BADAI LAUT SELATAN : JILID-66
Ia menyembunyikan ketegangan hatinya ketika melihat Ayu Candra yang
wajahnya pucat, rambutnya awut-awutan dan pakaiannya robek-robek, dua
tangannya terbelenggu dan terhuyung-huyung di belakang kuda.
"Endang Patibroto, kau lepaskan Ayu Candra dan jangan menyiksanya seperti itu. Ingat, aku menghendaki dia hidup-hidup."
Endang Patibroto menahan kudanya, memandang tajam dengan wajah tersenyum mengejek. "Ki Jatoko, perempuan ini musuhku. Mau kubunuh atau tidak adalah urusanku sendiri. Karena teringat akan janjimu maka aku masih belum membunuhnya. Tentu saja aku memenuhi janji asal engkau juga membuktikan janjimu dahulu. Hayo lekas katakan, apa rahasia itu agar aku dapat menimbang-nimbang apakah patut manusia macam engkau kuberi hadiah perempuan ini!"
"Ihh, sabar dulu, Endang Patibroto..." Ki Jatoko mengerling ke arah Ayu Candra dengan kening berkerut. Ucapan Endang Patibroto tadi menyulitkan kedudukannya. Ia tidak ingin rahasia hatinya diketahui Ayu Candra yang ia harapkan kasih sayangnya. Tentu saja ia ingin agar gadis yang dicintanya itu menganggapnya seorang penolong yang baik hati. "Kau dengarlah baik-baik, urusan pribadi kita itu amat penting dan tentu saja rahasia ini akan kuberitahukan kepadamu. Akan tetapi, adahal yang jauh lebih hebat dan penting lagi yang perlu kita bicarakan. Kau tahu mengapa kau bertemu aku di sini? Aku pun sedang dalam perjalanan menuju ke Jenggala untuk menghadap sang prabu. Ada berita penting sekali mengenai Nusabarung."
Mau tak mau perhatian Endang Patibroto dapat dibelokkan. Berita tentang Nusabarung tentu saja amat penting baginya, jauh lebih penting dari pada urusan Ayu Candra dan Ki Jatoko yang ia pandang rendah.
"Hemm, berita apakah?"
"Perbuatan hebat luar biasa yang kau lakukan dengan seorang diri membunuh lima orang sakti yang bersekutu dengan Adipati Jagalmanik telah diketahui oleh semua orang di Nusabarung! Aku memang secara diam-diam memata-matai keadaan di Nusabarung setelah kuketahui akan komplotan yang hendak menggulingkan sang prabu di Jenggala. Dan kini Adipati Jagalmanik telah mengumpulkan seluruh kekuatan dengan bantuan banyak pasukan dari timur untuk menghadapi Jenggala!"
Endang Patibroto tertawa. "Huh, yang begitu saja kau ributkan? Sebelum Nusabarung dapat menyentuh pintu gerbang Jenggala, lebih dulu pasukanku akan menghancurkannya. Aku memang membawa pasukan untuk menggempur dan memberi hukuman pengkhianat-pengkhianat itu!"
Ki Jatoko menggeleng-geleng kepalanya dan diam-diam ia melirik ke arah Ayu Candra yang berdiri sambil menundukkan muka dan agaknya gadis itu kini mengatur napas mengumpulkan tenaga.
"Kau tidak tahu dan karenanya kau memandang rendah, Endang Patibroto. Aku percaya akan kesaktianmu yang luar biasa, akan tetapi apakah kau tahu bahwa pihak Nusabarung sudah tahu pula bahwa engkau datang dengan membawa pasukan? Mata-mata mereka tersebar luas dan dapat mengirim berita dengan cepat sekali. Bahkan mereka tahu bahwa pasukanmu hanya terdiri dari beberapa ribu orang! Apakah artinya jumlah pasukanmu itu, dan apa yang dapat kau lakukan dengan kesaktianmu kalau pihak musuh mengerahkan pasukan sampai berlaksa orang untuk menghancurkan pasukanmu?"
Kaget juga hati Endang Patibroto ketika mendengar berita ini. Kalau benar demikian, sungguh berbahaya. Dia sendiri dengan kesaktiannya mungkin masih dapat menyelamatkan diri, akan tetapi bagaimana kalau sampai pasukannya itu hancur oleh musuh yang berlipat ganda jumlahnya itu? Betapa pun ia akan mengamuk dengan keris pusakanya, kiranya ia bukan seorang dewa yang dapat merobohkan berlaksa orang musuh! Mulailah ia berpikir dan alisnya yang berbentuk indah itu bergerak-gerak.
"Endang Patibroto, kiranya takkan percuma kau berkenalan dengan aku! Kau telah menemukan Ayu Candra dan tak membunuhnya, hal ini membuat aku amat berterima kasih sehingga selain rahasia yang telah kujanjikan akan kuceritakan nanti kepadamu, juga aku mempunyai akal untuk membantumu. Percayalah, dengan akalku, biarpun para pemberontak Nusabarung mempunyai pasukan yang sepuluh kali jumlahnya, kita akan dapat menghancurkan mereka!"
Endang Patitroto boleh jadi seorang yang sakti mandraguna dan tak kenal takut, juga bukan seorang bodoh. Namun tentu saja ia masih kurang pengalaman sehingga menghadapi seorang tokoh kawakan yang penuh tipu muslihat seperti Ki Jatoko ini, ia menjadi bimbang dan ragu. Pengalamannya yang masih dangkal belum memungkinkan ia mengenal manusia dari gerak-gerik dan wajah mereka.
"Hemmm, kalau kau ada akal, bagaimanakah? Katakan, akan kudengar dan pertimbangkan."
Diam-diam Ki Jatoko menjadi kagum.. Gadis ini benar-benar selain gagah perkasa, juga cukup cerdik sehingga tidak mau menelan usulnya mentah-mentah begitu saja. Ia pura-pura memandang ke kanan kiri lalu berkata,
"Dikabarkan orang bahwa kau memimpin pasukan ke Nusabarung. Endang Patibroto, mana itu pasukanmu?"
"Masih di belakang. Aku sengaja mendahului mereka."
Ki Jatoko mengangguk-angguk. "Kalau begitu marilah kau singgah di tempatku. Kita bicara sambil menanti datangnya pasukanmu. Setelah pasukanmu tiba, baru kita atur untuk menjebak barisan musuh, dan menghancurkan mereka."
Melihat Endang Patibroto meragu, Ki Jatoko cepat berkata, "Dan di sana pula akan kuceritakan rahasia itu, Endang Patibroto. Rahasia besar yang akan membuat kau terheran-heran tentang diri pribadimu. Selain itu aku tidak ingin melihat Ayu Candra tersiksa seperti itu. Dia harus beristirahat dan memulihkan kesehatannya. Aku sudah bersikap sejujurnya kepadamu. Terserah kepadamu, apakah kau percaya kepadaku atau tidak! Betapa pun, aku tidak percaya bahwa kau takut kalau-kalau aku menipumu!"
Kalimat terakhir ini benar-benar mengenai sasaran. Memang cerdik Ki Jatoko. Ia dapat meraba kelemahan gadis perkasa yang sukar pula dibujuk itu. Maka ia melepas "panah" terakhir, yaitu dengan cara memanaskan hati dan menantang. Seorang gadis perkasa yang memang pantang mundur, paling tak senang kalau disangka takut.
"Hemm, andai kata kau menipuku, mengapa aku mesti takut?" Endang Patibroto mengeprak kudanya. "Baik, marilah jalan. Hendak kulihat, pertunjukan apa yang hendak kauperlihatkan kepadaku!"
Girang hati Ki Jatoko. Akan tetapi kegirangan yang bercampur kecemasan dan ketegangan. Ia maklum bahwa kalau Bhagawan Kundilomuko gagal menundukkan gadis ini, ia tentu akan mampus di tangan Endang Patibroto! Cepat ia menghampiri Ayu Candra yang sudah dilepaskan talinya oleh Endang Patibroto, kemudian melepaskan belenggu tangan gadis itu dan berkata halus,
"Ayu, mari kau ikut aku naik kuda ini...!"
Ayu Candra memandang kepada Ki Jatoko dengan mata terbelalak penuh curiga dan kemarahan, kemudian ia menggelengkan kepalanya tanpa mengeluarkan jawaban.
"Ayu, kau tahu bahwa aku menolongmu, aku saying kepadamu, manis, aku kasihan kepadamu.."
Sinar mata gadis Itu mengeluarkan cahaya kemarahan dan kalau tidak selemah itu tubuhnya akibat lelah dan kelaparan, tentu ia sudah meronta dan memukul Ki Jatoko. Ucapan kakek buntung ini sekarang baginya mempunyai arti lain setelah ia mendengar dari Endang Patibroto bahwa kakek buntung ini tergila-gila kepadanya dan hendak memperisterinya.
Karena melihat Endang Patibroto sudah tak sabar menanti, Ki Jatoko lalu menyambar pinggang Ayu Candra dan meloncat naik ke punggung kuda. Ia mendudukkan gadis itu di depannya lalu membalapkan kuda. Biarpun buntung kedua kakinya, namun Ki Jatoko di waktu mudanya adalah Jokowanengpati yang ahli dalam hal menunggang kuda.
Ayu Candra merasa muak dan marah sekali, akan tetapi ia maklum bahwa meronta pada saat itu takkan ada artinya. Ia akan menanti sampai kekuatannya pulih kembali, barulah ia akan memberontak dan mengamuk sampai berhasil membunuh mereka atau terbunuh! Hari telah malam ketika Ki Jatoko yang diikuti oleh Endang Patibroto tiba di pertapaan Durgaloka.
Keadaan di situ gelap dan Ki Jatoko lalu mengajak Endang Patibroto berhenti di depan sebuah di antara pondok-pondok yang memang sebelumnya sudah dipersiapkan. Pondok lainnya gelap, hanya pondok yang satu inilah yang di dalamnya dipasangi lampu penerangan. Melihat Endang Patibroto memandangi ke sekelilingnya, ke arah pondok-pondok yang gelap itu, Ki Jatoko segera berkata,
"Perkampungan ini sudah kosong penghuninya pergi menyingkir ketika mendengar bahwa akan terjadi perang. Hanya pondok tempat tinggalku ini yang masih ditinggali orang, yaitu murid-murid, juga pelayan-pelayanku."
Pintu pondok terbuka dari dalam dan di bawah sinar lampu yang menyorot dari dalam, Endang Patibroto melihat lima orang gadis cantik bergegas keluar menyambut. Hati Endang Patibroto terheran-heran ketika ia melompat turun dari kudanya. Lima orang gadis cantik inikah murid-murid Ki Jatoko? Gerakan mereka memang tangkas ketika mereka menyambut kuda dan sikap mereka amat hormat kepada si buntung. Ah, kiranya si buntung ini bukan sembarang orang, pikirnya.
"Ada terjadi apakah sepergiku dari sini murid-muridku?" Ki Jatoko bertanya.
Gadis yang paling cantik, yang kedua lengannya memakai gelang hitam berbentuk ular melilit, segera menjawab dengan suara merdu, "Tidak ada apa-apa yang luar biasa, bapa guru. Kami yang merasa heran mengapa bapa sudah kembali? Apakah secepat itu bapa sudah tiba di Jenggala?"
Ki Jatoko tertawa. "Kau tahu apa? Lekas sediakan makan minum untuk dua orang nona yang menjadi tamu agung kita!"
Gadis-gadis itu tersenyum dan menyelinap pergi keluar dari dalam pondok. Sambil menggandeng tangan Ayu Candra, Ki Jatoko mempersilakan Endang Patibroto memasuki pondok. Endang Patibroto menaruh curiga. Betapa pun juga, ia tidak dapat mempercaya begitu saja seorang macam Ki Jatoko ini. Akan tetapi, karena ia memandang rendah kepandaian Ki Jatoko, ia tidak menjadi gentar, bahkan tersenyum mengejek. Hendak kulihat, apa yang dapat ia lakukan terhadap diriku, demikian pikirnya. Pondok itu ternyata cukup lebar dan bersih dan di situ terdapat dua buah bilik besar dan di ruangan tengah terdapat meja kursi.
"Hari sudah jauh malam, kulihat engkau dan terutama Ayu Candra ini perlu beristirahat. Harap kau tidak menolak hidangan kami yang sederhana," kata Ki Jatoko.
Endang Patibroto hendak membantah. Ia ingin menuntut agar rahasia yang dijanjikan itu diberitahukan kepadanya sekarang juga. Akan tetapi terpaksa ia menahan niatnya membuka mulut ketika lima orang gadis itu sambil terseyum-senyum manis sudah berserabutan masuk ke pondok sambil membawa bermacam-macam tempat lauk-pauk, nasi dan sebuah kendi besar. Dengan cekatan mereka lalu sibuk mengatur makanan itu di atas meja.
Heran juga hati Endang Patibroto bagaimana mereka itu dapat mempersiapkan hidangan secepat itu. Gadis-gadis ini cekatan sekali. Dan hidangan berupa sayur-mayur dan daging itu dimasak, masih mengepulkan uap yang sedap sehingga perutnya yang memang lapar karena hampir dua hari tidak diisi itu kini mulai terasa lapar. Juga Ayu Candra yang kehabisan tenaga karena lelah dan lapar, diam-diam merasa berterima kasih. Ia harus memperkuat tubuhnya, kemudian baru ia akan menyerang Endang Patibroto, pikirnya.
Tentang Ki Jatoko, ia masih ragu-ragu. Benarkah kakek buntung ini jahat dan mempunyai niat busuk seperti yang dikatakan oleh Endang Patibroto? Ah, belum tentu demikian. Bagaimana ia dapat mempercayai seorang seperti Endang Patibroto yang demikian jahat? Akan tetapi, kalau memang Ki Jatoko seorang baik-baik yang hendak menolongnya, mengapa pula si buntung ini begitu baik hubungannya dengan Endang Patibroto? Dan rahasia besar apakah gerangan yang akan mereka bicarakan? Semua teka-teki ini membuat Ayu Candra bingung, akan tetapi ia lalu menganggap saja bahwa Ki Jatoko juga bukan seorang baik- baik, apalagi setelah melihat murid-muridnya yang terdiri dari gadis-gadis muda dan cantik. Makin curigalah ia terhadap si buntung.
Betapa pun lapar perutnya, Endang Patibroto bukan seorang yang ceroboh. Biarpun Ki Jatoko sudah mempersilakankannya, namun ia hanya duduk diam dan memandang semua makanan di atas meja, tanpa menyentuhnya. Melihat ini, Ki Jatoko tertawa.
"Ha-ha-ha, Endang Patibroto. Agaknya engkau menaruh curiga kepada hidangan yang kusuguhkan kepadamu? Kau khawatir kalau-kalau kucampuri racun?"
Endang Patibroto mencibirkan bibirnya yang merah. "Ki Jatoko, aku tidak tahu siapa sebenarnya engkau ini dan orang macam apa sesungguhnya engkau ini, maka bagaimana mungkin aku dapat percaya begitu saja bersihnya hidangan yang kausuguhkan kepadaku?"
Mendengar ini, Ayu Candra terkejut dan kagum. Biarpun Endang Patibroto seorang iblis betina yang kejam dan ganas, harus diakui bahwa semuda itu sudah memiliki kecerdikan dan kewaspadaan. Ia teringat akan kakak kandungnya, Joko Wandiro. Alangkah sepadan dua orang muda itu, Endang Patibroto dan Joko Wandiro! Keduanya sama muda, sama elok, sama sakti dan dalam banyak hal, mereka mempunyai banyak persamaan yang mengagumkan. Tentu saja terdapat perbedaan yang membuat mereka seperti bumi dan langit, yaitu bahwa kalau Joko Wandiro merupakan seorang pemuda yang berbudi mulia, adalah Endang Patibroto merupakan seorang gadis yang jahat, ganas dan keji seperti iblis!
"Ha-ha-ha-ha! Tak salah dugaanku, dan memang sudah sepatutnya kau menaruh curiga. Heh, murid-muridku yang manis. Kalian yang meracik (membuat) semua hidangan ini, hayo lekas kalian cicipi semua hidangan di depan nona tamu kita yang terhormat!"
Sambil tertawa-tawa kecil dengan sikap genit lima orang gadis itu lalu menciduk setiap hidangan, ditaruh di telapak tangan dan makan semua itu tanpa ragu-ragu lagi.
"Ha-ha-ha, biarlah air minumnya aku sendiri yang mencicipi" kata Ki Jatoko sambil menuangkan air kendi ke dalam tempat minumnya, lalu meminum air ini dengan enak.
Wajah Endang Patibroto menjadi agak merah, akan tetapi ia menggangguk-angguk puas. Lima orang gadis itu mengundurkan diri akan tetapi tidak meninggalkan pondok, Siap menanti perintah untuk melayani guru mereka.
"Baiklah, aku terima hidanganmu, Ki Jatoko," kata Endang Patibroto.
"Silakan. memang seorang yang gagah perkasa seperti engkau ini sudah sepatutnya selalu waspada untuk menjaga keselamatan diri, Endang Patibroto. Eh, Ayu Candra, marilah. Makan seadanya, engkau kelihatan amat lelah."
Mereka mulai makan. Ayu Candra yang diam-diam bermaksud memulihkan tenaga dan kesehatannya, tanpa ragu-ragu lagi makan sebanyak yang dibutuhkan tubuhnya yang terasa lemas dan lemah. Juga Endang Patibroto bukan seorang pemalu. Gadis perkasa ini makan secukupnya dan ternyata semua hidangan itu dimasak oleh seorang ahli sehingga terasa sedap dan enak.
"Maklumlah di dusun, yang ada hanya daun-daun dan jamur, tidak ada hidangan yang pantas seperti ki kota." Ki Jatoko berkata sambil menawarkan setiap masakan.
"Cukup sedap. Murid-muridmu pandai masak, Ki Jatoko. Belum pernah aku menikmati masakan jamur seperti ini. Tiada ubahnya daging ayam yang gemuk." Endang Patibroto memuji.
Setelah makan kenyang dan minum air kendi, Ayu Candra kelihatan lemas sekali dan akhirnya gadis ini menumpangkan kepalanya di atas lengan dan ternyata sudah tertidur di atas meja. Endang Patibroto memandang tajam, kecurigaannya timbul kembali.
"Ha-ha-ha, kau lihat, Endang Patibroto. Kasihan sekali Ayu Candra. Ia terlalu lelah dan mengantuk sampai-sampai tertidur di sini. Untung aku segera dapat bertemu denganmu, kalau tidak... ah, mungkin ia akan kauseret-seret sampai mati!"
Endang Patibroto menjawab dan memandang tak acuh, "Dia sendiri yang mencari mampus"
Ki Jatoko lalu menyuruh murid-muridnya membawa Ayu Candra ke dalam bilik di sebelah kiri, juga memerintahkan mereka mengangkat semua bekas hidangan dan membersihkan meja. Setelah Ayu Candra digotong masuk ke dalam bilik dan meja sudah bersih kembali, ia berkata, "Nah, sekarang silakan kau mengaso, Endang Patibroto. Besuk masih banyak waktu bagi kita untuk bicara. Kau mengasolah di bilik sebelah kanan itu."
Endang Patibroto mengerutkan keningnya. "Aku ingin mendengar dulu rahasia yang kau janjikan. Ingat, aku sudah membiarkan gadis itu hidup dan menyerahkannya kepadamu."
Ki Jatoko tersenyum. "Rahasia besar itu perlu memakan waktu banyak untuk menceritakannya, dan kulihat kau sudah lelah dan mengantuk."
Barulah terasa oleh Endang Patibroto betapa kedua matanya terasa sepet dan mengantuk. Memang, dia sudah lelah dan alangkah akan nikmatnya kalau dapat merebahkan diri di pembaringan melepas lelah. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan berkata, "Tidak! Biarpun mengantuk, aku ingin mendengar rahasia itu, kalau-kalau ada rahasia dan kau tidak membohongiku!"
Dalam ucapan terakhir ini terdengar suara mengancam sehingga Ki Jatoko diam-diam bergidik. Gadis ini hebat sekali dan seandainya ia tidak tahu bahwa Bhagawan Kundilomuko dan murid-muridnya berada di sekitar tempat itu melindunginya, tentu ia akan menjadi gemetar ketakutan. Ki Jatoko menarik napas panjang.
"Baiklah, Endang Patibroto. Akan tetapi kuharap engkau tidak akan menjadi kaget dan marah kalau mendengar aku membuka rahasia besar yang meliputi dirimu. Berjanjilah dulu bahwa kau tidak akan marah dan bahwa aku sama sekali tidak menceritakan fitnah dan penghinaan."
"Hemm, kita lihat saja. Kalau memang ceritamu berdasar kenyataan, tentu saja aku tidak begitu gila untuk marah-marah kepadamu."
"Nah, kau bersiaplah untuk mendengarkan, Endang Patibroto." Ki Jatoko menoleh ke arah pintu depan pondok.
Murid-muridnya sudah keluar dari pondok dan keadaan sunyi sekali. Bahkan bunyi pernapasan yang amat halus dari dalam bilik sebelah kiri, terdengar oleh telinga mereka yang terlatih. Ayu Candra sudah tidur pulas.
"Endang Patibroto, sesungguhnya engkau bukan puteri dari Pujo. Dia itu sama sekali bukan ayah kandungmu!"
Endang Patibroto menegakkan tubuhnya di atas bangku yang ia duduki. Sepasang mata yang tadinya sudah mengantuk itu tiba-tiba menjadi terang sinarnya, memandang kepada wajah Ki Jatoko yang buruk penuh selidik, amat tajam menusuk. Wajah yang cantik sekali itu menegang dan menjadi agak pucat.
"Apa alasannya engkau berani mengatakan begitu?"
Pertanyaan ini terdengar jelas satu-satu, dan diucapkan tenang sekali, terlalu tenang sehingga menegangkan. Ki Jatoko merasa bahwa kalau dia tidak hati-hati, sekali gadis perkasa itu turun tangan, ia takkan dapat bercerita lagi selamanya!
"Alasannya jelas, yaitu karena aku tahu siapa ayahmu yang sebenarnya!"
"Ki Jatoko, kalau kau membohong aku akan..." Endang Patibroto marah sekali sehingga cepat-cepat Ki Jatoko mengangkat tangannya memotong,
"Tidak, Endang Patibroto, aku sama sekali tidak membohong."
"Sudah jelas bahwa suami ibuku Kartikosari adalah Pujo! Bagaimana kau berani bilang bahwa Pujo bukan ayahku?"
"Inilah yang disebut rahasia besar itu. Dengarlah baik-baik, aku akan menceritakan peristiwa dua puluh tahun yang lalu. Pernahkah ibumu menyebut nama Jokowanengpati?"
Endang Patibroto terkejut dan mengangguk. "Dia musuh besar ibuku yang sudah dibunuh oleh ibu sendiri?”
Ki Jatoko tersenyum dan mengangguk-angguk. "Tentu ibumu tidak pernah menceritakan kepadamu apa sebab permusuhan itu, bukan?" Suara Ki Jatoko makin perlahan dan sudah beberapa kali si buntung ini menutupkan telapak tangan di depan mulut untuk menguap.
Endang Patibroto menggelengkan kepala. Ia sudah tertarik sekali. Memang benar, ibunya belum pernah mengatakan mengapa ibunya demikian membenci Jokowanengpati. Melihat Ki Jatoko beberapa kali menguap, gadis inipun tiba-tiba sadar bahwa rasa kantuk yang berat juga menyarangnya, tapi dengan pengerahan tenaga ia dapat mempertahankannya.
"Hemm, tentu saja ia tidak dapat menceritakan rahasia besar itu. Terjadinya di dalam sebuah guha, Endang Patibroto. Guha besar menyeramkan... Huuaaahh! Aduh, kenapa mengantuk benar aku? Terlalu lelah terlalu kenyang, menimbulkan kantuk!" kembali ia menguap.
"Teruskan ceritamu!" desak Endang Patibroto tak sabar sambil menahan rasa kantuk yang makin hebat menekan mata.
Ki Jatoko mengucek-ngucek mata, diam-diam ia merasa amat kaget dan kagum melihat gadis itu. Benar-benar seorang gadis yang sakti mandraguna dan luar biasa, bahkan mengerikan! Semua hidangan tadi, sampaipun air kendinya, terutama sekali jamurnya, mengandung daya yang memabukkan. Ayu Candra jelas terpengaruh sehingga tertidur di atas meja. Dia sendiri bersama lima orang anak murid Bhagawan Kundilomuko telah makan obat penawarnya sebelum makan minum sehingga tentu saja tidak terpengaruh. Akan tetapi Endang Patibroto enak-enak saja, kelihatannya sama sekali tidak terpengaruh.
Dan sekarang, ia tahu dari tempat yang tidak jauh, diam-diam Sang Bhagawan Kundilomuko telah memasang aji penyirepan yang luar biasa kuatnya. Dia sendiri walaupun tahu akan usaha sang bhagawan ini, masih tak dapat menolak pengaruhnya dan mulai mengantuk sekali sampai berkali-kali menguap. Akan tetapi, Endang Patibroto kelihatannya tenang saja sama sekali tidak kelihatan mengantuk! Apakah semua ilmu yang dikerahkan Bhagawan Kundilomuko tidak akan mempan terhadap gadis sakti ini? Ki Jatoko bergidik. Kalau demikian halnya, berbahayalah!
"Hayo teruskan ceritamu!" Kembali Endang Patibroto membentak.
Ki Jatoko tersentak kaget. "Uaaahhh mengantuk sekali aku... ah, ya, aku sedang bercerita. Begini, Endang Patibroto. Ketika itu pengantin baru Pujo dan Kartikosari memasuki Gua Siluman tadi untuk melakukan tapa brata. Mereka bertapa dalam keadaan telanjang bulat, mungkin bertapa untuk mengekalkan kasih sayang antara mereka. Mereka tidak tahu bahwa di situ sudah ada Jokowanengpati yang juga bertapa. Gua Siluman itu amat gelap. Di antara Jokowanengpati yang tampan dan gagah dan Kartikosari ibumu, memang sebelum ibumu kawin telah ada hubungan cinta kasih. Mereka itu masih saudara seperguruan dan pernah saling berjumpa beberapa kali. Melihat ibumu bersamadhi dalam keadaan telanjang bulat itu, Jokowanengpati tak dapat menahan diri. Cinta kasihnya menggelora dan diam-diam ia mendekati ibumu. Kartikosari memang cinta kepadanya, maka biarpun kaget, menyambutnya dengan mesra. Guha itu gelap sekali sehingga perbuatan dua orang kekasih itu tidak tampak oleh Pujo. Akan tetapi, sepasang kekasih itu dalam mencurahkan kasih sayang terlampau melewati batas sehingga mereka kelelahan dan tertidur saling berpelukan sampai malam telah lewat. Sinar matahari membuat gua itu agak remang-remang dan tentu saja Pujo melihat keadaan mereka. Hebat kesudahannya. Terjadi pertandingan. Pujo dirobohkan oleh Jokowanengpati yang cepat menyingkir pergi... auuhhhh..." Kembali Ki Jatoko menguap. Dalam bercerita tadi, belasan kali ia menguap dan suaranya makin lemah.
Endang Patibroto mendengarkan dengan alis berdiri, mata berkilat-kilat dan mukanya sebentar merah sebentar pucat. Kini melihat Ki Jatoko menghentikan ceritanya sambil menundukkan muka dan bernapas berat seperti orang tidur, Endang Patibroto meloncat dan mencengkeram pundak si buntung itu, mengguncangnya keras sekali.
"Hayo lanjutkan! Bedebah... kuhancurkan kepalamu kalau tidak kau lanjutkan! Awas kau jika berbohong...!" Suara Endang Patibroto menggigil saking menggeloranya isi dadanya.
Ki Jatoko yang sudah hampir tidak kuat karena pengaruh aji penyirepan yang kuat itu, mengangkat muka. Kesadarannya masih memperingatkan bahwa ia harus bicara terus,
"Dia... Kartikosari lalu pergi...dan dari perhubungannya dengan Jokowanengpati itu... terlahirlah engkau..."
Terdengar jerit melengking keras sekali ketika Endang Patibroto melompat bangun dari duduknya. Demikian hebat jerit ini sehingga Ki Jatoko yang sudah hampir tak kuat menahan kantuknya itu seketika menjadi sadar kembali dan memandang dengan mata terbuka lebar penuh ketakutan.
"Kau bohong...! Kuhancur leburkan kepalamu...!" Endang Patibroto berteriak dan tangan kanannya menghantam ke arah kepala Ki Jatoko.
"Prakkkk...!" Hancurlah meja dibelakang Ki Jatoko ketika si buntung ini mengelak dengan cepat sekali. Ia menjadi pucat dan cepat berkata
"Sabarlah, Endang Patibroto. Mengapa engkau menyerangku? Sudah kukatakan bahwa ini rahasia besar... jangan marah dulu dan dengarlah kata-kataku!"
Endang Patibroto menjadi agak tenang kembali. Dadanya yang membusung itu turun naik seperti bergelombang. Ia berdiri seperti arca memandang Ki Jatoko yang cepat-cepat menyambung ceritanya.
"Endang Patibroto, ceritaku itu berdasarkan kebenaran. Ingat saja, ketika kau masih kecil, bukankah ibumu terpisah dari Pujo? Kalau ceritaku tidak betul, mengapa Kartikosari berpisah dari Pujo di waktu melahirkan engkau? Dan kalau tidak ada peristiwa yang hebat sehingga memisahkan mereka, mengapa pula Pujo menikah kembali dengan Roro Luhito, bibi dari Joko Wandiro? Endang Patibroto, pikirlah baik-baik. Untuk apa aku berbohong? Aku... aku dapat membuktikan... aauuuuhhh…" Ki Jatoko sudah tak dapat menahan lagi kantuknya dan ia roboh terguling, terus saja mendengkur di atas lantai.
Sejenak Endang Patibroto berdiri tertegun. Cerita itu masih mengukir jantung dan benaknya. Terlampau hebat cerita itu. Terlampau parah batinnya terpukul. Kemudian ia memandang Ki Jatoko. Dengan kakinya ia mengguncang-guncang tubuh itu.
"Teruskan! Teruskan ceritamu..!"
Ia membentak, akan tetapi makin lama makin lirih dan akhirnya ia terisak menangis! Baru sekali ini selama hidupnya Endang Patibroto mengucurkan air mata.
"Kubunuh kau kalau tidak betul... kubunuh kau..." Berkali-kali ia berkata, suaranya makin lemah dan ia merasa kepalanya pening, tubuhnya lemas, matanya mengantuk sekali. Kesedihan mempunyai daya melemahkan tubuh dan mendatangkan kantuk, sehingga daya itu menambah pengaruh aji penyirepan yang ampuh.
Melihat betapa Ki Jatoko tak mungkin dibangunkan dari tidurnya yang nyenyak. Endang Patibroto merasa bahwa dia harus pula beristirahat. Biarlah, besuk akan kupaksa ia bercerita terus demikian pikirannya yang sudah mulai tertutup oleh kantuk. Ia terhuyung-huyung memasuki kamar sebelah, sebuah kamar yang bersih dan di situ terdapat sebuah pembaringan kayu bertilam yang empuk. Endang Patibroto menghela napas panjang, menggulingkan tubuhnya di atas pembaringan dan matanya dipejamkan. Enak dan sedap sekali rasanya rebah di situ.
Pada saat itu, Endang Patibroto membuka matanya tiba-tiba dan meloncat bangun. Gadis sakti ini dalam keadaan seperti itu masih sadar bahwa hal yang ia alami bukan sewajarnya! Belum pernah selama hidupnya ia diserang kantuk dan lemas seperti ini! Akan tetapi begitu meloncat turun, ia terhuyung-huyung dan terpaksa duduk di atas pembaringan, memegangi dahinya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menghunus keris pusaka Brojol Luwuk.
"Keparat, siapa berani main-main denganku...?" bentaknya.
Ia menggoyang-goyangkan kepalanya yang sudah amat berat, lalu memandang ke arah pintu. Pada saat itu, segumpal asap putih, melayang masuk melalui pintu dan celah-celah bilik, asap yang berbau harum sekali, akan tetapi yang memiliki daya yang luar biasa, sehingga Endang Patibroto yang mencium keharuman asap ini terkejut dan maklum bahwa itulah semacam racun pemabuk yang amat berbahaya! Ia mengerahkan hawa sakti di tubuhnya, bangkit berdiri hendak lari keluar dari kamar. Namun, kedua kakinya terasa lemas, kepalanya pening dan kamar serasa berputaran, kemudian ia tak dapat mempertahankan diri lagi, roboh di atas lantai.
Endang Patibroto maklum bahwa ia terkena racun, bahwa ia terperosok kedalam perangkap yang dipasang lawan. Mungkin Ki Jatoko bersekutu dengan orang lain. Ah, kubunuh dia... kubunuh... dia! Akan tetapi ia hanya dapat merangkak, tak dapat bangun lagi. Celaka, aku akan tertawan. Kalau pusaka ini terampas musuh, habis harapan!
Berpikir demikian, gadis yang sakti dan berani ini lalu menggunakan keris pusakanya untuk menggali tanah, kemudian ia menanam keris pusaka Brojol Luwuk di dalam tanah, di lantai kamar itu. Ditutupinya kembali lantai itu dengan jerami kering sehingga tidak tampak bekasnya. Namun ia telah terlampau lama bertahan, terlampau banyak mengerahkan tenaga sakti sehingga setelah ia selesai menanam keris pusaka, begitu ia bernapas panjang dengan lapang, tubuhnya roboh miring di atas lantai dan tertidurlah Endang Patibroto, tidur yang tidak sewajarnya, tidur seperti orang pingsan…..!
"Endang Patibroto, kau lepaskan Ayu Candra dan jangan menyiksanya seperti itu. Ingat, aku menghendaki dia hidup-hidup."
Endang Patibroto menahan kudanya, memandang tajam dengan wajah tersenyum mengejek. "Ki Jatoko, perempuan ini musuhku. Mau kubunuh atau tidak adalah urusanku sendiri. Karena teringat akan janjimu maka aku masih belum membunuhnya. Tentu saja aku memenuhi janji asal engkau juga membuktikan janjimu dahulu. Hayo lekas katakan, apa rahasia itu agar aku dapat menimbang-nimbang apakah patut manusia macam engkau kuberi hadiah perempuan ini!"
"Ihh, sabar dulu, Endang Patibroto..." Ki Jatoko mengerling ke arah Ayu Candra dengan kening berkerut. Ucapan Endang Patibroto tadi menyulitkan kedudukannya. Ia tidak ingin rahasia hatinya diketahui Ayu Candra yang ia harapkan kasih sayangnya. Tentu saja ia ingin agar gadis yang dicintanya itu menganggapnya seorang penolong yang baik hati. "Kau dengarlah baik-baik, urusan pribadi kita itu amat penting dan tentu saja rahasia ini akan kuberitahukan kepadamu. Akan tetapi, adahal yang jauh lebih hebat dan penting lagi yang perlu kita bicarakan. Kau tahu mengapa kau bertemu aku di sini? Aku pun sedang dalam perjalanan menuju ke Jenggala untuk menghadap sang prabu. Ada berita penting sekali mengenai Nusabarung."
Mau tak mau perhatian Endang Patibroto dapat dibelokkan. Berita tentang Nusabarung tentu saja amat penting baginya, jauh lebih penting dari pada urusan Ayu Candra dan Ki Jatoko yang ia pandang rendah.
"Hemm, berita apakah?"
"Perbuatan hebat luar biasa yang kau lakukan dengan seorang diri membunuh lima orang sakti yang bersekutu dengan Adipati Jagalmanik telah diketahui oleh semua orang di Nusabarung! Aku memang secara diam-diam memata-matai keadaan di Nusabarung setelah kuketahui akan komplotan yang hendak menggulingkan sang prabu di Jenggala. Dan kini Adipati Jagalmanik telah mengumpulkan seluruh kekuatan dengan bantuan banyak pasukan dari timur untuk menghadapi Jenggala!"
Endang Patibroto tertawa. "Huh, yang begitu saja kau ributkan? Sebelum Nusabarung dapat menyentuh pintu gerbang Jenggala, lebih dulu pasukanku akan menghancurkannya. Aku memang membawa pasukan untuk menggempur dan memberi hukuman pengkhianat-pengkhianat itu!"
Ki Jatoko menggeleng-geleng kepalanya dan diam-diam ia melirik ke arah Ayu Candra yang berdiri sambil menundukkan muka dan agaknya gadis itu kini mengatur napas mengumpulkan tenaga.
"Kau tidak tahu dan karenanya kau memandang rendah, Endang Patibroto. Aku percaya akan kesaktianmu yang luar biasa, akan tetapi apakah kau tahu bahwa pihak Nusabarung sudah tahu pula bahwa engkau datang dengan membawa pasukan? Mata-mata mereka tersebar luas dan dapat mengirim berita dengan cepat sekali. Bahkan mereka tahu bahwa pasukanmu hanya terdiri dari beberapa ribu orang! Apakah artinya jumlah pasukanmu itu, dan apa yang dapat kau lakukan dengan kesaktianmu kalau pihak musuh mengerahkan pasukan sampai berlaksa orang untuk menghancurkan pasukanmu?"
Kaget juga hati Endang Patibroto ketika mendengar berita ini. Kalau benar demikian, sungguh berbahaya. Dia sendiri dengan kesaktiannya mungkin masih dapat menyelamatkan diri, akan tetapi bagaimana kalau sampai pasukannya itu hancur oleh musuh yang berlipat ganda jumlahnya itu? Betapa pun ia akan mengamuk dengan keris pusakanya, kiranya ia bukan seorang dewa yang dapat merobohkan berlaksa orang musuh! Mulailah ia berpikir dan alisnya yang berbentuk indah itu bergerak-gerak.
"Endang Patibroto, kiranya takkan percuma kau berkenalan dengan aku! Kau telah menemukan Ayu Candra dan tak membunuhnya, hal ini membuat aku amat berterima kasih sehingga selain rahasia yang telah kujanjikan akan kuceritakan nanti kepadamu, juga aku mempunyai akal untuk membantumu. Percayalah, dengan akalku, biarpun para pemberontak Nusabarung mempunyai pasukan yang sepuluh kali jumlahnya, kita akan dapat menghancurkan mereka!"
Endang Patitroto boleh jadi seorang yang sakti mandraguna dan tak kenal takut, juga bukan seorang bodoh. Namun tentu saja ia masih kurang pengalaman sehingga menghadapi seorang tokoh kawakan yang penuh tipu muslihat seperti Ki Jatoko ini, ia menjadi bimbang dan ragu. Pengalamannya yang masih dangkal belum memungkinkan ia mengenal manusia dari gerak-gerik dan wajah mereka.
"Hemmm, kalau kau ada akal, bagaimanakah? Katakan, akan kudengar dan pertimbangkan."
Diam-diam Ki Jatoko menjadi kagum.. Gadis ini benar-benar selain gagah perkasa, juga cukup cerdik sehingga tidak mau menelan usulnya mentah-mentah begitu saja. Ia pura-pura memandang ke kanan kiri lalu berkata,
"Dikabarkan orang bahwa kau memimpin pasukan ke Nusabarung. Endang Patibroto, mana itu pasukanmu?"
"Masih di belakang. Aku sengaja mendahului mereka."
Ki Jatoko mengangguk-angguk. "Kalau begitu marilah kau singgah di tempatku. Kita bicara sambil menanti datangnya pasukanmu. Setelah pasukanmu tiba, baru kita atur untuk menjebak barisan musuh, dan menghancurkan mereka."
Melihat Endang Patibroto meragu, Ki Jatoko cepat berkata, "Dan di sana pula akan kuceritakan rahasia itu, Endang Patibroto. Rahasia besar yang akan membuat kau terheran-heran tentang diri pribadimu. Selain itu aku tidak ingin melihat Ayu Candra tersiksa seperti itu. Dia harus beristirahat dan memulihkan kesehatannya. Aku sudah bersikap sejujurnya kepadamu. Terserah kepadamu, apakah kau percaya kepadaku atau tidak! Betapa pun, aku tidak percaya bahwa kau takut kalau-kalau aku menipumu!"
Kalimat terakhir ini benar-benar mengenai sasaran. Memang cerdik Ki Jatoko. Ia dapat meraba kelemahan gadis perkasa yang sukar pula dibujuk itu. Maka ia melepas "panah" terakhir, yaitu dengan cara memanaskan hati dan menantang. Seorang gadis perkasa yang memang pantang mundur, paling tak senang kalau disangka takut.
"Hemm, andai kata kau menipuku, mengapa aku mesti takut?" Endang Patibroto mengeprak kudanya. "Baik, marilah jalan. Hendak kulihat, pertunjukan apa yang hendak kauperlihatkan kepadaku!"
Girang hati Ki Jatoko. Akan tetapi kegirangan yang bercampur kecemasan dan ketegangan. Ia maklum bahwa kalau Bhagawan Kundilomuko gagal menundukkan gadis ini, ia tentu akan mampus di tangan Endang Patibroto! Cepat ia menghampiri Ayu Candra yang sudah dilepaskan talinya oleh Endang Patibroto, kemudian melepaskan belenggu tangan gadis itu dan berkata halus,
"Ayu, mari kau ikut aku naik kuda ini...!"
Ayu Candra memandang kepada Ki Jatoko dengan mata terbelalak penuh curiga dan kemarahan, kemudian ia menggelengkan kepalanya tanpa mengeluarkan jawaban.
"Ayu, kau tahu bahwa aku menolongmu, aku saying kepadamu, manis, aku kasihan kepadamu.."
Sinar mata gadis Itu mengeluarkan cahaya kemarahan dan kalau tidak selemah itu tubuhnya akibat lelah dan kelaparan, tentu ia sudah meronta dan memukul Ki Jatoko. Ucapan kakek buntung ini sekarang baginya mempunyai arti lain setelah ia mendengar dari Endang Patibroto bahwa kakek buntung ini tergila-gila kepadanya dan hendak memperisterinya.
Karena melihat Endang Patibroto sudah tak sabar menanti, Ki Jatoko lalu menyambar pinggang Ayu Candra dan meloncat naik ke punggung kuda. Ia mendudukkan gadis itu di depannya lalu membalapkan kuda. Biarpun buntung kedua kakinya, namun Ki Jatoko di waktu mudanya adalah Jokowanengpati yang ahli dalam hal menunggang kuda.
Ayu Candra merasa muak dan marah sekali, akan tetapi ia maklum bahwa meronta pada saat itu takkan ada artinya. Ia akan menanti sampai kekuatannya pulih kembali, barulah ia akan memberontak dan mengamuk sampai berhasil membunuh mereka atau terbunuh! Hari telah malam ketika Ki Jatoko yang diikuti oleh Endang Patibroto tiba di pertapaan Durgaloka.
Keadaan di situ gelap dan Ki Jatoko lalu mengajak Endang Patibroto berhenti di depan sebuah di antara pondok-pondok yang memang sebelumnya sudah dipersiapkan. Pondok lainnya gelap, hanya pondok yang satu inilah yang di dalamnya dipasangi lampu penerangan. Melihat Endang Patibroto memandangi ke sekelilingnya, ke arah pondok-pondok yang gelap itu, Ki Jatoko segera berkata,
"Perkampungan ini sudah kosong penghuninya pergi menyingkir ketika mendengar bahwa akan terjadi perang. Hanya pondok tempat tinggalku ini yang masih ditinggali orang, yaitu murid-murid, juga pelayan-pelayanku."
Pintu pondok terbuka dari dalam dan di bawah sinar lampu yang menyorot dari dalam, Endang Patibroto melihat lima orang gadis cantik bergegas keluar menyambut. Hati Endang Patibroto terheran-heran ketika ia melompat turun dari kudanya. Lima orang gadis cantik inikah murid-murid Ki Jatoko? Gerakan mereka memang tangkas ketika mereka menyambut kuda dan sikap mereka amat hormat kepada si buntung. Ah, kiranya si buntung ini bukan sembarang orang, pikirnya.
"Ada terjadi apakah sepergiku dari sini murid-muridku?" Ki Jatoko bertanya.
Gadis yang paling cantik, yang kedua lengannya memakai gelang hitam berbentuk ular melilit, segera menjawab dengan suara merdu, "Tidak ada apa-apa yang luar biasa, bapa guru. Kami yang merasa heran mengapa bapa sudah kembali? Apakah secepat itu bapa sudah tiba di Jenggala?"
Ki Jatoko tertawa. "Kau tahu apa? Lekas sediakan makan minum untuk dua orang nona yang menjadi tamu agung kita!"
Gadis-gadis itu tersenyum dan menyelinap pergi keluar dari dalam pondok. Sambil menggandeng tangan Ayu Candra, Ki Jatoko mempersilakan Endang Patibroto memasuki pondok. Endang Patibroto menaruh curiga. Betapa pun juga, ia tidak dapat mempercaya begitu saja seorang macam Ki Jatoko ini. Akan tetapi, karena ia memandang rendah kepandaian Ki Jatoko, ia tidak menjadi gentar, bahkan tersenyum mengejek. Hendak kulihat, apa yang dapat ia lakukan terhadap diriku, demikian pikirnya. Pondok itu ternyata cukup lebar dan bersih dan di situ terdapat dua buah bilik besar dan di ruangan tengah terdapat meja kursi.
"Hari sudah jauh malam, kulihat engkau dan terutama Ayu Candra ini perlu beristirahat. Harap kau tidak menolak hidangan kami yang sederhana," kata Ki Jatoko.
Endang Patibroto hendak membantah. Ia ingin menuntut agar rahasia yang dijanjikan itu diberitahukan kepadanya sekarang juga. Akan tetapi terpaksa ia menahan niatnya membuka mulut ketika lima orang gadis itu sambil terseyum-senyum manis sudah berserabutan masuk ke pondok sambil membawa bermacam-macam tempat lauk-pauk, nasi dan sebuah kendi besar. Dengan cekatan mereka lalu sibuk mengatur makanan itu di atas meja.
Heran juga hati Endang Patibroto bagaimana mereka itu dapat mempersiapkan hidangan secepat itu. Gadis-gadis ini cekatan sekali. Dan hidangan berupa sayur-mayur dan daging itu dimasak, masih mengepulkan uap yang sedap sehingga perutnya yang memang lapar karena hampir dua hari tidak diisi itu kini mulai terasa lapar. Juga Ayu Candra yang kehabisan tenaga karena lelah dan lapar, diam-diam merasa berterima kasih. Ia harus memperkuat tubuhnya, kemudian baru ia akan menyerang Endang Patibroto, pikirnya.
Tentang Ki Jatoko, ia masih ragu-ragu. Benarkah kakek buntung ini jahat dan mempunyai niat busuk seperti yang dikatakan oleh Endang Patibroto? Ah, belum tentu demikian. Bagaimana ia dapat mempercayai seorang seperti Endang Patibroto yang demikian jahat? Akan tetapi, kalau memang Ki Jatoko seorang baik-baik yang hendak menolongnya, mengapa pula si buntung ini begitu baik hubungannya dengan Endang Patibroto? Dan rahasia besar apakah gerangan yang akan mereka bicarakan? Semua teka-teki ini membuat Ayu Candra bingung, akan tetapi ia lalu menganggap saja bahwa Ki Jatoko juga bukan seorang baik- baik, apalagi setelah melihat murid-muridnya yang terdiri dari gadis-gadis muda dan cantik. Makin curigalah ia terhadap si buntung.
Betapa pun lapar perutnya, Endang Patibroto bukan seorang yang ceroboh. Biarpun Ki Jatoko sudah mempersilakankannya, namun ia hanya duduk diam dan memandang semua makanan di atas meja, tanpa menyentuhnya. Melihat ini, Ki Jatoko tertawa.
"Ha-ha-ha, Endang Patibroto. Agaknya engkau menaruh curiga kepada hidangan yang kusuguhkan kepadamu? Kau khawatir kalau-kalau kucampuri racun?"
Endang Patibroto mencibirkan bibirnya yang merah. "Ki Jatoko, aku tidak tahu siapa sebenarnya engkau ini dan orang macam apa sesungguhnya engkau ini, maka bagaimana mungkin aku dapat percaya begitu saja bersihnya hidangan yang kausuguhkan kepadaku?"
Mendengar ini, Ayu Candra terkejut dan kagum. Biarpun Endang Patibroto seorang iblis betina yang kejam dan ganas, harus diakui bahwa semuda itu sudah memiliki kecerdikan dan kewaspadaan. Ia teringat akan kakak kandungnya, Joko Wandiro. Alangkah sepadan dua orang muda itu, Endang Patibroto dan Joko Wandiro! Keduanya sama muda, sama elok, sama sakti dan dalam banyak hal, mereka mempunyai banyak persamaan yang mengagumkan. Tentu saja terdapat perbedaan yang membuat mereka seperti bumi dan langit, yaitu bahwa kalau Joko Wandiro merupakan seorang pemuda yang berbudi mulia, adalah Endang Patibroto merupakan seorang gadis yang jahat, ganas dan keji seperti iblis!
"Ha-ha-ha-ha! Tak salah dugaanku, dan memang sudah sepatutnya kau menaruh curiga. Heh, murid-muridku yang manis. Kalian yang meracik (membuat) semua hidangan ini, hayo lekas kalian cicipi semua hidangan di depan nona tamu kita yang terhormat!"
Sambil tertawa-tawa kecil dengan sikap genit lima orang gadis itu lalu menciduk setiap hidangan, ditaruh di telapak tangan dan makan semua itu tanpa ragu-ragu lagi.
"Ha-ha-ha, biarlah air minumnya aku sendiri yang mencicipi" kata Ki Jatoko sambil menuangkan air kendi ke dalam tempat minumnya, lalu meminum air ini dengan enak.
Wajah Endang Patibroto menjadi agak merah, akan tetapi ia menggangguk-angguk puas. Lima orang gadis itu mengundurkan diri akan tetapi tidak meninggalkan pondok, Siap menanti perintah untuk melayani guru mereka.
"Baiklah, aku terima hidanganmu, Ki Jatoko," kata Endang Patibroto.
"Silakan. memang seorang yang gagah perkasa seperti engkau ini sudah sepatutnya selalu waspada untuk menjaga keselamatan diri, Endang Patibroto. Eh, Ayu Candra, marilah. Makan seadanya, engkau kelihatan amat lelah."
Mereka mulai makan. Ayu Candra yang diam-diam bermaksud memulihkan tenaga dan kesehatannya, tanpa ragu-ragu lagi makan sebanyak yang dibutuhkan tubuhnya yang terasa lemas dan lemah. Juga Endang Patibroto bukan seorang pemalu. Gadis perkasa ini makan secukupnya dan ternyata semua hidangan itu dimasak oleh seorang ahli sehingga terasa sedap dan enak.
"Maklumlah di dusun, yang ada hanya daun-daun dan jamur, tidak ada hidangan yang pantas seperti ki kota." Ki Jatoko berkata sambil menawarkan setiap masakan.
"Cukup sedap. Murid-muridmu pandai masak, Ki Jatoko. Belum pernah aku menikmati masakan jamur seperti ini. Tiada ubahnya daging ayam yang gemuk." Endang Patibroto memuji.
Setelah makan kenyang dan minum air kendi, Ayu Candra kelihatan lemas sekali dan akhirnya gadis ini menumpangkan kepalanya di atas lengan dan ternyata sudah tertidur di atas meja. Endang Patibroto memandang tajam, kecurigaannya timbul kembali.
"Ha-ha-ha, kau lihat, Endang Patibroto. Kasihan sekali Ayu Candra. Ia terlalu lelah dan mengantuk sampai-sampai tertidur di sini. Untung aku segera dapat bertemu denganmu, kalau tidak... ah, mungkin ia akan kauseret-seret sampai mati!"
Endang Patibroto menjawab dan memandang tak acuh, "Dia sendiri yang mencari mampus"
Ki Jatoko lalu menyuruh murid-muridnya membawa Ayu Candra ke dalam bilik di sebelah kiri, juga memerintahkan mereka mengangkat semua bekas hidangan dan membersihkan meja. Setelah Ayu Candra digotong masuk ke dalam bilik dan meja sudah bersih kembali, ia berkata, "Nah, sekarang silakan kau mengaso, Endang Patibroto. Besuk masih banyak waktu bagi kita untuk bicara. Kau mengasolah di bilik sebelah kanan itu."
Endang Patibroto mengerutkan keningnya. "Aku ingin mendengar dulu rahasia yang kau janjikan. Ingat, aku sudah membiarkan gadis itu hidup dan menyerahkannya kepadamu."
Ki Jatoko tersenyum. "Rahasia besar itu perlu memakan waktu banyak untuk menceritakannya, dan kulihat kau sudah lelah dan mengantuk."
Barulah terasa oleh Endang Patibroto betapa kedua matanya terasa sepet dan mengantuk. Memang, dia sudah lelah dan alangkah akan nikmatnya kalau dapat merebahkan diri di pembaringan melepas lelah. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan berkata, "Tidak! Biarpun mengantuk, aku ingin mendengar rahasia itu, kalau-kalau ada rahasia dan kau tidak membohongiku!"
Dalam ucapan terakhir ini terdengar suara mengancam sehingga Ki Jatoko diam-diam bergidik. Gadis ini hebat sekali dan seandainya ia tidak tahu bahwa Bhagawan Kundilomuko dan murid-muridnya berada di sekitar tempat itu melindunginya, tentu ia akan menjadi gemetar ketakutan. Ki Jatoko menarik napas panjang.
"Baiklah, Endang Patibroto. Akan tetapi kuharap engkau tidak akan menjadi kaget dan marah kalau mendengar aku membuka rahasia besar yang meliputi dirimu. Berjanjilah dulu bahwa kau tidak akan marah dan bahwa aku sama sekali tidak menceritakan fitnah dan penghinaan."
"Hemm, kita lihat saja. Kalau memang ceritamu berdasar kenyataan, tentu saja aku tidak begitu gila untuk marah-marah kepadamu."
"Nah, kau bersiaplah untuk mendengarkan, Endang Patibroto." Ki Jatoko menoleh ke arah pintu depan pondok.
Murid-muridnya sudah keluar dari pondok dan keadaan sunyi sekali. Bahkan bunyi pernapasan yang amat halus dari dalam bilik sebelah kiri, terdengar oleh telinga mereka yang terlatih. Ayu Candra sudah tidur pulas.
"Endang Patibroto, sesungguhnya engkau bukan puteri dari Pujo. Dia itu sama sekali bukan ayah kandungmu!"
Endang Patibroto menegakkan tubuhnya di atas bangku yang ia duduki. Sepasang mata yang tadinya sudah mengantuk itu tiba-tiba menjadi terang sinarnya, memandang kepada wajah Ki Jatoko yang buruk penuh selidik, amat tajam menusuk. Wajah yang cantik sekali itu menegang dan menjadi agak pucat.
"Apa alasannya engkau berani mengatakan begitu?"
Pertanyaan ini terdengar jelas satu-satu, dan diucapkan tenang sekali, terlalu tenang sehingga menegangkan. Ki Jatoko merasa bahwa kalau dia tidak hati-hati, sekali gadis perkasa itu turun tangan, ia takkan dapat bercerita lagi selamanya!
"Alasannya jelas, yaitu karena aku tahu siapa ayahmu yang sebenarnya!"
"Ki Jatoko, kalau kau membohong aku akan..." Endang Patibroto marah sekali sehingga cepat-cepat Ki Jatoko mengangkat tangannya memotong,
"Tidak, Endang Patibroto, aku sama sekali tidak membohong."
"Sudah jelas bahwa suami ibuku Kartikosari adalah Pujo! Bagaimana kau berani bilang bahwa Pujo bukan ayahku?"
"Inilah yang disebut rahasia besar itu. Dengarlah baik-baik, aku akan menceritakan peristiwa dua puluh tahun yang lalu. Pernahkah ibumu menyebut nama Jokowanengpati?"
Endang Patibroto terkejut dan mengangguk. "Dia musuh besar ibuku yang sudah dibunuh oleh ibu sendiri?”
Ki Jatoko tersenyum dan mengangguk-angguk. "Tentu ibumu tidak pernah menceritakan kepadamu apa sebab permusuhan itu, bukan?" Suara Ki Jatoko makin perlahan dan sudah beberapa kali si buntung ini menutupkan telapak tangan di depan mulut untuk menguap.
Endang Patibroto menggelengkan kepala. Ia sudah tertarik sekali. Memang benar, ibunya belum pernah mengatakan mengapa ibunya demikian membenci Jokowanengpati. Melihat Ki Jatoko beberapa kali menguap, gadis inipun tiba-tiba sadar bahwa rasa kantuk yang berat juga menyarangnya, tapi dengan pengerahan tenaga ia dapat mempertahankannya.
"Hemm, tentu saja ia tidak dapat menceritakan rahasia besar itu. Terjadinya di dalam sebuah guha, Endang Patibroto. Guha besar menyeramkan... Huuaaahh! Aduh, kenapa mengantuk benar aku? Terlalu lelah terlalu kenyang, menimbulkan kantuk!" kembali ia menguap.
"Teruskan ceritamu!" desak Endang Patibroto tak sabar sambil menahan rasa kantuk yang makin hebat menekan mata.
Ki Jatoko mengucek-ngucek mata, diam-diam ia merasa amat kaget dan kagum melihat gadis itu. Benar-benar seorang gadis yang sakti mandraguna dan luar biasa, bahkan mengerikan! Semua hidangan tadi, sampaipun air kendinya, terutama sekali jamurnya, mengandung daya yang memabukkan. Ayu Candra jelas terpengaruh sehingga tertidur di atas meja. Dia sendiri bersama lima orang anak murid Bhagawan Kundilomuko telah makan obat penawarnya sebelum makan minum sehingga tentu saja tidak terpengaruh. Akan tetapi Endang Patibroto enak-enak saja, kelihatannya sama sekali tidak terpengaruh.
Dan sekarang, ia tahu dari tempat yang tidak jauh, diam-diam Sang Bhagawan Kundilomuko telah memasang aji penyirepan yang luar biasa kuatnya. Dia sendiri walaupun tahu akan usaha sang bhagawan ini, masih tak dapat menolak pengaruhnya dan mulai mengantuk sekali sampai berkali-kali menguap. Akan tetapi, Endang Patibroto kelihatannya tenang saja sama sekali tidak kelihatan mengantuk! Apakah semua ilmu yang dikerahkan Bhagawan Kundilomuko tidak akan mempan terhadap gadis sakti ini? Ki Jatoko bergidik. Kalau demikian halnya, berbahayalah!
"Hayo teruskan ceritamu!" Kembali Endang Patibroto membentak.
Ki Jatoko tersentak kaget. "Uaaahhh mengantuk sekali aku... ah, ya, aku sedang bercerita. Begini, Endang Patibroto. Ketika itu pengantin baru Pujo dan Kartikosari memasuki Gua Siluman tadi untuk melakukan tapa brata. Mereka bertapa dalam keadaan telanjang bulat, mungkin bertapa untuk mengekalkan kasih sayang antara mereka. Mereka tidak tahu bahwa di situ sudah ada Jokowanengpati yang juga bertapa. Gua Siluman itu amat gelap. Di antara Jokowanengpati yang tampan dan gagah dan Kartikosari ibumu, memang sebelum ibumu kawin telah ada hubungan cinta kasih. Mereka itu masih saudara seperguruan dan pernah saling berjumpa beberapa kali. Melihat ibumu bersamadhi dalam keadaan telanjang bulat itu, Jokowanengpati tak dapat menahan diri. Cinta kasihnya menggelora dan diam-diam ia mendekati ibumu. Kartikosari memang cinta kepadanya, maka biarpun kaget, menyambutnya dengan mesra. Guha itu gelap sekali sehingga perbuatan dua orang kekasih itu tidak tampak oleh Pujo. Akan tetapi, sepasang kekasih itu dalam mencurahkan kasih sayang terlampau melewati batas sehingga mereka kelelahan dan tertidur saling berpelukan sampai malam telah lewat. Sinar matahari membuat gua itu agak remang-remang dan tentu saja Pujo melihat keadaan mereka. Hebat kesudahannya. Terjadi pertandingan. Pujo dirobohkan oleh Jokowanengpati yang cepat menyingkir pergi... auuhhhh..." Kembali Ki Jatoko menguap. Dalam bercerita tadi, belasan kali ia menguap dan suaranya makin lemah.
Endang Patibroto mendengarkan dengan alis berdiri, mata berkilat-kilat dan mukanya sebentar merah sebentar pucat. Kini melihat Ki Jatoko menghentikan ceritanya sambil menundukkan muka dan bernapas berat seperti orang tidur, Endang Patibroto meloncat dan mencengkeram pundak si buntung itu, mengguncangnya keras sekali.
"Hayo lanjutkan! Bedebah... kuhancurkan kepalamu kalau tidak kau lanjutkan! Awas kau jika berbohong...!" Suara Endang Patibroto menggigil saking menggeloranya isi dadanya.
Ki Jatoko yang sudah hampir tidak kuat karena pengaruh aji penyirepan yang kuat itu, mengangkat muka. Kesadarannya masih memperingatkan bahwa ia harus bicara terus,
"Dia... Kartikosari lalu pergi...dan dari perhubungannya dengan Jokowanengpati itu... terlahirlah engkau..."
Terdengar jerit melengking keras sekali ketika Endang Patibroto melompat bangun dari duduknya. Demikian hebat jerit ini sehingga Ki Jatoko yang sudah hampir tak kuat menahan kantuknya itu seketika menjadi sadar kembali dan memandang dengan mata terbuka lebar penuh ketakutan.
"Kau bohong...! Kuhancur leburkan kepalamu...!" Endang Patibroto berteriak dan tangan kanannya menghantam ke arah kepala Ki Jatoko.
"Prakkkk...!" Hancurlah meja dibelakang Ki Jatoko ketika si buntung ini mengelak dengan cepat sekali. Ia menjadi pucat dan cepat berkata
"Sabarlah, Endang Patibroto. Mengapa engkau menyerangku? Sudah kukatakan bahwa ini rahasia besar... jangan marah dulu dan dengarlah kata-kataku!"
Endang Patibroto menjadi agak tenang kembali. Dadanya yang membusung itu turun naik seperti bergelombang. Ia berdiri seperti arca memandang Ki Jatoko yang cepat-cepat menyambung ceritanya.
"Endang Patibroto, ceritaku itu berdasarkan kebenaran. Ingat saja, ketika kau masih kecil, bukankah ibumu terpisah dari Pujo? Kalau ceritaku tidak betul, mengapa Kartikosari berpisah dari Pujo di waktu melahirkan engkau? Dan kalau tidak ada peristiwa yang hebat sehingga memisahkan mereka, mengapa pula Pujo menikah kembali dengan Roro Luhito, bibi dari Joko Wandiro? Endang Patibroto, pikirlah baik-baik. Untuk apa aku berbohong? Aku... aku dapat membuktikan... aauuuuhhh…" Ki Jatoko sudah tak dapat menahan lagi kantuknya dan ia roboh terguling, terus saja mendengkur di atas lantai.
Sejenak Endang Patibroto berdiri tertegun. Cerita itu masih mengukir jantung dan benaknya. Terlampau hebat cerita itu. Terlampau parah batinnya terpukul. Kemudian ia memandang Ki Jatoko. Dengan kakinya ia mengguncang-guncang tubuh itu.
"Teruskan! Teruskan ceritamu..!"
Ia membentak, akan tetapi makin lama makin lirih dan akhirnya ia terisak menangis! Baru sekali ini selama hidupnya Endang Patibroto mengucurkan air mata.
"Kubunuh kau kalau tidak betul... kubunuh kau..." Berkali-kali ia berkata, suaranya makin lemah dan ia merasa kepalanya pening, tubuhnya lemas, matanya mengantuk sekali. Kesedihan mempunyai daya melemahkan tubuh dan mendatangkan kantuk, sehingga daya itu menambah pengaruh aji penyirepan yang ampuh.
Melihat betapa Ki Jatoko tak mungkin dibangunkan dari tidurnya yang nyenyak. Endang Patibroto merasa bahwa dia harus pula beristirahat. Biarlah, besuk akan kupaksa ia bercerita terus demikian pikirannya yang sudah mulai tertutup oleh kantuk. Ia terhuyung-huyung memasuki kamar sebelah, sebuah kamar yang bersih dan di situ terdapat sebuah pembaringan kayu bertilam yang empuk. Endang Patibroto menghela napas panjang, menggulingkan tubuhnya di atas pembaringan dan matanya dipejamkan. Enak dan sedap sekali rasanya rebah di situ.
Pada saat itu, Endang Patibroto membuka matanya tiba-tiba dan meloncat bangun. Gadis sakti ini dalam keadaan seperti itu masih sadar bahwa hal yang ia alami bukan sewajarnya! Belum pernah selama hidupnya ia diserang kantuk dan lemas seperti ini! Akan tetapi begitu meloncat turun, ia terhuyung-huyung dan terpaksa duduk di atas pembaringan, memegangi dahinya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menghunus keris pusaka Brojol Luwuk.
"Keparat, siapa berani main-main denganku...?" bentaknya.
Ia menggoyang-goyangkan kepalanya yang sudah amat berat, lalu memandang ke arah pintu. Pada saat itu, segumpal asap putih, melayang masuk melalui pintu dan celah-celah bilik, asap yang berbau harum sekali, akan tetapi yang memiliki daya yang luar biasa, sehingga Endang Patibroto yang mencium keharuman asap ini terkejut dan maklum bahwa itulah semacam racun pemabuk yang amat berbahaya! Ia mengerahkan hawa sakti di tubuhnya, bangkit berdiri hendak lari keluar dari kamar. Namun, kedua kakinya terasa lemas, kepalanya pening dan kamar serasa berputaran, kemudian ia tak dapat mempertahankan diri lagi, roboh di atas lantai.
Endang Patibroto maklum bahwa ia terkena racun, bahwa ia terperosok kedalam perangkap yang dipasang lawan. Mungkin Ki Jatoko bersekutu dengan orang lain. Ah, kubunuh dia... kubunuh... dia! Akan tetapi ia hanya dapat merangkak, tak dapat bangun lagi. Celaka, aku akan tertawan. Kalau pusaka ini terampas musuh, habis harapan!
Berpikir demikian, gadis yang sakti dan berani ini lalu menggunakan keris pusakanya untuk menggali tanah, kemudian ia menanam keris pusaka Brojol Luwuk di dalam tanah, di lantai kamar itu. Ditutupinya kembali lantai itu dengan jerami kering sehingga tidak tampak bekasnya. Namun ia telah terlampau lama bertahan, terlampau banyak mengerahkan tenaga sakti sehingga setelah ia selesai menanam keris pusaka, begitu ia bernapas panjang dengan lapang, tubuhnya roboh miring di atas lantai dan tertidurlah Endang Patibroto, tidur yang tidak sewajarnya, tidur seperti orang pingsan…..!
Komentar
Posting Komentar