akan cerita bahwa dahulu Dibyo Mamangkoro sanggup melayani gurunya, Ki Patih Narotama sampai dua hari dua malam dalam pertandingan mati- matian, ia menjadi bimbang ragu. Mungkinkah ia dapat menang dalam hal keuletan?
Mereka sudah bertanding selama tiga jam lebih. Kini Dibyo Mamangkoro yang makin bernafsu mengakhiri pertandingan dengan kemenangan di pihaknya, terus-menerus menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga. Napasnya mendengus-dengus, peluhnya memercik ke sana ke mari dan mulailah Joko Wandiro melihat hal yang melegakan hatinya. Gerakan kakek itu mulai gemetar dan angin pukulannya tidaklah sehebat tadi. Jelas bahwa kakek itu mulai berkurang tenaganya, mulai lelah dan kehabisan napas!
Akan tetapi, dasar ia masih muda, dalam kegirangannya Joko Wandiro lupa bahwa perasaan ini juga merupakan pantangan dalam ilmu bertanding. Tidak hanya kemarahan yang membikin kacau perhatian, juga rasa girang akan mendapatkan kemenangan ini membuat ia kurang waspada. Maka kagetlah ia ketika kerisnya menangkis tombak kiri lawan yang menusuk perutnya, tombak kanan lawan tahu-tahu sudah menyambar dada! Ia tahu bahwa ia telah membuat kesalahan.
Tidak seharusnya ia menangkis tombak kiri yang merupakan serangan pembuka. Serangan pembuka harus dielakkan dan barulah serangan penutup kalau perlu boleh ditangkis. Ia telah lupa dan menangkis serangan pembuka sehingga ketika serangan penutup menyusul ke arah dada, ia menjadi bingung. Cepat ia miringkan tubuhnya, namun kurang cepat!
"Desss...!"
Pundak kirinya dihajar mata tombak lawan. Biarpun ia sudah menyalurkan tenaga dalam ke arah pundak, tetap saja baju berikut kulit dan dagingnya robek, tulang pundaknya retak! Tubuhnya terguling dan terdengar ia mengeluh.
"Huah-ha-ha-ha! Hanya sekian saja kepandaianmu? Ha-haha, bersiaplah untuk mati di tangan Dibyo Mamangkoro, hehheh-heh. Joko Wandiro, engkau tidak malu mati dan kalah oleh Dibyo Mamangkoro karena telah melakukan perlawanan yang mengagumkan!"
Setelah berkata demikian, Dibyo Mamangkoro memutar-mutar kedua tombak pendeknya dan melangkah lebar ke depan.
Akan tetapi Joko Wandiro sudah bangun kembali. Pundak kirinya sakit bukan main, lengan kirinya lumpuh tak dapat digerakkan, akan tetapi tangan kanannya masih menggenggam gagang Megantoro erat-erat. Tiba-tiba pemuda ini membelalakkan mata, memandang lawan penuh wibawa. Kaki kanannya menggedrug (menjejak) tanah tiga kali dan terdengar suaranya berpengaruh,
"Apa engkau bilang, Dibyo Mamangkoro? Engkau dapat mengalahkan AKU? Engkau akan dapat membunuh AKU? Hemm, engkau kira siapakah kau ini, Mamangkoro, maka akan dapat membunuh AKU? Buka matamu, pandanglah AKU baik-baik, Mamangkoro. Lihat siapa AKU ini, dan kalau engkau berani, cobalah engkau melawan AKU!"
Luar biasa sekali akibatnya. Dibyo Mamangkoro tiba-tiba terbelalak, matanya melotot dan mulutnya ternganga, mukanya pucat sekali, tubuhnya menggigil. Dalam pandang matanya, ia melihat Joko Wandiro telah berubah menjadi raksasa yang besar sekali, mengerikan dengan muka yang tak terhitung banyaknya, dengan mulut dan mata yang menyemburkan api, dengan tangan yang tak terhitung banyaknya memegang segala macam senjata yang ada di mayapada ini!
Joko Wandiro melangkah maju, keris di tangannya bergerak dua kali ke depan. Dibyo Mamangkoro berusaha menangkis, namun dengan putaran pergelangan yang amat cepat, keris itu menyelinap dan menusuk lengan kakek raksasa itu. Dua kali tusukan tepat mengenai kedua lengan dan terlepaslah tombak-tombak pendek itu dari kedua tangan Dibyo Mamangkoro.
Pada saat itu, kakek raksasa yang sakti mandraguna ini sudah dapat menguasai dirinya kembali. Ia tadi telah terpengaruh oleh aji kesaktian yang mujijat, yang terpaksa dipergunakan oleh Joko Wandiro untuk menolong dirinya. Itulah aji kesaktian Triwikrama dari mendiang Sang Prabu Airlangga atau Sang Resi Gentayu! Akan tetapi karena kurang latihan dan kurang pengalaman, pengaruhnya hanya sebentar saja terhadap seorang sakti seperti Dibyo Mamangkoro.
Dengan lengking panjang macam lengking iblis, Dibyo Mamangkoro yang bertangan kosong itu sudah melompat ke depan, menubruk Joko Wandiro dengan kemarahan meluap-luap. Kedua lengannya terluka oleh keris pusaka, namun tidak mengurangi tenaganya. Hebat bukan main terkaman ini sehingga Joko Wandiro tak sempat mengelak sama sekali. Tahu-tahu kedua tangan raksasa itu, dengan jari-jari tangan yang besar-besar lagi kuat, sudah mencekik lehernya!
Joko Wandiro terguling roboh, tertindih oleh tubuh kakek raksasa itu yang terus mencekik sekuat tenaga. Joko Wandiro mengerahkan tenaga menjaga leher, kemudian tangan kanannya bergerak menusuk dalam keadaan setengah sadar karena cekikan itu benar-benar telah menghentikan jalan darahnya ke kepala. Tiga kali ia menusuk dalam-dalam, dan tusukan yang ketiga kalinya tak dapat diulangi lagi karena kerisnya tertinggal di dalam rongga dada Dibyo Mamangkoro, tinggal gagangnya saja sedangkan Joko Wandiro sendiri juga sudah pingsan.....!
Komentar
Posting Komentar