BADAI LAUT SELATAN : JILID-44


Tombak yang ditangkis dan terpental ke atas itu tepat sekali bertemu dengan ruyung sehingga seakan-akan Gagak Kunto mewakili Joko Wandiro menangkis serangan ruyung.
"Keparat!" Gagak Kunto marah sekali, kini ia sudah memutar tombaknya setengah lingkaran dan tiba-tiba tubuhnya merendah, tombaknya diayun menyabet ke arah kaki Joko Wandiro. Gagak Kunto menggunakan jurus ini yang dilakukan secara tak tersangka-sangka, dengan maksud mengagetkan lawannya yang muda dan lincah itu, agar meloncat ke atas untuk dipapak ruyung saudaranya. Gagak Rudro maklum akan hal ini, maka ruyungnya sudah menggigil di tangan, siap menghantam kepala Joko Wandiro kalau orang muda itu mengelak sambil meloncat.
Namun Joko Wandiro yang sikapnya amat tenang dapat melihat semua ini dan ia tidak mengelak. Dengan gerakan yang amat berani, ia mengangkat kaki kiri ke atas, kemudian begitu tombak menyambar dekat, ia menurunkan kakinya secepat kilat sehingga tahu-tahu tombak itu telah terinjak olehnya, digencet di atas tanah sambil mengerahkan aji yang membuat tubuhnya seberat gunung anakan!
Kagetlah Gagak Kunto, ia berusaha membetot tombaknya, namun sia-sia, seakan-akan tombaknya telah berakar di bawah injakan kaki Joko Wandiro yang memandang sambil bertolak pinggang. Gagak Kunto terengah-engah, mengerahkan tenaga sehingga mengeluarkan suara ah-ah-uhuh membetot-betot.
Melihat hal ini Gagak Rudro lalu menerjang dari belakang, memukulkan ruyungnya sambil menge rahkan semua tenaganya. Biarpun Joko Wandiro tidak melihat serangan ini, namun telinganya dapat menangkap sambaran angin. Ia sengaja berlaku lambat, menanti sampai ruyung itu menyambar dekat, baru ia secara tiba-tiba melepaskan injakan kakinya pada tombak dan dengan Aji Bayu Tantra, yaitu ilmu meringankan tubuh yang amat hebat sehingga tubuhnya lenyap dari situ tak dapat diikuti pandang mata kedua lawannya.
Tentu saja tubuh Gagak Rudro terperosok ke depan terbawa ruyungnya yang menyambar terus, lalu menghantam tanah dan ia terjungkal mencium tanah. Sebaliknya Gagak Kunto yang sedang membetot-betot itu, tiba-tiba terjengkang ke belakang setelah injakan dilepas. Dua orang itu bergulingan, mengalami babak-belur. Perlu diketahui bahwa sebelum Joko Wandiro digembleng di Gunung Bekel, ia telah belajar ilmu meringankan tubuh Bayu Tantra dari Pujo, kemudian disempurnakan oleh Resi Bhargowo. Setelah ia berlatih di Gunung Bekel, kepandaiannya meningkat hebat, karena ilmu meringankan tubuh itu lebih disempurnakan lagi ketika ia menerima hadiah Aji Bayu Sakti dari Empu Bharodo. Tidak mengherankan apabila gerakannya menghindar tadi sedemikian cepatnya sehingga tidak tampak oleh kedua orang lawannya.
Sepasang Gagak sudah melompat bangun. Muka mereka merah sekali karena marah dan malu. Dalam gebrakan ke dua, mereka telah dibikin jatuh bangun oleh pemuda itu tanpa si pemuda membalas serangan, benarbenar merupakan hal yang amat memalukan. Begitu melompat bangun, mereka sudah mengeluarkan senjata-senjata rahasia mereka yang terkenal. Kedua orang Gagak ini selain terkenal akan ilmu silat mereka, juga terkenal sebagai ahli-ahli menggunakan senjata rahasia.
Gagak Kunto memiliki senjata rahasia berupa tombak-tombak kecil sepanjang dua jengkal yang ujungnya kebiruan karena direndam racun. Adapun Gagak Rudro terkenal dengan senjata rahasia Watu Lintang (Batu Bintang), merupakan batu-batu sebesar kepalan tangan, juga batu-batu ini sudah direndam wiso (racun) ular sehingga kulit lawan yang terserempet sedikit saja sampai lecet, tentu akan mendatangkan bahaya maut. Kini Sepasang Gagak itu memutar tubuh, melihat Joko Wandiro berdiri tidak jauh, hanya dalam jarak empat lima meter, mereka lalu menggerakkan tangan menyerang dengan sambitan.
"Sing-sing-singggg...!" Tiga batang tombak kecil menyambar laksana anak panah terlepas dari gendewa, amat cepat, ke arah sepasang mata dan tenggorokan.
"Wer-wer-werrr..." Juga Watu Lintang terbang dari tangan Gagak Rudro, menyambar ke arah kepala, dada, dan pusar.
Joko Wandiro tidak pernah mendapat latihan mempergunakan senjata rahasia. Semua gurunya adalah satria-satria perkasa yang tidak sudi mempergunakan siasat curang dalam pertandingan untuk mencari kemenangan. Ia tidak dapat menggunakan senjata rahasia. Akan tetapi oleh karena tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi sehingga semua panca inderanya bekerja sempurna, pemuda ini dapat melihat jelas terbangnya tombak-tombak kecil itu.
Cepat ia miringkan tubuh atas sambil menggerakkan tangan dengan jari-jari terbuka. Tombak yang mengarah tenggorokannya, lewat dekat lehernya dan terbang entah ke mana. Akan tetapi dua batang tombak kecil yang tadinya rnengarah sepasang matanya kini telah terjepit di antara jari tengah dan telunjuk kedua tangannya!.
Pada saat itu, tiga buah Watu Lintang sudah menyambar pula. Joko Wandiro mengenjot tanah, tubuhnya mencelat ke atas dan tiga buah Watu Lintang itu lewat di bawah kakinya. Ketika la berjungkir balik turun, kedua tangannya bergerak dan dua batang tombak kecil rampasan tadi kini melayang ke arah Gagak Kunto dan Gagak Rudro. Joko Wandiro tidak biasa mempergunakan senjata ini, maka kini dua batang tombak kecil itu yang ia lemparkan tidak meluncur seperti anak panah, melainkan berputaran, namun amat cepat menerjang lawan seperti dua baling-baling angin!
Gagak Kunto dan Gagak Kudro, dua orang ahli dalam permainan ini, tentu saja dapat cepat menghindarkan diri. Mereka sejenak terlongong kagum dan mulailah mereka merasa jerih terhadap pemuda yang benar-benar sakti mandraguna itu. Joko Wandiro yang sudah turun ke atas tanah, kini menudingkan telunjuknya ke arah mereka sambil berkata,
"Gagak Kunto dan Gagak Rudro! Belum terlambat bagi kalian untuk sadar dan insyaf. Mundurlah dan rubahlah jalan hidupmu, bertaubat dan hidup sebagai manusia baik-baik. Mundurlah sebelum terlambat!"
Sepasang Gagak ini dalah bekas perwira perwira Kerajaan Wengker. Hidup mereka sudah penuh dengan kejahatan, berlepotan darah tangan-tangan mereka. Mereka tidak mengenal hukum lain kecuali siapa kuat dia menang. Hukum rimba yang mengakibatkan mereka menjadi buas dan pengecut, menindas bawahan menjilat atasan. Tentu saja peringatan seorang muda seperti Joko Wandiro sama sekali tidak meninggalkan kesan di hati mereka, bahkan membangkitkan kemarahan karena merasa dihina.
Sambil mengeluarkan suara seperti burung-burung gagak marah, keduanya sudah menerjang maju lagi. Kini mereka telah mengeluarkan semua aji, dan sedikit llmu hitam yang mereka miliki membuat wajah mereka tampak beringas menakutkan, ada getaran hawa dingin menyeramkan menyerang Joko Wandiro dan sekeliling dua orang itu tampak awan gelap menyelimuti mereka.
Akan tetapi, semenjak digembleng oleh Resi Narotama, permainan ilmu hitam itu sama sekali tidak ada artinya bagi Joko Wandiro. Sekali dia membaca mentera singkat memperkuat batin dan kedua tangannya mengebut ke depan, lenyaplah hawa dingin dan awan gelap itu. Saat itu, Gagak Kunto dan Gagak Rudro sudah menyerbu ke depan sambil mengayun senjata mereka. Sikap mereka ganas sekali, liar dan buas, tidak seperti manusia lagi.
Joko Wandiro menarik napas panjang. Tubuhnya tidak beralih dari tempatnya, hanya kedua tangannya yang menyambut, bergerak dengan jari-jari terbuka. Begitu kedua senjata lawan itu menyambar, ia memapaki dengan tamparan-tamparan jari tangannya yang menggunakan Aji Pethit Nogo.
"Krakkk...! Krakkk...!"
Gagak Kunto dan Gagak Rudro berteriak kaget, akan tetapi teriakan mereka segera disusul lengking tinggi yang merupakan jerit maut. Ketika tadi tamparan-tamparan Pethit Nogo berhasil mematahkan kedua senjata lawan, Joko Wandiro melanjutkan tamparannya dua kali yang dapat menyambar pelipis Gagak Kunto dan tengkuk Gagak Rudro. Kelihatannya perlahan saja tamparan itu, namun akibatnya hebat bukan main. Sepasang Gagak Itu mengeluarkan pekik maut, tubuh mereka berputar-putar seperti disambar halilintar, mata mereka terbelalak dan agaknya dalam ingatan terakhir, mereka hendak melarikan diri ke arah pasukan mereka, akan tetapi di depan Wirokolo, mereka jatuh tersungkur, tertelungkup dan tidak bergerak-gerak lagi karena nyawa mereka telah melayang pergi!
"Bojleng-bojleng iblis laknat!"
Wirokolo memaki dan menggereng-gereng saking marahnya menyaksikan kedua orang pembantunya yang setia itu tewas.
"Joko Wandiro bocah keparat! Kau harus mengganti nyawa mereka!"
Serta-merta raksasa tinggi besar ini menerjang maju dengan gerakan kilat. Pukulan tangannya mengandung hawa panas Aji Anolo Hasto (Tangan Berapi) dan tampak betapa kedua telapak tangannya kemerahan mengeluarkan asap! Lima tahun yang lalu, di Jalatunda, pernah Joko Wandiro menerjang Wirokolo dengan sepasang goloknya, akan tetapi hantaman goloknya tidak melukai tubuh yang kebal itu, sebaliknya sekali ia kena ditampar, ia roboh pingsan. Joko Wandiro cukup maklum akan kesaktian raksasa ini yang menggiriskan, bahkan Resi Bhargowo bersama Empu Bharodo yang mengeroyok raksasa inipun tidak dapat menang!
Raksasa ini sakti mandraguna dan ahli ilmu hitam. Ular yang melilit leher, pergelangan tangan dan kaki sungguh mengerikan, juga amat berbahaya karena setiap saat ular-ular itu dapat membantu Wirokolo menyerang lawan dengan semburan atau gigitan berbisa. Inilah sebabnya maka Joko Wandiro sama sekali tidak berani memandang rendah lawannya, sejak tadi sudah siap sedia dengan penuh kewaspadaan. Gemblengan Resi Narotama membuat Joko Wandiro menjadi seorang pemuda yang tidak sombong, berhati-hati dan tabah. Juga filsafat kebatinan yang berdasarkan sari pelajaran Sri Bathara Wishnu yang dipuja oleh mendiang Sang Prabu Airlangga dan juga oleh Resi Narotama, telah mendalam di sanubarinya.
Oleh karena itu pula, tadi ketika dalam pertandingan melawan Sepasang Gagak, ia berhasil membunuh mereka, tidak terjadi sesuatu di hatinya, tenang saja. Ia tidak merasa membunuh yaitu menurut paham dia dan pelajarannya, ia tidak mempunyai hasrat membunuh, tidak pula membenci lawan-lawannya. Kematian kedua lawannya adalah wajar, sebagai akibat dari pada pelaksanaan kewajibannya. Kewajiban seorang satria harus menantang segala bentuk kejahatan.
Betapa pun juga, karena pemuda gemblengan Ini kurang pengalaman dalam pertempuran, maka gebrakan pertama dalam menghadapi Wirokolo hampir mencelakainya. Melihat terjangaan Wirokolo sedemikian hebatnya, amat cepat dan mengandung hawa panas pula, Joko Wandiro cepat mengerahkan hawa sakti di tangannya, menggeser kaki kiri ke bala kang sehingga tubuhnya miring dan darl samping tangan kirinya menangkis pukulan lawan yang dahsyat itu.
"Desss...!"
Joko Wandiro merasa betapa tubuhnya didorong tenaga mujijat yang amat kuat dan tak mungkin ia tahan lagi. Kalau ia mempertahankan kedudukan kedua kakinya, ada bahayanya ia akan terjengkang atau setidaknya akan terhuyung-huyung. Oleh karena inilah, ia malah mengerahkan Aji Bayu Sakti, membuat tubuhnya ringan dan membiarkan tubuhnya mencelat ke belakang sampai lima meter jauhnya. Akan tetapi ia terlempar dalam keadaan berdiri, tanpa mengubah sedikitpun kedudukan kuda-kuda kakinya dan dengan ringan bagaikan sehelai daun kering ia turun pula ke atas tanah.
Wajahnya tetap biasa, lengannya yang beradu dengan lawan tidak terasa sakit. Namun diam-diam ia harus mengakui bahwa lawannya mempunyai tenaga yang mujijat dan amat kuat. Karena hawa sakti di tubuhnya lebih murni dari pada lawan, maka untuk pertahanan di dalam tubuh ia tidak akan kalah oleh lawan. Akan tetapi mengenai tenaga luar, tenaga otot yang kasar, ia kalah jauh! Mengertilah ia bahwa tindakannya menangkis tadi keliru, namun membuat ia dapat mengukur tenaga sendiri dan dapat berlaku lebih hati-hati.
Di lain pihak, Wirokolo sejenak berdiri seperti tertegun, terheran-heran dan juga kagum dan penasaran menjadi satu. Pertemuan lengan tadi menginsafkannya bahwa pemuda itu sungguh bukan merupakan lawan yang ringan! Dapat menangkis tangannya yang mengandung Aji Anolo Hasto sepenuhnya, tanpa mengalami cedera, bahkan sekaligus dapat mengatasi kekalahan tenaga kasar dengan loncatan ke belakang sebagus itu, benar-benar menjadi bukti bahwa hawa sakti pemuda itu amat kuat, tidak berada di bawah tingkatnya sendiri. Ia mengeluarkan pekik dahsyat sambil menerjang maju lagi mengerahkan semua ajinya.
Dalam keadaan seperti itu, Wirokolo amat menggiriskan. Lima ekor ular yang melilit leher dan kaki tangannya, bergerak kepalanya, mendesis-desis dan lidahnya yang merah menjilat-jilat keluar dari mulut, Wirokolo sama sekali tidak berani mengeluarkan Aji Calon Arang atau ilmu hitamnya yang lain mengingat bahwa di situ ada Narotama yang tentu akan datang membuyarkan ilmu hitamnya dengan mudah. Pula penggunaan ilmu hitam kalau menemui lawan yang lebih tangguh amatlah berbahaya karena ilmu itu bisa membalik dan memukul diri sendiri. Betapa pun juga, karena Aji Calon Arang sudah mendarah daging padanya, ketika ia menjadi marah, tampaklah bayangan nenek iblis yang mengerlkan di belakangnya.
Mendengar pekik dahsyat dan melihat keadaan Wirokolo dan nenek iblis membayang di belakangnya itu, tergetar juga hati Joko Wandiro. Pemuda ini cepat-cepat menggosok kedua telapak tangannya tiga kali sambil membaca mantera Widodo Mantera. Begitu bibirnya mengucapkan Widodo Mantera, seketika bayangan iblis betina itu lenyap atau tidak tertampak lagi olehnya, dan Wirokolo juga tidak tampak menakutkan lagi. Adapun kedua telapak tangannya setelah ia gosok tiga kali, menjadi panas dan mengeluarkan cahaya. Menghadapi lawan setangguh Wirokolo, Joko Wandiro tidak berani memandang rendah maka ia sudah mengeluarkan Aji Bojro Dahono yang tadi ia latih dan coba pada batang pohon!
"Hyyaaaahhh... mampus kau...!"
Bentakan ini mengiringi serangan Wirokolo yang sudah menubruk maju dengan pukulan kedua tangan saling susul, ke arah kepala dan dada Joko Wandiro.
"Wuuuttt... wuuuttt...!"
Joko Wandiro sudah menggunakan Aji Bayu Sakti dan dengan gerakan lincah sekali ia mengelak, akan tetapi elakan yang sama sekali tidak menjauhkan diri, bahkan gerakan mengelak ke samping dengan tubuh setengah melingkar ini membuat ia mendekati lawan, kemudian ia langsung mengirim pukulan balasan.
Karena ia tadi bergerak mengelak dengan Aji Bayu Sakti, maka untuk mengimbangi aji ini, ia melanjutkan serangan dengan pukulan Pethit Nogo, yaitu dengan jari-jari tangan dikipatkan. Memang lebih mudah menggunakan pukulan Pethit Nogo dengan kebutan jari-jari tangan dalam kedudukan tubuh melengkung seperti itu.
Kembali Wirokolo terkejut. Tidak disangkanya lawannya yang masih muda ini dapat mengelak secara demikian anehnya, mengelaknya sambil mendekat dan balas menyerang. Demikian cepat gerakan Joko Wandiro sehingga tahu-tahu jari-jari tangan pemuda itu sudah mengancam pelipisnya, bagian yang paling lemah di kepala.
"Celaka...!
Wirokolo berteriak sambil membuang tubuhnya ke belakang. Dari sambaran angin pukulan Pethit Nogo itu saja ia maklum bahwa amatlah berbahaya mengandalkan kekebalannya untuk menerima tamparan macam itu dengan pelipis kepalanya!
"Tasss!"
Oleh elakan ini, pelipis luput tertampar, akan tetapi sebagai gantinya, pundak dekat leber raksasa itu terkena jepretan jari-jari tangan yang ampuh. Wirokolo terhuyung-huyung. Tubuhnya kebal dan kuat luar biasa. Kalau pukulan Pethit Nogo ini mengenai pundak sebelah luar saja tak mungkin ia sampai terhuyung. Akan tetapi karena kenanya dekat leher, terasa juga olehnya. Pandang matanya sampai berkunang!
"Bocah setan! Awas kau Kalau tertangkap olehku, kubeset kulitmu, kuganyang dagingmu, kuhisap darahmu dan kukemah-kemah tulangmu!"
Wirokolo mengancam dengan muka merah seperti udang direbus. Biarpun ancamannya menunjukkan kemarahan luar biasa dan kini ia menerjang lagi dengan buas, namun Wirokolo tidak sembrono seperti tadi, maklum bahwa lawannya biar masih muda akan tetapi amat kuat. Ia menerjang dengan hati-hati sehingga ketika Joko Wandiro mengelak lalu balas memukul, ia dapat pula menangkis.
Terjadilah pertandingan yang seru dan hebat. Pukulan dan gerakan Wirokolo mendatangkan angin berpusing, tenaganya yang dahsyat membuat bumi yang diinjaknya tergetar, angina pukulan tangannya membuat tetumbuhan di sekitar tempat itu bergoyang-goyang. Namun sukar sekali baginya untuk dapat menyentuh Joko Wandiro karena pemuda ini memillki gerakan yang lebih gesit.
Sebaliknya, hujan serangan lawan yang buas dan dahsyat itu membuat Joko Wandiro sukar sekali untuk membalas dengan serangan yang seimbang karena ia maklum akan bahayanya pukulan tangan lawan yang ampuh. Ia selalu menghindar atau kalau menangkispun hanya berani ia lakukan dalam keadaan posisi tubuh menang kuat, itupun dengan cara mendorong dari samping. Tidak mau ia menempatkan diri dalam bahaya dengan cara menangkis langsung mengadu tenaga. Akan tetapi, sikapnya yang amat berhati-hati ini membuat ia sukar sekali dapat merobohkan lawan. Balasan serangannya yang hanya kadang-kadang itu ada kalanya berhasil menyentuh tubuh lawan. Akan tetapi karena kenanya tidak tepat, tubuh Wirokolo yang kebal seakan-akan tidak merasa apa-apa!
Pertandingan sudah berlangsung sejam lebih, namun belum tampak siapa yang akan menang. Melihat ini, diam-diam Dibyo Mamangkoro terkejut bukan main. Ia tahu akan kesaktian adik seperguruannya, yang tidak kalah jauh olehnya sendiri. Bagaimana kini adik seperguruannya itu tidak mampu mengalahkan seorang pemuda? Timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Tadinya ia mengira bahwa di dalam dunia ini, orang muda satu-satunya yang memiliki ilmu kesaktian tinggi hanyalah muridnya. Siapa kira, pemuda inipun hebat. Kalau tidak dibunuh sekarang, kelak tentu merupakan tandingan berat bagi Endang Patibroto. Pemuda ini tidak banyak selisih tingkatnya dengan Wirokolo, hanya menang cepat. Kalau pertandingan itu dilanjutkan, belum dapat dipastikan siapa yang akan menang, akan tetapi sudah jelas akan makan waktu lama sekali.
Keadaan mereka berimbang, maka kalau Wirokolo dibantu sedikit saja, pemuda itu tentu akan dapat dirobohkan. Lebih baik pasukan dikerahkan untuk membantu Wirokolo, sedangkan Narotama sendiri kalau turun tangan, dialah yang akan menanggulanginya!
"Apa kerja kalian? Hanya menonton saja? Hayo serbu bocah setan itu!" Tiba-tiba Dibyo Mamangkoro berseru.
Pasukan terdiri dari tiga puluh enam orang itu terkejut. Tadi mereka tertegun dan terpesona menyaksikan pertandingan yang demikian hebatnya. Karena kepala pasukan, Sepasang Gagak sudah roboh dan tewas oleh pemuda itu dan kini bahkan Wirokolo sendiri sampai sekian lamanya belum mampu mengalahkannya, pasukan itu menonton dengan hati berdebar, tidak berani bergerak kalau tidak diperintah, maklum akan hebatnya kepandaian Joko Wandiro. Akan tetapi kini mendengar bentakan Dibyo Mamangkoro, mereka segera bergerak, mencabut senjata masing-masing dan mendekat medan pertandingan.
Melihat ini, tiba-tiba Narotama meloncat dari atas batu tempat ia bersila, mengerahkan Aji Dirodo Meto dan terdengarlah pekik melengking dahsyat sekali yang seakan-akan menimbulkan gempa bumi hebat dan angin taupan mengamuk! Aji Dirodo Meto (Gajah Mengamuk) merupakan aji kewibawaan yang berdasarkan pekik dahsyat sekali seakan-akan pekik seekor gajah jantan yang sedang marah.
Mendengar pekik dahsyat ini tiga puluh enam orang itu seketika seperti lumpuh, jantung serasa copot, tubuh menggigil dan muka pucat. Ketika mereka menengok dan memandang ke arah Narotama yang berdiri tegak, pandang mata mereka seakan-akan melihat seekor gajah raksasa yang mengancam. Tanpa dapat dicegah lagi, tiga puluh enam orang itu memaksa kaki mereka yang dengkelen (menggigil sukar digerakkan) untuk lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu.
Bahkan Wirokolo sendiri merasa betapa jantungnya tergetar hebat dan ketika ia mengerahkan hawa sakti untuk menahan pengaruh pekik melengking, ia merasa kelelahan. Bukan main marahnya Dibyo Mamangkoro. Ia sendiri memiliki ilmu yang sangat tinggi sehingga Aji Dirodo Meto yang dahsyat itu dapat ia lawan dengan pengerahan hawa sakti.
"Si keparat Narotama! Kau curang!" bentaknya.
"Hemm, Dibyo Mamangkoro, siapa yang curang? Engkau yang mengerahkan balamu hendak mengeroyok muridku ataukah aku yang menghalangi pengeroyokan curang itu? Sudah kukatakan tadi, aku siap melayani segala tingkahmu!"
"Babo-babo, Narotama! Kalau begitu kita harus mengadu nyawa! Sambutlah!"
Setelah berkata demikian, Dibyo Mamangkoro menggerakkan tangan kanannya, diputar-putar dan tubuhnya agak merendah, kemudian dengan tangan terkepal ia memukul ke depan, ke arah Narotama. Inilah pukulan maut yang bernama Aji Wisangnala! Namanya saja sudah menyebutkan keampuhannya, yaitu Api Berbisa! Kalau dilakukan dari jarak jauh, angin pukulannya yang membawa hawa panas beracun dapat merobohkarn dan menewaskan lawan tangguh. Apalagi kalau sampai mengenai kulit lawan, sukar dibayangkan akibatnya. Terlalu ngeri!
Namun Narotama yang cukup mengenal kesaktian lawannya ini, sudah siap sedia. Dua puluh tahun yang lalu, dalam perang menundukkan Kerajaan Wengker, la sudah pernah bertanding yuda melawan Dibyo Mamangkoro. Dalam pertandingan mati-matian yang memakan waktu sampai dua hari dua malam, setelah mengeluarkan semua aji dan kesaktian, barulah ia berhasil mengalahkan Dibyo Mamangkoro yang lalu melarikan diri!
Kini melihat betapa begitu menyerang, Dibyo Mamangkoro menggunakan aji pukulan maut yang demikian ganas dan dahsyatnya, ia terkejut dan maklum bahwa benar-benar raksasa Wengker itu hendak mengadu nyawa dan tidak ingin bertempur berlambat-lambatan seperti dahulu lagi. Serangan Itu adalah serangan maut dan akibatnya hanyalah dua, kalah atau menang! Ia cukup maklum bahwa untuk pukulan macam itu, pukulan yang sedemikian hebatnya sehingga kepalan tangan raksasa itu mengeluarkan sinar, tidak dapat dielakkan tanpa merugikan dirinya. Oleh karena itu ia pun lalu mengerahkan tenaga memutar tubuhnya dan berseru keras sambil mengangkat tangan kiri ke atas kepala dari belakang tubuh, sedangkan tangan kanannya dikepal dan dlpukulkan ke depan, menyambut hawa pukulan Dibyo Mamangkoro.
"Syuuuuttt!"
Dua hawa sakti yang sama-sama ampuh dan mengandung hawa panas bertemu di udara dengan hebatnya. Seperti Dibyo Mamangkoro yang menggunakan Aji Wisangnala, Narotama juga mengerahkan Aji Bojro Dahono yang mengandung hawa panas yang keluar dari sumbernya di pusar. Biarpun kedua kepalan tangan itu masih terpisah satu depa lebih jauhnya satu kepada yang lain, namun pertemuan kedua hawa sakti Itu menimbulkan cahaya bagaikan api ber kilat. Dahsyat sekali pertemuan tenaga sakti ini. Resi Narotama masih tetap kedudukan kakinya, akan tetapi ia terdorong ke belakang sampai setombak lebih, kedua kakinya yang masih tetap memasang kuda-kuda itu menggurat tanah sampai sejengkal dalamnya. Wajahnya pucat keningnya berkerut dahinya berkeringat.
Adapun Dibyo Mamangkoro juga terhuyung ke belakang, tampaknya ia tertawa mengejek, akan tetapi matanya merah sekali, berbeda dengan mukanya yang memperlihatkan bayangan kehijauan. Ia masih tertawa ketika melompat maju lagi dan kembali ia melakukan pukulan seperti tadi bahkan kini dibarengi dengan suaranya yang parau berteriak seperti srigala marah. Narotama juga melakukan gerakan menyambut seperti tadi, melayani lawan tangguh itu sambil berteriak keras pula.
"Wessss!"
Akibat pertemuan dahsyat tenaga sakti mereka untuk yang kedua kalinya ini, Resi Narotama jatuh bertekuk lutut, tubuhnya agak menggigil dan keringat di dahi makin banyak. Akan tetapi Dibyo Mamangkoro mencelat ke belakang, melakukan gerak jungkir balik tiga kali dan akhirnya dapat ia menguasai keseimbangan tubuhnya sehingga tidak roboh terguling. Matanya yang tadi merah itu kini makin merah sehingga seperti berubah hitam, mulutnya masih tertawa menyeringai akan tetapi di ujung bibirnya tampak sedikit darah!
"Belum puaskah engkau...?" Narotama berkata, suaranya halus agak terengah.
"Huah-hah-hah...! Mampuslah...!"
Dibyo Mamangkoro kembali melakukan pukulan ke tiga, lebih hebat karena agaknya ia mengerahkan seluruh tenaganya. Narotama yang sudah bangkit berdiri kembali menyambut seperti tadi, juga bekas Patih Kahuripan yang sakti ini mengerahkan seluruh tenaga terakhir, maklum sepenuhnya bahwa ia mempertahankan nyawanya dalam gempuran tenaga sakti ini.
"Desss... werrrrr...!"
Kini akibatnya lebih hebat lagi dari pada dua pukulan pertama. Bukan saja karena pukulan ke tiga ini mereka lakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, juga karena tubuh mereka sudah lelah dan lemah oleh benturan dua kali tadi. Resi Narotama mengeluh perlahan, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang lalu ia jatuh terduduk di atas tanah, napasnya terengah-engah mukanya pucat. Adapun Dibyo Mamangkoro terpental dan roboh miring di atas tanah, lalu bergulingan menjauhkan diri lalu lenyap dari situ, hanya suara ketawanya saja yang terdengar bergema sampai di tempat itu, suara ketawa yang aneh karena bercampur rintihan.
Sementara itu, pertandingan antara Wirokolo dan Joko Wandiro juga berkesudahan amat hebat. Wirokolo yang merasa amat penasaran belum juga dapat merobohkan lawannya yang muda, menerjang makin dahsyat. Akan tetapi ketika tadi Resi Narotama mengeluarkan aji pekik melengking dahsyat Dirodo Meto, jantungnya tergetar hebat sekali. Sejenak matanya berkunang dan jantungnya berdebar-debar.
Hanya dengan pengerahan tenaga dalam sekuatnya saja ia mampu menahan. Akan tetapi, serangan pekik mujijat Resi Narotama yang sebetulnya tidak langsung ditujukan kepadanya ini membuat tenaga dalamnya banyak berkurang. Namun, Wirokolo yang berwatak sombong dan terlalu bangga akan kesaktian sendiri ini tidak sadar akan hal ini. Ketika itu Joko Wandiro yang juga ingin mengakhiri pertandingan karena melihat gurunya sudah menghadapi Dibyo Mamangkoro yang amat sakti, telah mengirim pukulannya yang paling ampuh, yaitu Bojro Dahono.
Pukulannya dilakukan dengan kepalan tangan kiri yang meluncur ke arah dada Wirokolo. Tadi sebelum musuh-musuh datang, pemuda ini sudah mendemonstrasikan kepandaiannya ini dan dengan Aji Bojro Dahono telah membuat sebatang pohon menjadi hangus sebelah dalamnya! Tentu saja Wirokolo juga merasa akan datangnya hawa panas mujijat.yang mengiringi pukulan anak muda itu. Akan tetapi karena ia terlalu mengandalkan ajinya Anolo Hasto, melihat datangnya pukulan tangan kiri ini, ia menjadi girang dan segera menyambut dengan telapak tangan kanannya yang lebar dan besar.
Begitu kepalan tangan kiri Joko Wandiro tiba, Wirokolo menerimanya dengan telapak tangan kanan dan menggenggamnya. Kepalan tangan yang kecil itu lenyap dalam genggaman tangan kanannya yang penuh dengan Aji Anolo Hasto sehingga kepalan tangan Joko Wandiro seakan-akan masuk dan terjepit ke dalam tungku api membara!
Melihat ini, Joko Wandiro memukul lagi, kini dengan tangan kanannya, juga tetap menggunakan Aji Bojro Dahono. Melihat kenekadan pemuda ini, Wirokolo tertawa terbahak-bahak dan menggunakan tangan kirinya menyambut pukulan ke dua dan di lain saat kembali kepalan tangan kanan Joko Wandiro lenyap dalam genggaman tangan kiri Wirokolo!
Sambil mengerahkan kekuatannya untuk menghancurkan kedua kepalan tangan Joko Wandiro dalam genggaman tangannya, Wirokolo tertawa bergelak. Akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya terhenti, matanya terbelalak, mukanya pucat sekali dan bagaikan disambar petir, tubuhnya mencelat ke belakang, kedua tangannya yang tadi menggenggam kepalan tangan Joko Wandiro kini mencengkeram dadanya sendiri, kemudian ia mengeluarkan jerit mengerikan dan sambil mencengkeram dadanya Wirokolo membalikkan tubuh, lari terhuyung-huyung dan membabi buta sehingga tanpa disadarinya ia lari ke arah jurang.
Ketika tubuhnya terjungkal ke dalam jurang, kembali ia memekik nyaring. Kemudian sunyi. Wirokolo salah hitung, terlalu memandang rendah lawan atau terlalu membanggakan diri sendiri sehingga ia lalai dan ketika menggenggam kedua kepalan pemuda tadi, ia hanya ingin menghancurkan kepalan dengan remasan tenaga kasar. Siapa kira, dari kepalan Joko Wandiro tersalur hawa sakti Bojro Dahono (Kilat Api) sehingga karena Wirokolo tidak mengerahkan hawa saktinya, maka ia terserang aji itu yang membuat isi dadanya seperti disambar petir! Andai kata ia tidak terjungkal ke dalam jurang yang membuat tubuhnya hancur, juga ia akan tewas oleh Bojro Dahono yang ampuhnya menggiriskan itu.
Joko Wandiro memandang kedua tangannya. Punggung tangannya kebiruan dan membengkak. Untung tulang-tulang tangannya tidak sampai remuk. Bukan main hebatnya Wirokolo. Kemudian ia teringat gurunya, menoleh. Dilihatnya Resi Narotama duduk bersila di atas tanah, wajahnya pucat, napasnya memburu, dari ujung kanan kiri bibirnya keluar darah!
"Bapa guru!" Joko Wandiro lari menghampiri lalu berlutut di depannya.
Resi Narotama membuka mata, lalu dengan gerakan lemah menghapus darah di kedua ujung bibirnya.
"Sungguh mengagumkan Dibyo Mamangkoro..." Ia menghela napas pnnjang.
"Tapi, bukankah tadi dia kalah dan lari, bapa!
Narotama menggeleng kepala. "Ia jerih terhadap aku, akan tetapi sesungguhnya, dia hebat. Kalau dia tidak jerih dan tadi melanjutkan, belum tentu aku akan menang. Hemmm..."
Resi Narotama mengerutkan kening, jelas menahan rasa nyeri hebat, tangannya meraba dada.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BADAI LAUT SELATAN (BAGIAN KE-03 SERIAL KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA)