BADAI LAUT SELATAN : JILID-45


Resi Narotama mengangguk. "Joko, muridku. Kini tibalah waktunya kita saling berpisah. Kau harus meninggalkan tempat ini"
"Akan tetapi, bapa. Hamba yang bertahun-tahun menerima petunjuk bapa guru, bagaimana sekarang dapat berlaku sekeji itu? Hamba melihat bapa sedang menderita luka dan perlu perawatan, bagaimana hamba tega untuk meninggalkan bapa? Tidak, hamba mohon agar diperkenankan tinggal di sini, merawat bapa guru sampai sembuh."
"Tidak, muridku. Perawatanmu takkan menolong tubuhku. Kau tidak bisa tinggal di sini, karena aku sendiripun akan meninggalkan tempat ini. Tidak guna kau bertanya ke mana aku hendak pergi." Narotama tersenyum, lalu berkata lagi, "Sudah kuceritakan padamu bahwa aku sudah berjanji kepada mendiang Sang Prabu Airlangga bahwa aku tidak akan mencampuri urusan kerajaan kedua orang puteranya. Akan tetapi, melihat betapa Kerajaan Jenggala sudah mempergunakan tenaga orang-orang seperti Dibyo Mamangkoro, kurasa tidaklah adil kalau fihak Kerajaan Panjalu tidak menerima bantuan pula. Engkau pergilah ke Panjalu, menghadap sang prabu di Panjalu dan mohon diterima suwita (berhamba) di sana. Aku sekali-kali tidak menganjurkanmu untuk mencari kedudukan, muridku, hanya engkau harus sadar akan kewajibanmu menentang kejahatan. Dan menurut wawasanku, setelah Kerajaan Jenggala mempergunakan Dibyo Mamangkoro, kewajibanmulah untuk menentang mereka."
"Hamba akan rnentaati perintah bapa.Akan tetapi... bilakah hamba diperkenankan menghadap bapa lagi? Dimana?"
Resi Narotama menggeleng kepala sambil tersenyum. "Dasar orang muda, nafsu perasaan masih tebal menyelimuti kesadaran. Pergunakanlah kesadaranmu. Lupakah kau bahwa sebetulnya tidak ada kesusahan seperti juga tidak ada kesenangan? Sadarlah dan kembalilah kepada kepribadianmu yang berpegang kepada kewajiban hidup berdasarkan kebaktian. Nah, engkau berangkatlah sekarang, muridku dan kau terimalah Ki Megantoro ini, kuberikan kepadamu."
Sambil berlutut dan menyembah Joko Wandiro menerima keris pusaka gurunya, Ki Megantoro, keris eluk tujuh yang ampuh dan puluhan tahun menjadi sahabat setia Resi Narotama. Kemudian pergilah Joko Wandiro menuruni lereng Gunung Bekel, diikuti doa restu dan pandang mata penuh kasih gurunya Sang Resi Narotama…..
********************
Wajah sang prabu di Kerajaan Panjalu kelihatan muram. Demikian pula para senopati dan hulubalang yang menghadap di persidangan, tampak muram dan gelisah. Peristiwa sebulan yang lalu masih saja membekas di hati mereka. Sang prabu berikut semua senopati merasa terhina.
Sang prabu selalu marah-marah kepada para pengawal yang dianggapnya tiada guna. Bayangkan saja! Pada suatu malam, kurang lebih sebulan yang lalu, dua orang kepala pengawal tahu-tahu tewas tanpa kepala! Kepala mereka lenyap bersama dengan bendera pusaka yang berkibar di puncak istana! Tidak seorangpun tahu siapa yang melakukan hal yang menggemparkan itu. Seakan-akan iblis sendiri yang sudah turun tangan mendatangkan bencana dan meramalkan malapetaka hebat di Kerajaan Panjalu! Bahkan para menteri dan para pendeta yang dimintai nasehat, tidak seorangpun dapat menduga siapa gerangan pelaku perbuatan dahsyat itu.
Dan pada pagi hari itu, persidangan terganggu oleh datangnya seorang pemuda gunung yang menghadap sang nata untuk mohon diterima menjadi ponggawa keraton! Seorang pemuda tampan dan berpakaian sederhana yang kelihatan pendiam dan pemalu. Ketika pemuda itu berlutut di depan sang Prabu yang memandang dengan wajah muram, para ponggawa saling berbisik.
