BADAI LAUT SELATAN : JILID-07
Dua orang penjaga terdekat di kanan kirinya mempergunakan kesempatan ini
untuk menggerakkan tombak yang ditusukkan dari kanan kiri. Pujo tidak
tergesa-gesa. Begitu kedua tombak itu mendekat, ia sudah menggigit
kerisnya dan kini kedua tangannya menyambar tombak, dan sekali kedua
tangannya membuat gerakan menyendal dan menusuk, dua orang penjaga itu
roboh dengan perut tertembus tombak kawannya!
Menyaksikan kehebatan pemuda ini, para penjaga undur tiga langkah dengan gentar, mengharapkan datangnya kawan-kawan yang kini sudah tampak datang berlarian dari luar gedung. Pujo tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha! Adipati Joyowiseso, hayo inilah dada Pujo anak Sungapan! Kerahkan seluruh anjing-anjing penjagamu, jangan maju seorang demi seorang, majulah berbareng! Saat ini adalah saat kematianmu dan sebelum aku meninggalkan Kadipaten Selopenangkep, kadipaten ini akan menjadi telaga darah!"
"Keparat sombong! Hayo maju semua, tangkap keparat ini, hidup atau mati!" teriak Adipati Joyowiseso yang sudah menerjang maju lagi dengan tombaknya.
Gerakan adipati ini cukup tangkas, tenaganya besar sehingga Pujo tidak berani memandang rendah, apalagi karena para penjaga yang berkumpul di situ lebih dari dua puluh orang banyaknya. Ia mengelak dan melesat ke kiri ketika banyak senjata menyambarnya, kemudian ia menggunakan kelincahan gerakan tubuhnya untuk melesat ke kanan kiri sambil kadang-kadang menghantam seorang pengeroyok atau menggunakan kerisnya mencari korban. Ramai suara para penjaga yang mengepungnya, sama ramainya dengan pemburu-pemburu mengepung harimau.
Pertandingan yang amat tak sebanding ini berlangsung seru. Pujo mempergunakan kepandaiannya, tangan kirinya yang mempergunakan Ilmu Pethit Nogo dan kerisnya seakan-akan pesta pora dengan tubuh para pengeroyoknya. Belum sampai setengah jam lamanya, di pekarangan belakang gedung kadipaten itu sudah bergelimpangan tubuh Sembilan orang penjaga, ada yang sudah tewas, ada yang masih berkelojotan dan ada yang merintih-rintih.
Akan tetapi Pujo tidak berhasil mendekati Adipati Joyowiseso yang selain dijaga oleh para pengawalnya, juga dijaga oleh Roro Luhito yang kini mainkan sebatang tombak juga! Adipati itu sendiri tidak tinggal diam, ia selalu mencari kesempatan selagi pemuda itu sibuk melayani pengeroyokan untuk menggunakan tombaknya menusuk. Matahari pagi mulai muncul menyinari permukaan bumi dengan cahayanya yang kemerahan, semerah darah yang berceceran membasahi bumi pekarangan belakang Kadipaten Selopenangkep.
Keadaan di situ makin gaduh oleh suara mereka yang mengepung Pujo. Diam-diam Pujo mulai merasa kuatir. Kalau semua penduduk sudah bangun dan bala bantuan datang makin banyak, sukarlah baginya untuk melarikan diri. Akan tetapi, para penjaga itu tak pernah mau melepaskannya lagi dan sebegitu lama belum juga ia berhasil membunuh ayah Wisangjiwo. Ia kecewa. Kalau Wisangjiwo sendiri tidak berada di situ dan ia tidak berhasil membunuh Adipati Joyowiseso, bukankah sia-sia belaka usahanya? Apalagi kalau ia sampai tertawan dan terbunuh! Apa artinya sekian banyak penjaga yang terbunuh olehnya? Nyawa ratusan penjagapun tidak ada artinya bagi pembalasan dendamnya terhadap Wisangjiwo!
Kekecewaan ini membuat kemarahan Pujo meluap dan berteriak menyeramkan, lalu tubuhnya berkelebat seperti burung srikatan mengejar belalang. Hebat bukan main amukannya, karena ini menggunakan pukulan Gelap Musti sehingga tiap orang yang terkena pukulan geledeknya tentu roboh dengan kepala atau dada pecah! juga Ilmu Bayutantra membuat gerakannya seperti angin puyuh!
Akan tetapi kenekatannya ini menimbulkan pula ketidak hati-hatiannya. Tusukan tombak Adipati Joyowiseso yang tentu saja lebih berbahaya dari pada tusukan para pengeroyok, secepat kilat menyambar ke arah ulu hati Pujo yang ketika itu sibuk mempergunakan kedua tangannya. Pujo terkejut dan cepat tangannya menyampok dari bawah. Mata tombak tersampok ke atas, meleset malah menyambar ke arah tenggorokannya. Pujo cepat miringkan kepala, akan tetapi tetap saja mata tombak itu menghunjam ke arah lehernya. Baiknya ia telah cepat-cepat mengerahkan tenaga sakti ke arah leher sehingga tombak itu meleset, hanya melukai kulit leher.
Saking marahnya Pujo mencengkeram dengan Aji Pethit Nogo, menangkap mata tombak dan sekali tangannya meremas, hancurlah tombak itu! Adipati Joyowiseso sampai terhuyung ke belakang dan hampir terjengkang. Pujo berteriak seperti harimau terluka, menubruk ke depan. Tetapi sebatang tombak menerima kedatangannya dengan tusukan ke arah perut. Lagi-lagi Roro Luhito yang melindungi ayahnya.
"Setan!" Pujo mendamprat, tangannya mencengkeram tombak dan sekali ia menarik ke samping, tubuh Roro Luhito terlempar dan roboh! Akan tetapi belasan orang penjaga sudah menghadang di depannya, memisahkannya dari Adipati Joyowiseso. Darah mengucur dari lehernya dan luka di leher terasa panas, tanda bahwa mata tombak itu biasa diberi ramuan yang beracun. Matanya agak berkunang, akan tetapi begitu ia menerjang maju, kembali dua orang penjaga roboh dan tewas. Amukan Pujo benar-benar hebat dan nggegirisi (menggiriskan).
Pada saat itu berkelebat sesosok bayangan hitam, gerakannya seperti burung terbang saja dan begitu tiba di dekat Pujo, ia mengirim pukulan dengan telapak tangan ke arah pelipis kanan. Pujo kaget karena hawa pukulan ini amat panas serta mendatangkan angin keras. Cepat ia memutar tubuh dan menangkis, akan tetapi tangan yang memukul itu ditarik kembali, diganti tendangan ke arah pusar! Hebat dan tangkas bukan main penyerang ini. Tadinya hati Pujo berdebar, mengira bahwa yang datang itu musuh lamanya yang dicari-cari, Wisangjiwo, akan tetapi ketika ia mengangkat muka memandang sambil meloncat mundur menghindarkan tendangan, ia menjadi kaget bukan main.
"Kakang Jokowanengpati...!"
Tentu saja ia mengenal orang muda ganteng berpakaian hitam itu, mengenal murid uwa gurunya. Jokowanengpati adalah murid Empu Bharodo yang sakti.
"Hemm, siapa pun yang mengacau harus ditawan!" berkata Jokowanengpati sambil menerjang maju lagi.
Pujo sudah menjadi pening dan lelah dan ia maklum bahwa murid Empu Bharodo ini adalah seorang yang amat pandai.
"Kakang Joko... harap jangan turut campur!"
"Adipati adalah punggawa gusti prabu, mana bisa aku membiarkan beliau diganggu orang? Pujo, kau menyerahlah!"
"Menyerah? Kepada adipati ayah si laknat Wisangjiwo? Lebih baik mati!"
Sambil berkata demikian, Pujo membalik ke kanan, kerisnya bekerja dan seorang penjaga yang tertusuk keris menjerit dan roboh. Akan tetapi pada saat itu, Jokowanengpati telah menggunakan aji pukulan Siyung Warak (Taring Badak), tepat mengenai tengkuk Pujo yang mengeluarkan suara keluhan dan roboh terguling, pingsan dengan keris masih digenggam di tangan kanan! Tentu tubuh orang muda ini sudah hancur berkeping-keping dihujani senjata oleh para penjaga kalau saja Jokowanengpati tidak cepat-cepat mencegah.
"Tahan semua senjata! Dia harus ditawan dan diperiksa perkaranya!"
Sambil memegang ujung kainnya yang tadi terlepas kaitannya dengan tangan kiri dan menyeret tombak buntung dengan tangan kanan, Adipati Joyowiseso melangkah datang didampingi Roro Luhito yang dahinya lecet sedikit terlempar tadi.
"Benar! Jangan bunuh! Ambil tambang yang besar, ikat kaki tangannya!" teriaknya memerintah.
Sibuk para penjaga mencari tali besar terbuat dari pada ijuk yang amat kuat dan membelenggu kaki tangan Pujo yang masih pingsan. Jokowanengpati mengambil keris dari tangan Pujo.
"Setan alas! Keparat jahanam!" Adipati Joyowiseso berjongkok memukuli muka dan kepala Pujo sehingga darah keluar dari hidung dan mulut orang muda itu. Setelah lelah ia lalu bangkit berdiri dan menggunakan kedua kakinya menendangi muka dan tubuh Pujo berganti-ganti sampai napasnya terengah-engah mau putus saking lelahnya.
"Seret ia ke dalam tahanan! Jaga kuat-kuat jangan sampai ia terlepas. Juga jaga jangan sampai ia membunuh diri atau terbunuh sebelum kuperiksa!"
Setelah berkata demikian, Adipati Joyowiseso menggandeng tangan Jokowaneng-pati, menariknya ke dalam sambil berkata, "Untung ada anakmas yang hadir di sini. Genduk Luhito, kaulihat betapa hebat dan tangkasnya kangmasmu Raden Jokowanengpati merobohkan penjahat itu tadi!"
Akan tetapi Roro Luhito. seperti orang termenung. Di dalam hatinya bukan mengagumi sepak terjang Jokowanengpati, melainkan mengagumi sepak terjang Pujo! Kagum dan juga menyesal mengapa pemuda yang ganteng seperti Arjuno dan gagah perkasa seperti Gatot Koco itu memusuhi ayahnya sehingga tertangkap dan tentu akan dihukum mati!
Para penjaga sibuk sekali. Ada yang menyeret tubuh Pujo yang masih pingsan dan lemas itu ke dalam tahanan sambil mengawalnya ketat sekali. Ada yang sibuk mengurus para mayat dan menolong yang terluka. Ada yang membersihkan darah dan membereskan tempat yang menjadi rusak oleh bekas-bekas pertempuran.
Ketika Adipati Joyowiseso bersama Roro Luhito dan Jokowanengpati memasuki ruangan dalam, mereka disambut oleh isteri adipati bersama para selir. Selir yang semalam menyaksikan serbuan Pujo ke dalam kamar dan mukanya pucat sekali, menubruk puterinya, Luhito sambil menangis.
"Cah ayu (anak manis), kau ajak ibumu ke kamar dan beri hiburan. Dia mengalami kaget semalam," kata Adipati Joyowiseso kepada Roro Luhito.
Gadis itu merangkul ibunya dan mengajaknya masuk, tidak peduli atau agaknya tidak melihat betapa Jokowanengpati melirik ke arahnya dengan mata penuh gairah. Isteri adipati segera memanggil pelayan untuk minta datang dukun pengobatan. Tak lama kemudian datanglah kakek berambut putih yang berjari cekatan, mencuci dan mengobati luka di pundak Adipati Joyowiseso. Setelah berganti pakaian, adipati ini mengajak Jokowanengpati duduk di ruangan dalam, menyuguhkan kopi dan penganan.
"Anakmas, saya mendengar tadi anak-mas agaknya kenal dengan penjahat itu. Dia itu bernama Pujo, murid Resi Bhargowo. Apakah benar anakmas mengenalnya?"
Jokowanengpati mengangguk. "Tentu saja saya mengenalnya, paman adipati. Dia adalah murid dan juga mantu paman Resi Bhargowo, sedangkan paman resi adalah adik seperguruan bapa Empu Bharodo."
"Ohhh...?" Adipati Joyowiseso benar-benar kaget mendengar ini.
"Harap paman adipati bertenang hati. Biarpun masih ada hubungan perguruan, namun hubungan antara saya dan mereka guru dan murid tidaklah dapat dikatakan baik. Apalagi setelah jelas bahwa Pujo berkhianat dan mempunyai niat buruk terhadap paman adipati, betapa pun juga saya tidak akan membelanya."
"Bagus! Tentu saja pribadi anakmas mana dapat disamakan dengan segala macam pengecut seperti Pujo dan gurunya? He, pengawal! Tengok si keparat itu, kalau sudah siuman dari pingsannya, seret dia ke ruangan belakang, hendak kuperiksa!"
Si pengawal menyatakan baik, memberi hormat lalu mundur.
"Maaf, paman adipati. Sungguhpun saya sama sekali tidak akan membela Pujo yang melakukan tindak khianat, akan tetapi sebaiknya saya tidak hadir dalam pemeriksaan atas dirinya, tidak hadir secara terang-terangan melainkan saya akan mengintai dari balik jendela saja. Perkenankan saya mundur."
"Ah, saya maklum, anakmas. Baiklah. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan anakmas, dan sekali lagi saya merasa bersyukur dan berterima kasih kepada anakmas."
Jokowanengpati lalu mengundurkan diri pula. Sebenarnya, pemuda ini merasa gentar juga kalau harus menyaksikan pemeriksaan itu, bukan gentar terhadap orang lain, melainkan terhadap bayangannya sendiri. Sukar diduga isi hati seorang murid Resi Bhargowo, pikirnya. Ia masih belum yakin benar apakah Pujo masih belum tahu akan perbuatannya di Guha Siluman, ataukah pura-pura tidak tahu, kemudian akan membuka rahasia ini di depan adipati? Orang yang melakukan perbuatan jahat tentu selalu akan merasa tertekan dan tidak tenteram hatinya, selalu diganggu bayangan-bayangan sendiri yang bermunculan. Oleh karena inilah agaknya Jokowanengpati mengajukan alasan itu.
Tak lama kemudian, setelah disiram beberapa ember air dingin, Pujo sadar dari pada pingsannya. Kepalanya masih terasa pening dan pangkal lengannya kaku sakit. Akan tetapi begitu ia sadar, ia telah diseret-seret kembali dalam keadaan terikat kaki tangannya, dibawa ke ruangan belakang di mana telah menunggu Adipati Joyowiseso, lengkap dengan para pembantunya, para penyiksa dan algojo yang kesemuanya berpakaian dinas.
"Berlutut kau...!"
Empat orang penjaga yang menggusur Pujo, secara kasar memaksa Pujo berlutut di atas lantai menghadap sang adipati yang duduk dengan muka masam. Pujo tidak melawan mereka, karena dalam keadaan terbelenggu dan terluka, ia maklum bahwa melawanpun tidak ada gunanya. Maka ia duduk berlutut akan tetapi mukanya diangkat dan pandang matanya menentang adipati itu dengan penuh keberanian dan kemarahan. Atas sikapnya ini, seorang penjaga menampar kepalanya dari belakang, namun Pujo tidak bergeming, tetap saja mukanya dihadapkan kepada adipati penuh tantangan.
"Heh keparat Pujo! Kau sudah tertangkap dan tidak berdaya, masih saja memperlihatkan sikap kepala batu? Apakah kau tidak merasa betapa besar dosamu? Apakah kau tidak menyesal telah membunuh dan melukai banyak pengawal kadipaten?"
Pujo menggerakkan bibir mengejek, "Huh! Menyesal? Aku hanya menyesal mengapa aku tidak sempat membunuhmu sebagai gantinya anakmu si bedebah Wisangjiwo!"
"Plak-plak-desss...!"
Kemplangan dan hantaman dari para penjaga di belakangnya membuat Pujo yang kaki tangannya terbelenggu itu jatuh terjerembab ke depan, akan tetapi gentakan-gentakan keras para penjaga mendudukkannya kembali.
"Ha-ha-ha-ha! Pujo, agaknya kau telah menjadi gila! Sebelum kau kujatuhi hukuman yang setimpal dengan kejahatanmu, lebih dulu kau mengakulah apa sebabnya kau melakukan perbuatan semalam dan apa sebabnya kau mencaci-maki puteraku."
"Joyowiseso! Aku hendak menumpas keluargamu untuk menebus dosa si Wisangjiwo."
"Dosa apa?"
"Tak perlu kau tahu!"
Marahlah sang adipati. Ia melompat dari kursinya dan meringis karena pundaknya yang terluka terasa nyeri. Hal ini mengingatkan dia bahwa pundaknya terluka keris, mengingatkan dia betapa semalam hampir saja ia terbunuh oleh Pujo yang kini terbelenggu tak berdaya di depan kakinya.
"Jahanam... Kau masih sombong, ya? Hendak kulihat apakah kau masih tidak mau mengaku? Hajar dia! Rangket dengan seratus kali cambukan, telanjangi punggungnya kemudian jemur di tengah alun-alun sampai dia mengaku!" teriak adipati penuh kemarahan.
Pujo mendengarkan perintah ini dengan mata melotot dan mulut tersenyum mengejek, sedikitpun tidak memperlihatkan muka gentar. Tubuhnya lalu diseret ke sudut, diikat pada tiang, punggungnya ditelanjangi dan tak lama kemudian terdengarlah suara cambuk melecut-lecut menghantam punggung, merobek-robek kulit punggung Pujo sampai lumat, membuat darah segar yang keluar menjadi kental dan kering kembali. Biarpun tubuh Pujo telah terlatih dan ia memiliki kekebalan, namun karena ia terluka, tak dapat ia mengerahkan terus kekuatannya dan akhirnya ia harus menyerah. Setelah seratus kali cambukan, ia terkulai. Namun, sedikitpun keluhan tidak pernah keluar dari mulutnya.
"Jahanam, kau masih tidak hendak mengaku?"
Pujo hanya mengedikkan kepala dan memandang adipati sambil melotot dan berkata, "Kau tidak perlu tahu. Pendeknya, Wisangjiwo akan mampus di tanganku, bersama keluarganya!"
"Ha-ha-ha-ha, sudah hampir mampus masih banyak tingkah!" Adipati Joyowiseso makin panas hatinya. "Seret dia ke alun-alun, jemur dia. Kalau mau mengaku boleh bawa menghadap, kalau tidak mau, sore nanti jalankan hukum perapat kepadanya!"
Pujo hanya tersenyum mengejek dan ia masih melotot kepada adipati ketika tubuhnya kembali diseret keluar untuk dijemur di tengah alun-alun. Ia tahu apa artinya hukum perapat. Hukuman mati yang mengerikan. Diperapat berarti dibagi menjadi empat. Tubuhnya akan dirobek menjadi empat potong oleh tarikan empat ekor kuda pada kedua kaki dan kedua tangannya, ditarik ke empat jurusan sampai pecah menjadi empat potong!
Matahari telah tenggelam jauh di barat, namun cahayanya masih membayang dan membentuk senja yang cerah. Alun-alun Kadipaten Selopenangkep penuh orang, hampir semua laki-laki, tidak tampak wanita dan anak-anak. Memang, tontonan yang menarik perhatian hampir seluruh penduduk Selopenangkep, bahkan dari dusun-dusun di sekitarnya, adalah tontonan yang mengerikan sehingga anak-anak dilarang orang tuanya menonton dan wanita-wanita takut menyaksikannya. Bayangkan saja. Hukum perapat!. Siapa dapat menahan kengerian melihat tubuh seorang hidup-hidup dirobek menjadi empat? Darah akan menyembur-nyembur, isi perut akan berantakan, daging merah akan bertelanjang di depan mata!
Ribuan orang telah memenuhi alun-alun, mengelilingi tengah-tengah alun-alun yang menjadi pusat perhatian, dalam jarak seratus meter. Di tengah-tengah alun-alun itu terdapat sebuah bangunan panggung, tempat yang disediakan khusus bagi keluarga kadipaten untuk menonton setiap pertunjukan yang diadakan di alun-alun. Kadang-kadang alun-alun ini bias diubah menjadi tempat latihan kuda, tempat adu banteng, mengurung harimau, atau dipakai ujian ketangkasan para perajurit.
Pada senja hari itu, alun-alun diubah menjadi tempat pelaksanaan hukuman bagi Pujo, hukuman perapat! Tak seorangpun berani menghalangi perintah Adipati Joyowiseso untuk melaksanakan hukuman terberat ini. Semua orang maklum bahwa memang sepatutnya pemuda pesisir Laut Selatan itu menerima hukuman berat. Pemuda itu telah menyerang kadipaten, melukai bahkan hampir membunuh sang adipati sendiri, membunuh dan melukai belasan orang pengawal, dan di samping itu berani mengeluarkan kata-kata kasar dan sikap menantang kurang ajar terhadap Adipati Joyowiseso. Dosanya terlalu besar dan terlalu banyak.
Sejak pagi tadi Pujo dijemur di bawah terik matahari yang menggerogoti kulit. Hebat penderitaan ini, apalagi bagian punggungnya yang hancur bekas cambukan, amat perih dan nyeri disengat sinar matahari. Namun, pemuda ini tetap tak pernah mengeluh dan atas pertanyaan-pertanyaan para petugas yang mendesak, ia sama sekali tidak mau menjawab. Oleh karena ia sama sekali tidak mau mengaku mengapa ia memusuhi Wisangjiwo, maka akhirnya Adipati Joyowiseso tak dapat menahan amarahnya dan menjatuhkan hukuman perapat kepadanya.
Dalam keadaan terikat kaki tangannya, Pujo diseret ke tengah alun-alun, ditelentangkan dan dijadikan tontonan orang seperti orang menonton seekor harimau yang tertangkap. Empat ekor kuda yang besar-besar telah dipersiapkan. Inilah empat ekor kuda yang bertugas merobek tubuh Pujo menjadi empat potong!
Para penduduk Selopenangkep yang memenuhi alun-alun itu semua mempercakapkan Pujo. Ada yang menyatakan sayang dan iba hati terhadap pemuda tampan itu, apalagi ketika mereka mendengar bahwa pemuda itu putera mantu Resi Bhargowo di Sungapan. Akan tetapi banyak pula yang mencaci-maki karena menganggap bahwa pemuda ini seorang penjahat besar yang mencoba melakukan pembunuhan terhadap adipati, maka sudah sepatutnya menerima hukuman paling berat.
Ada semacam hukuman yang juga hebat sekali, yaitu hukum picis. Penjahat yang dijatuhi hukum picis, dibelenggu di alun-alun atau di depan pasar, kemudian orang-orang yang lewat di depannya, diperbolehkan mengerat kulitnya dengan sebuah pisau tajam runcing yang sudah disediakan di tempat itu!
Kalau dia memang seorang penjahat besar, tentu sudah banyat ia menyakiti hati orang, banyak orang membencinya, maka itulah saatnya bagi orang-orang yang bersakit hati untuk melampiaskan dendamnya. Tubuh penjahat itu sebentar saja sudah dikerat-kerat kulitnya, berlumur darah. Bahkan diperbolehkan menggosokkan garam atau asam pada luka-luka di kulit bekas keratan untuk menambah siksaan.
Tak sampai sehari, orang yang dihukum picis akan mati kehabisan darah yang mengalir di sepanjang tubuhnya yang tercacah itu. Akan tetapi, dibandingkan dengan hukum perapat, hukum picis tidaklah terlalu mengerikan. Hukum perapat ini benar-benar amat mengerikan.
Menyaksikan betapa tubuh yang utuh itu dirobek tarikan empat ekor kuda yang kuat, benar-benar dapat membuat orang yang menonton menjadi pingsan! Kini Adipati Joyowiseso sudah berada di panggung, bersama para pengawalnya. Semua penonton menjadi kagum sekali menyaksikan betapa Roro Luhito yang cantik dan denok itu ikut pula hadir di samping ayahnya! Benar-benar seorang gadis yang luar biasa, pikir mereka.
Tentu saja semua penduduk maklum belaka bahwa puteri adipati ini adalah seorang gadis gemblengan, pandai menunggang kuda, memanah dan mainkan keris atau lembing, tidak kalah oleh perwira-perwira biasa saja. Akan tetapi, melihat gadis itu hadir pula dalam pelaksanaan hukum perapat, benar-benar membuktikan ketabahan hatinya yang luar biasa. Biarpun wajah gadis itu agak pucat dan ia kelihatan pendiam tidak lincah kenes seperti biasa, namun dia tampak tenang-tenang saja, matanya memandang ke arah tubuh si terhukum yang terlentang di atas tanah, hanya belasan meter jauhnya dari atas panggung.
Dari tempat sedekat itu, tentu akan terdengar suaranya jika tubuh itu tersayat menjadi empat oleh tarikan kuda. Tentu akan tampak jelas isi perut yang berhamburan, jantung yang masih hidup bergerak berloncatan di atas tanah! Puteri ini duduk di samping kiri Adipati Joyowiseso, sedangkan di sebelah kanannya duduk seorang pemuda ganteng berpakaian serba hitam, destarnya kehijauan, bibirnya selalu tersenyum dan sikapnya tenang. Inilah Jokowanengpati dan para penonton memandang kepadanya dengan kagum.
Berita bahwa pemuda perkasa yang menjadi tamu adipati inilah yang merobohkan si penjahat, telah tersiar luas. Karena angkasa raya masih terang cemerlang oleh sinar senja, Pujo yang terlentang tidak mau membuka matanya karena silau. Ia meramkan matanya dan berada dalam keadaan samadhi. ia tidak menyesal akan nasib yang menimpanya, hanya menyesal mengapa belum berhasil membalas dendam.
Teringat akan pengalamannya semalam, ia sadar bahwa ia telah berlaku kurang hati-hati, terlalu menurutkan nafsu dendamnya. Akan tetapi semua itu telah terjadi, tak perlu disesalkan lagi. Sekarang baginya hanyalah menanti datangnya hukuman, akan tetapi di dalam hatinya ia mengambil ketetapan untuk tidak menyerah begitu saja. Akan ia pertahankan nyawanya dengan segala ilmu yang dimilikinya.
Ketika para algojo yang bertubuh tegap-tegap seperti raksasa mengikat lagi kedua tangan dan kedua kakinya dengan sebuah tambang besar yang panjang, barulah Pujo membuka matanya. Kaki tangannya yang sudah terbelenggu, kaki menjadi satu dan tangan juga menjadi satu, kini diikat lebih kuat dengan tambang baru yang panjang, setiap tangan dan setiap kaki diikat erat-erat.
Pujo tidak mempedulikan ini semua. Ia maklum bahwa para algojo itu sudah terlatih dan berlaku amat hati-hati. Sukar mencari kesempatan untuk memberontak atau meloloskan diri. Kini biji matanya mulai bergerak-gerak. Melihat para penonton memenuhi sekeliling alun-alun, kulit di antara kedua matanya berkerut sedikit.
Akan tetapi ketika ia memandang ke arah panggung dan melihat Adipati Joyowiseso duduk didampingi gadis remaja yang ikut mengeroyoknya dan Jokowanengpati, matanya menjadi liar dan dadanya terasa panas oleh amarah. Ia menentang pandang mata adipati itu dengan sinar mata menyala penuh tantangan. Pandang mata Jokowanengpati yang tidak langsung memandangnya itu tidak ia peduli, juga pandang mata penuh perasaan haru dan kagum dari gadis remaja itupun tak dihiraukan.
Kini keempat buah kaki tangan Pujo sudah diikat erat dengan ujung tambang panjang; Setiap tambang lalu diurai dan dibawa kepada kuda yang sudah menanti. Empat ekor kuda itu berada di empat penjuru. Dua ekor di kanan kiri panggung, yang dua ekor lagi menghadap ke arah berlainan, jadi empat ekor kuda itu berdiri membelakangi tubuh Pujo.
Tambang-tambang yang panjang dan yang mengikat keempat buah kaki tangan Pujo, kini diikatkan pada pundak kuda yang sudah dipasangi alat yang khusus untuk pekerjaan ini. Kemudian empat orang algojo melompat ke atas punggung kuda, dengan cambuk di tangan.
Seorang algojo lain menghampiri Pujo, lalu menggunakan pedang yang amat tajam untuk membikin putus belenggu pertama yang mengikat kaki dan tangan masing-masing menjadi satu. Kini kaki dan tangan Pujo terpentang, tangan kanan di selatan, kaki kiri di utara, tangan kiri di barat dan kaki kanan di timur.
Hukum perapat yang mengerikan sudah siap dilaksanakan! Para penonton yang tadi saling bicara sehingga keadaan di situ menjadi berisik seperti suara ribuan lebah diganggu pada saat persiapan dilakukan, kini semua diam tak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun, seperti seekor binatang jengkerik terpijak.
Ketegangan memuncak dan semua orang menahan napas. Keadaan menjadi sunyi sekali dan kesunyian inilah yang membuat suara Adipati Joyowiseso terdengar jelas, "Heii, si pembunuh laknat Pujo! Kesempatan terakhir kuberikan kepadamu. Kalau kau bersedia mengaku sebab perbuatanmu yang jahat malam tadi, aku masih belum terlambat untuk mengubah hukumanmu!"
"Hah! Joyowiseso, mengapa masih banyak cerewet lagi? Aku gagal membunuhmu, dan sekarang hendak membunuh mati kepadaku, lakukanlah! Seorang satria sejati tidak gentar menghadapi kematian karena kegagalan perjuangannya!"
Kumis sekepal sebelah di bawah hidung adipati itu bangkit berdiri saking marahnya.
"Kau... pengecut besar masih membuka mulut mengaku satria!"
"Ha-ha-ha! Joyowiseso, kau selalu menyebutku pengecut. Tentu karena dahulu aku tidak ikut melawan barisan Mataram maka kau anggap aku pengecut, bukan? Ha-ha-ha, siapakah yang lebih pengecut di antara kita? Kau dahulu melawan mati-matian, setelah kalah bertekuk lutut untuk mempertahankan kedudukan. Dan semua orang dapat kau tipu, akan tetapi aku tahu bahwa kau menakluk kepada Mataram hanyalah lahirnya saja, sedangkan batinnya... ha-ha-ha!"
"Cukup! Hayo laksanakan hukumannya!" bentak sang adipati sambil bangkit berdiri dengan muka pucat saking marahnya, tangannya memberi tanda kepada empat orang algojo di atas punggung kuda yang memang sejak tadi sudah siap, hanya tinggal menanti tanda yang diberikan sendiri oleh sang adipati.
Penonton yang tadinya menjadi berisik kembali mendengar perbantahan itu, kini diam lagi dan memandang dengan mata terbelalak, bahkan bernapaspun ditahan agaknya. Ketegangan memuncak dan tanpa diketahui orang lain kecuali Jokowanengpati yang selalu melirik ke arah Roro Luhito, gadis ini agak menggigil tubuhnya dan duduk bersandar kursi lalu meramkan kedua matanya!
"Tar-tar-tar-tar!" Empat batang cambuk di tangan empat orang algojo itu berdetak di udara bergantian, kendali kuda disendai dan empat ekor kuda itu bergerak maju sambil mengerahkan tenaga.
Terdengar jerit di sana-sini antara para penonton dan banyak yang kurang kuat syarafnya sudah roboh pingsan dengan tubuh lemas! Sudah terbayang di dalam otak para penonton betapa dalam detik-detik berikutnya, tubuh pemuda ganteng itu akan robek menjadi empat potong. Tanpa ia sadari, dua titik air mata meloncat keluar dari pelupuk mata Roro Luhito, dan Jokowanengpati yang melihat ini tersenyum sinis.
Tiba-tiba kesunyian yang mencengkam perasaan itu berubah sama sekali. Keadaan menjadi berisik sekali, bahkan makin lama makin riuh. Orang-orang berteriak tak tentu maksudnya, ada yang bersorak bahkan ada yang bertepuk tangan, ada pula terdengar suara para penjaga memaki-maki.
Roro Luhito cepat membuka matanya, memandang. Ia terbelalak memandang ke depan, bahkan kini ia berdiri tanpa ia sadari, kedua tangannya menekan dadanya yang membusung. Apakah yang ia lihat? Apakah yang terjadi? Hebat memang! Tubuh Pujo yang terlentang di atas tanah itu meregang, matanya separuh terpejam, otot-otot pada lengannya tampak menonjol, bibirnya berkemak-kemik tanpa suara dan tubuhnya sama sekali belum robek seperti orang sangka. Empat ekor kuda itu menarik sekuatnya, keempat kaki mereka bengkok-bengkok ke belakang dan empat orang algojo membunyikan cambuk, menyendal-nyendal kendali.
Namun tubuh Pujo tidak bergeming! Empat ekor kuda itu seakan-akan berusaha untuk merobek sepotong batu karang yang kokoh kuat! Ternyata dalam saat terakhir itu, Pujo telah mengerahkan kesaktiannya, mengerahkan tenaga sakti untuk menahan tarikan empat ekor kuda dari empat penjuru. Berkali-kali empat orang algojo itu menoleh dan mata mereka terbelalak melihat betapa tubuh korban mereka sama sekali belum terobek.
Algojo yang menunggang kuda di sebelah timur menjadi penasaran. Ia mencambuki leher kudanya, menendang-nendang perut kuda hingga kudanya yang besar itu lalu meringkik marah, mengerahkan tenaga kaki untuk berlari maju sehingga tambang yang ditariknya dan yang mengikat kaki kanan Pujo itu meregang, makin meregang dan...
"Takk!"
tambang itu putus, kudanya terjungkal ke depan dan penunggangnya jatuh tunggang-langgang! Tepuk tangan riuh menyambut peristiwa hebat ini, bahkan mereka yang tadinya benci kepada Pujo, ikut pula bertepuk tangan dan bersorak-sorak.....
Menyaksikan kehebatan pemuda ini, para penjaga undur tiga langkah dengan gentar, mengharapkan datangnya kawan-kawan yang kini sudah tampak datang berlarian dari luar gedung. Pujo tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha! Adipati Joyowiseso, hayo inilah dada Pujo anak Sungapan! Kerahkan seluruh anjing-anjing penjagamu, jangan maju seorang demi seorang, majulah berbareng! Saat ini adalah saat kematianmu dan sebelum aku meninggalkan Kadipaten Selopenangkep, kadipaten ini akan menjadi telaga darah!"
"Keparat sombong! Hayo maju semua, tangkap keparat ini, hidup atau mati!" teriak Adipati Joyowiseso yang sudah menerjang maju lagi dengan tombaknya.
Gerakan adipati ini cukup tangkas, tenaganya besar sehingga Pujo tidak berani memandang rendah, apalagi karena para penjaga yang berkumpul di situ lebih dari dua puluh orang banyaknya. Ia mengelak dan melesat ke kiri ketika banyak senjata menyambarnya, kemudian ia menggunakan kelincahan gerakan tubuhnya untuk melesat ke kanan kiri sambil kadang-kadang menghantam seorang pengeroyok atau menggunakan kerisnya mencari korban. Ramai suara para penjaga yang mengepungnya, sama ramainya dengan pemburu-pemburu mengepung harimau.
Pertandingan yang amat tak sebanding ini berlangsung seru. Pujo mempergunakan kepandaiannya, tangan kirinya yang mempergunakan Ilmu Pethit Nogo dan kerisnya seakan-akan pesta pora dengan tubuh para pengeroyoknya. Belum sampai setengah jam lamanya, di pekarangan belakang gedung kadipaten itu sudah bergelimpangan tubuh Sembilan orang penjaga, ada yang sudah tewas, ada yang masih berkelojotan dan ada yang merintih-rintih.
Akan tetapi Pujo tidak berhasil mendekati Adipati Joyowiseso yang selain dijaga oleh para pengawalnya, juga dijaga oleh Roro Luhito yang kini mainkan sebatang tombak juga! Adipati itu sendiri tidak tinggal diam, ia selalu mencari kesempatan selagi pemuda itu sibuk melayani pengeroyokan untuk menggunakan tombaknya menusuk. Matahari pagi mulai muncul menyinari permukaan bumi dengan cahayanya yang kemerahan, semerah darah yang berceceran membasahi bumi pekarangan belakang Kadipaten Selopenangkep.
Keadaan di situ makin gaduh oleh suara mereka yang mengepung Pujo. Diam-diam Pujo mulai merasa kuatir. Kalau semua penduduk sudah bangun dan bala bantuan datang makin banyak, sukarlah baginya untuk melarikan diri. Akan tetapi, para penjaga itu tak pernah mau melepaskannya lagi dan sebegitu lama belum juga ia berhasil membunuh ayah Wisangjiwo. Ia kecewa. Kalau Wisangjiwo sendiri tidak berada di situ dan ia tidak berhasil membunuh Adipati Joyowiseso, bukankah sia-sia belaka usahanya? Apalagi kalau ia sampai tertawan dan terbunuh! Apa artinya sekian banyak penjaga yang terbunuh olehnya? Nyawa ratusan penjagapun tidak ada artinya bagi pembalasan dendamnya terhadap Wisangjiwo!
Kekecewaan ini membuat kemarahan Pujo meluap dan berteriak menyeramkan, lalu tubuhnya berkelebat seperti burung srikatan mengejar belalang. Hebat bukan main amukannya, karena ini menggunakan pukulan Gelap Musti sehingga tiap orang yang terkena pukulan geledeknya tentu roboh dengan kepala atau dada pecah! juga Ilmu Bayutantra membuat gerakannya seperti angin puyuh!
Akan tetapi kenekatannya ini menimbulkan pula ketidak hati-hatiannya. Tusukan tombak Adipati Joyowiseso yang tentu saja lebih berbahaya dari pada tusukan para pengeroyok, secepat kilat menyambar ke arah ulu hati Pujo yang ketika itu sibuk mempergunakan kedua tangannya. Pujo terkejut dan cepat tangannya menyampok dari bawah. Mata tombak tersampok ke atas, meleset malah menyambar ke arah tenggorokannya. Pujo cepat miringkan kepala, akan tetapi tetap saja mata tombak itu menghunjam ke arah lehernya. Baiknya ia telah cepat-cepat mengerahkan tenaga sakti ke arah leher sehingga tombak itu meleset, hanya melukai kulit leher.
Saking marahnya Pujo mencengkeram dengan Aji Pethit Nogo, menangkap mata tombak dan sekali tangannya meremas, hancurlah tombak itu! Adipati Joyowiseso sampai terhuyung ke belakang dan hampir terjengkang. Pujo berteriak seperti harimau terluka, menubruk ke depan. Tetapi sebatang tombak menerima kedatangannya dengan tusukan ke arah perut. Lagi-lagi Roro Luhito yang melindungi ayahnya.
"Setan!" Pujo mendamprat, tangannya mencengkeram tombak dan sekali ia menarik ke samping, tubuh Roro Luhito terlempar dan roboh! Akan tetapi belasan orang penjaga sudah menghadang di depannya, memisahkannya dari Adipati Joyowiseso. Darah mengucur dari lehernya dan luka di leher terasa panas, tanda bahwa mata tombak itu biasa diberi ramuan yang beracun. Matanya agak berkunang, akan tetapi begitu ia menerjang maju, kembali dua orang penjaga roboh dan tewas. Amukan Pujo benar-benar hebat dan nggegirisi (menggiriskan).
Pada saat itu berkelebat sesosok bayangan hitam, gerakannya seperti burung terbang saja dan begitu tiba di dekat Pujo, ia mengirim pukulan dengan telapak tangan ke arah pelipis kanan. Pujo kaget karena hawa pukulan ini amat panas serta mendatangkan angin keras. Cepat ia memutar tubuh dan menangkis, akan tetapi tangan yang memukul itu ditarik kembali, diganti tendangan ke arah pusar! Hebat dan tangkas bukan main penyerang ini. Tadinya hati Pujo berdebar, mengira bahwa yang datang itu musuh lamanya yang dicari-cari, Wisangjiwo, akan tetapi ketika ia mengangkat muka memandang sambil meloncat mundur menghindarkan tendangan, ia menjadi kaget bukan main.
"Kakang Jokowanengpati...!"
Tentu saja ia mengenal orang muda ganteng berpakaian hitam itu, mengenal murid uwa gurunya. Jokowanengpati adalah murid Empu Bharodo yang sakti.
"Hemm, siapa pun yang mengacau harus ditawan!" berkata Jokowanengpati sambil menerjang maju lagi.
Pujo sudah menjadi pening dan lelah dan ia maklum bahwa murid Empu Bharodo ini adalah seorang yang amat pandai.
"Kakang Joko... harap jangan turut campur!"
"Adipati adalah punggawa gusti prabu, mana bisa aku membiarkan beliau diganggu orang? Pujo, kau menyerahlah!"
"Menyerah? Kepada adipati ayah si laknat Wisangjiwo? Lebih baik mati!"
Sambil berkata demikian, Pujo membalik ke kanan, kerisnya bekerja dan seorang penjaga yang tertusuk keris menjerit dan roboh. Akan tetapi pada saat itu, Jokowanengpati telah menggunakan aji pukulan Siyung Warak (Taring Badak), tepat mengenai tengkuk Pujo yang mengeluarkan suara keluhan dan roboh terguling, pingsan dengan keris masih digenggam di tangan kanan! Tentu tubuh orang muda ini sudah hancur berkeping-keping dihujani senjata oleh para penjaga kalau saja Jokowanengpati tidak cepat-cepat mencegah.
"Tahan semua senjata! Dia harus ditawan dan diperiksa perkaranya!"
Sambil memegang ujung kainnya yang tadi terlepas kaitannya dengan tangan kiri dan menyeret tombak buntung dengan tangan kanan, Adipati Joyowiseso melangkah datang didampingi Roro Luhito yang dahinya lecet sedikit terlempar tadi.
"Benar! Jangan bunuh! Ambil tambang yang besar, ikat kaki tangannya!" teriaknya memerintah.
Sibuk para penjaga mencari tali besar terbuat dari pada ijuk yang amat kuat dan membelenggu kaki tangan Pujo yang masih pingsan. Jokowanengpati mengambil keris dari tangan Pujo.
"Setan alas! Keparat jahanam!" Adipati Joyowiseso berjongkok memukuli muka dan kepala Pujo sehingga darah keluar dari hidung dan mulut orang muda itu. Setelah lelah ia lalu bangkit berdiri dan menggunakan kedua kakinya menendangi muka dan tubuh Pujo berganti-ganti sampai napasnya terengah-engah mau putus saking lelahnya.
"Seret ia ke dalam tahanan! Jaga kuat-kuat jangan sampai ia terlepas. Juga jaga jangan sampai ia membunuh diri atau terbunuh sebelum kuperiksa!"
Setelah berkata demikian, Adipati Joyowiseso menggandeng tangan Jokowaneng-pati, menariknya ke dalam sambil berkata, "Untung ada anakmas yang hadir di sini. Genduk Luhito, kaulihat betapa hebat dan tangkasnya kangmasmu Raden Jokowanengpati merobohkan penjahat itu tadi!"
Akan tetapi Roro Luhito. seperti orang termenung. Di dalam hatinya bukan mengagumi sepak terjang Jokowanengpati, melainkan mengagumi sepak terjang Pujo! Kagum dan juga menyesal mengapa pemuda yang ganteng seperti Arjuno dan gagah perkasa seperti Gatot Koco itu memusuhi ayahnya sehingga tertangkap dan tentu akan dihukum mati!
Para penjaga sibuk sekali. Ada yang menyeret tubuh Pujo yang masih pingsan dan lemas itu ke dalam tahanan sambil mengawalnya ketat sekali. Ada yang sibuk mengurus para mayat dan menolong yang terluka. Ada yang membersihkan darah dan membereskan tempat yang menjadi rusak oleh bekas-bekas pertempuran.
Ketika Adipati Joyowiseso bersama Roro Luhito dan Jokowanengpati memasuki ruangan dalam, mereka disambut oleh isteri adipati bersama para selir. Selir yang semalam menyaksikan serbuan Pujo ke dalam kamar dan mukanya pucat sekali, menubruk puterinya, Luhito sambil menangis.
"Cah ayu (anak manis), kau ajak ibumu ke kamar dan beri hiburan. Dia mengalami kaget semalam," kata Adipati Joyowiseso kepada Roro Luhito.
Gadis itu merangkul ibunya dan mengajaknya masuk, tidak peduli atau agaknya tidak melihat betapa Jokowanengpati melirik ke arahnya dengan mata penuh gairah. Isteri adipati segera memanggil pelayan untuk minta datang dukun pengobatan. Tak lama kemudian datanglah kakek berambut putih yang berjari cekatan, mencuci dan mengobati luka di pundak Adipati Joyowiseso. Setelah berganti pakaian, adipati ini mengajak Jokowanengpati duduk di ruangan dalam, menyuguhkan kopi dan penganan.
"Anakmas, saya mendengar tadi anak-mas agaknya kenal dengan penjahat itu. Dia itu bernama Pujo, murid Resi Bhargowo. Apakah benar anakmas mengenalnya?"
Jokowanengpati mengangguk. "Tentu saja saya mengenalnya, paman adipati. Dia adalah murid dan juga mantu paman Resi Bhargowo, sedangkan paman resi adalah adik seperguruan bapa Empu Bharodo."
"Ohhh...?" Adipati Joyowiseso benar-benar kaget mendengar ini.
"Harap paman adipati bertenang hati. Biarpun masih ada hubungan perguruan, namun hubungan antara saya dan mereka guru dan murid tidaklah dapat dikatakan baik. Apalagi setelah jelas bahwa Pujo berkhianat dan mempunyai niat buruk terhadap paman adipati, betapa pun juga saya tidak akan membelanya."
"Bagus! Tentu saja pribadi anakmas mana dapat disamakan dengan segala macam pengecut seperti Pujo dan gurunya? He, pengawal! Tengok si keparat itu, kalau sudah siuman dari pingsannya, seret dia ke ruangan belakang, hendak kuperiksa!"
Si pengawal menyatakan baik, memberi hormat lalu mundur.
"Maaf, paman adipati. Sungguhpun saya sama sekali tidak akan membela Pujo yang melakukan tindak khianat, akan tetapi sebaiknya saya tidak hadir dalam pemeriksaan atas dirinya, tidak hadir secara terang-terangan melainkan saya akan mengintai dari balik jendela saja. Perkenankan saya mundur."
"Ah, saya maklum, anakmas. Baiklah. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan anakmas, dan sekali lagi saya merasa bersyukur dan berterima kasih kepada anakmas."
Jokowanengpati lalu mengundurkan diri pula. Sebenarnya, pemuda ini merasa gentar juga kalau harus menyaksikan pemeriksaan itu, bukan gentar terhadap orang lain, melainkan terhadap bayangannya sendiri. Sukar diduga isi hati seorang murid Resi Bhargowo, pikirnya. Ia masih belum yakin benar apakah Pujo masih belum tahu akan perbuatannya di Guha Siluman, ataukah pura-pura tidak tahu, kemudian akan membuka rahasia ini di depan adipati? Orang yang melakukan perbuatan jahat tentu selalu akan merasa tertekan dan tidak tenteram hatinya, selalu diganggu bayangan-bayangan sendiri yang bermunculan. Oleh karena inilah agaknya Jokowanengpati mengajukan alasan itu.
Tak lama kemudian, setelah disiram beberapa ember air dingin, Pujo sadar dari pada pingsannya. Kepalanya masih terasa pening dan pangkal lengannya kaku sakit. Akan tetapi begitu ia sadar, ia telah diseret-seret kembali dalam keadaan terikat kaki tangannya, dibawa ke ruangan belakang di mana telah menunggu Adipati Joyowiseso, lengkap dengan para pembantunya, para penyiksa dan algojo yang kesemuanya berpakaian dinas.
"Berlutut kau...!"
Empat orang penjaga yang menggusur Pujo, secara kasar memaksa Pujo berlutut di atas lantai menghadap sang adipati yang duduk dengan muka masam. Pujo tidak melawan mereka, karena dalam keadaan terbelenggu dan terluka, ia maklum bahwa melawanpun tidak ada gunanya. Maka ia duduk berlutut akan tetapi mukanya diangkat dan pandang matanya menentang adipati itu dengan penuh keberanian dan kemarahan. Atas sikapnya ini, seorang penjaga menampar kepalanya dari belakang, namun Pujo tidak bergeming, tetap saja mukanya dihadapkan kepada adipati penuh tantangan.
"Heh keparat Pujo! Kau sudah tertangkap dan tidak berdaya, masih saja memperlihatkan sikap kepala batu? Apakah kau tidak merasa betapa besar dosamu? Apakah kau tidak menyesal telah membunuh dan melukai banyak pengawal kadipaten?"
Pujo menggerakkan bibir mengejek, "Huh! Menyesal? Aku hanya menyesal mengapa aku tidak sempat membunuhmu sebagai gantinya anakmu si bedebah Wisangjiwo!"
"Plak-plak-desss...!"
Kemplangan dan hantaman dari para penjaga di belakangnya membuat Pujo yang kaki tangannya terbelenggu itu jatuh terjerembab ke depan, akan tetapi gentakan-gentakan keras para penjaga mendudukkannya kembali.
"Ha-ha-ha-ha! Pujo, agaknya kau telah menjadi gila! Sebelum kau kujatuhi hukuman yang setimpal dengan kejahatanmu, lebih dulu kau mengakulah apa sebabnya kau melakukan perbuatan semalam dan apa sebabnya kau mencaci-maki puteraku."
"Joyowiseso! Aku hendak menumpas keluargamu untuk menebus dosa si Wisangjiwo."
"Dosa apa?"
"Tak perlu kau tahu!"
Marahlah sang adipati. Ia melompat dari kursinya dan meringis karena pundaknya yang terluka terasa nyeri. Hal ini mengingatkan dia bahwa pundaknya terluka keris, mengingatkan dia betapa semalam hampir saja ia terbunuh oleh Pujo yang kini terbelenggu tak berdaya di depan kakinya.
"Jahanam... Kau masih sombong, ya? Hendak kulihat apakah kau masih tidak mau mengaku? Hajar dia! Rangket dengan seratus kali cambukan, telanjangi punggungnya kemudian jemur di tengah alun-alun sampai dia mengaku!" teriak adipati penuh kemarahan.
Pujo mendengarkan perintah ini dengan mata melotot dan mulut tersenyum mengejek, sedikitpun tidak memperlihatkan muka gentar. Tubuhnya lalu diseret ke sudut, diikat pada tiang, punggungnya ditelanjangi dan tak lama kemudian terdengarlah suara cambuk melecut-lecut menghantam punggung, merobek-robek kulit punggung Pujo sampai lumat, membuat darah segar yang keluar menjadi kental dan kering kembali. Biarpun tubuh Pujo telah terlatih dan ia memiliki kekebalan, namun karena ia terluka, tak dapat ia mengerahkan terus kekuatannya dan akhirnya ia harus menyerah. Setelah seratus kali cambukan, ia terkulai. Namun, sedikitpun keluhan tidak pernah keluar dari mulutnya.
"Jahanam, kau masih tidak hendak mengaku?"
Pujo hanya mengedikkan kepala dan memandang adipati sambil melotot dan berkata, "Kau tidak perlu tahu. Pendeknya, Wisangjiwo akan mampus di tanganku, bersama keluarganya!"
"Ha-ha-ha-ha, sudah hampir mampus masih banyak tingkah!" Adipati Joyowiseso makin panas hatinya. "Seret dia ke alun-alun, jemur dia. Kalau mau mengaku boleh bawa menghadap, kalau tidak mau, sore nanti jalankan hukum perapat kepadanya!"
Pujo hanya tersenyum mengejek dan ia masih melotot kepada adipati ketika tubuhnya kembali diseret keluar untuk dijemur di tengah alun-alun. Ia tahu apa artinya hukum perapat. Hukuman mati yang mengerikan. Diperapat berarti dibagi menjadi empat. Tubuhnya akan dirobek menjadi empat potong oleh tarikan empat ekor kuda pada kedua kaki dan kedua tangannya, ditarik ke empat jurusan sampai pecah menjadi empat potong!
Matahari telah tenggelam jauh di barat, namun cahayanya masih membayang dan membentuk senja yang cerah. Alun-alun Kadipaten Selopenangkep penuh orang, hampir semua laki-laki, tidak tampak wanita dan anak-anak. Memang, tontonan yang menarik perhatian hampir seluruh penduduk Selopenangkep, bahkan dari dusun-dusun di sekitarnya, adalah tontonan yang mengerikan sehingga anak-anak dilarang orang tuanya menonton dan wanita-wanita takut menyaksikannya. Bayangkan saja. Hukum perapat!. Siapa dapat menahan kengerian melihat tubuh seorang hidup-hidup dirobek menjadi empat? Darah akan menyembur-nyembur, isi perut akan berantakan, daging merah akan bertelanjang di depan mata!
Ribuan orang telah memenuhi alun-alun, mengelilingi tengah-tengah alun-alun yang menjadi pusat perhatian, dalam jarak seratus meter. Di tengah-tengah alun-alun itu terdapat sebuah bangunan panggung, tempat yang disediakan khusus bagi keluarga kadipaten untuk menonton setiap pertunjukan yang diadakan di alun-alun. Kadang-kadang alun-alun ini bias diubah menjadi tempat latihan kuda, tempat adu banteng, mengurung harimau, atau dipakai ujian ketangkasan para perajurit.
Pada senja hari itu, alun-alun diubah menjadi tempat pelaksanaan hukuman bagi Pujo, hukuman perapat! Tak seorangpun berani menghalangi perintah Adipati Joyowiseso untuk melaksanakan hukuman terberat ini. Semua orang maklum bahwa memang sepatutnya pemuda pesisir Laut Selatan itu menerima hukuman berat. Pemuda itu telah menyerang kadipaten, melukai bahkan hampir membunuh sang adipati sendiri, membunuh dan melukai belasan orang pengawal, dan di samping itu berani mengeluarkan kata-kata kasar dan sikap menantang kurang ajar terhadap Adipati Joyowiseso. Dosanya terlalu besar dan terlalu banyak.
Sejak pagi tadi Pujo dijemur di bawah terik matahari yang menggerogoti kulit. Hebat penderitaan ini, apalagi bagian punggungnya yang hancur bekas cambukan, amat perih dan nyeri disengat sinar matahari. Namun, pemuda ini tetap tak pernah mengeluh dan atas pertanyaan-pertanyaan para petugas yang mendesak, ia sama sekali tidak mau menjawab. Oleh karena ia sama sekali tidak mau mengaku mengapa ia memusuhi Wisangjiwo, maka akhirnya Adipati Joyowiseso tak dapat menahan amarahnya dan menjatuhkan hukuman perapat kepadanya.
Dalam keadaan terikat kaki tangannya, Pujo diseret ke tengah alun-alun, ditelentangkan dan dijadikan tontonan orang seperti orang menonton seekor harimau yang tertangkap. Empat ekor kuda yang besar-besar telah dipersiapkan. Inilah empat ekor kuda yang bertugas merobek tubuh Pujo menjadi empat potong!
Para penduduk Selopenangkep yang memenuhi alun-alun itu semua mempercakapkan Pujo. Ada yang menyatakan sayang dan iba hati terhadap pemuda tampan itu, apalagi ketika mereka mendengar bahwa pemuda itu putera mantu Resi Bhargowo di Sungapan. Akan tetapi banyak pula yang mencaci-maki karena menganggap bahwa pemuda ini seorang penjahat besar yang mencoba melakukan pembunuhan terhadap adipati, maka sudah sepatutnya menerima hukuman paling berat.
Ada semacam hukuman yang juga hebat sekali, yaitu hukum picis. Penjahat yang dijatuhi hukum picis, dibelenggu di alun-alun atau di depan pasar, kemudian orang-orang yang lewat di depannya, diperbolehkan mengerat kulitnya dengan sebuah pisau tajam runcing yang sudah disediakan di tempat itu!
Kalau dia memang seorang penjahat besar, tentu sudah banyat ia menyakiti hati orang, banyak orang membencinya, maka itulah saatnya bagi orang-orang yang bersakit hati untuk melampiaskan dendamnya. Tubuh penjahat itu sebentar saja sudah dikerat-kerat kulitnya, berlumur darah. Bahkan diperbolehkan menggosokkan garam atau asam pada luka-luka di kulit bekas keratan untuk menambah siksaan.
Tak sampai sehari, orang yang dihukum picis akan mati kehabisan darah yang mengalir di sepanjang tubuhnya yang tercacah itu. Akan tetapi, dibandingkan dengan hukum perapat, hukum picis tidaklah terlalu mengerikan. Hukum perapat ini benar-benar amat mengerikan.
Menyaksikan betapa tubuh yang utuh itu dirobek tarikan empat ekor kuda yang kuat, benar-benar dapat membuat orang yang menonton menjadi pingsan! Kini Adipati Joyowiseso sudah berada di panggung, bersama para pengawalnya. Semua penonton menjadi kagum sekali menyaksikan betapa Roro Luhito yang cantik dan denok itu ikut pula hadir di samping ayahnya! Benar-benar seorang gadis yang luar biasa, pikir mereka.
Tentu saja semua penduduk maklum belaka bahwa puteri adipati ini adalah seorang gadis gemblengan, pandai menunggang kuda, memanah dan mainkan keris atau lembing, tidak kalah oleh perwira-perwira biasa saja. Akan tetapi, melihat gadis itu hadir pula dalam pelaksanaan hukum perapat, benar-benar membuktikan ketabahan hatinya yang luar biasa. Biarpun wajah gadis itu agak pucat dan ia kelihatan pendiam tidak lincah kenes seperti biasa, namun dia tampak tenang-tenang saja, matanya memandang ke arah tubuh si terhukum yang terlentang di atas tanah, hanya belasan meter jauhnya dari atas panggung.
Dari tempat sedekat itu, tentu akan terdengar suaranya jika tubuh itu tersayat menjadi empat oleh tarikan kuda. Tentu akan tampak jelas isi perut yang berhamburan, jantung yang masih hidup bergerak berloncatan di atas tanah! Puteri ini duduk di samping kiri Adipati Joyowiseso, sedangkan di sebelah kanannya duduk seorang pemuda ganteng berpakaian serba hitam, destarnya kehijauan, bibirnya selalu tersenyum dan sikapnya tenang. Inilah Jokowanengpati dan para penonton memandang kepadanya dengan kagum.
Berita bahwa pemuda perkasa yang menjadi tamu adipati inilah yang merobohkan si penjahat, telah tersiar luas. Karena angkasa raya masih terang cemerlang oleh sinar senja, Pujo yang terlentang tidak mau membuka matanya karena silau. Ia meramkan matanya dan berada dalam keadaan samadhi. ia tidak menyesal akan nasib yang menimpanya, hanya menyesal mengapa belum berhasil membalas dendam.
Teringat akan pengalamannya semalam, ia sadar bahwa ia telah berlaku kurang hati-hati, terlalu menurutkan nafsu dendamnya. Akan tetapi semua itu telah terjadi, tak perlu disesalkan lagi. Sekarang baginya hanyalah menanti datangnya hukuman, akan tetapi di dalam hatinya ia mengambil ketetapan untuk tidak menyerah begitu saja. Akan ia pertahankan nyawanya dengan segala ilmu yang dimilikinya.
Ketika para algojo yang bertubuh tegap-tegap seperti raksasa mengikat lagi kedua tangan dan kedua kakinya dengan sebuah tambang besar yang panjang, barulah Pujo membuka matanya. Kaki tangannya yang sudah terbelenggu, kaki menjadi satu dan tangan juga menjadi satu, kini diikat lebih kuat dengan tambang baru yang panjang, setiap tangan dan setiap kaki diikat erat-erat.
Pujo tidak mempedulikan ini semua. Ia maklum bahwa para algojo itu sudah terlatih dan berlaku amat hati-hati. Sukar mencari kesempatan untuk memberontak atau meloloskan diri. Kini biji matanya mulai bergerak-gerak. Melihat para penonton memenuhi sekeliling alun-alun, kulit di antara kedua matanya berkerut sedikit.
Akan tetapi ketika ia memandang ke arah panggung dan melihat Adipati Joyowiseso duduk didampingi gadis remaja yang ikut mengeroyoknya dan Jokowanengpati, matanya menjadi liar dan dadanya terasa panas oleh amarah. Ia menentang pandang mata adipati itu dengan sinar mata menyala penuh tantangan. Pandang mata Jokowanengpati yang tidak langsung memandangnya itu tidak ia peduli, juga pandang mata penuh perasaan haru dan kagum dari gadis remaja itupun tak dihiraukan.
Kini keempat buah kaki tangan Pujo sudah diikat erat dengan ujung tambang panjang; Setiap tambang lalu diurai dan dibawa kepada kuda yang sudah menanti. Empat ekor kuda itu berada di empat penjuru. Dua ekor di kanan kiri panggung, yang dua ekor lagi menghadap ke arah berlainan, jadi empat ekor kuda itu berdiri membelakangi tubuh Pujo.
Tambang-tambang yang panjang dan yang mengikat keempat buah kaki tangan Pujo, kini diikatkan pada pundak kuda yang sudah dipasangi alat yang khusus untuk pekerjaan ini. Kemudian empat orang algojo melompat ke atas punggung kuda, dengan cambuk di tangan.
Seorang algojo lain menghampiri Pujo, lalu menggunakan pedang yang amat tajam untuk membikin putus belenggu pertama yang mengikat kaki dan tangan masing-masing menjadi satu. Kini kaki dan tangan Pujo terpentang, tangan kanan di selatan, kaki kiri di utara, tangan kiri di barat dan kaki kanan di timur.
Hukum perapat yang mengerikan sudah siap dilaksanakan! Para penonton yang tadi saling bicara sehingga keadaan di situ menjadi berisik seperti suara ribuan lebah diganggu pada saat persiapan dilakukan, kini semua diam tak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun, seperti seekor binatang jengkerik terpijak.
Ketegangan memuncak dan semua orang menahan napas. Keadaan menjadi sunyi sekali dan kesunyian inilah yang membuat suara Adipati Joyowiseso terdengar jelas, "Heii, si pembunuh laknat Pujo! Kesempatan terakhir kuberikan kepadamu. Kalau kau bersedia mengaku sebab perbuatanmu yang jahat malam tadi, aku masih belum terlambat untuk mengubah hukumanmu!"
"Hah! Joyowiseso, mengapa masih banyak cerewet lagi? Aku gagal membunuhmu, dan sekarang hendak membunuh mati kepadaku, lakukanlah! Seorang satria sejati tidak gentar menghadapi kematian karena kegagalan perjuangannya!"
Kumis sekepal sebelah di bawah hidung adipati itu bangkit berdiri saking marahnya.
"Kau... pengecut besar masih membuka mulut mengaku satria!"
"Ha-ha-ha! Joyowiseso, kau selalu menyebutku pengecut. Tentu karena dahulu aku tidak ikut melawan barisan Mataram maka kau anggap aku pengecut, bukan? Ha-ha-ha, siapakah yang lebih pengecut di antara kita? Kau dahulu melawan mati-matian, setelah kalah bertekuk lutut untuk mempertahankan kedudukan. Dan semua orang dapat kau tipu, akan tetapi aku tahu bahwa kau menakluk kepada Mataram hanyalah lahirnya saja, sedangkan batinnya... ha-ha-ha!"
"Cukup! Hayo laksanakan hukumannya!" bentak sang adipati sambil bangkit berdiri dengan muka pucat saking marahnya, tangannya memberi tanda kepada empat orang algojo di atas punggung kuda yang memang sejak tadi sudah siap, hanya tinggal menanti tanda yang diberikan sendiri oleh sang adipati.
Penonton yang tadinya menjadi berisik kembali mendengar perbantahan itu, kini diam lagi dan memandang dengan mata terbelalak, bahkan bernapaspun ditahan agaknya. Ketegangan memuncak dan tanpa diketahui orang lain kecuali Jokowanengpati yang selalu melirik ke arah Roro Luhito, gadis ini agak menggigil tubuhnya dan duduk bersandar kursi lalu meramkan kedua matanya!
"Tar-tar-tar-tar!" Empat batang cambuk di tangan empat orang algojo itu berdetak di udara bergantian, kendali kuda disendai dan empat ekor kuda itu bergerak maju sambil mengerahkan tenaga.
Terdengar jerit di sana-sini antara para penonton dan banyak yang kurang kuat syarafnya sudah roboh pingsan dengan tubuh lemas! Sudah terbayang di dalam otak para penonton betapa dalam detik-detik berikutnya, tubuh pemuda ganteng itu akan robek menjadi empat potong. Tanpa ia sadari, dua titik air mata meloncat keluar dari pelupuk mata Roro Luhito, dan Jokowanengpati yang melihat ini tersenyum sinis.
Tiba-tiba kesunyian yang mencengkam perasaan itu berubah sama sekali. Keadaan menjadi berisik sekali, bahkan makin lama makin riuh. Orang-orang berteriak tak tentu maksudnya, ada yang bersorak bahkan ada yang bertepuk tangan, ada pula terdengar suara para penjaga memaki-maki.
Roro Luhito cepat membuka matanya, memandang. Ia terbelalak memandang ke depan, bahkan kini ia berdiri tanpa ia sadari, kedua tangannya menekan dadanya yang membusung. Apakah yang ia lihat? Apakah yang terjadi? Hebat memang! Tubuh Pujo yang terlentang di atas tanah itu meregang, matanya separuh terpejam, otot-otot pada lengannya tampak menonjol, bibirnya berkemak-kemik tanpa suara dan tubuhnya sama sekali belum robek seperti orang sangka. Empat ekor kuda itu menarik sekuatnya, keempat kaki mereka bengkok-bengkok ke belakang dan empat orang algojo membunyikan cambuk, menyendal-nyendal kendali.
Namun tubuh Pujo tidak bergeming! Empat ekor kuda itu seakan-akan berusaha untuk merobek sepotong batu karang yang kokoh kuat! Ternyata dalam saat terakhir itu, Pujo telah mengerahkan kesaktiannya, mengerahkan tenaga sakti untuk menahan tarikan empat ekor kuda dari empat penjuru. Berkali-kali empat orang algojo itu menoleh dan mata mereka terbelalak melihat betapa tubuh korban mereka sama sekali belum terobek.
Algojo yang menunggang kuda di sebelah timur menjadi penasaran. Ia mencambuki leher kudanya, menendang-nendang perut kuda hingga kudanya yang besar itu lalu meringkik marah, mengerahkan tenaga kaki untuk berlari maju sehingga tambang yang ditariknya dan yang mengikat kaki kanan Pujo itu meregang, makin meregang dan...
"Takk!"
tambang itu putus, kudanya terjungkal ke depan dan penunggangnya jatuh tunggang-langgang! Tepuk tangan riuh menyambut peristiwa hebat ini, bahkan mereka yang tadinya benci kepada Pujo, ikut pula bertepuk tangan dan bersorak-sorak.....
Komentar
Posting Komentar