BADAI LAUT SELATAN : JILID-42
Sambil meraba gagang keris pusakanya dengan tangan kanan dan bertolak
pinggang dengan tangan kiri, Endang Patibroto memandang mereka yang
roboh, membuang senyum mengejek lalu tanpa sepatah katapun ia melangkah
pergi dari tempat itu untuk melanjutkan perjalanannya. Belum sejauh
luncuran anak panah ia berjalan, Endang berhenti tiba-tiba dan memutar
tubuhnya, membentak, "Apakah di antara kalian ada yang sudah bosan hidup
juga?"
Dua belas orang gerombolan yang dipimpin Surosardulo itu terkejut, dan tiba-tiba Surosardulo menjatuhkan diri berlutut, diturut anak buahnya. Mereka tadi sejenak terlongong keheranan, kemudian diam-diam mengikuti gadis itu yang berjalan menuju ke Sungai Bogowonto. Siapa kira, gadis itu dari jarak yang cukup jauh dapat mengetahui bahwa ia dibayangi orang!
"Ampun..." kata Surosardulo, "hamba hanya ingin mengetahui siapa gerangan nama besar paduka. Hamba Surosardulo dan para anak buah hamba selama hidup belum pernah mendengar, apalagi melihat, seorang puteri sedemikian sakti mandraguna seperti paduka..."
Endang Patibroto mengangkat dagu ke depan. "Namaku Endang Patibroto. Apakah kalian masih tidak terima kalah? Mengapa mengikuti perjalananku?"
Setelah berkata demikian, dengan gerakan seenaknya saja Endang mengipatkan tangan kirinya ke arah pohon jati di dekatnya. Terdengar suara keras dan batang pohon sebesar paha itu patah, pohonnya tumbang! Pucat wajah Surosardulo dan anak buahnya.
"Tidak...kami tidak bermaksud apa-apa...hanya ingin tahu nama paduka..." kata Surosardulo.
Endang mencibirkan bibirnya lalu membalikkan tubuh, melanjutkan perjalanan. Diam-diam Surosardulo yang jantungnya masih berdebar dan wajahnya pucat itu memberi perintah kepada dua orang anak buahnya untuk mengambil jalan terdekat, mendahului gadis sakti itu menyeberang sungai dan memberi tahu kepada pimpinannya. Mereka ini, Surosardulo dan anak buahnya, sebetulnya adalah anggota gerombolan perampok dan bajak sungai yang berada di bawah kekuasaan Ki Krendoyakso. Hampir semua penjahat yang beroperasi di daerah Bagelen, adalah anak buah Ki Krendoyakso. Mengandalkan nama besar dan kesaktian Ki Krendoyakso inilah maka para penjahat itu tidak pernah ada yang berani melawan.
Akan tetapi pada hari itu mereka mengalami kesialan, bertemu dengan Endang Patibroto. Karena Surosardulo maklum bahwa gadis jelita itu adalah seorang yang sakti mandraguna, maka ia tidak begitu bodoh untuk bunuh diri melawan. Diam-diam ia mengirim berita ke depan agar pimpinannya dapat mencegat perjalanan gadis yang telah membunuh tiga orang anak buahnya itu. Biarpun ia tahu bahwa pada waktu itu Ki Krendoyakso sendiri tidak berada disitu, namun di sebelah timur Sungai Bogowonto banyak terdapat anggota-anggota pimpinan yang sakti, yang tentu akan sanggup menghadapi gadis itu.
Endang Patibroto tentu saja tidak tahu dan tidak menduga akan hal ini. Dia tidak peduli. Andai kata tahu sekali pun, ia juga tidak peduli. Tidak peduli akan orang lain, asal jangan mengganggunya. Yang berani mengganggunya, akan ia binasakan! Dengan tenang ia melanjutkan perjalanan. Dari jauh sudah tampak Sungai Bogowonto yang lebar dan penuh airnya. Perutnya makin lapar.
Tidak tampak seekorpun binatang hutan di daerah itu. Tentu habis oleh manusia-manusia kasar tadi, pikirnya jengkel. Juga tidak tampak ada dusun di sekitar situ. Mungkin di seberang ada. Tampak olehnya atap rumah pedusunan. Tentu di sana ada makanan. Ketika ia mendekat pantai sungai, ia melihat ada sebuah perahu kecil di pinggir. Entah perahu siapa. la tidak peduli dan segera melangkah masuk duduk dan mengambil sebatang dayung panjang yang berada di perahu. Perahu siapa ia tidak peduli, ia perlu menyeberang.
Andai kata tidak ada perahu di situ sekali pun, ia tetap akan menyeberang. Banyak cara untuk menyeberangi sungai yang amat kecil jika dibandingkan dengan selat Pulau Iblis, akan tetapi cara yang paling mudah dan enak adalah berperahu. Ia juga tidak menaruh curiga mcngapa di tempat sesunyi itu terdapat sebuah perahu tanpa pemiliknya. Ia pun tidak tahu betapa dari dua seberang sungai, banyak pasang mata mengintainya penuh perhatian. Ia pun tidak tahu betapa dari seberang lain, seorang laki-laki yang tubuhnya ramping panjang telah bergerak memasuki air ketika perahunya bergerak ke tengah.
Baru saja perahu itu ia dayung sampai di tengah sungai, tiba-tiba perahunya terguncang keras lalu terguling! Tentu saja Endang kaget sekali. Akan tetapi ia tidak pernah ketinggalan ketenangan dan ketabahannya. Guncangan perahu yang tidak sewajarnya sudah mencurigakan hatinya, maka sebelum perahu terguling, ia telah meloncat tinggi ke atas sambil membawa dayungnya dan di tengah udara ia mematahkan dayung menjadi dua potong.
Ketika tubuhnya turun ke air, ia melempar dua batang potongan dayung itu dan bagaikan seekor burung, kedua kakinya hinggap di atas dua potong kayu yang mengambang di air. Dengan demikian, kini ia berdiri di atas air, menggunakan dua potong kayu itu sebagai landasan kakinya!
Perahunya telah terbalik dan hanyut, akan tetapi Endang tidak perduii. Dengan pengerahan tenaga dalam disalurkan kearah kedua kaki, ia dapat menggerakkan kakinya mendorong kayu yang diinjak itu ke depan dan bergeraklah ia seolah-olah berjalan di atas air! Ia tidak tahu betapa banyak pasang mata yang mengintainya dari kedua tepi sungai, melotot lebar dan seakan-akan biji-biji mata itu akan meloncat keluar dari pelupuknya saking heran dan kaget mereka yang menyaksikan gadis jelita ini berjalan di atas air!.
Tiba-tiba sebuah lengan yang berbulu dan kuat muncul dari permukaan air dan menyambar mata kaki kiri Endang yang kecil merit. Tangan dengan jari-jari besar kuat itu mencengkeram lalu menarik dengan tujuan menenggelamkan gadis jelita itu. Akan tetapi Endang yang tadi melihat sambaran tangan ke arah kakinya, hanya tersenyum dan sama sekali tidak mengelak. Tentu saja kalau ia mau mengelak, amatlah mudahnya. Akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini, bahkan kini ia berhenti bergerak, menundukkan muka melihat apa yang hendak dilakukan oleh orang yang memegang kaki kirinya itu.
Ketika orang itu dengan tenaga kuat menarik-nariknya ke bawah, Endang mengerahkan tenaga dan mempertahankan. Sedikitpun kaki kecil yang dibetot oleh tangan kuat itu sama sekali tidak bergoyang! Betapa pun lengan kuat itu mengerahkan tenaga, menarik-narik dan menyeret, namun sia-sia belaka. Si gadis jelita tetap berdiri di atas air!
Bahkan saking penasaran, orang yang punya tangan itu kini muncul kepalanya di permukaan air, selain untuk menghirup hawa, juga untuk menyaksikan dengan mata sendiri bahwa tangannya sudah betul-betul mencengkeram kaki gadis itu. Ia hampir tidak percaya bahwa ia tidak mampu menyeret gadis itu masuk ke dalam air. Dikerahkannya kembali tenaganya menarik-narik.
Endang yang melihat munculnya kepala seorang laki-laki tua yang wajahnya menyeramkan, bergidik jijik. la menambah tenaga pada kaki kirinya dan mendadak la melakukan gerakan menendang ke atas dan tubuh laki-laki itu ikut terbawa ke atas dan terlempar setinggi lima enam meter dari permukaan air!
Sebelum tubuhnya terbanting lagi ke air, Endang sudah meluncur maju dan sekali ia menggerakkan tangan, ia telah menjambak rambut orang itu, kemudian ia terus menggerakkan kedua kakinya menyeberang, tangan kirinya menyeret laki-laki yang dijambak rambutnya. Dapat dibayangkan betapa kaget dan takutnya laki-laki itu. Ia merintih-rintih dan mengaduh-aduh,
"Aduhh... ampun... ampunkan hamba... hamba Bajul biru sudah tobat...!"
Setelah dekat dengan pantai sungai, Endang lalu melemparkan tubuh Bajulbiru ke darat. Laki-laki itu terbanting dan mengaduh-aduh…..
********************
Masih untung baginya bahwa Endang yang diam-diam kagum terhadap kepandaiannya dalam air tidak hendak membunuhnya sehingga tubuhnya hanya terbanting dan terluka saja, tidak sampai tewas. Kalau Endang menghendaki, tentu saja sekali pukul dapat membunuhnya. Selagi Endang hendak melompat ke darat, tiba-tiba muncul belasan orang yang menyambutnya sambil berlari dan membawa jala yang lebar. Dengan gerakan serentak dan berbareng, belasan orang itu melempar jala yang jatuh bagaikan air hujan menyelimuti tubuhnya!
Endang menggigit bibir, kemarahannya memuncak. Ia membiarkan jala itu menangkap dirinya. Ketika belasan orang itu menarik, ia meloncat ke darat dan sekali kedua tangannya bergerak, jala itu jebol dan ia melompat keluar. Kaki tangannya menyambar-nyambar dan terdengar suara mengaduh susul-menyusul ketika belasan orang itu roboh satu-satu tak dapat bangun pula!
Mendadak dari depan terdengar suara berciutan dan kiranya puluhan batang anak panah sudah menyambar dari depan, kanan dan kiri ke arah tubuh Endang. Gadis ini benar-benar menjadi marah sekali. Ia hanya menggunakan tangan menyampok anak panah yang rnengarah kepala. Anak-anak panah yang rnengarah bagian tubuh lainnya ia biarkan saja dan ternyata anak-anak panah itu runtuh semua seperti bertemu dengan tubuh baja saja! Sambil menyampok anak panah, Endang memperhatikan ke depan dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke depan dan sekali ia mengulurkan lengan, ia telah menangkap dua orag tukang panah terdekat dan dengan gemas ia mengadu kumba kepala mereka satu kepada yang lain.
"Prakkk!"
Keduanya roboh tak bernyawa lagi dengan kepala pecah! Dari tempat itu, Endang kembali meloncat ke belakang pohon, menyambar tubuh tukang panah lain, membantingnya mati seketika pada akar pohon.
Tentu saja perbuatannya Ini menggegerkan mereka yang bersembunyi. Serentak mereka mundur dan lari ketakutan dan berkelompok dari jauh memandang ke arah gadis yang kesaktiannya mengerikan itu. Jumlah para perampok dan bajak yang menjadi kaki tangan Ki Krendoyakso ini berjumlah empat puluh orang lebih. Mereka telah menerima kabar dari Surosardulo, maka telah mengatur penyambutan di seberang sungai. Bahkan seorang di antara mereka yang memimpin gerombolan bajak sungai, yang terkenal memiliki ilmu kepandaian di air, yaitu Bajulbiru, telah menyambut lebih dulu dan berusaha menangkap gadis Itu di tengah sungai.
Endang Patibroto menjadi marah sekali. Jelas orang-orang itu tidak mau berhenti memusuhinya. Ia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah segolongan dengan Surosardulo, buktinya menyerangnya tanpa bertanya dulu. Melihat puluhan orang laki-laki berkumpul di depan, ia tidak menjadi gentar, bahkan dengan gerakan cepat ia berlari ke depan. Mukanya merah, matanya bersinar tajam, mulutnya masih tersenyum manis!
Biarpun tadi menyaksikan sepak terjang yang amat dahsyat dari gadis ini, namun karena jumlah mereka puluhan orang, tentu saja para penjahat itu menjadi besar dan timbul pula keberanian mereka. Apalagi di situ terdapat Wirodurjono yang mengepalai perampok ini, orang yang menjadi pembantu Ki Krendoyakso dan memiliki ilmu kesaktian yang lebih tinggi dari pada kepandaian Surosardulo maupun Bajulbiru.
"Serbu! Tangkap!" Wirodurjono berseru dengan suaranya yang garang.
Pasukan terdepan terdiri dari dua puluh empat orang segera bersorak dan menyerbu maju dengan golok terhunus. Tingkah laku mereka seolah-olah barisan hendak maju perang campuh. Sungguh kelihatan lucu sekali kalau dipikir bahwa yang mereka serbu ini hanya seorang gadis remaja yang bertangan kosong! Namun, mereka itu kini tidak berani memandang rendah, maka serentak mereka maju dengan senjata terhunus disertai teriakan-teriakan untuk menindas rasa nyeri dan takut.
Endang Patibroto tidak menghentikan larinya. ia terus berlari maju, tidak peduli akan ancaman golok yang menyilaukan mata itu, tidak perduIi pula betapa dua puluh empat orang itu bergerak mengepungnya. Begitu Endang dekat dengan orang pertama, kaki tangannya bergerak. Tangannya dengan jari-jari terbuka bergetar seperti menggigil, akan tetapi setiap kali digerakkan, terdengar jerit mengerikan dan tentu orang yang disentuh tangannya roboh terjengkang atau terpelanting tak mampu bangun lagi Endang mengamuk. Tubuhnya berputaran karena kini ia dikeroyok dari empat penjuru. Tidak peduli golok yang bagaimana berat dan tajampun, kalau menyambar kearahnya, ia papaki dengan tangannya yang terbuka jari-jarinya, dan golok itu tentu terpukul patah atau terlepas dari tangan si pemegangnya.
Kemudian, setiap kali kaki atau tangannya menyentuh lawan, tentu lawan itu terjungkal dan tewas! Dalam waktu beberapa menit saja, mayat para perompak roboh malang-melintang. Hebatnya, tidak setetespun darah keluar dari tubuh mayat-mayat itu, yang mati dalam keadaan mengerikan, kalau tidak mukanya hangus menghitam, tentu tulang-tulang dadanya remuk-remuk atau isi perutnya hancur oleh pukulan sakti!
Setelah lima belas orang roboh tewas, barulah sisanya ketakutan dan tanpa dikomando lagi mereka lari tunggang-langgang kembali ke dalam pasukan kedua yang menonton dari jarak belasan tombak. Kini mereka, termasuk Wirodurjono, memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Sukar dapat mereka percaya. Seorang wanita, gadis remaja pula, dengan tangan kosong, demikian mudahnya membunuh belasan orang kawan mereka yang terkenal sebagai jagoan-jagoan tukang berkelahi! Mana mungkin hal ini terjadi? Akan tetapi mereka telah menyaksikan dengan mata sendiri!
"Hayoooohh...! Mengapa kalian berhenti, pengecut-pengecut tak bermalu? Majulah semua, keroyoklah aku! Hayo, kalau kalian ingin mampus di tanganku. Inilah puteri dari Nusakambangan!"
Endang Patibroto yang sudah marah sekali menantang. Mendengar tantangan ini, Wirodurjono kaget sekali. Tentu saja, sebagai seorang tokoh dari Bagelen, ia sudah mendengar tentang Pulau Iblis, bahkan dia sendiri menerima peringatan langsung dari Ki Krendoyakso agar jangan membolehkan anak buahnya mendekati atau mengganggu Pulau Nusakambangan karena manusia raksasa Dibyo Mamangkoro yang amat mereka takuti tinggal di pulau itu. Dan kini, seorang gadis sakti muncul dan mengaku penghuni pulau itu, mengaku Puteri Nusakambangan! Dengan heran ia sekali loncat telah berada di depan Endang Patibroto, sikapnya agak hormat ketika bertanya,
"Wah, kiranya nona datang dari Pulau Nusakambangan? Bolehkah kami mengetahui, ada hubungan apakah antara kau dengan Dibyo Mamangkoro?"
Melihat laki-laki setengah tua yang bermuka merah dan bengis ini, hati Endang sudah tak senang. "Kau yang mengepalai gerombolan pengecut ini? Siapa namamu?"
Diam-diam hati Witodurjono panas sekali. Dia adalah seorang pembantu Ki Krendoyakso yang terkenal, seorang yang biasa memberi perintah, biasa ditakuti oleh anak buahnya yang terdiri dari laki-laki kasar. Sekarang, gadis ini sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya, ditanya secara hormat belum menjawab balas bertanya dengan sikap demikian kurang ajar! Akan tetapi, nama Nusakambangan ternyata amat besar pengaruhnya sehingga seorang seperti Witodurjono masih mampu menahan kesabarannya terhadap seorang gadis remaja seperti Endang. Dengan muka menjadi makin merah, ia menjawab,
"Namaku Wirodurjono dan ketahuilah, kami semua adalah anak buah Ki Krendoyakso. Seingat kami, belum pernah kami bersilang jalan dengan Ki Dibyo Mamangkoro yang kami hormati...!"
"Orang macam engkau tak perlu menyebut-nyebut namanya. Pergilah!"
Endang Patibroto dengan melangkah maju dan tangan kirinya bergerak, mendorong ke arah dada Wirodurjono, Kepala rampok itu adalah seorang yang kuat dan sakti. Tentu saja ia merasa makin mendongkol. Gadis ini benar-benar sombong, pikirnya. Biarpun datang dari Nusakambangan, perlu diberi hajaran sedikit biar tahu rasa bahwa anak buah Ki Krendoyakso tak boleh dipandang ringan. Ia berseru keras dan lengan kanannya yang berkulit hitam dan amat kuat itu sudah menyambar untuk menangkis dan menangkap tangan kiri Endang yang mendorong. Akan tetapi entah bagaimana ia sendiri tidak tahu sebabnya, tubuhnya sudah terlempar ke atas bagaikan disambar angin lesus. Ia berteriak kaget dan tubuhnya yang terbang itu menimpa daun-daun dan dahan-dahan. Cepat ia meraih dan untung ia dapat menangkap cabang dan dahan. Ketika ia memandang ke bawah, kiranya ia telah dilemparkan ke atas pohon oleh gadis remaja tadi!
"Huah-hah-hah-hah! Bagus gerakanmu melempar orang itu, Endang! Akan tetapi, tikus-tikus ini sama sekali bukan musuhmu."
"Bapa guru...!" Endang mengenal suara gurunya.
Dibyo Mamangkoro muncul dan dengan langkah lebar ia mengharnpiri pohon di mana Wirodurjono tersangkut, kemudian sekali mendorong, pohon itu jebol akarnya dan tumbang. Wirodurjono cepat melompat ke bawah dan langsung ia menjatuhkan diri berlutut di depan Dibyo Mamangkoro yang belum pernah dilihatnya akan tetapi sudah amat dikenal namanya.
"Hamba Wirodurjono, anak buah Ki Krendoyakso, mohon ampun telah bersikap kurang ajar karena tidak mengenal murid paduka."
"Huah-hah-hah! Mana bisa kalian berkurang ajar kepada Puteri Nusakambangan? Kalian ini tikus-tikus goblog! Biarpun Ki Krendoyakso sendiri harus merangkak dan menyembah puteri ini, mentaati segala perintahnya. Mengerti?"
"Am... ampunkan hamba sekalian..."
Wirodurjono menggigil teringat akan cerita Ki Krendoyakso betapa dahsyat kesaktian kakek raksasa ini dan betapa besar bahayanya membikin marah kepadanya. Untung bahwa sisa anak buahnya juga tahu diri dan kini mereka semua sudah berlutut di belakangnya.
"Sudahlah! Kalian sudah cukup diberi hajaran. Sekarang lekas sediakan sebuah kereta lengkap dengan kudanya, untuk kendaraan sang puteri dari Nusakambangan yang hendak mengunjungi Jenggala. Cepat!"
Wirodurjono menyembah dan menyanggupi. Tidak lama kemudian pergilah ia bersama semua anak buahnya. Dibyo Mamangkoro mengajak muridnya duduk di tepi sungai sambil menanti.
"Eh, Endang, kenapa kau bisa sampai di tempat ini?"
"Aku hendak menyusulmu. Kenapa engkau terlalu lama meninggalkan pulau, bapa guru?"
Dibyo Mamangkoro tertawa, lalu memegang tangan muridnya penuh kasih sayang. "Aku pergi bukan untuk keperluanku, muridku. Melainkan untuk keperluanmu juga. Tibalah waktunya sekarang engkau bersuwita (menghambakan diri) kepada raja di Jenggala. Aku baru puas kalau melihat semua orang di Jenggala menyembahmu, dan melihat Panjalu hancur di bawah telapak kakimu. Dan dengan wajahmu yang cantik jelita, dengan kesaktianmu yang hebat, ditambah keris pusaka Brojol Luwuk di tanganmu, huah-hah-hah, aku yakin takkan kecewa hatiku!"
Endang Patibroto masih meragukan apakah para gerombolan kasar tadi akan mentaati perintah gurunya. Tidak seorangpun di antara mereka kini tampak, bahkan mayat-mayat yang tadi berserakan kini telah diangkut pergi. Kemudian di tepi sungai itu amat sunyi. Akan tetapi, Dibyo Mamangkoro sikapnya tenang dan yakin bahwa perintahnya tentu akan ditaati. Dan ia benar.
Tidak lama kemudian muncullah Wirodurjono dengan tujuh orang lain yang merupakan pimpinan perampok dan bajak sungai, anak buah Ki Krendoyakso. Mereka bersikap hormat ketika menyerahkan sebuah kereta yang cukup kuat indah, ditarik dua ekor kuda yang besar kuat. Dibyo Mamangkoro tertawa ketika mendengar mereka akan mengawal dan mengantar sampai ke Jenggala.
"Tidak usah! Biar kami kendarai sendiri."
la lalu mengajak Endang naik kereta, mengayunkan cambuk dan. membalapkan dua ekor kuda itu menarik kereta. Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak. Satu kali pun ia tak pernah mengucap terima kasih, bahkan melirik pun tidak kepada para pembantu Ki Krendoyakso yang berdiri di pinggir jalan dengan sikap menghormat. Tentu saja semua ini diperhatikan oleh Endang karena dia ingin tahu bagaimana kelak harus bersikap apa bila berhadapan dengan orang-orang seperti itu…..
********************
"Tidak boleh! Tidak bisa! Harus kami laporkan lebih dahulu."
"Mana bisa kalian masuk begitu saja ke dalam istana?"
Akan tetapi Dibyo Mamangkoro tak mempedulikan cegahan dan halangan para pengawal istana. Ia menggandeng lengan Endang Patibroto dan melangkah lebar memasuki pendopo keraton yang berlantai mengkilap itu. Ketika enam orang pengawal depan istana itu mengepungnya, tangan kiri Dibyo Mamangkoro bergerak ke depan dan enam orang pengawal itu kini berdiri terbelalak, dengan tubuh kaku-kaku tak bergerak seperti berubah menjadi arca-arca batu!
Setelah sambil tertawa Dibyo Mamangkoro menggandeng tangan muridnya masuk ke ruangan dalam, barulah enam orang itu seakan-akan hidup kembali. Tadi mereka merasa betapa kaki tangan mereka kaku tak dapat bergerak! Tentu saja mereka menjadi bingung dan sibuk sekali, karena tentu mereka akan mendapat hukuman berat, membiarkan kakek raksasa dan gadis jelita itu memasuki keraton. Di ruangan dalam, segera dari kanan kiri dan depan berdatangan para penjaga dan pengawal istana, denga tombak panjang di tangan.
"Hai, berhenti! Siapa berani masuk tanpa ijin?"
Melihat mereka itu, muka Dibyo Mamangkoro menjadi merah. "Butakah mata kalian? Siapa berani menghalangi aku, Dibyo Mamangkoro, datang menghadap raja?"
Dengan mata mendelik dan sikap mengancam Dibyo Mamangkoro menantang. Seketika berubah pucat wajah para pengawal itu. Baru sekarang ia mengenal kakek itu, seorang kakek raksasa yang amat terkenal. Tentu saja mereka maklum akan kesaktian kakek ini dan tidak berani melawan. Namun, sebagai petugas-petugas dan penjaga, mereka pun tidak berani membiarkan kakek itu masuk ke dalam ruangan persidangan, di mana sang prabu sedang bercengkerama dengan para ponggawanya.
"Tapi... tapi... harap paduka menunggu, biar kami laporkan lebih dulu kepada gusti prabu..." Dan beberapa orang sudah berlari ke dalam untuk menyampaikan laporan.
Namun Dibyo Mamangkoro tidak peduli, terus menggandeng tangan muridnya melangkah masuk.
"Maafkan, kami tidak berani membiarkan paduka masuk sebelum ada perintah dari sang prabu."
Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak. "Hendak kulilhat bagaimana kalian tikus-tikus ini bias mencegah aku masuk!"
Ia melangkah terus dan keadaan menjadi tegang. Para pengawal tidak berani turun tangan, akan tetapi mereka pun tidak mau memberi jalan, sehingga mereka itu membentuk lingkaran yang menghadang di depan Dibyo Mamangkoro dan muridnya, sambil mundur-mundur ketakutan. Dalam keadaan ketegangan mengancam keributan ini, tiba-tiba terdengar suara dari sebelah dalam, "Ki Dibyo Mamangkoro dan temannya diperkenankan menghadap."
Suara itu adalah suara pengawal dalam yang merupakan hasil pelaporan dua orang pengawal tengah tadi. Begitu mendengar bahwa orang yang mendatangkan ribut di luar adalah Dibyo Mamangkoro, sang prabu tersenyum dan memberi tanda agar raksasa itu diperbolehkan masuk dan menghadapnya.
Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak, lalu bersama muridnya memasuki ruangan yang amat indah itu. Endang Patibroto celingukan memandang ke kenan kiri, mengagumi segala yang indah-indah dan yang baru pertama kali ini dilihatnya. Melihat sikap muridnya ini, Dibyo Mamangkoro tertawa.
"Semua ini, dan banyak yang jauh lebih hebat dan indah lagi, kelak menjadi punyamu, Endang!
Mereka memasuki pintu tebal terakhir dan tampaklah ruangan yang indah. Di sebelah paling dalam, yang terhias sutera-sutera berkembang beraneka warna, tampak Raja Jenggala duduk di atas singgasana, sebuah kursi kencana.
Endang Patibroto menahan napas. Raja itu tampan, seperti dewa kahyangan. Tubuh atas yang tak berbaju itu berkulit kuning dan seperti emas mengeluarkan cahaya. Kepalanya memakai mahkota bertabur emas permata Wajahnya tampan sekali. Heran sekali hati Endang. Gurunya pernah bilang bahwa Raja Jenggala berusia empat puluh tahun lebih, mengapa mukanya begitu halus dan kelihatannya tampan seperti seorang pemuda? Juga perhiasan leher dan lengannya gemerlapan, pakaian yang menutup tubuh bagian bawah mewah dan indah pula.
Beberapa orang ponggawa duduk bersila menghadap sang prabu. Akan tetapi pada saat itu, para hulubalang hanya mendengarkan saja dan sang prabu agaknya sedang merundingkan sesuatu yang amat penting dengan tiga orang yang duduk menghadap dekat di depan singgasana. Mereka ini adalah ki patih dan dua orang senopati.
Ketika Dibyo Mamangkoro dan Endang Patibroto muncul, sang prabu menghentikan percakapan, mengangkat muka dan memandang kepada kakek raksasa itu dengan senyum gembira. Akan tetapi sepasang alisnya terangkat, agaknya heran ketika melihat kakek itu datang bersama seorang gadis yang berwajah jelita. Kalau saja yang datang itu bukan murid Dibyo Mamangkoro, tentu sang prabu akan marah sekali. Seorang wanita muda datang menghadap dengan langkah tenang begitu saja, tidak berjalan jongkok, memakai baju lagi!
Dengan lagak kasar tidak dibuat-buat, Dibyo Mamangkoro menarik muridnya maju, lalu mengajak muridnya itu berlutut memberi hormat. Ia duduk bersila sedangkan Endang Patibroto duduk bersimpuh. Berbeda dengan semua wanita yang mendapat kehormatan hadir di depan sang prabu dan selalu menundukkan muka, gadis remaja ini mengangkat muka, matanya berkeliaran memandang ke mana-mana, bahkan secara terang-terangan menatap wajah sri baginda tanpa takut sedikit pun juga! Sikapnya sama benar dengan sikap Dibyo Mamangkoro yang tidak mengherankan hati sang prabu, karena sang prabu sudah mengenal watak kakek raksasa yang kasar dan liar ini.
"Kiranya paman Dibyo Mamangkoro yang membikin geger para pengawal keraton!" Demiklan tegur sang prabu sambil melirik ke arah Endang Patibroto.
"Hamba, Dibyo Mamagkoro dan murid terkasih hamba, Endang Patibroto menghaturkan sembah sujud!" Suara raksasa tua ini menggema di seluruh ruang persidangan.
Sang prabu tersenyum lagi. "Bagus, paman Dibyo. Kedatanganmu memang sangat tepat karena sesungguhnya kami amat membutuhkan bantuanmu."
"Untuk menggempur Panjalu, gusti?" Dibyo Mamangkoro memotong.
"Eh, bagaimana engkau bisa tahu, paman?"
"Huah-hah-hah...! Justru karena itulah hamba datang menghadap dan membawa murid hamba ke sini. Hamba menawarkan tenaga bantuan murid hamba ini dan percayalah, gusti, kalau Endang Patibroto mengepalai semua senopati Jenggala, dalam waktu singkat saja Panjalu akan dapat dihancurkan! Huah-hah-hah!"
Ucapan ini terlalu mengejutkan sehingga Sri Baginda dan semua hulubalang yang hadir tidak mempedulikan sikap dan kata-kata yang kasar itu. Mereka semua kini menengok dan memandang ke arah Endang Patibroto, yang bersikap tenang-tenang saja, bahkan membalas pandang mata mereka dengan senyum setengah mengejek.
Sri Baginda salah tampa, mengira bahwa Dibyo Mamangkoro sanggup membantu kerajaannya dengan syarat agar wanita yang menjadi muridnya itu diterima menjadi dayang di keraton. Karena gadis itupun cantik jelita, hanya sayang belum tahu tata susila keraton, pula karena memang amat membutuhkan tenaga bantuan orang-orang sakti seperti Dibyo Mamangkoro, tanpa ragu-ragu lagi sang prabu berkata,
"Baiklah, paman Dibyo. Muridmu ini kuangkat menjadi pelayan dalam, sedangkan engkau boleh memimpin para senopati di sini..."
"Bukan demikian maksud hamba, gusti! Murid hamba ini, Endang Patibroto, Puteri Nusakambangan, hamba tawarkan menjadi senopati, memimpin perang terhadap Panjalu, bukan hamba!"
"Apa katamu? Paman Dibyo Mamangkoro, harap jangan main-main begitu. Kami benar-benar sedang menghadapi perang saudara, dan Panjalu mempunyai banyak orang sakti. Bagaimana kami dapat memakai tenaga seorang gadis remaja untuk menghadapi mereka?"
"Huah-ha-ha-ha..! Hendaknya gusti tidak salah menduga. Murid hamba ini tidak boleh disamakan dengan segala wanita di jagad ini! Dia puteri di antara segala puteri! Sakti mandraguna tidak kalah oleh laki-laki yang mana pun juga. Hamba sendiri sekarang belum tentu akan mampu mengalahkan murid hamba ini!"
Ucapan Dibyo Mamangkoro mengandung kebanggaan luar biasa dan memang dia tidak terlalu melebih-lebihkan karena ketika itu tingkat kepandaian Endang Patibroto memang sudah luar biasa sekali. Mungkin belum mampu menandingi kedigdayaan gurunya, akan tetapi kalau ia mempergunakan pusaka Ki Brojol Luwuk, belum tentu Dibyo Mamangkoro sanggup mengalahkannya.....!
Dua belas orang gerombolan yang dipimpin Surosardulo itu terkejut, dan tiba-tiba Surosardulo menjatuhkan diri berlutut, diturut anak buahnya. Mereka tadi sejenak terlongong keheranan, kemudian diam-diam mengikuti gadis itu yang berjalan menuju ke Sungai Bogowonto. Siapa kira, gadis itu dari jarak yang cukup jauh dapat mengetahui bahwa ia dibayangi orang!
"Ampun..." kata Surosardulo, "hamba hanya ingin mengetahui siapa gerangan nama besar paduka. Hamba Surosardulo dan para anak buah hamba selama hidup belum pernah mendengar, apalagi melihat, seorang puteri sedemikian sakti mandraguna seperti paduka..."
Endang Patibroto mengangkat dagu ke depan. "Namaku Endang Patibroto. Apakah kalian masih tidak terima kalah? Mengapa mengikuti perjalananku?"
Setelah berkata demikian, dengan gerakan seenaknya saja Endang mengipatkan tangan kirinya ke arah pohon jati di dekatnya. Terdengar suara keras dan batang pohon sebesar paha itu patah, pohonnya tumbang! Pucat wajah Surosardulo dan anak buahnya.
"Tidak...kami tidak bermaksud apa-apa...hanya ingin tahu nama paduka..." kata Surosardulo.
Endang mencibirkan bibirnya lalu membalikkan tubuh, melanjutkan perjalanan. Diam-diam Surosardulo yang jantungnya masih berdebar dan wajahnya pucat itu memberi perintah kepada dua orang anak buahnya untuk mengambil jalan terdekat, mendahului gadis sakti itu menyeberang sungai dan memberi tahu kepada pimpinannya. Mereka ini, Surosardulo dan anak buahnya, sebetulnya adalah anggota gerombolan perampok dan bajak sungai yang berada di bawah kekuasaan Ki Krendoyakso. Hampir semua penjahat yang beroperasi di daerah Bagelen, adalah anak buah Ki Krendoyakso. Mengandalkan nama besar dan kesaktian Ki Krendoyakso inilah maka para penjahat itu tidak pernah ada yang berani melawan.
Akan tetapi pada hari itu mereka mengalami kesialan, bertemu dengan Endang Patibroto. Karena Surosardulo maklum bahwa gadis jelita itu adalah seorang yang sakti mandraguna, maka ia tidak begitu bodoh untuk bunuh diri melawan. Diam-diam ia mengirim berita ke depan agar pimpinannya dapat mencegat perjalanan gadis yang telah membunuh tiga orang anak buahnya itu. Biarpun ia tahu bahwa pada waktu itu Ki Krendoyakso sendiri tidak berada disitu, namun di sebelah timur Sungai Bogowonto banyak terdapat anggota-anggota pimpinan yang sakti, yang tentu akan sanggup menghadapi gadis itu.
Endang Patibroto tentu saja tidak tahu dan tidak menduga akan hal ini. Dia tidak peduli. Andai kata tahu sekali pun, ia juga tidak peduli. Tidak peduli akan orang lain, asal jangan mengganggunya. Yang berani mengganggunya, akan ia binasakan! Dengan tenang ia melanjutkan perjalanan. Dari jauh sudah tampak Sungai Bogowonto yang lebar dan penuh airnya. Perutnya makin lapar.
Tidak tampak seekorpun binatang hutan di daerah itu. Tentu habis oleh manusia-manusia kasar tadi, pikirnya jengkel. Juga tidak tampak ada dusun di sekitar situ. Mungkin di seberang ada. Tampak olehnya atap rumah pedusunan. Tentu di sana ada makanan. Ketika ia mendekat pantai sungai, ia melihat ada sebuah perahu kecil di pinggir. Entah perahu siapa. la tidak peduli dan segera melangkah masuk duduk dan mengambil sebatang dayung panjang yang berada di perahu. Perahu siapa ia tidak peduli, ia perlu menyeberang.
Andai kata tidak ada perahu di situ sekali pun, ia tetap akan menyeberang. Banyak cara untuk menyeberangi sungai yang amat kecil jika dibandingkan dengan selat Pulau Iblis, akan tetapi cara yang paling mudah dan enak adalah berperahu. Ia juga tidak menaruh curiga mcngapa di tempat sesunyi itu terdapat sebuah perahu tanpa pemiliknya. Ia pun tidak tahu betapa dari dua seberang sungai, banyak pasang mata mengintainya penuh perhatian. Ia pun tidak tahu betapa dari seberang lain, seorang laki-laki yang tubuhnya ramping panjang telah bergerak memasuki air ketika perahunya bergerak ke tengah.
Baru saja perahu itu ia dayung sampai di tengah sungai, tiba-tiba perahunya terguncang keras lalu terguling! Tentu saja Endang kaget sekali. Akan tetapi ia tidak pernah ketinggalan ketenangan dan ketabahannya. Guncangan perahu yang tidak sewajarnya sudah mencurigakan hatinya, maka sebelum perahu terguling, ia telah meloncat tinggi ke atas sambil membawa dayungnya dan di tengah udara ia mematahkan dayung menjadi dua potong.
Ketika tubuhnya turun ke air, ia melempar dua batang potongan dayung itu dan bagaikan seekor burung, kedua kakinya hinggap di atas dua potong kayu yang mengambang di air. Dengan demikian, kini ia berdiri di atas air, menggunakan dua potong kayu itu sebagai landasan kakinya!
Perahunya telah terbalik dan hanyut, akan tetapi Endang tidak perduii. Dengan pengerahan tenaga dalam disalurkan kearah kedua kaki, ia dapat menggerakkan kakinya mendorong kayu yang diinjak itu ke depan dan bergeraklah ia seolah-olah berjalan di atas air! Ia tidak tahu betapa banyak pasang mata yang mengintainya dari kedua tepi sungai, melotot lebar dan seakan-akan biji-biji mata itu akan meloncat keluar dari pelupuknya saking heran dan kaget mereka yang menyaksikan gadis jelita ini berjalan di atas air!.
Tiba-tiba sebuah lengan yang berbulu dan kuat muncul dari permukaan air dan menyambar mata kaki kiri Endang yang kecil merit. Tangan dengan jari-jari besar kuat itu mencengkeram lalu menarik dengan tujuan menenggelamkan gadis jelita itu. Akan tetapi Endang yang tadi melihat sambaran tangan ke arah kakinya, hanya tersenyum dan sama sekali tidak mengelak. Tentu saja kalau ia mau mengelak, amatlah mudahnya. Akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini, bahkan kini ia berhenti bergerak, menundukkan muka melihat apa yang hendak dilakukan oleh orang yang memegang kaki kirinya itu.
Ketika orang itu dengan tenaga kuat menarik-nariknya ke bawah, Endang mengerahkan tenaga dan mempertahankan. Sedikitpun kaki kecil yang dibetot oleh tangan kuat itu sama sekali tidak bergoyang! Betapa pun lengan kuat itu mengerahkan tenaga, menarik-narik dan menyeret, namun sia-sia belaka. Si gadis jelita tetap berdiri di atas air!
Bahkan saking penasaran, orang yang punya tangan itu kini muncul kepalanya di permukaan air, selain untuk menghirup hawa, juga untuk menyaksikan dengan mata sendiri bahwa tangannya sudah betul-betul mencengkeram kaki gadis itu. Ia hampir tidak percaya bahwa ia tidak mampu menyeret gadis itu masuk ke dalam air. Dikerahkannya kembali tenaganya menarik-narik.
Endang yang melihat munculnya kepala seorang laki-laki tua yang wajahnya menyeramkan, bergidik jijik. la menambah tenaga pada kaki kirinya dan mendadak la melakukan gerakan menendang ke atas dan tubuh laki-laki itu ikut terbawa ke atas dan terlempar setinggi lima enam meter dari permukaan air!
Sebelum tubuhnya terbanting lagi ke air, Endang sudah meluncur maju dan sekali ia menggerakkan tangan, ia telah menjambak rambut orang itu, kemudian ia terus menggerakkan kedua kakinya menyeberang, tangan kirinya menyeret laki-laki yang dijambak rambutnya. Dapat dibayangkan betapa kaget dan takutnya laki-laki itu. Ia merintih-rintih dan mengaduh-aduh,
"Aduhh... ampun... ampunkan hamba... hamba Bajul biru sudah tobat...!"
Setelah dekat dengan pantai sungai, Endang lalu melemparkan tubuh Bajulbiru ke darat. Laki-laki itu terbanting dan mengaduh-aduh…..
********************
Masih untung baginya bahwa Endang yang diam-diam kagum terhadap kepandaiannya dalam air tidak hendak membunuhnya sehingga tubuhnya hanya terbanting dan terluka saja, tidak sampai tewas. Kalau Endang menghendaki, tentu saja sekali pukul dapat membunuhnya. Selagi Endang hendak melompat ke darat, tiba-tiba muncul belasan orang yang menyambutnya sambil berlari dan membawa jala yang lebar. Dengan gerakan serentak dan berbareng, belasan orang itu melempar jala yang jatuh bagaikan air hujan menyelimuti tubuhnya!
Endang menggigit bibir, kemarahannya memuncak. Ia membiarkan jala itu menangkap dirinya. Ketika belasan orang itu menarik, ia meloncat ke darat dan sekali kedua tangannya bergerak, jala itu jebol dan ia melompat keluar. Kaki tangannya menyambar-nyambar dan terdengar suara mengaduh susul-menyusul ketika belasan orang itu roboh satu-satu tak dapat bangun pula!
Mendadak dari depan terdengar suara berciutan dan kiranya puluhan batang anak panah sudah menyambar dari depan, kanan dan kiri ke arah tubuh Endang. Gadis ini benar-benar menjadi marah sekali. Ia hanya menggunakan tangan menyampok anak panah yang rnengarah kepala. Anak-anak panah yang rnengarah bagian tubuh lainnya ia biarkan saja dan ternyata anak-anak panah itu runtuh semua seperti bertemu dengan tubuh baja saja! Sambil menyampok anak panah, Endang memperhatikan ke depan dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke depan dan sekali ia mengulurkan lengan, ia telah menangkap dua orag tukang panah terdekat dan dengan gemas ia mengadu kumba kepala mereka satu kepada yang lain.
"Prakkk!"
Keduanya roboh tak bernyawa lagi dengan kepala pecah! Dari tempat itu, Endang kembali meloncat ke belakang pohon, menyambar tubuh tukang panah lain, membantingnya mati seketika pada akar pohon.
Tentu saja perbuatannya Ini menggegerkan mereka yang bersembunyi. Serentak mereka mundur dan lari ketakutan dan berkelompok dari jauh memandang ke arah gadis yang kesaktiannya mengerikan itu. Jumlah para perampok dan bajak yang menjadi kaki tangan Ki Krendoyakso ini berjumlah empat puluh orang lebih. Mereka telah menerima kabar dari Surosardulo, maka telah mengatur penyambutan di seberang sungai. Bahkan seorang di antara mereka yang memimpin gerombolan bajak sungai, yang terkenal memiliki ilmu kepandaian di air, yaitu Bajulbiru, telah menyambut lebih dulu dan berusaha menangkap gadis Itu di tengah sungai.
Endang Patibroto menjadi marah sekali. Jelas orang-orang itu tidak mau berhenti memusuhinya. Ia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah segolongan dengan Surosardulo, buktinya menyerangnya tanpa bertanya dulu. Melihat puluhan orang laki-laki berkumpul di depan, ia tidak menjadi gentar, bahkan dengan gerakan cepat ia berlari ke depan. Mukanya merah, matanya bersinar tajam, mulutnya masih tersenyum manis!
Biarpun tadi menyaksikan sepak terjang yang amat dahsyat dari gadis ini, namun karena jumlah mereka puluhan orang, tentu saja para penjahat itu menjadi besar dan timbul pula keberanian mereka. Apalagi di situ terdapat Wirodurjono yang mengepalai perampok ini, orang yang menjadi pembantu Ki Krendoyakso dan memiliki ilmu kesaktian yang lebih tinggi dari pada kepandaian Surosardulo maupun Bajulbiru.
"Serbu! Tangkap!" Wirodurjono berseru dengan suaranya yang garang.
Pasukan terdepan terdiri dari dua puluh empat orang segera bersorak dan menyerbu maju dengan golok terhunus. Tingkah laku mereka seolah-olah barisan hendak maju perang campuh. Sungguh kelihatan lucu sekali kalau dipikir bahwa yang mereka serbu ini hanya seorang gadis remaja yang bertangan kosong! Namun, mereka itu kini tidak berani memandang rendah, maka serentak mereka maju dengan senjata terhunus disertai teriakan-teriakan untuk menindas rasa nyeri dan takut.
Endang Patibroto tidak menghentikan larinya. ia terus berlari maju, tidak peduli akan ancaman golok yang menyilaukan mata itu, tidak perduIi pula betapa dua puluh empat orang itu bergerak mengepungnya. Begitu Endang dekat dengan orang pertama, kaki tangannya bergerak. Tangannya dengan jari-jari terbuka bergetar seperti menggigil, akan tetapi setiap kali digerakkan, terdengar jerit mengerikan dan tentu orang yang disentuh tangannya roboh terjengkang atau terpelanting tak mampu bangun lagi Endang mengamuk. Tubuhnya berputaran karena kini ia dikeroyok dari empat penjuru. Tidak peduli golok yang bagaimana berat dan tajampun, kalau menyambar kearahnya, ia papaki dengan tangannya yang terbuka jari-jarinya, dan golok itu tentu terpukul patah atau terlepas dari tangan si pemegangnya.
Kemudian, setiap kali kaki atau tangannya menyentuh lawan, tentu lawan itu terjungkal dan tewas! Dalam waktu beberapa menit saja, mayat para perompak roboh malang-melintang. Hebatnya, tidak setetespun darah keluar dari tubuh mayat-mayat itu, yang mati dalam keadaan mengerikan, kalau tidak mukanya hangus menghitam, tentu tulang-tulang dadanya remuk-remuk atau isi perutnya hancur oleh pukulan sakti!
Setelah lima belas orang roboh tewas, barulah sisanya ketakutan dan tanpa dikomando lagi mereka lari tunggang-langgang kembali ke dalam pasukan kedua yang menonton dari jarak belasan tombak. Kini mereka, termasuk Wirodurjono, memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Sukar dapat mereka percaya. Seorang wanita, gadis remaja pula, dengan tangan kosong, demikian mudahnya membunuh belasan orang kawan mereka yang terkenal sebagai jagoan-jagoan tukang berkelahi! Mana mungkin hal ini terjadi? Akan tetapi mereka telah menyaksikan dengan mata sendiri!
"Hayoooohh...! Mengapa kalian berhenti, pengecut-pengecut tak bermalu? Majulah semua, keroyoklah aku! Hayo, kalau kalian ingin mampus di tanganku. Inilah puteri dari Nusakambangan!"
Endang Patibroto yang sudah marah sekali menantang. Mendengar tantangan ini, Wirodurjono kaget sekali. Tentu saja, sebagai seorang tokoh dari Bagelen, ia sudah mendengar tentang Pulau Iblis, bahkan dia sendiri menerima peringatan langsung dari Ki Krendoyakso agar jangan membolehkan anak buahnya mendekati atau mengganggu Pulau Nusakambangan karena manusia raksasa Dibyo Mamangkoro yang amat mereka takuti tinggal di pulau itu. Dan kini, seorang gadis sakti muncul dan mengaku penghuni pulau itu, mengaku Puteri Nusakambangan! Dengan heran ia sekali loncat telah berada di depan Endang Patibroto, sikapnya agak hormat ketika bertanya,
"Wah, kiranya nona datang dari Pulau Nusakambangan? Bolehkah kami mengetahui, ada hubungan apakah antara kau dengan Dibyo Mamangkoro?"
Melihat laki-laki setengah tua yang bermuka merah dan bengis ini, hati Endang sudah tak senang. "Kau yang mengepalai gerombolan pengecut ini? Siapa namamu?"
Diam-diam hati Witodurjono panas sekali. Dia adalah seorang pembantu Ki Krendoyakso yang terkenal, seorang yang biasa memberi perintah, biasa ditakuti oleh anak buahnya yang terdiri dari laki-laki kasar. Sekarang, gadis ini sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya, ditanya secara hormat belum menjawab balas bertanya dengan sikap demikian kurang ajar! Akan tetapi, nama Nusakambangan ternyata amat besar pengaruhnya sehingga seorang seperti Witodurjono masih mampu menahan kesabarannya terhadap seorang gadis remaja seperti Endang. Dengan muka menjadi makin merah, ia menjawab,
"Namaku Wirodurjono dan ketahuilah, kami semua adalah anak buah Ki Krendoyakso. Seingat kami, belum pernah kami bersilang jalan dengan Ki Dibyo Mamangkoro yang kami hormati...!"
"Orang macam engkau tak perlu menyebut-nyebut namanya. Pergilah!"
Endang Patibroto dengan melangkah maju dan tangan kirinya bergerak, mendorong ke arah dada Wirodurjono, Kepala rampok itu adalah seorang yang kuat dan sakti. Tentu saja ia merasa makin mendongkol. Gadis ini benar-benar sombong, pikirnya. Biarpun datang dari Nusakambangan, perlu diberi hajaran sedikit biar tahu rasa bahwa anak buah Ki Krendoyakso tak boleh dipandang ringan. Ia berseru keras dan lengan kanannya yang berkulit hitam dan amat kuat itu sudah menyambar untuk menangkis dan menangkap tangan kiri Endang yang mendorong. Akan tetapi entah bagaimana ia sendiri tidak tahu sebabnya, tubuhnya sudah terlempar ke atas bagaikan disambar angin lesus. Ia berteriak kaget dan tubuhnya yang terbang itu menimpa daun-daun dan dahan-dahan. Cepat ia meraih dan untung ia dapat menangkap cabang dan dahan. Ketika ia memandang ke bawah, kiranya ia telah dilemparkan ke atas pohon oleh gadis remaja tadi!
"Huah-hah-hah-hah! Bagus gerakanmu melempar orang itu, Endang! Akan tetapi, tikus-tikus ini sama sekali bukan musuhmu."
"Bapa guru...!" Endang mengenal suara gurunya.
Dibyo Mamangkoro muncul dan dengan langkah lebar ia mengharnpiri pohon di mana Wirodurjono tersangkut, kemudian sekali mendorong, pohon itu jebol akarnya dan tumbang. Wirodurjono cepat melompat ke bawah dan langsung ia menjatuhkan diri berlutut di depan Dibyo Mamangkoro yang belum pernah dilihatnya akan tetapi sudah amat dikenal namanya.
"Hamba Wirodurjono, anak buah Ki Krendoyakso, mohon ampun telah bersikap kurang ajar karena tidak mengenal murid paduka."
"Huah-hah-hah! Mana bisa kalian berkurang ajar kepada Puteri Nusakambangan? Kalian ini tikus-tikus goblog! Biarpun Ki Krendoyakso sendiri harus merangkak dan menyembah puteri ini, mentaati segala perintahnya. Mengerti?"
"Am... ampunkan hamba sekalian..."
Wirodurjono menggigil teringat akan cerita Ki Krendoyakso betapa dahsyat kesaktian kakek raksasa ini dan betapa besar bahayanya membikin marah kepadanya. Untung bahwa sisa anak buahnya juga tahu diri dan kini mereka semua sudah berlutut di belakangnya.
"Sudahlah! Kalian sudah cukup diberi hajaran. Sekarang lekas sediakan sebuah kereta lengkap dengan kudanya, untuk kendaraan sang puteri dari Nusakambangan yang hendak mengunjungi Jenggala. Cepat!"
Wirodurjono menyembah dan menyanggupi. Tidak lama kemudian pergilah ia bersama semua anak buahnya. Dibyo Mamangkoro mengajak muridnya duduk di tepi sungai sambil menanti.
"Eh, Endang, kenapa kau bisa sampai di tempat ini?"
"Aku hendak menyusulmu. Kenapa engkau terlalu lama meninggalkan pulau, bapa guru?"
Dibyo Mamangkoro tertawa, lalu memegang tangan muridnya penuh kasih sayang. "Aku pergi bukan untuk keperluanku, muridku. Melainkan untuk keperluanmu juga. Tibalah waktunya sekarang engkau bersuwita (menghambakan diri) kepada raja di Jenggala. Aku baru puas kalau melihat semua orang di Jenggala menyembahmu, dan melihat Panjalu hancur di bawah telapak kakimu. Dan dengan wajahmu yang cantik jelita, dengan kesaktianmu yang hebat, ditambah keris pusaka Brojol Luwuk di tanganmu, huah-hah-hah, aku yakin takkan kecewa hatiku!"
Endang Patibroto masih meragukan apakah para gerombolan kasar tadi akan mentaati perintah gurunya. Tidak seorangpun di antara mereka kini tampak, bahkan mayat-mayat yang tadi berserakan kini telah diangkut pergi. Kemudian di tepi sungai itu amat sunyi. Akan tetapi, Dibyo Mamangkoro sikapnya tenang dan yakin bahwa perintahnya tentu akan ditaati. Dan ia benar.
Tidak lama kemudian muncullah Wirodurjono dengan tujuh orang lain yang merupakan pimpinan perampok dan bajak sungai, anak buah Ki Krendoyakso. Mereka bersikap hormat ketika menyerahkan sebuah kereta yang cukup kuat indah, ditarik dua ekor kuda yang besar kuat. Dibyo Mamangkoro tertawa ketika mendengar mereka akan mengawal dan mengantar sampai ke Jenggala.
"Tidak usah! Biar kami kendarai sendiri."
la lalu mengajak Endang naik kereta, mengayunkan cambuk dan. membalapkan dua ekor kuda itu menarik kereta. Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak. Satu kali pun ia tak pernah mengucap terima kasih, bahkan melirik pun tidak kepada para pembantu Ki Krendoyakso yang berdiri di pinggir jalan dengan sikap menghormat. Tentu saja semua ini diperhatikan oleh Endang karena dia ingin tahu bagaimana kelak harus bersikap apa bila berhadapan dengan orang-orang seperti itu…..
********************
"Tidak boleh! Tidak bisa! Harus kami laporkan lebih dahulu."
"Mana bisa kalian masuk begitu saja ke dalam istana?"
Akan tetapi Dibyo Mamangkoro tak mempedulikan cegahan dan halangan para pengawal istana. Ia menggandeng lengan Endang Patibroto dan melangkah lebar memasuki pendopo keraton yang berlantai mengkilap itu. Ketika enam orang pengawal depan istana itu mengepungnya, tangan kiri Dibyo Mamangkoro bergerak ke depan dan enam orang pengawal itu kini berdiri terbelalak, dengan tubuh kaku-kaku tak bergerak seperti berubah menjadi arca-arca batu!
Setelah sambil tertawa Dibyo Mamangkoro menggandeng tangan muridnya masuk ke ruangan dalam, barulah enam orang itu seakan-akan hidup kembali. Tadi mereka merasa betapa kaki tangan mereka kaku tak dapat bergerak! Tentu saja mereka menjadi bingung dan sibuk sekali, karena tentu mereka akan mendapat hukuman berat, membiarkan kakek raksasa dan gadis jelita itu memasuki keraton. Di ruangan dalam, segera dari kanan kiri dan depan berdatangan para penjaga dan pengawal istana, denga tombak panjang di tangan.
"Hai, berhenti! Siapa berani masuk tanpa ijin?"
Melihat mereka itu, muka Dibyo Mamangkoro menjadi merah. "Butakah mata kalian? Siapa berani menghalangi aku, Dibyo Mamangkoro, datang menghadap raja?"
Dengan mata mendelik dan sikap mengancam Dibyo Mamangkoro menantang. Seketika berubah pucat wajah para pengawal itu. Baru sekarang ia mengenal kakek itu, seorang kakek raksasa yang amat terkenal. Tentu saja mereka maklum akan kesaktian kakek ini dan tidak berani melawan. Namun, sebagai petugas-petugas dan penjaga, mereka pun tidak berani membiarkan kakek itu masuk ke dalam ruangan persidangan, di mana sang prabu sedang bercengkerama dengan para ponggawanya.
"Tapi... tapi... harap paduka menunggu, biar kami laporkan lebih dulu kepada gusti prabu..." Dan beberapa orang sudah berlari ke dalam untuk menyampaikan laporan.
Namun Dibyo Mamangkoro tidak peduli, terus menggandeng tangan muridnya melangkah masuk.
"Maafkan, kami tidak berani membiarkan paduka masuk sebelum ada perintah dari sang prabu."
Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak. "Hendak kulilhat bagaimana kalian tikus-tikus ini bias mencegah aku masuk!"
Ia melangkah terus dan keadaan menjadi tegang. Para pengawal tidak berani turun tangan, akan tetapi mereka pun tidak mau memberi jalan, sehingga mereka itu membentuk lingkaran yang menghadang di depan Dibyo Mamangkoro dan muridnya, sambil mundur-mundur ketakutan. Dalam keadaan ketegangan mengancam keributan ini, tiba-tiba terdengar suara dari sebelah dalam, "Ki Dibyo Mamangkoro dan temannya diperkenankan menghadap."
Suara itu adalah suara pengawal dalam yang merupakan hasil pelaporan dua orang pengawal tengah tadi. Begitu mendengar bahwa orang yang mendatangkan ribut di luar adalah Dibyo Mamangkoro, sang prabu tersenyum dan memberi tanda agar raksasa itu diperbolehkan masuk dan menghadapnya.
Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak, lalu bersama muridnya memasuki ruangan yang amat indah itu. Endang Patibroto celingukan memandang ke kenan kiri, mengagumi segala yang indah-indah dan yang baru pertama kali ini dilihatnya. Melihat sikap muridnya ini, Dibyo Mamangkoro tertawa.
"Semua ini, dan banyak yang jauh lebih hebat dan indah lagi, kelak menjadi punyamu, Endang!
Mereka memasuki pintu tebal terakhir dan tampaklah ruangan yang indah. Di sebelah paling dalam, yang terhias sutera-sutera berkembang beraneka warna, tampak Raja Jenggala duduk di atas singgasana, sebuah kursi kencana.
Endang Patibroto menahan napas. Raja itu tampan, seperti dewa kahyangan. Tubuh atas yang tak berbaju itu berkulit kuning dan seperti emas mengeluarkan cahaya. Kepalanya memakai mahkota bertabur emas permata Wajahnya tampan sekali. Heran sekali hati Endang. Gurunya pernah bilang bahwa Raja Jenggala berusia empat puluh tahun lebih, mengapa mukanya begitu halus dan kelihatannya tampan seperti seorang pemuda? Juga perhiasan leher dan lengannya gemerlapan, pakaian yang menutup tubuh bagian bawah mewah dan indah pula.
Beberapa orang ponggawa duduk bersila menghadap sang prabu. Akan tetapi pada saat itu, para hulubalang hanya mendengarkan saja dan sang prabu agaknya sedang merundingkan sesuatu yang amat penting dengan tiga orang yang duduk menghadap dekat di depan singgasana. Mereka ini adalah ki patih dan dua orang senopati.
Ketika Dibyo Mamangkoro dan Endang Patibroto muncul, sang prabu menghentikan percakapan, mengangkat muka dan memandang kepada kakek raksasa itu dengan senyum gembira. Akan tetapi sepasang alisnya terangkat, agaknya heran ketika melihat kakek itu datang bersama seorang gadis yang berwajah jelita. Kalau saja yang datang itu bukan murid Dibyo Mamangkoro, tentu sang prabu akan marah sekali. Seorang wanita muda datang menghadap dengan langkah tenang begitu saja, tidak berjalan jongkok, memakai baju lagi!
Dengan lagak kasar tidak dibuat-buat, Dibyo Mamangkoro menarik muridnya maju, lalu mengajak muridnya itu berlutut memberi hormat. Ia duduk bersila sedangkan Endang Patibroto duduk bersimpuh. Berbeda dengan semua wanita yang mendapat kehormatan hadir di depan sang prabu dan selalu menundukkan muka, gadis remaja ini mengangkat muka, matanya berkeliaran memandang ke mana-mana, bahkan secara terang-terangan menatap wajah sri baginda tanpa takut sedikit pun juga! Sikapnya sama benar dengan sikap Dibyo Mamangkoro yang tidak mengherankan hati sang prabu, karena sang prabu sudah mengenal watak kakek raksasa yang kasar dan liar ini.
"Kiranya paman Dibyo Mamangkoro yang membikin geger para pengawal keraton!" Demiklan tegur sang prabu sambil melirik ke arah Endang Patibroto.
"Hamba, Dibyo Mamagkoro dan murid terkasih hamba, Endang Patibroto menghaturkan sembah sujud!" Suara raksasa tua ini menggema di seluruh ruang persidangan.
Sang prabu tersenyum lagi. "Bagus, paman Dibyo. Kedatanganmu memang sangat tepat karena sesungguhnya kami amat membutuhkan bantuanmu."
"Untuk menggempur Panjalu, gusti?" Dibyo Mamangkoro memotong.
"Eh, bagaimana engkau bisa tahu, paman?"
"Huah-hah-hah...! Justru karena itulah hamba datang menghadap dan membawa murid hamba ke sini. Hamba menawarkan tenaga bantuan murid hamba ini dan percayalah, gusti, kalau Endang Patibroto mengepalai semua senopati Jenggala, dalam waktu singkat saja Panjalu akan dapat dihancurkan! Huah-hah-hah!"
Ucapan ini terlalu mengejutkan sehingga Sri Baginda dan semua hulubalang yang hadir tidak mempedulikan sikap dan kata-kata yang kasar itu. Mereka semua kini menengok dan memandang ke arah Endang Patibroto, yang bersikap tenang-tenang saja, bahkan membalas pandang mata mereka dengan senyum setengah mengejek.
Sri Baginda salah tampa, mengira bahwa Dibyo Mamangkoro sanggup membantu kerajaannya dengan syarat agar wanita yang menjadi muridnya itu diterima menjadi dayang di keraton. Karena gadis itupun cantik jelita, hanya sayang belum tahu tata susila keraton, pula karena memang amat membutuhkan tenaga bantuan orang-orang sakti seperti Dibyo Mamangkoro, tanpa ragu-ragu lagi sang prabu berkata,
"Baiklah, paman Dibyo. Muridmu ini kuangkat menjadi pelayan dalam, sedangkan engkau boleh memimpin para senopati di sini..."
"Bukan demikian maksud hamba, gusti! Murid hamba ini, Endang Patibroto, Puteri Nusakambangan, hamba tawarkan menjadi senopati, memimpin perang terhadap Panjalu, bukan hamba!"
"Apa katamu? Paman Dibyo Mamangkoro, harap jangan main-main begitu. Kami benar-benar sedang menghadapi perang saudara, dan Panjalu mempunyai banyak orang sakti. Bagaimana kami dapat memakai tenaga seorang gadis remaja untuk menghadapi mereka?"
"Huah-ha-ha-ha..! Hendaknya gusti tidak salah menduga. Murid hamba ini tidak boleh disamakan dengan segala wanita di jagad ini! Dia puteri di antara segala puteri! Sakti mandraguna tidak kalah oleh laki-laki yang mana pun juga. Hamba sendiri sekarang belum tentu akan mampu mengalahkan murid hamba ini!"
Ucapan Dibyo Mamangkoro mengandung kebanggaan luar biasa dan memang dia tidak terlalu melebih-lebihkan karena ketika itu tingkat kepandaian Endang Patibroto memang sudah luar biasa sekali. Mungkin belum mampu menandingi kedigdayaan gurunya, akan tetapi kalau ia mempergunakan pusaka Ki Brojol Luwuk, belum tentu Dibyo Mamangkoro sanggup mengalahkannya.....!
Komentar
Posting Komentar