"Untuk apa pemuda lemah ini?" Demikian bisik mereka.
"Kita membutuhkan seorang sakti mandraguna untuk menandingi maling haguna, bukan seorang bocah dusun!"
"Untuk kacung kandang kudapun masih belum memenuhi syarat!" bisik yang lain.
"Berani mampus, bocah desa berani mengotori lantai persidangan menghadap sang prabu. Tentu beliau akan marah!" kata yang lain.
Akan tetapi ketika sang prabu menggerakkan kepala mengangkat muka untuk memandang ke arah mereka yang kasak-kusuk itu, semua suara lenyap dan semua orang duduk bersila dengan anteng seperti area. Sang prabu lalu menunduk dan kembali memandang kepada pemuda yang masih bersila di depannya itu.
"Siapa namamu tadi? Ruangan ini seperti pasar sehingga kami tidak begitu mendengar keteranganmu!" sabda sang prabu yang semenjak peristiwa memalukan itu menjadi seorang pemarah.
"Hamba Joko Wandiro, gusti," kata pemuda itu dengan suaranya yang lantang dan sikapnya yang tenang, menundukkan muka.
"Engkau mohon akan menghambakan diri di sini?"
"Betul seperti sabda paduka, gusti."
"Hemmm, engkau bocah dari mana, Joko Wandiro?"
"Hamba hidup sebatang kara, gusti, tiada ayah bunda, tiada tempat tinggal. Hamba laksana sehelai daun kering tertiup angin, melayang ke mana saja menurutkan arah angin."
"Joko Wandiro! Engkau minta bekerja di sini. Bekerja apakah, dan apa yang dapat kau lakukan?"
"Bekerja apa saja hamba sanggup melakukan, gusti. Hamba menyediakan jiwa raga hamba untuk melakukan tugas yang paduka perintahkan."
Sang prabu mengeluarkan suara mengejek. "Huh, semua orang sebelum diterima bekerja, memberi janji muluk-muluk setinggi langit. Setelah diberi tugas, tidak seorangpun becus memegangnya. Begini banyak perajurlt dan pengawal, seperti tidak ada manusia saja!"
Semua senopati dan hulubalang tertunduk mendengar ini, maklum bahwa kembali sang prabu teringat akan peristiwa sebulan yang lalu.
"Kau pun agaknya hanya pandai berjanji seperti yang lain-lain, Joko Wandiro "
"Hamba siap untuk diuji bila perlu, gusti."
"Engkau berani menghadapi musuh? Melawan maling haguna yang sakti?"
Sejenak Joko Wandiro tertegun, tidak mengerti apa yang dimaksudkan raja itu. Akan tetapi ketika melirik ke kanan kiri untuk minta keterangan dari para penghadap, ia melihat bahwa mereka itu memandang kepadanya dengan sinar mata mencemooh, ia segera menyembah.
"Hamba tidak akan mundur, demi menjunjung titah paduka." Kembali Joko Wandiro melirik ke kanan kiri karena telinganya yang tajam terlatih itu mendengar suara tawa tertahan, suara penuh ejekan yang merupakan dengus dari hidung. Ia. maklum bahwa mereka itu diam-diam memandang rendah kepadanya dan menganggap jawaban tadi seperti sebuah lelucon belaka.
Akan tetapi sang prabu, putera mendiang Prabu Airlangga, sedikitnya mewarisi ketajaman mata dan kewaspadaan ayahnya. Sang prabu melihat sesuatu pada diri pemuda itu, sesuatu yang tidak tampak oleh mata orang biasa. Sang prabu mengerti bahwa pemuda ini bukan pemuda gunung biasa dan bahwa semua ucapannya tadi keluar dari lubuk hati.
"Hemm, Joko Wandiro. Kesanggupan dan kesetiaan saja tanpa kepandaian, takkan ada gunanya jika sewaktu-waktu kerajaan kedatangan musuh yang tangguh, beranikah engkau menghadapi dan melawannya?"
"Hamba berani asal mendapat titah paduka."
"Murid siapakah engkau?"
Joko Wandiro sudah mendapat pesan dari Resi Narotama agar jangan menyebut nama kakek itu, apalagi di depan sang prabu di Panjalu.
"Hamba murid seorang pertapa yang tidak mau disebut namanya, gusti. Kepandaian hamba tidak ada artinya, akan tetapi dengan kebulatan tekad dan dengan berkah paduka, kiranya hamba akan dapat melaksanakan tugas yang paduka titahkan kepada hamba."
Girang hati sang prabu mendengar kesanggupan ini. Agak jernih wajahnya. Pemuda ini boleh diharapkan, sungguhpun masih amat disangsikan kepandaiannya. Kelihatannya hanya seorang pemuda sederhana, sederhana lahir batinnya.
Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut di luar dan dua orang yang berpakaian prajurit menyerbu masuk, muka mereka pucat sekali dan serta-merta mereka menjatuhkan diri berlutut di depan anak tangga ruangan persidangan itu. Dengan tubuh menggigil mereka menyembah kepada sang prabu. Para senopati dan hulubalang melempar pandang marah kepada dua orang perajurit ini yang dianggap mengganggu.
"Heh, bocah perajurit! Mengapa kalian berani lancang menghadap dan mengganggu persidangan?" Sang prabu menegur sambil mengerutkan keningnya.
"Mohon diberi ampun, gusti. Hamba berdua berani menghadap tanpa diperintah karena terpaksa, hamba... hamba..." Dua orang itu tergagap-gagap ketakutan.
"Apakah kalian Ini sudah bosan hidup? Keparat! Hayo bikin laporan yang betul di hadapan gusti prabu!" bentak ki patih yang sejak tadi sudah memandang dengan mata melotot.
"Kalau tidak, kuhancurkan kepala kalian!"
Melihat sikap patih ini, kedua orang perajurit menjadi makin bingung dan gugup. "Hamba... ham..."
Mereka menelan ludah berkali-kali, akan tetapi tetap saja tidak dapat melanjutkan katanya karena leher serasa tercekik. Ki patih makin marah dan sudah hendak bangkit untuk memberi hajaran.
"Patih Suroyudo, biarkan mereka tenang dan memberi laporan yang betul. Heh, bocah perajurit. Jangan takut dan ceritakan, apa yang terjadi?" kata sang prabu.
"Ampun, gusti. Di alun-alun ada dua orang musuh melakukan amuk. Banyak sudah para perajurit dan perwira yang tewas. Mereka berdua amat digdaya dan menyebar maut di antara perajurit. Sepak terjang mereka seperti iblis betina..."
"Apa? Dua orang wanita?" Sang prabu memotong heran.
"Betul seperti sabda paduka. Dua orang pengamuk itu adalah wanita-wanita cantik."
"Siapa nama mereka?" Sang prabu memotong.
"Mereka mengaku bernama Ni Nogogini dan Ni Durgogini, gusti..."
"Patih Suroyuda, kiranya dua orang iblis itu yang datang lagi mengacau! Bawa pasukan dan kerahkan senopati, tangkap mereka!"
"Paduka jangan khawatir. Hamba akan menangkap mereka!" jawab Patih Suroyuda yang segera pamit keluar diikuti para senopati dan hulubalang.
Karena sedang pusing menghadapi banyak kekacauan, sang prabu meninggalkan ruangan itu, lupa kepada Joko Wandiro yang masih duduk bersila. Setelah semua orang pergi, barulah Joko Wandiro sadar bahwa ia ditinggalkan begitu saja. Selagi ia bingung, seorang pengawal membentaknya,
"Heh bocah gunung! Mau apa lagi di sini? Hayo keluar!"
"Tapi...! tapi... hamba ingin menghambakan diri kepada sang prabu..."
"Bocah seperti engkau ini mau bekerja apa di sini? Tidak tahukah engkau betapa sang prabu sedang duka? Engkau tidak diterima, tahu? Hayo pergi keluar!"
Joko Wandiro mendongkol sekali, akan tetapi ia menekan perasaannya dan bersikap sabar. Setelah menarik napas panjang ia lalu keluar dari tempat itu. Diam-diam ia berpikir, andai kata ia mengaku sebagai murid Resi Narotama yang dahulu merupakan seorang patih junjungan di Kahuripan, agaknya tidak akan begini sikap sang prabu dan para pengawal. Setelah ia tiba di luar istana, ia melihat keadaan kacau dan geger, terutama sekali di alun-alun. Tampak para perajurit berlarian ke sana ke mari membawa tombak. Ada pula perajurit-perajurit yang mengangkut temantemannya yang terluka atau yang telah tewas.
Teringatlah Joko Wandiro akan pelaporan dua orang perajurit tadi. Di alun-alun ada dua orang wanita mengamuk, dua orang wanita musuh. Karena adanya pelaporan tentang mengamuknya dua orang wanita inilah sang prabu lalu membubarkan persidangan dan meninggalkannya. Karena gara-gara dua orang wanita itulah maka ia sampai dilupakan begitu saja sehingga ia ditegur dan diusir pengawal. Joko Wandiro membelokkan kakinya berjalan ke arah alun-alun. Ingin ia melihat siapa gerangan dua orang wanita yang demikian digdaya, berani melawan dan merobohkan para perajurit dan pengawal.
Dari jauh sudah kelihatan betapa di tengah alun-alun terjadi pertandingan hebat. Joko Wandiro mempercepat langkahnya dan ketika ia tiba di tempat pertempuran, ia memandang.dengan kaget dan heran. Benar saja laporan tadi. Di situ terdapat dua orang wanita yang mengamuk. Dua orang wanita yang cantik-cantik, mengamuk dengan kaki tangan tanpa senjata. Akan tetapi gerakan mereka hebat sehingga para perajurit yang mengeroyok dan bersenjata itu tidak mampu mendesak mereka.
Bahkan Patih Suroyudo sendiri bersama beberapa orang senopati yang tadi memandangnya penuh ejekan, kini berdiri dengan senjata di tangan dan ikut menyerang. Namun dua orang wanita itu benar-benar hebat dan gesit gerakan mereka. Hanya ki patih dan senopati yang baru keluar dari istana saja yang tidak roboh oleh sambaran tangan kedua orang wanita itu. Para perajurit biasa, baru terkena sambaran hawa pukulan saja sudah jatuh tunggang-langgang!
Sepasang mata Joko Wandiro yang berpemandangan awas itu melihat hawa yang kotor dari ilmu hitam. Juga kedua wanita itu memiliki wajah cantik yang tidak sewajarnya, dengan kilatan sepasang mata genit dan cabul. Sekali pandang saja Joko Wandiro tahu bahwa dua orang wanita ini bukanlah orang baik-baik. Diam-diam ia menduga-duga siapa gerangan kedua orang wanita itu.
Joko Wandiro memang belum pernah bertemu dengan dua orang wanita ini yang bukan lain adalah Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Mengapa kedua orang wanita sakti ini datang ke Panjalu dan mengamuk di alun-alun? Hal ini ada hubungannya dengan perbuatan Endang Patibroto. Telah kita ketahui betapa Endang Patibroto diajak gurunya, Dibyo Mamangkoro untuk menghadap sang prabu di Jenggala dan di sana kepandaiannya diuji oleh sang prabu. Gadis remaja ini disuruh menyelidiki keadaan di Panjalu dan mencuri bendera pusaka yang berkibar di puncak istana!
Gadis remaja yang sakti itu segera berangkat menuju Kerajaan Panjalu dan dengan kepandaiannya yang tinggi, malam hari itu ia berhasil menyelundup ke pekarangan belakang istana. Dengan cara melompat ke atas genteng istana seperti seekor kucing Candramawa, ia berhasil mencuri bendera pusaka yang sedang berkibar di atas puncak istana tertiup angin malam.
Ketika ia melompat turun, Endang Patibroto bertemu dengan dua orang perwira pengawal yang segera menerjang Untuk menangkapnya. Akan tetapi dengan mudah Endang Patibroto merobohkan mereka, menggunakan golok mereka memenggal leher keduanya dan menjambak rambut dua buah kepala itu dibawa kembali ke Jenggala untuk bukti bahwa tugasnya telah terlaksana dengan baik!
Tentu saja hal ini menggemparkan Jenggala. Sang prabu di Jenggaia merasa kaget, heran dan juga girang sekali. Tanpa menanti kembalinya Dibyo Mamangkoro lagi, sang prabu lalu mengangkat Endang Patibroto sebagai kepala pengawal istana! Semua senopati di Jenggala membicarakan hal ini dengan penuh kekaguman, memuji-muji Endang Patibroto setinggi langit, padahal mereka itu seorangpun tidak ada yang pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri akan kesaktian gadis remaja itu.
Sudah lajim di dunia ini semenjak jaman dahulu sampai sekarang, setiap ada orang mencapai kemuliaan, sudah tentu ada orang lain yang merasa iri hati dan dengki. Hal ini tidak terluput pada diri Endang Patibroto. Banyak di antara para senopati dan orang-orang sakti yang menghambakan diri di Jenggala merasa iri hati.
Masih untung bagi Endang Patibroto bahwa dia adalah murid Dibyo Mamangkoro. Nama gurunya ini cukup mengerikan sehingga mereka yang merasa iri hati merasa ragu-ragu dan takut untuk mcngganggu murid Dibyo Mamangkoro. Mereka tidak takut terhadap Endang Patibroto yang mereka buktikan kesaktiannya, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang tidak gentar menghadapi Dibyo Mamangkoro.
Di antara mereka yang merasa iri hati kepada Endang Patibroto, juga termasuk mereka yang terkenal sebagai orang-orang sakti yang membantu Kerajaan Jenggala, yaitu tokoh-tokoh yang sudah lama kita kenal dan yang sejak Sang Prabu Jenggala masih menjadi Pangeran Anom dahulu telah pula membantunya.
Mereka ini adalah Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono, Ki Krendoyakso, Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Sebelum Dibyo Mamangkoro dan muridnya, bersama pengikutnya Wirokolo, Sepasang Gagak dan anak buahnya datang ke Jenggala, mereka adalah orang-orang terhormat yang dianggap sebagai pembantu-pembantu utama.
Kini menyaksikan betapa murid Dibyo Mamangkoro seorang diri sanggup menyerbu Panjalu, berhasil mencuri bendera pusaka, tentu saja mereka merasa kedudukan mereka terancam. Apalagi setelah mendengar betapa sang prabu amat menghormat dan menyambut Endang Patibroto penuh kegembiraan, memberi gadis remaja itu kedudukan tinggi di dalam istana sebagai kepala semua pengawal pribadi sang prabu, mereka menjadi makin tidak enak.
Sudah tentu saja yang merasa paling iri dan tidak enak di antara mereka, adalah Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Bukan hanya karena Endang Patibroto hanyalah seorang gadis remaja, akan tetapi terutama sekali karena mereka berdua pernah berusaha mcncuri bendera pusaka itu dan gagal!.
Usaha Endang Patibroto yang berhasil baik itu merupakan tamparan bagi mereka berdua, maka untuk menebus kekalahan dan menebus muka, mereka berdua lalu pergi menyerbu ke Panjalu dan melakukan pengamukan di alun-alun! Tentu saja perbuatan mereka ini hanya terdorong hati panas dan untuk mengangkat kembali nama mereka yang jatuh oleh persaingan Endang Patibroto.
Mereka berdua, betapa pun saktinya, maklum bahwa hanya tenaga mereka berdua saja tidak mungkin dapat melawan perajurit dan pengawal Panjalu yang ribuan orang banyaknya. Mereka pun bukan bermaksud untuk menaklukkan Panjalu hanya dengan tenaga mereka berdua, melainkan hanya untuk mengamuk, kemudian kalau kewalahan akan melarikan diri, kembali ke Jenggala dengan perasaan bangga. Tentu saja sang prabu di Jenggala akan mendengar hal ini dan akan menghargai mereka.
Demikianlah, ketika Joko Wandiro yang keluar dari istana Kerajaan Panjalu dengan hati mendongkol menonton keributan di alun-alun, ia melihat dua orang wanita cantik itu tengah mengamuk. Pasukan perajurit Panjalu sama sekali bukan lawan kedua orang wanita sakti ini, seperti mentimun melawan durian saja. Kalau saja perasaan hatinya tidak terpukul oleh penolakan yang dilakukan terhadap dirinya di dalam istana, tentu Joko Wandiro sudah menyerbu dan menghadapi dua orang wanita yang berhawa jahat itu. Akan tetapi karena hatinya masih mendongkol, ia kini hanya duduk di pinggiran, di atas akar pohon waringin yang tumbuh di pinggir alun-alun, menongkrong dan menonton pertandingan.
"Minggir! Biarkan kami menangkap iblis-iblis betina ini!"
Tiba-tiba terdengar bentakan. Para perajurit pengeroyok yang memang sejak tadi sudah gentar sekali, girang mendengar bentakan ini dan cepat-cepat mereka mundur sambil menarik pergi teman-teman yang menggeletak terluka.
Joko Wandiro kini terpaksa berdiri agar dapat menonton lebih jelas karena mundurnya para perajurit itu menjadi penghalang bagi penglihatannya. Ia melihat betapa yang melompat maju adalah dua orang senopati yang tadi ikut menghadap sang prabu. Dua orang senopati yang tadi berbisik-bisik ketika ia menghadap. Mereka itu tampak kuat dan sinar mata mereka membayangkan bahwa sedikit banyak mereka memiliki aji kesaktian.
"He, tahan dulu! Dua orang perempuan setan dari mana berani membikin kacau di Panjalu? Mengakulah sebelum kami turun tangan membunuhmu!" teriak seorang di antara mereka berdua yang kumisnya sekepal sebelah.
"Bukankah kalian ini yang pernah mengacau pada waktu malam hari beberapa bulan yang lalu?"
Ni Durgogini dan Ni Nogogini berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Mereka tampak gagah dan cantik sekali. Benar hebat dua orang wanita ini. Ni Durgogini yang dahulu pernah menjadi selir terkasih Ki Patih Narotama dan bernama Lasmini adalah seorang wanita yang usianya sudah lima puluh enam tahun, akan tetapi masih tampak muda dan cantik jelita seperti wanita berusia dua puluh enam tahun saja!
Demikian pula Ni Nogogini, dahulu bekas selir Sang Prabu Airlangga dan bernama Mandari, usianya pun hanya dua tahun lebih muda dari pada Lasmini, akan tetapi juga masih amat muda dan cantik jelita. Semua ini adalah berkat khasiat obat Suketsungsang, semacam rumput laut yang amat sukar didapat, ditambah dengan ilmu hitam mereka. Ketika Ni Durgogini tertawa, giginya putih indah ber kilat.
"Hi-hik, orang-orang Panjalu! Ketahuilah, aku bernama Durgogini dan ini adikku Ni Nogogini. Beberapa bulan yang lalu kami menyerbu dan kalian sudah merasakan hajaran kami. Hayo, orang Panjalu, keluarkan semua jagomu dan lawanlah kami, dua orang kepercayaan sang prabu di Jenggala!"
"Ehh, kalian ini dua ekor tikus, lebih baik mundur saja. Suruh senopati yang paling sakti maju. Yang kalian andalkan hanya kumis tebal saja, huhhh, menjijikkan!" Ni Nogogini berkata, kemudian dua orang wanita itu tertawa-tawa geli.
Melihat lagak dua orang wanita itu, dua orang senopati muda menjadi tertarik hatinya. Mereka berdua ini sama sekali tidak tahu bahwa saat itu, Ni Durgogini dan Ni Nogogini telah mengerahkan aji pengasihan Guno Asmoro sehingga dalam pandang mata dua orang senopati itu mereka yang tersenyum-senyum tampak makin cantik jelita seperti dua orang bidadari yang baru turun dari kahyangan!
Lebih celaka lagi, mereka berdua adalah laki-laki yang tak dapat menahan nafsu berahi kalau berhadapan dengan wanita cantik. Maka seketika lenyaplah kemarahan mereka, lenyap nafsu mereka untuk menangkap atau membunuh dua orang wanita musuh yang membikin kacau itu. Si kumis tebal mendengar ucapan Ni Nogogini yang menyinggung kumisnya, merasa seperti dipuji, mengira bahwa Ni Nogogini jatuh hati kepadanya. Ia lalu melangkah maju dan dengan cengar-cengir memasang aksi, mengelus-elus dan memilin-milin kumisnya, ia berkata,
"Duhai yayi dewi nan ayu rupawan melebihi bidadari! Sayang nian apabila yayi dewi nan cantik jelita menerima hukuman mati. Lebih baik menyerahlah saja, dewi. Menyerahlah kepada kakanda Diroprono, heh Ni Nogogini. Kakanda yang akan mohon kepada gusti prabu agar adinda diampuni dan menjadi isteri kakanda!" Bagaikan orang mabok senopati Diroprono merayu-rayu Ni Nogogini yang tersenyum makin manis.
"Hi-hik!" Ni Nogogini tertawa genit sambil menutupi mulutnya dengan tangan kiri. "Engkau ingin memperisteri aku? Diroprono, namamu cukup gagah dan aku suka kepadamu. Akan tetapi kumismu itu lho yang nggilani (menjijikkan). Asal kau cukur kelimis dulu kumismu, baru aku mau mempertimbangkan pinanganmu!"
"Heh...? Kumisku dicukur kelimis? Bagaimana ini? Kumisku bagus seperti kumis Raden Gatotkaca kok disuruh buang? Apa kau tidak kecewa nanti, manis? Tapi biarlah, asal engkau yang mencukurnya, aku rela berkorban kumis!"
Setelah berkata demikian, senopati Diroprono melangkah maju seperti orang mabok, mendekatkan mukanya pada Ni Nogogini. Melihat betapa lawannya ini sudah terjatuh ke dalam pengaruh aji pengasihan, Ni Nogogini sambil tertawa lalu menggerakkan tangan mencengkeram ke depan dan sekali renggut saja kumis yang tebal itu telah dicabutnya dari atas bibir.
"Aduhhh...!"
Diroprono mencengkeram bibir atasnya yang robek dan berdarah. Akan tetapi pada saat itu, sebuah tendangan susulan yang dilakukan Ni Nogogini sambil tertawa terkekeh membuat tubuhnya terlempar.
Adapun senopati muda yang ke dua, seperti Diroprono, telah mabok oleh kekuasaan aji pengasihan itu dan seketika tubuhnya menjadi lemas, lenyap semua semangat hendak bertanding dan tanpa disadari lagi ia sudah menjatuhkan diri berlutut hendak memeluk kaki Ni Durgogini! Tentu saja ia pun menjadi makanan empuk bagi wanita sakti itu. yang sekali pukul telah berhasil membuat senopati muda itu terjungkal tak dapat bangkit kembali.
Joko Wandiro yang menyaksikan semua itu menjadi makin tak senang. Seperti itu sajakah perwira Panjalu? Sungguh memalukan sekali. Dan dua orang wanita itu sungguh keji.
"Amuk-amuk! Mana senopati-senopati pilihan di Panjalu? Mana mereka yang beberapa bulan yang lalu telah mengeroyok kami? Hayo keluarlah jago-jago Panjalu! Inilah Ni Durgogini menanti tanding!" Durgogini bersumbar dengan lagak sombong.
"Bukankah Resi Telomoyo membantu Panjalu? Mana monyet tua itu? Dan juga Pujo dan dua orang isterinya. Hayo keluarlah!" teriak pula Ni Nogogini.
Mendengar disebutnya ayah angkat atau gurunya, Joko Wandiro terkejut juga, sungguhpun ia sudah mendengar dari Resi Narotama bahwa guru pertama atau ayah angkatnya itu membantu Panjalu bersama dua orang isterinya. Ia tidak tahu apakah Pujo berada di Panjalu ataukah masih berada di Bayuwismo di pantai Laut Selatan.
Melihat sikap congkak dan tantangan yang ditujukan kepada Pujo, panas juga hati Joko Wandiro. Ia sudah melihat Ki Patih Suroyudo dan beberapa orang senopati tua yang tampaknya memiliki kepandaian berarti, tidak seperti dua orang senopati muda tadi, sudah maju. Akan tetapi Joko Wandiro sudah mendahului mereka, meloncat dengan gerakan sigap sehingga tahu-tahu pemuda ini telah berhadapan dengan Ni Durgogini dan Ni Nogogini.
Ketika dua orang sakti itu memandang, sejenak mereka tertegun. Dengan pandang mata mereka yang awas, kedua orang wanita sakti ini mengerti bahwa pemuda di depan mereka ini bukanlah orang sembarangan. Dengan kagum mereka memandang pemuda itu. Timbul rasa sayang di hati wanita cabul ini.
"Eh-eh, bocah bagus. Siapakah engkau? Pakaianmu bukan seperti seorang ponggawa kerajaan. Apa kehendakmu maju menghadapi kami?" tanya Ni Durgogini sambil tersenyum memikat.
"Bocah sigit, siapakah namamu? Kalau kami pulang nanti, ikutlah kami karena kau mempunyai bakat yang baik sekali untuk menjadi murid kami yang terkasih!" kata Ni Nogogini. Kali ini mereka mengerahkan aji pengasihan bukan untuk melumpuhkan dan mengalahkan, melainkan terdorong hati tertarik dan rasa suka.
Joko Wandiro tidak biasa bersikap kasar, sungguhpun ia maklum akan hawa mujijat yang seakan-akan menarik dirinya mendekat dan membuat kedua orang wanita itu seakan-akan menjadi makin cantik. Diam-diam ia lalu membaca mantera pelindung diri dari ilmu hitam, kemudian tersenyum menjawab, "Namaku Joko Wandiro dan aku menghadapi kalian untuk menyambut tantanganmu tadi. Aku mewakili Pujo, guruku dan juga ayah angkatku!"
Dua orang wanita itu tersenyum lebar. Pujo sendiri bukan lawan mereka, apalagi hanya seorang muridnya. Akan tetapi diam-diam mereka terheran bagaimana Pujo dapat mempunyai seorang murid seperti ini. Mereka saling pandang, mulai terheran mengapa pemuda ini belum juga memperlihatkan tanda-tanda terpengaruh Aji Guno Asmoro!
Ni Durgogini mengerahkan tenaga batinnya, lalu melangkah maju dengan langkah bergaya, lenggangnya menarik seperti orang menari, matanya disipitkan, hidungnya kembang kempis. Demikian hebat pengaruh Guno Asmoro yang diterapkan oleh Ni Durgogini pada saat itu sehingga biarpun aji itu ditujukan kepada Joko Wandiro, namun para perwira dan tamtama yang mengepung alun-alun itu ikut terpengaruh dan terpesona menatap wajah cantik jelita dan bentuk tubuh padat menggiurkan itu.
"Joko Wandiro, bocah bagus, mari ke sini, kuberi peluk cium...!" suara Ni Durgogini merdu merayu bagaikan orang bertembang.
"Ni Durgogini dan Ni Nogogini, hentikan permainan kotor ini! Ilmu setanmu itu hanya merobohkan hati laki-laki mata keranjang. Bagiku hanya menimbulkan muak dan jijik! Lebih baik lekas minggat kalian dari sini!"
"Aiiihhhh!"
Ni Durgogini tersentak kaget dan meloncat mundur. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Para senopati yang kini melihat wajah yang tidak diselimuti Aji Guno Asmoro lagi juga kaget karena wajah kedua orang wanita itu kini menjadi beringas. Mereka semua terlongong menyaksikan betapa pemuda yang tadi menghadap sang prabu yang mereka jadikan bahan ejekan, kini dengan penuh keberanian menghadapi dua orang wanita sakti seperti iblis itu.
"Bocah keparat, rasakan pukulan mautku!" Ni Durgogini berteriak marah.
"Bocah tak tahu disayang, lebih baik mampus!" Ni Nogogini juga berseru, kedua orang wanita itu lalu meloncat maju dan menyerang Joko Wandiro dengaan tamparan tangan mereka yang ampuh.
Gerakan mereka serupa dan ketika mereka berdua menggerakkan tangan kanan dengan jari-jari terbuka, terdengar suara mencicit nyaring memekakkan telinga. Itulah aji pukulan Ampak-ampak yang ampuhnya menggila.
Joko Wandiro mengerti bahwa ia menghadapi serangan dahsyat. Hawa dingin yang diakibatkan sambaran tangan itu memberi tahu kepadanya bahwa kedua orang lawannya mempergunakan pukulan yang berdasarkan hawa sakti di dalam tubuh, pukulan berhawa dingin yang amat berbahaya bagi tulang-tulangnya. Oleh karena itu, ia pun cepat mengerahkan hawa sakti ke arah kedua tangannya, kemudian dengan tabah ia memapaki kedua lawannya ini sambil mengipatkan kedua tangan dengan jari-jari terbuka pula. Untuk melawan hawa dingin yang keluar dari tangan lawan, ia sengaja menggunakan Aji Bojro Dahono dan tangannya digerakkan dengan pukulan Pethit Nogo.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BADAI LAUT SELATAN (BAGIAN KE-03 SERIAL KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA)