BADAI LAUT SELATAN : JILID-72


"Singgg..."
Keris pusaka Brojol Luwuk menyambar ke depan. Hawanya yang panas membuat tubuh Joko Wandiro setengah lumpuh rasanya. Namun pemuda ini dapat menggerakkan patung kencana menangkis. Karena kedudukannya agak miring, maka kini ia menangkis dari samping dan kaki patung yang meluncur di depan.
"Siuuuttt... cappp...!"
Entah bagaimana kedua orang muda itu sendiri tidak tahu. Bagaikan besi yang tersedot besi sembrani, keris pusaka dan patung kencana itu saling tarik-menarik dan tanpa dapat dicegah lagi, keris pusaka itu menancap ke dalam lubang di bagian bawah patung, masuk ke dalam warangka dan tak dapat dicabut kembali! Joko Wandiro melihat kesempatan baik ini, mengerahkan tenaga di tangan kanan, merenggut patung dan tangan kirinya menampar dengan Aji Pethit Nogo.
"Plakk...! Aduhhh...!"
Tubuh Endang Patibroto terjengkang dan kebetulan pada saat itu, ombak badai sudah datang lagi sehingga tubuhnya diterima ombak dan dilontarkan sampai jauh! Joko Wandiro cepat meloncat ke atas batu karang dan cepat-cepat ia meloncat lagi menjauhi jangkauan ombak. Hanya sebentar tubuh Endang Patibroto ditelan ombak. Agaknya, ombak badai Laut Selatan masih belum cukup kuat untuk menelan dan melenyapkan tubuh gadis perkasa yang semenjak lahir sudah berada di antara ombak dan badai ini.
Segera ia sudah tampak berloncat-loncatan mengejar Joko Wandiro, rambutnya riap-riapan membasah, pakaiannyapun basah kuyup sehingga menempel pada tubuhnya, menempel ketat mencetak bentuk tubuh yang menggairahkan? Sepasang matanya bersinar-sinar marah mulutnya berteriak-teriak di antara gemuruh badai, "Joko Wandiro! Kembalikan pusakaku! Keparat, kembalikan...!"
Bagaikan seorang mabuk ia menerjang lagi, dengan kedua tangan terbuka jarinya, mencengkeram dan menonjok. Namun dengan mudah Joko Wandiro mengelak dan sekali kakinya menyabet, gadis itu jatuh terduduk.
"Keparat! Pengecut, kembalikan pusakaku!"
"Endang, ingatlah. Pusaka ini bukan milikmu, bukan pula milikku. Lupakah kau bahwa pusaka itu oleh mendiang eyang Resi Bhargowo dititipkan kepada kita untuk disembunyikan dan disimpan agar tidak terjatuh ke tangan orang jahat? Kita tiba saatnya aku mengumpulkan dua pusaka itu dan mengembalikan kepada yang berhak, Endang."
"Kembalikan padaku...! Ahh, kembalikan...!" Kini gadis itu sudah menyergap lagi, tangan kirinya meraih ke arah patung kencana, tangan kanannya memukul dada.
Namun sekarang hati Joko Wandiro sudah lega dan besar. Dengan pusaka di tangan, kesaktiannya makin hebat. Ia membiarkan saja pukulan tangan gadis itu mengenai dadanya.
"Bukk!" Tubuhnya tak bergeming dan sekali dorong, kembali Endang Patibroto terjengkang di atas tanah sampai rambut dan pakaiannya kotor semua terkena tanah.
"Endang, ingatlah. Pusaka ini miliki kerajaan, hendak kukembalikan ke Panjalu. Dahulu guruku berpesan bahwa lenyapnya pusaka menimbulkan geger dan kekacauan, hanya kalau pusaka sudah kembali ke tempatnya, maka negara akan menjadi tata tenteram kerta raharja. Engkau bertobatlah, Endang, kembalilah kepada ibumu. Dia menunggu. Kembalilah dan bebaskan dirimu dari pada pengaruh buruk, jangan membiarkan dirimu diperhamba hawa nafsumu sendiri, Endang, kau ingatlah!"
