BADAI LAUT SELATAN : JILID-58
"Dia itu...adik tiriku, puteri ibuku dengan paman Adibroto."
Joko Wandiro lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Ki Adibroto dan Ayu Candra di dekat Telaga Sarangan, tentang pesan terakhir Ki Adibroto yang melarang anaknya mencari pembunuh ayah bundanya, kemudian tentang lenyapnya Ayu Candra.
"Ah...kakangmas Pujo...agaknya akan sia-sia semua kehendakmu agar permusuhan itu disudahi dengan pengorbanan darah dan nyawamu...bukan saja anak kandung kita sendiri sudah melanggarnya, juga...juga masih ada ekornya lagi, anak Adibroto dan Listyokumolo..."
Kartikosari mengeluh dan menjadi berduka sekali. Suaminya telah mengorbankan nyawa, rela ditusuk sampai tewas oleh Listyokumolo untuk menebus dosa, bahkan melarangnya membalas malah menjodohkan Endang Patibroto dengan Joko Wandiro putera Listyokumolo dalam usaha terakhir menyudahi permusuhan itu. Akan tetapi usaha yang amat mulia dari suaminya itu hancur berantakan, tidak saja oleh anak mereka sendiri, juga kini tentu saja Ayu Candra hendak menuntut balas pula. Dendam permusuhan yang tiada akan habisnya.
"Bibi harap suka tenangkan hati. Saya yang tanggung bahwa Ayu Candra adik saya itu tidak akan melanjutkan permusuhan, tidak akan mencari balas dendam.. "
Kartikosari terharu dan memegang lengan Joko Wandiro. "Anakku...Joko Wandiro, engkau patut menjadi putera dan murid kakangmas Pujo. Engkau...engkau seperti dia, anakku! Terima kasih, Joko Wandiro. Engkau sebagai putera kandung Listyokumolo yang terbunuh oleh Endang Patibroto...engkau tidak menaruh dendam juga engkau hendak...mencegah adikmu Ayu Candra menuntut balas."
"Sudah semestinya begitu, bibi. Tidak mungkin saya dapat membiarkan adik saya menjadi korban nafsu dendam dan permusuhan yang tiada berkeputusan ini."
"Aku percaya engkau akan bisa membujuk adikmu. Sebagai puteri Ki Adibroto aku percaya Ayu Candra dapat mengerti, akan tetapi...ah, kalau aku ingat akan anakku Endang Patibroto? Dia sukar dikendalikan, memiliki kepandaian seperti iblis betina. Dia telah menjadi murid Dibyo Mamangkoro, dan tidak hanya mewarisi kedigdayaan raksasa yang mengerikan itu, malah juga celaka sekali, agaknya mewarisi wataknya yang seperti iblis."
Joko Wandiro menggigit bibir Ia masih gemas kalau teringat akan Endang Patibroto. Gadis itu telah banyak melakukan perbuatan keji. Hampir saja membunuh Ayu Candra tanpa sebab, juga menyerangnya dengan keji tanpa sebab. Kemudian, gadis itu malah telah membunuh ibu kandungnya dan Ki Adibroto, sungguhpun telah mendengar pesan terakhir ayahnya. Lebih hebat lagi, Endang Patibroto malah menyakiti hati ibunya, membantah dan melawan!
"Bibi, mengingat akan budi ayah Pujo yang berlimpah-limpah kepada diri saya, saya berjanji akan pergi mencari Endang Patibroto dan akan membujuknya agar supaya ia insyaf kembali dari pada kesesatannya dan suka kembali kepada bibi di sini."
"Aduh, anakku! Engkau menumpuk-numpuk budi sehingga membuat aku merasa malu sekali. Kakangmas Pujo...kiranya membekas juga semua jasa dalam hidupmu...! Joko Wandiro, kau tadi mengatakan bahwa sudah dua kali kau bentrok dengan Endang, sudah kauketahui sendiri kedigdayaannya yang seperti iblis. Bagaimana kalau ia tidak mendengar bujukanmu, bahkan menggunakan kekerasan? Aduh...alangkah akan baiknya kalau Endang tidak berubah seperti itu dan...dan dapat terlaksana pesan kakangmas Pujo tentang perjodohannya dengan kau...!"
"Saya berjanji akan mengajak Endang kembali kepadamu, bibi. Tidak peduli dia mau atau tidak, kalau perlu saya akan memaksanya dengan kekerasan!"
"Ah, Joko. Mudah-mudahan saja kau akan berhasil. Aku khawatir sekali, terutama jika aku ingat akan adikmu itu. Usahakanlah agar dia jangan memperhebat lagi permusuhan yang sudah diusahakan pemadamannya oleh ayahmu Pujo."
"Kalau saya pikir-pikir, sungguh menggemaskan orang biadab yang mempergunakan nama Raden Wisangjiwo sehingga tertanam bibit permusuhan sehebat itu. Bibi Kartikosari, siapakah sesungguhnya orang itu?"
Kartikosari tersenyum di antara air matanya. "Iblis itu sudah mampus, Joko! Mampus di tangan bibimu berdua ini. Jokowanengpati telah mati dan mayatnya dikubur dalam perut ikan!"
Kemudian dengan penuh nafsu amarah Kartikosari menceritakan betapa dia dan Roro Luhito memaksa Jokowanengpati terjun ke laut sehingga musuh besar itu disambar ikan dan diseretnya ke dalam lautan. Joko Wandiro menarik napas panjang. Ngeri juga hatinya mendengar nasib orang jahat itu, akan tetapi ia maklum bahwa segala perbuatan jahat biarpun lambat akan tetapi sudah pasti akan menyeret pembuatnya ke dalam lembah kesengsaraan dan malapetaka.
"Kiranya cukuplah, bibi berdua. Saya pamit mundur, karena saya sendiripun berkhawatir akan keselamatan adik saya, Ayu Candra yang belum saya ketahui ke mana perginya. Harap bibi berdua menanti di sini, saya pasti akan datang lagi dan mudah-mudahan dapat bersama Endang."
"Tidak di sini, Joko Kami akan pergi dar i tempat ini."
Ucapan Kartikosari ini tidak hanya mengagetkan Joko Wandiro, juga Roro Luhito terkejut dan terheran.
"Kita hendak pergi ke manakah?" tanyanya sambil memegang tangan Kartikosari.
"Adikku Roro Luhito. Setelah kini kita ketahui bahwa di sana masih ada Ayu Candra yang mungkin akan menuntut balas, lebih baik kita pergi menyembunyikan diri. Siapa tahu sebelum dapat ditemukan Joko Wandiro, dia akan lebih dulu datang ke sini mencari kita. Sesungguhnya aku tidak akan mundur dan rela menyerahkan nyawaku kepada anak Listyokumolo yang terbunuh oleh anakku, akan tetapi kita harus mengingat akan nasib... anak-anak kita dalam kandungan ini. Setelah jabang bayi terlahir, barulah aku siap menerima pembalasan. Karena ini, aku mengambil keputusan untuk bersembunyi ke Pulau Sempu di mana dahulu ayahku bertapa."
Roro Luhito menundukkan muka dengan terharu. Ucapan ini mengingatkan kepadanya bahwa anak yang ia kandungpun telah yatim, tiada berayah lagi. "Aku menurut segala keputusanmu."
Joko Wandiro mengangguk-angguk. Diam-diam ia terharu juga ketika mendengar bahwa kedua wanita yang di tinggal mati ayah angkatnya ini dalam keadaan mengandung.
"Baiklah, bibi berdua. Saya kelak akan menyusul ke Pulau Sempu."
Setelah bermohon diri, Joko Wandiro lalu meninggalkan Bayuwismo, menunggang kudanya, pemberian Pangeran Darmokusumo, Pangeran Panjalu yang haik hati itu. Sementara itu, beberapa hari kemudian setelah menaburkan bunga di laut sebagai pernyataan selamat tinggal kepada suami mereka, Kartikosari dan Roro Luhito juga meninggalkan Bayuwismo yang menjadi sunyi dan menyedihkan…..
********************
Berpekan-pekan Joko Wandiro menjelajah gunung-gunung dan pantai Laut Selatan untuk mencari jejak adiknya, Ayu Candra. Namun hasilnya sia-sia belaka sehingga hatinya menjadi gelisah sekali. Kemudian ia berpikir bahwa mungkin sekali adiknya itu oleh Ki Jatoko yang mencurigakan itu dibawa ke Bayuwismo. Siapa tahu kalau-kaiau Ayu Candra berusaha membalas dendam sendiri dan minta diantar Ki Jatoko.
Maka ia lalu kembali ke Bayuwismo dan alangkah terkejut hatinya ketika ia mendengar dari penduduk dusun yang berdekatan bahwa memang beberapa hari setelah Kartikosari dan Roro Luhito pergi meninggalkan pantai itu, ada seorang dara cantik bersama pamannya yang kedua kakinya bunting bertanya-tanya kepada penduduk di situ ke mana perginya penghuni Bayuwismo!
Tentu saja tidak ada seorangpun penduduk yang dapat memberi tahu dan kedua orang itu lalu pergi lagi dari situ. Kejadian ini sudah terjadi tiga pekan yang lalu. Aduh, untung bahwa bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito telah pergi. Kalau masih berada di sana, tentu akan terjadi hal yang amat mengerikan. Ia maklum bahwa Ayu Candra sama sekali bukanlah lawan Kartikosari dan Roro Luhito yang sakti, akan tetapi karena ayah bundanya terbunuh, tentu saja gadis itu menjadi nekat, sedangkan Kartikosari yang berwatak gagah itu tentu akan rela memberikan nyawanya seperti yang diperbuat oleh Pujo! Alangkah akan mengerikan kalau gadis itu, adiknya, bekas kekasihnya, melakukan pembunuhan seperti itu.
Karena Ayu Candra dan Ki Jatoko pernah datang ke dusun itu, biarpun telah lewat tiga pekan, namun setidaknya Joko Wandiro mulai mendapatkan jejak mereka. Menurut para penduduk yang melihatnya, dua orang itu pergi menuju ke utara. Dia mengikuti jejak mereka dan tibalah Joko Wandiro di Selopenangkep yang kini telah mempunyai seorang adipati baru, seorang ponggawa Kerajaan Panjalu. Di tempat ini ia mendapat keterangan pula bahwa memang dua orang itu pernah berada di Selopenangkep, akan tetapi kemudian pergi lagi menuju ke utara.
Joko Wandiro mengikuti terus jejak ini dan selanjutnya dengan hati girang ia mendapat kenyataan bahwa tidaklah sukar mengikuti jejak kedua orang itu walaupun sudah lewat belasan hari. Hal ini tidaklah aneh karena memang kedua orang itu menarik perhatian serta mudah diingat. Yang seorang adalah gadis cantik jelita yang sukar dicari bandingannya. Yang ke dua adalah seorang laki-laki bermuka buruk menjijikkan dan buntung kedua kakinya. Tentu saja "pasangan" seperti ini tidak mudah terlupa orang.
Akhirnya, Joko Wandiro mengikuti jejak kedua orang itu menuju ke timur. Hatinya berdebar dan tidak enak. Pulau Sempu letaknya di pantai Laut Selatan sebelah timur dan kini jejak kedua orang itu terus saja ke timur. Apakah dua orang itu telah dapat menduga ke mana perginya Kartikosari dan Roro Luhito? Ah, tidak mungkin! Yang tahu akan hal ini hanyalah mereka bertiga. Kalau begitu, ke manakah tujuan Ayu Candra? Mengapa terus ke timur bahkan sama sekali tidak kembali ke Sarangan?
Makin cepat ia mengejar, jarak di antara mereka makin dekat akan tetapi jejak itu juga makin dekat dengan Pulau Sempu! Ia hampir dapat menyusul mereka ketika tiba di kaki Pegunungan Anjasmoro. Dari seorang petani ia mendapat keterangan bahwa baru beberapa jam yang lalu petani itu melihat seorang buntung yang mengiringkan seorang gadis jelita lewat di dekat sawahnya.
"Bagaimana keadaan gadis itu, paman?" tanya Joko Wandiro setelah minum dari air kendi yang ditawarkan si petani dengan ramah. Petani itu memandang dengan mata penuh selidik. Ia melihat wajah, kemudian melihat pakaian Joko Wandiro, dan bertanya,
"Apakah andika ini seorang perajurit? Kalau seorang perajurit dari Jenggala ataukah dari Panjalu?"
Joko Wandiro cepat menggeleng kepala menyangkal. "Bukan perajurit bukan bangsawan, aku seorang pengelana biasa saja, paman."
"Syukur kalau begitu. Biasanya kalau perajurit, apalagi dari Jenggala, tentu akan terjadi hal yang tidak sedap dipandang kalau bertemu dengan gadis jelita seperti yang lewat tadi. Hemm, engkau bertanya tentang gadis itu, apakah keperluannya, orang muda?"
"paman jangan menaruh curiga. Gadis itu adalah adik saya, dan orang buntung itu adalah paman saya. Saya memang mencari mereka, paman."
"Oooo, begitukah? Gadis itu tampak sehat-sehat saja, agaknya tidak lelah biarpun melakukan perjalanan jauh. Sungguh cantik jelita dan trengginas (tangkas), juga pemberani, buktinya berani melakukan perjalanan hanya dikawal seorang paman yang lumpuh."
Lega hati Joko Wandiro mendengar ini. Ia lalu berpamit dan cepat-cepat ia melakukan pengejaran ke arah lereng Gunung Anjasmoro. Karena Joko Wandiro melakukan pengejaran sambil mengerahkan Aji Bayu Sakti, maka menjelang senja, ia dapat menyusul. Alangkah girang hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa dua orang yang bercakap-cakap di dalam hutan sambil mengaso di bawah pohon itu adalah Ayu Candra dan Ki Jatoko si buntung!
Sambil bersembunyi Joko Wandiro mengintai. Hatinya berdebar-debar girang ketika melihat betapa keterangan paman tani tadi betul. Ayu Candra kelihatan sehat, hanya pada wajahnya terbayang sinar kedukaan yang membuat sinar mata yang biasanya bening berseri-seri itu kini suram, senyumnya yang biasa selalu menghias bibir menambah cerah sinar matahari kini lenyap. Namun dalam kedukaan, bekas kekasihnya itu masih cantik jelita, masih menarik dan masih membuat jantung Joko Wandiro berdegupan keras. Dia adik saya, ia menekan jantungnya, dia adik saya, adik sekandung, adik seibu! Sambil menekankan kenyataan ini di hatinya, Joko Wandiro memandang Ki Jatoko dan ia merasa heran melihat betapa Ki Jatoko kini tidak kelihatan sebagai orang buntung yang lemah. Bahkan hebatnya, kakek buntung itu yang duduk di atas tanah kini menghadapi beberapa ekor ular yang berkelojotan di depannya sambil tertawa-tawa!
"Paman Jatoko, di sepanjang jalan kau membunuhi ular-ular berbisa dan mengambil racunnya untuk meracuni jarum-jarum itu, apakah masih kurang cukup?" Ayu Candra bertanya sambil duduk menjauh, agaknya jijik melihat banyak ular menggehat-geliat dan berkelojotan itu.
"Heh-heh-heh-heh, Ayu Candra cah ayu, cah denok! Kaulihat saja, kalau jarum-jarum ini sudah jadi betul, kemudian kau kuberi pelajaran mempergunakan jarum ini, kau akan memiliki kepandaian seratus kali sambit seratus kali kena! Nah, dengan jarum-jarum inilah kau kiranya. baru akan dapat menghadapi Pujo dan kedua orang isterinya yang sakti. Heh-heh-heh!"
"Paman, bukankah kabarnya menurut penduduk pantai dekat Bayuwismo, Pujo sudah meninggal dunia?"
"Ah-hah, omongan orang desa sebodoh itu tak perlu kaupercaya, cah manis! Mereka tahu Apa? Pujo orangnya belum tua benar dan sakti. Agaknya ia sudah tahu bahwa kau hendak mencarinya dan membalas dendam, maka ia lalu lari menyembunyikan diri bersama kedua isterinya, dan berpura-pura mati. Akan tetapi jangan kau khawatir, sekali kita bertemu dengannya, kau pasti akan mampu membalas dendam. Aku tanggung! Kalau tidak, jangan panggil aku Ki Jatoko lagi, heh-heh!"
Tiba-tiba tubuh orang buntung itu berkelebat ke kiri, cepat sekali gerakannya, tahu-tahu tubuh yang buntung itu telah menubruk dan menyusup ke dalam semak-semak, lalu muncul dan mencelat lagi ke tempat tadi, tangan kirinya telah menjepit seekor ular bandot yang amat berbisa!
Leher ular itu terjepit di antara ibu jari dan telunjuknya, kemudian sekali jari-jari tangan kanan mengurut tubuh ular itu dari leher ke ekornya, ular itu sudah berkelojotan tak mampu lari lagi, lalu dilemparkan ke bawah, ke sekumpulan ular-ular tadi.
"Heh-heh, bandot hijau, amat berbisa. Bisanya banyak dan amat ampuh!" kata Ki Jatoko.
Ayu Candra agaknya sudah sering melihat cara kakek buntung itu menangkap ular, maka ia tidak merasa heran lagi. Gadis ini sudah cukup maklum bahwa orang buntung itu sesungguhnya memiliki kesaktian yang hebat sekali. Akan tetapi Joko Wandiro yang tidak menduga sama sekali, menjadi kaget setengah mati, Dapat bergerak secepat itu, si buntung ini memiliki kepandaian yang tidak kalah oleh pendekar-pendekar kebanyakan yang masih lengkap anggauta badannya! Caranya bergerak melompat tadi amat cepat, juga cara menangkap ular benar-benar mengagumkan. Seorang lawan berat!
"Sudah yakin benarkah kau bahwa musuh kita adalah Pujo dan dua orang isterinya, paman?"
"Kau masih ragu-ragu kepadaku, Ayu? Ah, masih tidak percaya setelah aku membelamu, bersusah payah mengajakmu mencari musuh besarmu? Ayu, aku bersumpah bahwa aku tidak akan membohongimu. Aku orang Selopenangkep, kau sudah kuceritakan tentang ini. Aku tahu ketika Pujo menculik ibumu Listyokumolo dan anaknya yang masih kecil. Aku tahu betapa ibumu lalu menjadi gila karena perbuatan biadab si Pujo! Kemudian untung tertolong oleh Ki Adibroto, menjadi suami isteri dan mempunyai anak engkau."
Sambil bicara, Ki Jatoko menangkap seekor ular, mengurut tubuh ular itu sehingga racunnya keluar dari mulut yang dijungkirkan. Racun kehijauan yang menetes-netes itu jatuh ke dalam sebuah batok kelapa di mana terdapat puluhan batang jarum yang sudah hijau menghitam warnanya. Setelah racunnya habis, ia membuang tubuh ular itu ke samping dan ternyata binatang itu telah mati. Ia menangkap ular ke dua dan memperlakukannya seperti tadi, kemudian ke tiga dan ke empat, demikian seterusnya.
"Kenapa kau mengajakku ke Kerajaan Jenggala, paman? Bukankah lebih baik kita berdua saja terus mencari si penjahat Pujo?"
Perih hati Joko Wandiro mendengar adiknya menyebut Pujo "penjahat" itu. Ah, adikku yang terkasih, engkau tidak tahu keadaan sebenarnya. Engkau terlalu mabok oleh racun hasutan si buntung yang mencurigakan sekali ini! Demikian dia mengeluh dan merasa marah sekali kepada Ki Jatoko. Akan tetapi mendengar pertanyaan yang diajukan Ayu Candra, ia terkejut dan mendengarkan terus.
"Ayu Candra, cah manis. Engkau percaya sajalah kepadaku. Sudah kukatakan berkali-kali kepadamu, aku seorang yang hidup sebatang kara, setelah bertemu denganmu, aku tahu bahwa sisa hidupku ini kuperuntukkan dirimu seorang. Asal kelak engkau dapat mengasihi seorang buntung seperti aku, ahhh...rela aku berkurban Apa saja untukmu, manis. Ketahuilah, untuk mencari Pujo tidak mudah setelah kini kita tidak tahu ke mana ia menyembunyikan diri. Akan tetapi di Jenggala aku mempunyai banyak sekali kawan-kawan yang sakti. Bahkan sang prabu di Jenggala tentu akan suka membantuku. Dengan bantuan orang-orang sakti dan pasukan, Apa susahnya mencari Pujo? Nah, kalau sudah bertemu, bukankah kita mendapat bantuan orang-orang pandai dan engkau akan dapat melampiaskan dendammu, manis?"
Pucat wajah Joko Wandiro mendengar ini. pucat saking marahnya. Tidak hanya karena kenyataan bahwa manusia buntung ini bersekutu dengan orang-orang sakti yang membantu Jenggala seperti Dibyo Mamangkoro dan yang lain-lain, juga karena sikap dan kata-kata si buntung ini jelas sekali mengandung niat yang tidak wajar. Agaknya si buntung itu diam-diam gandrung dan tergila-gila kepada Ayu Candra, memperlihatkan sikap seperti terhadap kekasihnya. Hanya karena Ayu Candra seorang gadis jujur dan polos, berwatak bersih dan masih bodoh, maka sikap mesra itu dianggapnya sikap ramah dan baik dari seorang paman terhadap keponakan!
Tiba-tiba tubuh si buntung berkelebat lagi menubruk dan menyusup ke dalam semak-semak seperti tadi dan ketika melompat keluar lagi tangannya sudah menjepit seekor ular yang kulitnya hijau keputihan. Akan tetapi pada saat itu, Joko Wandiro juga sudah melompat keluar menghampiri Ayu Candra.
"Ayu Candra...!"
"Joko... eh, kakang...engkau...?"
Ayu Candra melompat bangun. Sejenak wajahnya berseri, matanya yang sayu dan wajahnya yang muram itu berseri, bibirnya terbuka mengarah senyum, kedua tangannya diulur ke depan. Joko Wandiro terharu dan melangkah maju hendak memeluk, akan tetapi tiba-tiba dari belakangnya terdengar Ki Jatoko menghardik,
"Mundur engkau! Engkau bernama Joko Wandiro, bukan? Engkau murid terkasih si keparat Pujo, bukan? Engkau ini anak durhaka, anak tidak berbakti! Ibu kandungmu dahulu diculik Pujo, diperkosa, dirusak kehormatannya sampai menjadi gila! Engkau sendiri diculik, akan tetapi karena diperlakukan sebagai murid, engkau lalu lupa akan ibu kandungmu sendiri! Engkau tahu ibumu dibunuh Pujo, akan tetapi engkau melarang Ayu Candra hendak menuntut balas. Cih, laki-laki macam engkau ini mana pantas menjadi kakak Ayu Candra?"
Hebat sekali ucapan ini. Joko Wandiro merasa seakan-akan mukanya ditampar. Ia mengurungkan niatnva memeluk Ayu Candra, lalu perlahan-lahan membalikkan tubuhnya menghadapi si buntung yang duduk di atas tanah memegangi ularnya yang baru saja ditangkapnya tadi. Muka Joko Wandiro sebentar merah sebentar pucat karena perasaannya yang menggelora. Ucapan itu selain kasar dan keras, juga beracun sekali, lebih beracun dari pada bisa yang terkumpul di dalam batok. Sekiranya Joko Wandiro belum bertemu dengan Kartikosari dan Roro Luhito, mungkin ia akan terpengaruh oleh kata-kata ini dan akan menjadi ragu-ragu dan malu kepada diri sendiri yang dikatakan tidak berbakti kepada ibu kandungnya! Akan tetapi, ia telah tahu akan duduknya perkara, maka ia menjadi marah bukan main kepada orang buntung ini.
"Paman, engkau seorang tua lagi buntung kedua kakimu. Jagalah mulutmu agar jangan sampai aku seorang muda berlaku kurang ajar kepadamu!" bentak Joko Wandiro menahan kemarahannya.
"Heh-heh-heh, coba sangkal kata-kataku kalau mampu. Ayu Candra, jangan engkau terlalu percaya kepada kakak tirimu ini. Dia sudah diracuni si keparat Pujo, seperti juga bibinya. Ya, aku belum menceritakan kepadamu, Ayu, bahwa adik ayah bocah ini, yang bernama Roro Luhito, ketika di Selopenangkep dahulu juga menjadi korban kebiadaban Pujo, dicemarkan kehormatannya. Kemudian Roro Luhito yang hendak membalas dendam, dikalahkan oleh Pujo, malah dipaksa menjadi bini mudanya sekali! Nah, karena kini Pujo selain menjadi guru dan menjadi pemeliharanya sejak kecil juga menjadi suami bibinya, tentu saja ia tidak akan membiarkan engkau membalas dendam..."
"Tutup mulutmu yang busuk...!"
Joko Wandiro kini tak dapat lagi menahan kemarahannya. Ia tidak sudi bertengkar mulut dengan orang buntung yang ternyata amat pandai bicara dan pandai membakar hati ini. Paling baik memberinya hajaran lalu mengajak Ayu Candra cepat-cepat pergi dari situ, pikirnya. Dengan sebuah loncatan kilat Joko Wandiro menerkam maju. Akan tetapi pemuda ini terkejut dan cepat mengelak ke belakang ketika tiba-tiba ada suara mendesis dan kepala ular hijau telah menyambar ke arah lehernya.
Kiranya ular itu kini telah dipegang perutnya oleh Ki Jatoko yang mempergunakan ular itu sebagai senjata hidup, diobat-abitkan sehingga kepala ular itu merupakan ujung senjata yang mendesis-desis marah dan siap menggigit! Ular hijau ini baru saja ditangkap oleh Ki Jatoko, masih liar dan belum diambil racunnya, maka amat berbahaya.
Kini Ki Jatoko sudah meloncat berdiri dan menerjang dengan senjata ular itu dengan serangan-serangan dahsyat. Diam-diam Joko Wandiro terkejut. Benar-benar hebat gerakan orang buntung ini sehingga ia menjadi heran sekali. Apalagi semua serangan si buntung itu didasari ilmu meringankan tubuh yang mirip dengan Aji Bayu Sakti!
Agaknya memang Aji Bayu Sakti, hanya menjadi agak berbeda karena dilakukan dengan kedua kaki buntung! Dan ular yang hidup itu digerakkan seperti orang menggerakkan sebatang tongkat atau sebatang tombak saja, bukan main cepatnya dan kepala ular itu saking cepatnya digerakkan, seakan-akan berubah menjadi belasan buah banyaknya.
Di lain fihak Ki Jatoko juga terkejut dan kagum. Orang muda ini ternyata memiliki gerakan yang amat gesit, tidak kalah oleh gerak cepatnya sendiri. Hampir ia tidak percaya kalau tidak menyaksikan sendiri. Ia kini menambah serangan dengan pukulan-pukulan tangan kirinya yang disertai Aji Siyung Warak, yang keampuhannya tidak kalah oleh gigitan ular berbisa di tangan kanannya. Namun Joko Wandiro yang maklum bahwa tangan kiri yang mengeluarkan angin dingin itu tentu ampuh, dapat menghindar dengan amat mudah.
Ketika untuk kesekian kalinya tangan kiri Ki Jatoko menampar, Joko Wandiro mengangkat tangan kanan menangkis dan mengerahkan hawa sakti dari dalam pusar disalurkan ke tangan, mencipta gerakan menempel sehingga ketika lengan kiri Ki Jatoko bertemu lengan kanannya, si buntung itu merasa lengannya tergetar dan tak dapat terlepas dari lengan lawan! Ia terkejut, memukulkan ular ke arah leher Joko Wandiro.
Pemuda ini mengeluarkan seruan keras, jari tangan kirinya mempergunakan Aji Pethit Nogo menyampok ke arah kepala ular dan "krakkk!" kepala ular itu hancur berantakan!. Ki Jatoko terkejut dan melompat ke belakang. Tangan kirinya terasa linu dan kejang-kejang. Ia makin terheran-heran. Pemuda ini sama sekali belum membalas dengan serangan, baru mengelak, menangkis dan membunuh ular, namun sudah jelas bahwa dia terdesak dan terjepit. Dalam beberapa gebrakan saja telah terbukti bahwa dia kalah!.
Ki Jatoko dahulu adalah Jokowanengpati yang gemblengan. Dahulu, biarpun kedua kakinya belum buntung, kepandaiannya tidak sematang sekarang. Dahulupun sudah jarang sekali ada orang pandai yang dapat mengalahkannya, apalagi hanya seorang pemuda hijau macam ini! Betapa mungkin pemuda itu dapat mengalahkannya hanya dengan tangan kosong dan tanpa balas menyerang? Ia menjadi penasaran dan marah sekali. Sepasang matanya menjadi merah, mulutnya menyeringai lebar dan ia sudah mencabut sebatang keris yang selama ini selalu tersembunyi di balik bajunya! Melihat kemarahan orang, Joko Wandiro menjadi sabar dan tenang kembali.
"Paman Jatoko, mengingat bahwa selama ini, tak peduli apakah maksud keji yang tersembunyi di dalam pikiranmu, ternyata engkau tidak mengganggu adikku Ayu Candra dan dia dalam keadaan sehat selamat, biarlah kita sudahi pertandingan ini dan kita mengambil jalan masing-masing. Aku akan mengajak adikku pergi dan di antara kita tidak perlu ada urusan dan sangkut-paut lagi."
Andai kata Joko Wandiro mengajukan alasan lain, tentu saja Ki Jatoko juga akan menerima karena dia bukanlah seorang bodoh. Tidak, jauh dari pada itu. Ki Jatoko adalah seorang yang cerdik luar biasa, penuh akal bulus dan tipu muslihat. Ia bukan seorang yang nekat yang merasa malu untuk mundur jika keadaan tidak menguntungkan. Ia tahu bahwa pemuda ini benar-benar amat sakti, bahwa belum tentu ia dapat menandinginya. Akan tetapi, alasan yang diajukan Joko Wandiro untuk mengakhiri pertandingan adalah untuk membawa pergi Ayu Candra! Hal ini sama artinya dengan membawa pergi semangat atau nyawanya! Sampai mati ia tidak akan mau berpisah lagi dari Ayu Candra, perawan jelita yang dicintanya sepenuh jiwa raga! Tidak, lebih baik mati dari pada harus berpisah dari Ayu Candra,
"Kau bocah kemarin sore tak perlu membujuk seorang seperti aku! Joko Wandiro, aku kasihan melihat Ayu Candra. Ayah bundanya terbunuh orang dan aku tahu siapa pembunuhnya. Kalau engkau seorang laki-laki yang tidak mau menjadi orang durhaka, lebih baik kau mengikuti aku pula dan mari kita bertiga mencari musuh kita. Kalau tidak, kau pergilah, tapi jangan kau ajak pergi Ayu Candra. Aku telah bersumpah akan mengantarkannya sampai bertemu dengan musuh besarnya dan biarpun engkau ini putera kandung Listyokumolo, namun belum tentu kau suka memusuhi Pujo yang menjadi guru dan pamanmu."
Joko Wandiro tidak mempedulikannya lagi, membalikkan tubuhnya menghadapi Ayu Candra. Gadis ini sudah berdiri di balik batang pohon dan wajahnya pucat. Agaknya ia merasa ngeri menyaksikan pertempuran tadi, sungguhpun ia sendiri bukan seorang wanita lemah.
"Ayu, adikku, tidak perlu kita melayani orang buntung ini. Marilah ikut aku, Ayu, dan nanti kau kuberi penjelasan, akan kuceritakan semua kepadamu..."
"Awas...Joko...!" Ayu Candra menjerit.
Biarpun andai kata tidak diperingatkan Ayu Candra, Joko Wandiro juga tidak akan mudah diserang dari belakang secara menggelap begitu saja. Selain panca indranya yang sudah tajam melebihi manusia biasa, juga ada semacam indra ke enam yang membuat ia seakan-akan mempunyai mata pada belakang kepala nya!
"Wuuuttt...!"
Sinar hitam keris di tangan Ki Jatoko menusuk angin ketika tubuh Joko Wandiro yang diserangnya tiba-tiba berkelebat dan meloncat melewati kepalanya! Ki Jatoko membalikkan tubuh dan kembali menubruk sambil menusukkan kerisnya disusul hantaman tangan kiri. Cepat dan bertubi datangnya serangan ini, dan pada saat itu tubuh Joko Wandiro baru saja melayang turun. Namun Joko Wandiro dapat sekaligus menangkis tusukan dan pukulan. Kembali empat lengan bertemu dan Ki Jatoko terhuyung-huyung ke belakang sampai lima langkah. Diam-diam Joko Wandiro merasa kasihan dan malu. Lawannya seorang buntung sehingga melangkahpun terhuyung-huyung!.
Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut karena tubuh itu sudah melayang dan menyerangnya seperti seekor burung garuda menyambar. Hemm, ia mencela kebodohannya sendiri. Biarpun buntung, orang ini sama sekali tidak perlu dikasihani karena ketangkasan dan kedigdayaannya melebihi jagoan-jagoan yang sudah pilih tanding. Ki Jatoko ini seorang yang sakti mandraguna, sama sekali tidak boleh dipandang rendah.
Seperti juga tadi, Joko Wandiro melayani lawannya dengan kedua tangan kosong saja, mengandalkan kegesitan tubuh dan kekuatan hawa sakti tubuhnya untuk mengelak atau menangkis. Seperti tadi pula, dia belum mau membalas dan diam-diam memperhatikan gerakan-gerakan lawan.
Diam-diam harus dia akui bahwa gerakan Ki Jatoko ini merupakan ilmu-ilmu yang tinggi dan bersih, bahkan hampir sama sumbernya dengan ilmu-ilmu milik Resi Bhargowo.....
Joko Wandiro lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Ki Adibroto dan Ayu Candra di dekat Telaga Sarangan, tentang pesan terakhir Ki Adibroto yang melarang anaknya mencari pembunuh ayah bundanya, kemudian tentang lenyapnya Ayu Candra.
"Ah...kakangmas Pujo...agaknya akan sia-sia semua kehendakmu agar permusuhan itu disudahi dengan pengorbanan darah dan nyawamu...bukan saja anak kandung kita sendiri sudah melanggarnya, juga...juga masih ada ekornya lagi, anak Adibroto dan Listyokumolo..."
Kartikosari mengeluh dan menjadi berduka sekali. Suaminya telah mengorbankan nyawa, rela ditusuk sampai tewas oleh Listyokumolo untuk menebus dosa, bahkan melarangnya membalas malah menjodohkan Endang Patibroto dengan Joko Wandiro putera Listyokumolo dalam usaha terakhir menyudahi permusuhan itu. Akan tetapi usaha yang amat mulia dari suaminya itu hancur berantakan, tidak saja oleh anak mereka sendiri, juga kini tentu saja Ayu Candra hendak menuntut balas pula. Dendam permusuhan yang tiada akan habisnya.
"Bibi harap suka tenangkan hati. Saya yang tanggung bahwa Ayu Candra adik saya itu tidak akan melanjutkan permusuhan, tidak akan mencari balas dendam.. "
Kartikosari terharu dan memegang lengan Joko Wandiro. "Anakku...Joko Wandiro, engkau patut menjadi putera dan murid kakangmas Pujo. Engkau...engkau seperti dia, anakku! Terima kasih, Joko Wandiro. Engkau sebagai putera kandung Listyokumolo yang terbunuh oleh Endang Patibroto...engkau tidak menaruh dendam juga engkau hendak...mencegah adikmu Ayu Candra menuntut balas."
"Sudah semestinya begitu, bibi. Tidak mungkin saya dapat membiarkan adik saya menjadi korban nafsu dendam dan permusuhan yang tiada berkeputusan ini."
"Aku percaya engkau akan bisa membujuk adikmu. Sebagai puteri Ki Adibroto aku percaya Ayu Candra dapat mengerti, akan tetapi...ah, kalau aku ingat akan anakku Endang Patibroto? Dia sukar dikendalikan, memiliki kepandaian seperti iblis betina. Dia telah menjadi murid Dibyo Mamangkoro, dan tidak hanya mewarisi kedigdayaan raksasa yang mengerikan itu, malah juga celaka sekali, agaknya mewarisi wataknya yang seperti iblis."
Joko Wandiro menggigit bibir Ia masih gemas kalau teringat akan Endang Patibroto. Gadis itu telah banyak melakukan perbuatan keji. Hampir saja membunuh Ayu Candra tanpa sebab, juga menyerangnya dengan keji tanpa sebab. Kemudian, gadis itu malah telah membunuh ibu kandungnya dan Ki Adibroto, sungguhpun telah mendengar pesan terakhir ayahnya. Lebih hebat lagi, Endang Patibroto malah menyakiti hati ibunya, membantah dan melawan!
"Bibi, mengingat akan budi ayah Pujo yang berlimpah-limpah kepada diri saya, saya berjanji akan pergi mencari Endang Patibroto dan akan membujuknya agar supaya ia insyaf kembali dari pada kesesatannya dan suka kembali kepada bibi di sini."
"Aduh, anakku! Engkau menumpuk-numpuk budi sehingga membuat aku merasa malu sekali. Kakangmas Pujo...kiranya membekas juga semua jasa dalam hidupmu...! Joko Wandiro, kau tadi mengatakan bahwa sudah dua kali kau bentrok dengan Endang, sudah kauketahui sendiri kedigdayaannya yang seperti iblis. Bagaimana kalau ia tidak mendengar bujukanmu, bahkan menggunakan kekerasan? Aduh...alangkah akan baiknya kalau Endang tidak berubah seperti itu dan...dan dapat terlaksana pesan kakangmas Pujo tentang perjodohannya dengan kau...!"
"Saya berjanji akan mengajak Endang kembali kepadamu, bibi. Tidak peduli dia mau atau tidak, kalau perlu saya akan memaksanya dengan kekerasan!"
"Ah, Joko. Mudah-mudahan saja kau akan berhasil. Aku khawatir sekali, terutama jika aku ingat akan adikmu itu. Usahakanlah agar dia jangan memperhebat lagi permusuhan yang sudah diusahakan pemadamannya oleh ayahmu Pujo."
"Kalau saya pikir-pikir, sungguh menggemaskan orang biadab yang mempergunakan nama Raden Wisangjiwo sehingga tertanam bibit permusuhan sehebat itu. Bibi Kartikosari, siapakah sesungguhnya orang itu?"
Kartikosari tersenyum di antara air matanya. "Iblis itu sudah mampus, Joko! Mampus di tangan bibimu berdua ini. Jokowanengpati telah mati dan mayatnya dikubur dalam perut ikan!"
Kemudian dengan penuh nafsu amarah Kartikosari menceritakan betapa dia dan Roro Luhito memaksa Jokowanengpati terjun ke laut sehingga musuh besar itu disambar ikan dan diseretnya ke dalam lautan. Joko Wandiro menarik napas panjang. Ngeri juga hatinya mendengar nasib orang jahat itu, akan tetapi ia maklum bahwa segala perbuatan jahat biarpun lambat akan tetapi sudah pasti akan menyeret pembuatnya ke dalam lembah kesengsaraan dan malapetaka.
"Kiranya cukuplah, bibi berdua. Saya pamit mundur, karena saya sendiripun berkhawatir akan keselamatan adik saya, Ayu Candra yang belum saya ketahui ke mana perginya. Harap bibi berdua menanti di sini, saya pasti akan datang lagi dan mudah-mudahan dapat bersama Endang."
"Tidak di sini, Joko Kami akan pergi dar i tempat ini."
Ucapan Kartikosari ini tidak hanya mengagetkan Joko Wandiro, juga Roro Luhito terkejut dan terheran.
"Kita hendak pergi ke manakah?" tanyanya sambil memegang tangan Kartikosari.
"Adikku Roro Luhito. Setelah kini kita ketahui bahwa di sana masih ada Ayu Candra yang mungkin akan menuntut balas, lebih baik kita pergi menyembunyikan diri. Siapa tahu sebelum dapat ditemukan Joko Wandiro, dia akan lebih dulu datang ke sini mencari kita. Sesungguhnya aku tidak akan mundur dan rela menyerahkan nyawaku kepada anak Listyokumolo yang terbunuh oleh anakku, akan tetapi kita harus mengingat akan nasib... anak-anak kita dalam kandungan ini. Setelah jabang bayi terlahir, barulah aku siap menerima pembalasan. Karena ini, aku mengambil keputusan untuk bersembunyi ke Pulau Sempu di mana dahulu ayahku bertapa."
Roro Luhito menundukkan muka dengan terharu. Ucapan ini mengingatkan kepadanya bahwa anak yang ia kandungpun telah yatim, tiada berayah lagi. "Aku menurut segala keputusanmu."
Joko Wandiro mengangguk-angguk. Diam-diam ia terharu juga ketika mendengar bahwa kedua wanita yang di tinggal mati ayah angkatnya ini dalam keadaan mengandung.
"Baiklah, bibi berdua. Saya kelak akan menyusul ke Pulau Sempu."
Setelah bermohon diri, Joko Wandiro lalu meninggalkan Bayuwismo, menunggang kudanya, pemberian Pangeran Darmokusumo, Pangeran Panjalu yang haik hati itu. Sementara itu, beberapa hari kemudian setelah menaburkan bunga di laut sebagai pernyataan selamat tinggal kepada suami mereka, Kartikosari dan Roro Luhito juga meninggalkan Bayuwismo yang menjadi sunyi dan menyedihkan…..
********************
Berpekan-pekan Joko Wandiro menjelajah gunung-gunung dan pantai Laut Selatan untuk mencari jejak adiknya, Ayu Candra. Namun hasilnya sia-sia belaka sehingga hatinya menjadi gelisah sekali. Kemudian ia berpikir bahwa mungkin sekali adiknya itu oleh Ki Jatoko yang mencurigakan itu dibawa ke Bayuwismo. Siapa tahu kalau-kaiau Ayu Candra berusaha membalas dendam sendiri dan minta diantar Ki Jatoko.
Maka ia lalu kembali ke Bayuwismo dan alangkah terkejut hatinya ketika ia mendengar dari penduduk dusun yang berdekatan bahwa memang beberapa hari setelah Kartikosari dan Roro Luhito pergi meninggalkan pantai itu, ada seorang dara cantik bersama pamannya yang kedua kakinya bunting bertanya-tanya kepada penduduk di situ ke mana perginya penghuni Bayuwismo!
Tentu saja tidak ada seorangpun penduduk yang dapat memberi tahu dan kedua orang itu lalu pergi lagi dari situ. Kejadian ini sudah terjadi tiga pekan yang lalu. Aduh, untung bahwa bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito telah pergi. Kalau masih berada di sana, tentu akan terjadi hal yang amat mengerikan. Ia maklum bahwa Ayu Candra sama sekali bukanlah lawan Kartikosari dan Roro Luhito yang sakti, akan tetapi karena ayah bundanya terbunuh, tentu saja gadis itu menjadi nekat, sedangkan Kartikosari yang berwatak gagah itu tentu akan rela memberikan nyawanya seperti yang diperbuat oleh Pujo! Alangkah akan mengerikan kalau gadis itu, adiknya, bekas kekasihnya, melakukan pembunuhan seperti itu.
Karena Ayu Candra dan Ki Jatoko pernah datang ke dusun itu, biarpun telah lewat tiga pekan, namun setidaknya Joko Wandiro mulai mendapatkan jejak mereka. Menurut para penduduk yang melihatnya, dua orang itu pergi menuju ke utara. Dia mengikuti jejak mereka dan tibalah Joko Wandiro di Selopenangkep yang kini telah mempunyai seorang adipati baru, seorang ponggawa Kerajaan Panjalu. Di tempat ini ia mendapat keterangan pula bahwa memang dua orang itu pernah berada di Selopenangkep, akan tetapi kemudian pergi lagi menuju ke utara.
Joko Wandiro mengikuti terus jejak ini dan selanjutnya dengan hati girang ia mendapat kenyataan bahwa tidaklah sukar mengikuti jejak kedua orang itu walaupun sudah lewat belasan hari. Hal ini tidaklah aneh karena memang kedua orang itu menarik perhatian serta mudah diingat. Yang seorang adalah gadis cantik jelita yang sukar dicari bandingannya. Yang ke dua adalah seorang laki-laki bermuka buruk menjijikkan dan buntung kedua kakinya. Tentu saja "pasangan" seperti ini tidak mudah terlupa orang.
Akhirnya, Joko Wandiro mengikuti jejak kedua orang itu menuju ke timur. Hatinya berdebar dan tidak enak. Pulau Sempu letaknya di pantai Laut Selatan sebelah timur dan kini jejak kedua orang itu terus saja ke timur. Apakah dua orang itu telah dapat menduga ke mana perginya Kartikosari dan Roro Luhito? Ah, tidak mungkin! Yang tahu akan hal ini hanyalah mereka bertiga. Kalau begitu, ke manakah tujuan Ayu Candra? Mengapa terus ke timur bahkan sama sekali tidak kembali ke Sarangan?
Makin cepat ia mengejar, jarak di antara mereka makin dekat akan tetapi jejak itu juga makin dekat dengan Pulau Sempu! Ia hampir dapat menyusul mereka ketika tiba di kaki Pegunungan Anjasmoro. Dari seorang petani ia mendapat keterangan bahwa baru beberapa jam yang lalu petani itu melihat seorang buntung yang mengiringkan seorang gadis jelita lewat di dekat sawahnya.
"Bagaimana keadaan gadis itu, paman?" tanya Joko Wandiro setelah minum dari air kendi yang ditawarkan si petani dengan ramah. Petani itu memandang dengan mata penuh selidik. Ia melihat wajah, kemudian melihat pakaian Joko Wandiro, dan bertanya,
"Apakah andika ini seorang perajurit? Kalau seorang perajurit dari Jenggala ataukah dari Panjalu?"
Joko Wandiro cepat menggeleng kepala menyangkal. "Bukan perajurit bukan bangsawan, aku seorang pengelana biasa saja, paman."
"Syukur kalau begitu. Biasanya kalau perajurit, apalagi dari Jenggala, tentu akan terjadi hal yang tidak sedap dipandang kalau bertemu dengan gadis jelita seperti yang lewat tadi. Hemm, engkau bertanya tentang gadis itu, apakah keperluannya, orang muda?"
"paman jangan menaruh curiga. Gadis itu adalah adik saya, dan orang buntung itu adalah paman saya. Saya memang mencari mereka, paman."
"Oooo, begitukah? Gadis itu tampak sehat-sehat saja, agaknya tidak lelah biarpun melakukan perjalanan jauh. Sungguh cantik jelita dan trengginas (tangkas), juga pemberani, buktinya berani melakukan perjalanan hanya dikawal seorang paman yang lumpuh."
Lega hati Joko Wandiro mendengar ini. Ia lalu berpamit dan cepat-cepat ia melakukan pengejaran ke arah lereng Gunung Anjasmoro. Karena Joko Wandiro melakukan pengejaran sambil mengerahkan Aji Bayu Sakti, maka menjelang senja, ia dapat menyusul. Alangkah girang hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa dua orang yang bercakap-cakap di dalam hutan sambil mengaso di bawah pohon itu adalah Ayu Candra dan Ki Jatoko si buntung!
Sambil bersembunyi Joko Wandiro mengintai. Hatinya berdebar-debar girang ketika melihat betapa keterangan paman tani tadi betul. Ayu Candra kelihatan sehat, hanya pada wajahnya terbayang sinar kedukaan yang membuat sinar mata yang biasanya bening berseri-seri itu kini suram, senyumnya yang biasa selalu menghias bibir menambah cerah sinar matahari kini lenyap. Namun dalam kedukaan, bekas kekasihnya itu masih cantik jelita, masih menarik dan masih membuat jantung Joko Wandiro berdegupan keras. Dia adik saya, ia menekan jantungnya, dia adik saya, adik sekandung, adik seibu! Sambil menekankan kenyataan ini di hatinya, Joko Wandiro memandang Ki Jatoko dan ia merasa heran melihat betapa Ki Jatoko kini tidak kelihatan sebagai orang buntung yang lemah. Bahkan hebatnya, kakek buntung itu yang duduk di atas tanah kini menghadapi beberapa ekor ular yang berkelojotan di depannya sambil tertawa-tawa!
"Paman Jatoko, di sepanjang jalan kau membunuhi ular-ular berbisa dan mengambil racunnya untuk meracuni jarum-jarum itu, apakah masih kurang cukup?" Ayu Candra bertanya sambil duduk menjauh, agaknya jijik melihat banyak ular menggehat-geliat dan berkelojotan itu.
"Heh-heh-heh-heh, Ayu Candra cah ayu, cah denok! Kaulihat saja, kalau jarum-jarum ini sudah jadi betul, kemudian kau kuberi pelajaran mempergunakan jarum ini, kau akan memiliki kepandaian seratus kali sambit seratus kali kena! Nah, dengan jarum-jarum inilah kau kiranya. baru akan dapat menghadapi Pujo dan kedua orang isterinya yang sakti. Heh-heh-heh!"
"Paman, bukankah kabarnya menurut penduduk pantai dekat Bayuwismo, Pujo sudah meninggal dunia?"
"Ah-hah, omongan orang desa sebodoh itu tak perlu kaupercaya, cah manis! Mereka tahu Apa? Pujo orangnya belum tua benar dan sakti. Agaknya ia sudah tahu bahwa kau hendak mencarinya dan membalas dendam, maka ia lalu lari menyembunyikan diri bersama kedua isterinya, dan berpura-pura mati. Akan tetapi jangan kau khawatir, sekali kita bertemu dengannya, kau pasti akan mampu membalas dendam. Aku tanggung! Kalau tidak, jangan panggil aku Ki Jatoko lagi, heh-heh!"
Tiba-tiba tubuh orang buntung itu berkelebat ke kiri, cepat sekali gerakannya, tahu-tahu tubuh yang buntung itu telah menubruk dan menyusup ke dalam semak-semak, lalu muncul dan mencelat lagi ke tempat tadi, tangan kirinya telah menjepit seekor ular bandot yang amat berbisa!
Leher ular itu terjepit di antara ibu jari dan telunjuknya, kemudian sekali jari-jari tangan kanan mengurut tubuh ular itu dari leher ke ekornya, ular itu sudah berkelojotan tak mampu lari lagi, lalu dilemparkan ke bawah, ke sekumpulan ular-ular tadi.
"Heh-heh, bandot hijau, amat berbisa. Bisanya banyak dan amat ampuh!" kata Ki Jatoko.
Ayu Candra agaknya sudah sering melihat cara kakek buntung itu menangkap ular, maka ia tidak merasa heran lagi. Gadis ini sudah cukup maklum bahwa orang buntung itu sesungguhnya memiliki kesaktian yang hebat sekali. Akan tetapi Joko Wandiro yang tidak menduga sama sekali, menjadi kaget setengah mati, Dapat bergerak secepat itu, si buntung ini memiliki kepandaian yang tidak kalah oleh pendekar-pendekar kebanyakan yang masih lengkap anggauta badannya! Caranya bergerak melompat tadi amat cepat, juga cara menangkap ular benar-benar mengagumkan. Seorang lawan berat!
"Sudah yakin benarkah kau bahwa musuh kita adalah Pujo dan dua orang isterinya, paman?"
"Kau masih ragu-ragu kepadaku, Ayu? Ah, masih tidak percaya setelah aku membelamu, bersusah payah mengajakmu mencari musuh besarmu? Ayu, aku bersumpah bahwa aku tidak akan membohongimu. Aku orang Selopenangkep, kau sudah kuceritakan tentang ini. Aku tahu ketika Pujo menculik ibumu Listyokumolo dan anaknya yang masih kecil. Aku tahu betapa ibumu lalu menjadi gila karena perbuatan biadab si Pujo! Kemudian untung tertolong oleh Ki Adibroto, menjadi suami isteri dan mempunyai anak engkau."
Sambil bicara, Ki Jatoko menangkap seekor ular, mengurut tubuh ular itu sehingga racunnya keluar dari mulut yang dijungkirkan. Racun kehijauan yang menetes-netes itu jatuh ke dalam sebuah batok kelapa di mana terdapat puluhan batang jarum yang sudah hijau menghitam warnanya. Setelah racunnya habis, ia membuang tubuh ular itu ke samping dan ternyata binatang itu telah mati. Ia menangkap ular ke dua dan memperlakukannya seperti tadi, kemudian ke tiga dan ke empat, demikian seterusnya.
"Kenapa kau mengajakku ke Kerajaan Jenggala, paman? Bukankah lebih baik kita berdua saja terus mencari si penjahat Pujo?"
Perih hati Joko Wandiro mendengar adiknya menyebut Pujo "penjahat" itu. Ah, adikku yang terkasih, engkau tidak tahu keadaan sebenarnya. Engkau terlalu mabok oleh racun hasutan si buntung yang mencurigakan sekali ini! Demikian dia mengeluh dan merasa marah sekali kepada Ki Jatoko. Akan tetapi mendengar pertanyaan yang diajukan Ayu Candra, ia terkejut dan mendengarkan terus.
"Ayu Candra, cah manis. Engkau percaya sajalah kepadaku. Sudah kukatakan berkali-kali kepadamu, aku seorang yang hidup sebatang kara, setelah bertemu denganmu, aku tahu bahwa sisa hidupku ini kuperuntukkan dirimu seorang. Asal kelak engkau dapat mengasihi seorang buntung seperti aku, ahhh...rela aku berkurban Apa saja untukmu, manis. Ketahuilah, untuk mencari Pujo tidak mudah setelah kini kita tidak tahu ke mana ia menyembunyikan diri. Akan tetapi di Jenggala aku mempunyai banyak sekali kawan-kawan yang sakti. Bahkan sang prabu di Jenggala tentu akan suka membantuku. Dengan bantuan orang-orang sakti dan pasukan, Apa susahnya mencari Pujo? Nah, kalau sudah bertemu, bukankah kita mendapat bantuan orang-orang pandai dan engkau akan dapat melampiaskan dendammu, manis?"
Pucat wajah Joko Wandiro mendengar ini. pucat saking marahnya. Tidak hanya karena kenyataan bahwa manusia buntung ini bersekutu dengan orang-orang sakti yang membantu Jenggala seperti Dibyo Mamangkoro dan yang lain-lain, juga karena sikap dan kata-kata si buntung ini jelas sekali mengandung niat yang tidak wajar. Agaknya si buntung itu diam-diam gandrung dan tergila-gila kepada Ayu Candra, memperlihatkan sikap seperti terhadap kekasihnya. Hanya karena Ayu Candra seorang gadis jujur dan polos, berwatak bersih dan masih bodoh, maka sikap mesra itu dianggapnya sikap ramah dan baik dari seorang paman terhadap keponakan!
Tiba-tiba tubuh si buntung berkelebat lagi menubruk dan menyusup ke dalam semak-semak seperti tadi dan ketika melompat keluar lagi tangannya sudah menjepit seekor ular yang kulitnya hijau keputihan. Akan tetapi pada saat itu, Joko Wandiro juga sudah melompat keluar menghampiri Ayu Candra.
"Ayu Candra...!"
"Joko... eh, kakang...engkau...?"
Ayu Candra melompat bangun. Sejenak wajahnya berseri, matanya yang sayu dan wajahnya yang muram itu berseri, bibirnya terbuka mengarah senyum, kedua tangannya diulur ke depan. Joko Wandiro terharu dan melangkah maju hendak memeluk, akan tetapi tiba-tiba dari belakangnya terdengar Ki Jatoko menghardik,
"Mundur engkau! Engkau bernama Joko Wandiro, bukan? Engkau murid terkasih si keparat Pujo, bukan? Engkau ini anak durhaka, anak tidak berbakti! Ibu kandungmu dahulu diculik Pujo, diperkosa, dirusak kehormatannya sampai menjadi gila! Engkau sendiri diculik, akan tetapi karena diperlakukan sebagai murid, engkau lalu lupa akan ibu kandungmu sendiri! Engkau tahu ibumu dibunuh Pujo, akan tetapi engkau melarang Ayu Candra hendak menuntut balas. Cih, laki-laki macam engkau ini mana pantas menjadi kakak Ayu Candra?"
Hebat sekali ucapan ini. Joko Wandiro merasa seakan-akan mukanya ditampar. Ia mengurungkan niatnva memeluk Ayu Candra, lalu perlahan-lahan membalikkan tubuhnya menghadapi si buntung yang duduk di atas tanah memegangi ularnya yang baru saja ditangkapnya tadi. Muka Joko Wandiro sebentar merah sebentar pucat karena perasaannya yang menggelora. Ucapan itu selain kasar dan keras, juga beracun sekali, lebih beracun dari pada bisa yang terkumpul di dalam batok. Sekiranya Joko Wandiro belum bertemu dengan Kartikosari dan Roro Luhito, mungkin ia akan terpengaruh oleh kata-kata ini dan akan menjadi ragu-ragu dan malu kepada diri sendiri yang dikatakan tidak berbakti kepada ibu kandungnya! Akan tetapi, ia telah tahu akan duduknya perkara, maka ia menjadi marah bukan main kepada orang buntung ini.
"Paman, engkau seorang tua lagi buntung kedua kakimu. Jagalah mulutmu agar jangan sampai aku seorang muda berlaku kurang ajar kepadamu!" bentak Joko Wandiro menahan kemarahannya.
"Heh-heh-heh, coba sangkal kata-kataku kalau mampu. Ayu Candra, jangan engkau terlalu percaya kepada kakak tirimu ini. Dia sudah diracuni si keparat Pujo, seperti juga bibinya. Ya, aku belum menceritakan kepadamu, Ayu, bahwa adik ayah bocah ini, yang bernama Roro Luhito, ketika di Selopenangkep dahulu juga menjadi korban kebiadaban Pujo, dicemarkan kehormatannya. Kemudian Roro Luhito yang hendak membalas dendam, dikalahkan oleh Pujo, malah dipaksa menjadi bini mudanya sekali! Nah, karena kini Pujo selain menjadi guru dan menjadi pemeliharanya sejak kecil juga menjadi suami bibinya, tentu saja ia tidak akan membiarkan engkau membalas dendam..."
"Tutup mulutmu yang busuk...!"
Joko Wandiro kini tak dapat lagi menahan kemarahannya. Ia tidak sudi bertengkar mulut dengan orang buntung yang ternyata amat pandai bicara dan pandai membakar hati ini. Paling baik memberinya hajaran lalu mengajak Ayu Candra cepat-cepat pergi dari situ, pikirnya. Dengan sebuah loncatan kilat Joko Wandiro menerkam maju. Akan tetapi pemuda ini terkejut dan cepat mengelak ke belakang ketika tiba-tiba ada suara mendesis dan kepala ular hijau telah menyambar ke arah lehernya.
Kiranya ular itu kini telah dipegang perutnya oleh Ki Jatoko yang mempergunakan ular itu sebagai senjata hidup, diobat-abitkan sehingga kepala ular itu merupakan ujung senjata yang mendesis-desis marah dan siap menggigit! Ular hijau ini baru saja ditangkap oleh Ki Jatoko, masih liar dan belum diambil racunnya, maka amat berbahaya.
Kini Ki Jatoko sudah meloncat berdiri dan menerjang dengan senjata ular itu dengan serangan-serangan dahsyat. Diam-diam Joko Wandiro terkejut. Benar-benar hebat gerakan orang buntung ini sehingga ia menjadi heran sekali. Apalagi semua serangan si buntung itu didasari ilmu meringankan tubuh yang mirip dengan Aji Bayu Sakti!
Agaknya memang Aji Bayu Sakti, hanya menjadi agak berbeda karena dilakukan dengan kedua kaki buntung! Dan ular yang hidup itu digerakkan seperti orang menggerakkan sebatang tongkat atau sebatang tombak saja, bukan main cepatnya dan kepala ular itu saking cepatnya digerakkan, seakan-akan berubah menjadi belasan buah banyaknya.
Di lain fihak Ki Jatoko juga terkejut dan kagum. Orang muda ini ternyata memiliki gerakan yang amat gesit, tidak kalah oleh gerak cepatnya sendiri. Hampir ia tidak percaya kalau tidak menyaksikan sendiri. Ia kini menambah serangan dengan pukulan-pukulan tangan kirinya yang disertai Aji Siyung Warak, yang keampuhannya tidak kalah oleh gigitan ular berbisa di tangan kanannya. Namun Joko Wandiro yang maklum bahwa tangan kiri yang mengeluarkan angin dingin itu tentu ampuh, dapat menghindar dengan amat mudah.
Ketika untuk kesekian kalinya tangan kiri Ki Jatoko menampar, Joko Wandiro mengangkat tangan kanan menangkis dan mengerahkan hawa sakti dari dalam pusar disalurkan ke tangan, mencipta gerakan menempel sehingga ketika lengan kiri Ki Jatoko bertemu lengan kanannya, si buntung itu merasa lengannya tergetar dan tak dapat terlepas dari lengan lawan! Ia terkejut, memukulkan ular ke arah leher Joko Wandiro.
Pemuda ini mengeluarkan seruan keras, jari tangan kirinya mempergunakan Aji Pethit Nogo menyampok ke arah kepala ular dan "krakkk!" kepala ular itu hancur berantakan!. Ki Jatoko terkejut dan melompat ke belakang. Tangan kirinya terasa linu dan kejang-kejang. Ia makin terheran-heran. Pemuda ini sama sekali belum membalas dengan serangan, baru mengelak, menangkis dan membunuh ular, namun sudah jelas bahwa dia terdesak dan terjepit. Dalam beberapa gebrakan saja telah terbukti bahwa dia kalah!.
Ki Jatoko dahulu adalah Jokowanengpati yang gemblengan. Dahulu, biarpun kedua kakinya belum buntung, kepandaiannya tidak sematang sekarang. Dahulupun sudah jarang sekali ada orang pandai yang dapat mengalahkannya, apalagi hanya seorang pemuda hijau macam ini! Betapa mungkin pemuda itu dapat mengalahkannya hanya dengan tangan kosong dan tanpa balas menyerang? Ia menjadi penasaran dan marah sekali. Sepasang matanya menjadi merah, mulutnya menyeringai lebar dan ia sudah mencabut sebatang keris yang selama ini selalu tersembunyi di balik bajunya! Melihat kemarahan orang, Joko Wandiro menjadi sabar dan tenang kembali.
"Paman Jatoko, mengingat bahwa selama ini, tak peduli apakah maksud keji yang tersembunyi di dalam pikiranmu, ternyata engkau tidak mengganggu adikku Ayu Candra dan dia dalam keadaan sehat selamat, biarlah kita sudahi pertandingan ini dan kita mengambil jalan masing-masing. Aku akan mengajak adikku pergi dan di antara kita tidak perlu ada urusan dan sangkut-paut lagi."
Andai kata Joko Wandiro mengajukan alasan lain, tentu saja Ki Jatoko juga akan menerima karena dia bukanlah seorang bodoh. Tidak, jauh dari pada itu. Ki Jatoko adalah seorang yang cerdik luar biasa, penuh akal bulus dan tipu muslihat. Ia bukan seorang yang nekat yang merasa malu untuk mundur jika keadaan tidak menguntungkan. Ia tahu bahwa pemuda ini benar-benar amat sakti, bahwa belum tentu ia dapat menandinginya. Akan tetapi, alasan yang diajukan Joko Wandiro untuk mengakhiri pertandingan adalah untuk membawa pergi Ayu Candra! Hal ini sama artinya dengan membawa pergi semangat atau nyawanya! Sampai mati ia tidak akan mau berpisah lagi dari Ayu Candra, perawan jelita yang dicintanya sepenuh jiwa raga! Tidak, lebih baik mati dari pada harus berpisah dari Ayu Candra,
"Kau bocah kemarin sore tak perlu membujuk seorang seperti aku! Joko Wandiro, aku kasihan melihat Ayu Candra. Ayah bundanya terbunuh orang dan aku tahu siapa pembunuhnya. Kalau engkau seorang laki-laki yang tidak mau menjadi orang durhaka, lebih baik kau mengikuti aku pula dan mari kita bertiga mencari musuh kita. Kalau tidak, kau pergilah, tapi jangan kau ajak pergi Ayu Candra. Aku telah bersumpah akan mengantarkannya sampai bertemu dengan musuh besarnya dan biarpun engkau ini putera kandung Listyokumolo, namun belum tentu kau suka memusuhi Pujo yang menjadi guru dan pamanmu."
Joko Wandiro tidak mempedulikannya lagi, membalikkan tubuhnya menghadapi Ayu Candra. Gadis ini sudah berdiri di balik batang pohon dan wajahnya pucat. Agaknya ia merasa ngeri menyaksikan pertempuran tadi, sungguhpun ia sendiri bukan seorang wanita lemah.
"Ayu, adikku, tidak perlu kita melayani orang buntung ini. Marilah ikut aku, Ayu, dan nanti kau kuberi penjelasan, akan kuceritakan semua kepadamu..."
"Awas...Joko...!" Ayu Candra menjerit.
Biarpun andai kata tidak diperingatkan Ayu Candra, Joko Wandiro juga tidak akan mudah diserang dari belakang secara menggelap begitu saja. Selain panca indranya yang sudah tajam melebihi manusia biasa, juga ada semacam indra ke enam yang membuat ia seakan-akan mempunyai mata pada belakang kepala nya!
"Wuuuttt...!"
Sinar hitam keris di tangan Ki Jatoko menusuk angin ketika tubuh Joko Wandiro yang diserangnya tiba-tiba berkelebat dan meloncat melewati kepalanya! Ki Jatoko membalikkan tubuh dan kembali menubruk sambil menusukkan kerisnya disusul hantaman tangan kiri. Cepat dan bertubi datangnya serangan ini, dan pada saat itu tubuh Joko Wandiro baru saja melayang turun. Namun Joko Wandiro dapat sekaligus menangkis tusukan dan pukulan. Kembali empat lengan bertemu dan Ki Jatoko terhuyung-huyung ke belakang sampai lima langkah. Diam-diam Joko Wandiro merasa kasihan dan malu. Lawannya seorang buntung sehingga melangkahpun terhuyung-huyung!.
Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut karena tubuh itu sudah melayang dan menyerangnya seperti seekor burung garuda menyambar. Hemm, ia mencela kebodohannya sendiri. Biarpun buntung, orang ini sama sekali tidak perlu dikasihani karena ketangkasan dan kedigdayaannya melebihi jagoan-jagoan yang sudah pilih tanding. Ki Jatoko ini seorang yang sakti mandraguna, sama sekali tidak boleh dipandang rendah.
Seperti juga tadi, Joko Wandiro melayani lawannya dengan kedua tangan kosong saja, mengandalkan kegesitan tubuh dan kekuatan hawa sakti tubuhnya untuk mengelak atau menangkis. Seperti tadi pula, dia belum mau membalas dan diam-diam memperhatikan gerakan-gerakan lawan.
Diam-diam harus dia akui bahwa gerakan Ki Jatoko ini merupakan ilmu-ilmu yang tinggi dan bersih, bahkan hampir sama sumbernya dengan ilmu-ilmu milik Resi Bhargowo.....
Komentar
Posting Komentar