Namun bujukan Joko Wandiro tak pernah didengarkan oleh Endang Patibroto. Beberapa kali ia masih menerjang dengan nekat dan ganas sehingga akhirnya Joko Wandiro terpaksa menampar kepalanya dengan Aji Pethit Nogo sehingga Endang Patibroto terbanting dan roboh pingsan. Badai mulai mengendur dan mereda. Joko Wandiro masih berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar memandang tubuh Endang Patibroto.
Dalam keadaan pingsan, gadis ini kelihatan cantik jelita, luar biasa sekali kecantikan gadis ini setelah sifat-sifat keji dan ganas lenyap dari permukaan wajahnya. Joko Wandiro menarik napas berkali-kali, kemudian ia membungkuk dan mengempit tubuh Endang Patibroto dan larilah ia dengan ilmu lari cepat menuju ke pondok.
Setelah badai mereda, Kartikosari, Roro Luhito, dan Ayu Candra sudah kembali ke pondok, atau lebih tepat, ke bekas pondok karena pondok itu sendiri hanya tinggal beberapa buah tiang dan lantainya saja. Bilik dan atapnya sudah lenyap dibawa badai!
"Maafkan saya, bibi. Untuk mengakhiri pertandingan yang tak kunjung henti karena kenekatan Endang, terpaksa saya memukulnya pingsan. Saya menyerahkannya kepadamu, bibi. Semoga bibi dapat menyadarkannya dari pada jalan sesat. Pusaka Mataram saya bawa untuk saya kembalikan ke Panjalu, dan lebih baik saya segera pergi bersama Ayu Candra sebelum dia sadar untuk mencegah hal-hal yang tidak menyenangkan."
Kartikosari hanya dapat menggangguk, tak kuasa mengeluarkan kata-kata saking terharu hatinya. Ia memangku anaknya yang pingsan sambil bercucuran air mata. Roro Luhito memandang keponakannya dengan bangga ketika berkata,
"Joko Wandiro, kau pergilah dan laksanakan kewajibanmu dengan baik. Kami hanya dapat memberi bekal doa restu semoga ke mana pun juga kau akan selalu bersikap sebagai seorang satria utama dan akan selalu mendapat perlindungan Hyang Maha Wisesa, anakku."
Joko Wandiro menggandeng tangan Ayu Candra lalu mengundurkan diri, pergi mencari perahunya. Untung ia mengikat perahunya kuat-kuat pada pohon di pantai, kalau tidak tentu perahunya akan lenyap tertiup badai…..
********************
Kali ini ketika Joko Wandiro mohon menghadap sang prabu di Panjalu, bergegas para penjaga mempersilakannya menanti dan cepat-cepat orang melaporkan permohonannya kepada sang prabu. Semua orang telah mengenal pemuda sakti ini. Diam-diam Joko Wandiro melihat kenyataan akan bukti watak manusia yang serba palsu ini.
Dahulu, ketika pertama kali menghadap, ia dihina dan dipandang rendah, tidak dilayani sebagaimana mestinya. Sekarang, setelah mereka tahu bahwa dia memiliki kedigdayaan, mereka bersikap berlebih-lebihan. Adakah manusia di dunia ini yang bersikap sewajarnya, tidak membeda-bedakan antara manusia, tidak memandang kekayaan, kedudukan, dan kepandaian? Mungkin sekali ada akan tetapi...ah, alangkah sukarnya mendapatkan manusia seperti itu!
Pada waktu itu, sang prabu di Panjalu sedang dihadap para hulubalang, menteri, dan penasehat, merundingkan tentang peristia pemberontakan Nusabarung terhadap Kerajaan Jenggaia. Biarpun sejak menjadi pangeran dahulu, sang prabu di Jenggala selalu memperlihatkan sikap bermusuh terhadap sang prabu di Panjalu, akan tetapi permusuhan itu merupakan pertikaian keluarga, merupakan urusan dalam. Kini begitu mendengar bahwa Kerajaan Jenggala dimusuhi oleh Nusabarung yang memberontak, sang prabu di Panjalu ikut menjadi marah!
Betapa pun juga, Kerajaan Jenggala merupakan sebagian dari pada wilayah kerajaan mendiang Sang Prabu Airlangga, ayah mereka berdua. Dan betapa pun juga, sang prabu di Jenggala adalah adik sendiri, adik tiri, serama berlainan ibu. Karena mendengar betapa kuatnya pemberontak Nusabarung yang dibantu oleh adipati-adipati di sebelah timur, sang prabu di Panjalu sudah mengutus pasukan untuk membantu Jenggala secara diam-diam dan menggempur Nusabarung. Ketika pasukan pertama ini yang tidak begitu besar menderita kerugian dan terpukul oleh Nusabarung, sang prabu telah mengirim pasukan yang lebih besar lagi!
Pada saat sang prabu merundingkan urusan ini bersama para hulubalangnya, penjaga datang menghadap melaporkan kedatangan Joko Wandiro bersama adiknya yang bernama Ayu Candra mohon menghadap sang prabu. Mendengar disebutkan nama Joko Wandiro ini, seketika berseri wajah sang prabu. Juga para hulubalang dan Ki Patih Suroyudo berubah wajahnya. Tentu saja mereka semua teringat akan pemuda yang dahulu pernah mengusir Ni Durgogini dan Ni Nogogini itu. Bahkan ketika sang prabu mendengar tentang sepak terjang pemuda itu, sang prabu lalu mengutus para senopati untuk pergi menyelidik, siapakah sesungguhnya pemuda perkasa yang tadinya mereka pandang rendah itu.
Ketika akhirnya mendengar bahwa Joko Wandiro yang semula mereka sangka seorang anak dusun yang ingin mencari kedudukan di kerajaan itu ternyata adalah murid Ki Patih Narotama, sang prabu dan semua senopati menjadi terkejut dan menyesal bukan main mengapa mereka kurang menaruh perhatian dan penghargaan kepada pemuda itu. Apalagi ketika Ki Darmobroto dan juga puteranya, Joko Seto, datang ke kota raja dan menceritakan keadaan Joko Wandiro, sang prabu merasa makin menyesal. Kini secara tiba-tiba pemuda itu datang hendak menghadap. Hati siapa tidak menjadi kaget dan girang?
"Lekas persilakan dia masuk dan menghadap padaku!" teriak sang prabu dengan wajah riang.
Sepasang mata sang prabu masih bersinar-sinar terang dan semua mata para hulubalang yang hadir ditujukan kepada Joko Wandiro ketika pemuda ini dengan sikap hormat sekali memasuki ruangan diikuti oleh Ayu Candra. Gadis itu saking kagum menyaksikan ruangan keraton, masuk sambil memandang ke kanan kiri, kemudian ketika ia melihat sang prabu yang duduk penuh wibawa ia menjadi takut dan menundukkan muka, berjalan perlahan memegangi lengan kakaknya.
"Hemm, bagus sekali, Joko Wandiro. Kedatanganmu menghadap kami benar-benar mendatangkan rasa syukur dan gembira di hati kami. Sayang bahwa dahulu ketika engkau datang menghadap, kami belum tahu siapa engkau dan tidak dapat bercakap-cakap sebagaimana mestinya," demikian sang prabu menyambut ketika pemuda itu sudah menghaturkan sembah, adapun Ayu Candra menyembah tanpa dapat mengeluarkan kata saking tertegun dan gentar di hati.
"Joko Wandiro, setelah diri kami mengetahui bahwa engkau adalah murid tersayang mendiang paman Patih Narotama, kami harap kau suka membantu kami di sini mengatur pemerintahan dan memperkuat barisan Panjalu. Kami yakin andai kata paman Patih Narotama masih hidup, tentu akan menganjurkan engkau untuk mengabdi kepada Panjalu."
"Semua sabda paduka gusti benar dan tepat. Memang sesungguhnya dahulu bapa guru meninggalkan pesan agar hamba bersuwita (menghambakan diri) kepada Kerajaan Panjalu. Akan tetapi ketika hamba untuk pertama kali menghadap paduka, sengaja hamba tidak menyebut nama bapa guru oleh karena hamba sungguh merasa malu untuk mencari kedudukan mengandalkan nama besar guru. Menurut pendapat hamba yang picik, pahala harus diperoleh dengan Jasa sendiri, barulah berharga. Pada waktu itu, hamba sama sekali belum melakukan sesuatu untuk paduka, sama sekali belum berjasa. Kalau dahulu paduka memberi kedudukan kepada hamba mengingat akan jasa-jasa bapa guru, bukankah hal itu amat mengecewakan dan bukan sepantasnya diterima oleh seorang satria? Harap paduka sudi mengampuni hamba, jika sekiranya pendapat hamba itu keliru."
Sang prabu tertawa bergelak sambil mengelus dagu yang tak berjenggot. Pandang matanya makin berseri-seri dan diangkatnyalah wajahnya memandang para senopati dan hulubalang yang hadir. Suaranya lantang ketika sang prabu berkata,
"Heh para senopati dan hulubalang, kalian sudah mendengar ucapan seorang satria. Camkanlah baik-baik ucapan itu karena di dalam kata-katanya aku seperti mendengar suara mendiang paman Patih Narotama yang kalian semua sudah mengetahui sebagai seorang yang arif bijaksana dan sakti mandraguna. Inilah Joko Wandiro muridnya yang memiliki pandangan serta pendirian yang sama dengan mendiang paman Patih Narotama. Rendah hati, tidak gila kedudukan, setia, dan jujur." Kemudian Sri Baginda menoleh kepada Joko Wandiro, bertanya, "Aku girang mendengar pendapatmu itu, Joko Wandiro. Sekarang kau datang menghadap, aku tidak mengharapkan jasamu, hanya aku percaya penuh akan kesanggupanmu. Biarpun kau tidak mengutarakannya kepadaku, aku sudah mendengar betapa engkau mengusir dua orang wanita iblis dari Panjalu, bahkan aku mendengar pula akan sepak terjangmu menolong nini Mayagaluh keponakanku dari Jenggala, mendengar pula tentang bantuan-bantuanmu kepada Kerajaan Jenggala. Setelah kau datang menghadap, aku harapkan engkau, suka membantuku dan menerima kedudukan yang akan kuberikan kepadamu. Aku sudah tahu bahwa engkau adalah putera Raden Wisangjiwo dari Selopenangkep, kau cucu bekas Adipati Selopenangkep. Ayahmupun tewas dalam perang membelaku sehingga jasa ayahmu saja sudah cukup bagiku untuk memberi imbangan jasa kepada puteranya."
Joko Wandiro menyembah "Sebelumnya hamba menghaturkan terima kasih atas kurnia paduka kepada hamba. Sesungguhnya, kedatangan hamba menghadap ke depan kaki paduka adalah untuk menyerahkan kembali pusaka Mataram yang lenyap sejak belasan tahun yang lalu."
Saking kagetnya, sang prabu sampai bangkit dari tempat duduknya. Bahkan. Ki Patih Suroyuda dan para senopati sepuh menjadi pucat wajahnya.
"Pusaka... pusaka Mataram...?"
Sang prabu bertanya, suaranya gemetar karena tegangnya. Pusaka ini sudah dianggap lenyap dan hal itu membuat semua keluarga menjadi berduka dan gelisah. Kini secara tiba-tiba Joko Wandiro menyebut-nyebut tentang pusaka, tentu saja mereka semua menjadi terkejut dan heran.
"Benar sabda paduka, gusti. Inilah pusaka Mataram yang baru hari ini dapat hamba persembahkan kepada paduka." Ia mengeluarkan patung kencana dari bungkusan, patung kencana Sri Bhatara Whisnu, lengkap dengan isinya, yaitu keris pusaka Brojol Luwuk. Patung itu mencorong cahayanya dan semua orang menjadi silau memandangnya.
"Duh Jagad Dewa Bathara...!" Sang prabu bersabda dengan wajah berseri dan bergegas menerima patung kencana itu, diangkatnya patung kencana dengan kedua tangan, dibawanya ke atas ubun-ubun kepalanya dengan khidmat, kemudian diturunkannya ke muka dan diciumnya kaki patung atau gagang keris pusaka. Setelah itu dipeluknya patung kencana, dekat dengan hatinya seakan-akan khawatir kalau-kalau patung kencana itu terlepas lagi dari tangannya.
"Dewata telah mengabulkan doaku siang malam, dan semoga arwah ramanda prabu mengampuni dosaku. Dengan kembalinya pusaka Mataram, akan pulih kembali kebesaran Mataram yang jaya. Akan lenyap segala rubeda (rintangan) dan rakyat senegara akan mengecap kenikmatan tata tenteram kerta raharja!" Suara sang prabu berubah menjadi terharu sekali, dan para senopati mendengarkan dengan muka tertunduk.
"Bocah bagus Joko Wandiro! Tak terkira besar dan bahagianya hati dengan persembahanmu yang sungguh di luar dugaan ini. Satria yang perkasa, coba ceritakanlah bagaimana pusaka yang sudah sekian lamanya lenyap ini dapat terjatuh ke dalam tanganmu."
Keadaan di ruang persidangan sunyi sekali. Semua orang seakan-akan menahan napas dan tidak mau kehilangan sepatahpun kata yang keluar dari mulut Joko Wandiro ketika pemuda ini menceritakan secara singkat tentang pusaka Mataram yang hilang. Betapa pusaka itu dicuri oleh Jokowanengpati, kemudian betapa pusaka itu dirampas dari tangan orang jahat ini oleh Resi Bhargowo yang kemudian menyerahkannya kepada Joko Wandiro dan Endang Patibroto untuk disembunyikan ketika orang-orang sakti utusan Pangeran Anom menyerbu ke Pulau Sempu untuk merampasnya. Kemudian betapa baru-baru ini ia mengambil kembali pusaka itu dan menerima kerisnya dari Endang Patibroto. Ia tentu saja tidak menceritakan tentang peristiwa pribadi yang menyangkut dirinya dan Endang Patibroto.
"Demikianlah, gusti. Setelah hamba berhasil mendapatkan kembali pusaka Mataram dalam keadaan utuh, hamba bergegas menghadap kepada paduka untuk mempersembahkan kembali pusaka ini sesuai dengan perintah eyang Resi Bhargowo dan bapa guru Narotama."
Amat bahagia dan gembira hati sang prabu mendengar penuturan itu. Sambil memeluk keris pusaka dalam patung kencana, sang prabu berkata,
"Joko Wandiro, jasamu besar tak ternilai. Dan siapakah gadis jelita yang ikut datang menghadap bersamamu ini?"
Mendengar dirinya disebut-sebut, Ayu Candra menundukkan mukanya yang menjadi merah, dadanya berdebar penuh ketegangan
"Dia ini adik kandung hamba, Ayu Candra namanya, gusti."
"Hemm, patut menjadi adikmu. Cantik jelita penuh susila. Heh, Joko Wandiro, sebagai imbalan jasamu, mulai saat ini kuangkat engkau menjadi adipati di Selopenangkep dengan julukan Adipati Tejolaksono. Kakang Patih Suroyudo, siapkan sepasukan perajurit pilihan untuk membantu Adipati Tejolaksono memerintah di Selopenangkep. Persidangan kububarkan sekarang juga!" Sang prabu yang masih terharu memeluk pusaka Mataram, memandang ke arah Joko Wandiro yang menyembah dan menghaturkan terima kasih dengan sinar mata penuh haru dan syukur. Sang prabu ingin cepat-cepat menyendiri agar dapat menikmati saat yang amat bahagia itu, saat kembalinya pusaka Mataram yang amat dirindukan oleh segenap isi istana…..
********************
Joko Wandiro membalas ucapan selamat para senopati dengan sikap sederhana dan merendah. Matanya memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Akhirnya ia mendapatkan orang yang dicarinya dan segera dengan langkah lebar ia menghampiri Ki Darmobroto yang memang tadi ikut menghadap sang prabu.
"Selamat, anak-mas Joko Wandiro. Aku merasa ikut gembira, bukan hanya karena kembalinya pusaka Mataram, akan tetapi karena engkaulah yang berhasil mengembalikannya. Selamatlah, anakmas adipati "
"Paman Darmobroto, selain bermaksud mempersembahkan pusaka kepada sri baginda, kedatangan saya di kota raja memang khusus hendak menemui paman. Dapatkah kita bicara leluasa?"
Ki Darmobroto melirik ke arah Ayu Candra dan berkata, "Marilah, anak-mas. Mari ke pondokku."
Setelah memberitahu kepada Ki Patih Suroyudo bahwa dia bersama adiknya hendak berkunjung lebih dulu ke pondok Ki Darmobroto, Joko Wandiro lalu menggandeng tangan adiknya. Pondok itu merupakan pasanggrahan yang disediakan oleh kerajaan untuk para satria yang menjadi pembantu luar kerajaan. Pondok yang cukup mewah dan bersih menyenangkan, dengan ruangan muka luas. Di ruangan inilah Ki Darmobroto menerima dua orang tamunya.
Setelah mempersilakan mereka duduk di atas lantai bertilamkan tikar indah, Ki Darmobroto lalu bertanya, "Silakan, anakmas. Keperluan apakah gerangan yang hendak anda sampaikan kepadaku?"
Joko Wandiro menggandeng tangan adiknya dan berkata, "Inilah dia adikku, paman. Inilah adikku Ayu Candra. Seperti pernah saya katakan kepada paman, mengenai pesan paman Adibroto, adikku Ayu Candra ini dengan putera paman Joko Seto... eh, di mana pula adanya adimas Joko Seto? Mengapa tidak paman perkenalkan kepada kami?"
Ayu Candra mendengarkan semua ini dengan muka tertunduk, wajahnya agak pucat dan hatinya seperti diiris-iris rasanya. Ia tidak rela mendengar betapa nasib hidupnya diatur dan dibicarakan oleh dua orang itu, ia tidak rela untuk berpisah dari Joko Wandiro dan menjadi isteri siapa pun juga. Akan tetapi ia tidak melihat jalan lain. Ia harus tunduk dan taat kepada pesan terakhir ayahnya, pula ia harus taat kepada Joko Wandiro, kakaknya yang kini menjadi walinya, menjadi wakil dan pengganti ayah bundanya. Ingin ia menangis, namun ia tidak berani.
Ki Darmobroto menarik napas panjang. Begitu jelas elahan napas panjang ini, membayangkan kedukaan besar sehingga Joko Wandiro menjadi terkejut dan mengangkat muka memandang. Dilihatnya wajah tua itu berkerut-kerut, pandang matanya sayu dan dagunya mengeras dalam usaha menekan kedukaan hati.
"Ada apakah, paman? Apa yang terjadi?"
"Kedatanganmu terlambat, anakmas. Belum lama ini, ketika mendapat tugas memimpin pasukan yang diperbantukan oleh sang prabu untuk membantu Jenggala dan memukul Nusabarung, anakku Joko Seto telah tewas dalam medan perang. Tewas... gugur sebagai seorang senopati muda...!"
Suara itu menggetar, tanda keharuan dan kedukaan hati seorang ayah yang ditinggal mati puteranya yang tunggal. putera satu-satunya yang amat disayang, diharap-harapkan menjadi seorang penyambung riwayat hidupnya yang berguna, telah mati muda! Tiba-tiba terdengar isak tangis dan Ayu Candra sudah menubruk Joko Wandiro, memeluk dan menangis.
Joko Wandiro dapat mengerti perasaan gadis itu, perasaan lega dan lapang seperti yang dirasainya sendiri pula. Dan Ki Darmobroto yang tak dapat menyelami isi hati gadis itu, menjadi makin terharu, juga terheran. Benarkah gadis ini menjadi sedih dan menangis karena kematian Joko Seto yang dipertunangkan kepadanya? Berjumpapun belum pernah. Akan tetapi sudah menangisi kematiannya? Akan tetapi setelah mendengar bisikan-bisikan yang keluar dari mulut gadis itu, pandangannya menjadi lain dan di dalam hatinya ia mengangguk-angguk. Gadis itu berkata dengan suara lirih,
"Kakang... dewata telah menentukan, sekarang kau tidak bisa melarangku lagi, aku... aku selamanya takkan mau menikah dengan orang lain. Aku akan melayanimu selama hidupku, kakang... jangan paksa aku menikah dengan orang lain!"
Ki Darmobroto merasa jantungnya perih. Bibirnya bergerak-gerak dan keluarlah ucapan lirih, "Anakku Joko Seto, kiranya kematianmu masih dapat membahagiakan hati orang lain"
Ayu Candra adalah seorang gadis yang memiliki dasar pribudi tinggi dan mulia. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa berita kematian Joko Seto ini mendatangkan rasa lega dan lapang di dalam dadanya, seakan-akan berita itu telah mengusili batu besar yang tadinya selalu menekan dan menindih perasaannya. Saking girangnyalah maka tadi ia menubruk dan memeluk Joko Wandiro, lupa akan keadaan sekelilingnya. Akan tetapi ketika ia mendengar bisikan lirih Darmobroto, ia dapat menangkap rintih hati yang hancur. Maka ia segera melepaskan pelukannya, memandang Ki Darmobroto dan menyembah di depan orang tua itu sambil berkata, suaranya gemetar,
"Ampunkanlah saya, paman Darmobroto. Sudah seringkali ayah saya dahulu bercerita tentang paman dan tentang kebaikan paman. Saya tidaklah sekeji itu, paman. Saya tidak hendak menarik kesenangan dari penderitaan paman. Saya tahu betapa hancur dan duka hati paman karena kehilangan putera paman. Saya sendiri ikut berduka mendengar berita kematian... kakangmas Joko Seto. Saya... tadi lupa diri dan bergembira bukan karena kematian puteramu, melainkan karena aku tidak bisa berpisah dari kakang Joko Wandiro, pengganti orang tuaku..." Gadis itu menangis perlahan.
Ki Darmobroto memaksa senyum dan meraba kepala gadis itu. "Ah, anakku bocah ayu. Engkau mewarisi watak ayahmu. Seakan kulihat adikku Adibroto dalam dirimu, Ayu Candra. Dia benar sekali dengan menjodohkan kau dengan puteraku. Akan tetapi, dewata kuasa atas mati hidup manusia. Dan kakakmu ini, dia seorang satria perkasa, satria utama yang memang patut sekali kau junjung tinggi, patut sekali kau cinta. Akan tetapi Ayu Candra, Anakmas adipati ini adalah seorang jejaka dan baru saja menerima pangkat. Dia akan sibuk sekali mengurus kadipaten. Agaknya akan lebih baik kalau untuk sementara engkau tinggal bersamaku, Ayu, sebagai pengganti puteraku yang gugur. Biarkan anak-mas adipati menyelesaikan tugasnya. Setelah ia berumah tangga barulah kau ikut dengannya. Kurasa setelah membereskan Kadipaten Selopenangkep, anakmas adipati tentu akan memilih seorang wanita untuk menjadi timbangannya"
"Saya... saya takkan menikah paman!" Tiba-tiba Joko Wandiro berkata gagap. "Dan...saya rasa tidak ada salahnya kalau saya mengajak Ayu Candra ke Kadipaten Selopenangkep. Sebagai kakak kandungnya, saya adalah walinya, saya pengganti ayah bundanya."
"Kakak kandung...?" Ki Darmobroto bertanya, suaranya meragu.
Joko Wandiro mengira bahwa kakek ini belum tahu akan duduknya persoalan, maka ia lalu berkata, "Paman Darmobroto, agaknya paman belum tahu. Ketika ibu saya menikah dengan paman Adibroto, ibu telah mempunyai anak saya. Oleh karena itu, saya dan Ayu Candra adalah saudara sekandung, seibu berlainan ayah. Ibu kami telah tiada, juga ayah kami kedua-duanya sudah tiada, kami berdua adalah anak-anak lola (yatim piatu), maka kalau bukan saya yang menjadi pengganti orang tuanya, siapa lagi?"
Ki Darmobroto tersenyum dan mengangguk-angguk, kemudian dengan suara halus ia berkata, "Sesungguhnya tepat sekali ucapan anak-mas adipati. Akan tetapi, melihat Ayu Candra, saya merasa seakan-akan berjumpa dengan saudara saya tercinta Adibroto. Biarpun Ayu Candra gagal menjadi anak mantu saya, namun dia ini masih keponakan saya. Ayahnya adalah sahabat baik dan juga saudara seperguruan saya. Maka, harap kalian suka menaruh kasihan kepada saya orang tua. Saya masih kangen, ingin bercakap-cakap dengan Ayu Candra. Biarkan dia menemani saya untuk beberapa hari, anak-mas, sementara anak-mas adipati mengurus dan mempersiapkan keberangkatan ke Selopenangkep. Sebelum berangkat, saya rasa banyak hal harus dibicarakan lebih dahulu dengan Ki Patih Suroyudo, tentang peraturan dan sebagainya mengenai tugas-tugas anak-mas. Setelah semua selesai dan hendak berangkat, barulah anak-mas datang menjemput Ayu Candra di pondok saya ini. Tentu saja kalau anak-mas dan nini Ayu Candra menyetujui."
Tak enak hati Ayu Candra mendengar permintaan ini. Orang tua ini amat baik, bekas calon ayah mertuanya, juga sahabat baik serta saudara seperguruan ayahnya. Maka ia lalu memberi isyarat, mengangguk kepada Joko Wandiro. Pemuda itu merasa lega. Memang ia pun merasa kebenaran omongan kakeK itu. Ia harus mempersiapkan segalanya dengan Ki Patih Suroyudo.
Maka berpamitlah Joko Wandiro dengan hati lapang. Ia percaya penuh bahwa di tangan Ki Darmobroto, Ayu Candra akan berada dalam keadaan aman sentausa. Ia segera menghadap Ki Patih Suroyudo untuk menerima segala petunjuk dan mempersiapkan segalanya sebelum ia berangkat membawa pasukannya ke Selopenangkep.
Di lubuk hatinya, ia merasa terharu sekali karena ia akan melanjutkan jabatan kakeknya yang belum sempat dipegang ayahnya. Ia akan menjadi adipati, menjadi yang dipertuan dan menjadi orang pertama yang bertanggung jawab, berwenang, berhak dan berkewajiban di Selopenangkep, di rumah di mana ia dahulu dilahirkan! Ia akan kembali ke tempat asalnya, tempat di mana seharusnya ia berada.
Persiapan itu makan waktu sampai tiga hari. Pada hari ke tiga, Joko Wandiro sudah berubah, dari seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan berjalan kaki menjadi seorang adipati muda yang berpakaian indah dan menunggang seekor kuda putih sehingga wajahnya menjadi makin tampan dan gagah. Pagi hari itu pasukannya sudah siap. Pasukan terdiri dari perajurit-perajurit pilihan, muda-muda dan gagah perkasa.
Setelah bermohon diri dan mendapat restu dari sang prabu sendiri, Joko Wandiro yang kini menjadi Adipati Tejolaksono memimpin pasukannya menuju ke pondok Ki Darmobroto. Ia bergegas mengeprak kudanya mendahului pasukan dan memesan agar pasukan siap menantinya di alun-alun karena ia hendak singgah di pondok Ki Darmobroto untuk menjemput Ayu Candra.
Hatinya berdebar keras. Apa yang akan dikatakan Ayu Candra melihat ia kini telah berubah menjadi seorang adipati muda ini? Adiknya tentu akan girang dan bangga, dan ia sudah mereka-reka bagaimana adiknya itu harus berpakaian, sebagai seorang puteri bangsawan, adik seorang adipati yang terkasih! Pondok Ki Darmobroto sunyi. Seorang pelayan menyambutnya dengan sembah. Joko Wandiro tidak sabar lagi.
"Di manakah paman Darmobroto? Dan di mana pula diajeng Ayu Candra?"
Pelayan itu sambil menyembah berkata, "Hamba telah dipesan oleh gusti puteri bahwa apabila paduka dating berkunjung, paduka dipersilakan terus saja masuk ke taman sari menjumpai beliau." Sambil berkata demikian, pelayan wanita ini dengan ibu jarinya menunjuk ke pintu samping yang menuju ke taman bunga.
Joko Wandiro hampir tak dapat menahan ketawanya. Benar-benar canggung dan aneh rasanya disambut oleh seorang pelayan dengan sikap menghormat. Dan apa pula sikap kekanak-kanakan dan aneh dari Ayu Candra ini? Mengapa tidak langsung menyambutnya dan di mana pula Ki Darmobroto? Akan tetapi karena ingin cepat-cepat bertemu dengan Ayu Candra, maka ia segera memasuki pintu kecil itu dan berjalan memasuki taman bunga yang amat indah.
Dari jauh ia sudah melihat Ayu Candra. Tentu Ayu Candra yang duduk membelakanginya, menghadapi sebuah kolam ikan itu, di antara kembang-kembang mawar yang semerbak harum. Memang pakaiannya amat indah, serba baru dan berupa pakaian seorang puteri bangsawan. Akan tetapi rambut yang hitam terurai itu, bentuk tubuh itu, di dunia ini takkan ada gadis lain dengan rambut dan bentuk tubuh seperti itu kecuali Ayu Candra, adiknya yang terkasih.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BADAI LAUT SELATAN (BAGIAN KE-03 SERIAL KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA)