BADAI LAUT SELATAN : JILID-20
Pada saat Kartikosari menerjang dan terlibat dalam pertandingan seru
dengan Cekel Aksomolo, Joko Wandiro berdiri terbelalak kagum. Sudah
banyak ia melihat laki-laki sakti, jagoan-jagoan yang pandai. Akan
tetapi baru kali ini ia menyaksikan seorang wanita berkelahi dengan cara
yang demikian mengagumkan. Apalagi ketika ia mengenal gerakan-gerakan
ayahnya, ia makin terpesona. Tadi ketika Cekel Aksomolo bertanding
melawan Ki Tejoranu, tahu-tahu wanita ini muncul dan sekali mengurut
pundaknya, ia dapat bangun. Akan tetapi sebelum Joko Wandiro sempat
bertanya, Cekel Aksomolo yang telah merobohkan Ki Tejoranu telah
menghadapi penolongnya. Kini mereka berdua bertanding hebat, Joko
Wandiro memandang kagum akan tetapi juga khawatir karena ia maklum
betapa kakek bongkok itu benar- benar berbahaya dan sakti.
Pada saat itu, ia merasa ada angin bertiup di belakangnya dan disusul napas terengah seorang manusia. Joko Wandiro cepat membalikkan tubuhnya, siap menghadapi serangan lawan. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat seorang anak perempuan sebaya dengannya, hanya satu dua tahun lebih muda, anak yang berwajah seperti bulan dan bermata seperti bintang, berdiri dengan napas terengah-engah memandang pertempuran. Agaknya anak ini telah berlari jauh dan cepat maka sampai terengah-engah napasnya.
Melihat anak ini memandang pertempuran dengan mata terbelalak, Joko Wandiro menyangka dia ketakutan dan ngeri, maka katanya, "Kau siapa? Anak kecil tidak boleh di sini, berbahaya. Tidak kaulihat ada orang bertempur? Pergilah!"
Tangannya bergerak mendorong ke arah pundak untuk menakut-nakuti dan menyuruh anak itu pergi, akan tetapi hanya dengan gerakan miringkan tubuh, dorongannya tidak mengenai sasaran dan anak perempuan itu kini memandangnya dengan mata marah dan mulut cemberut.
"Lagaknya seperti orang tua saja! Apakah kau juga bukan anak kecil? Tentu kau anak monyet itu!"
Dan tiba-tiba sekali, benar-benar di luar dugaan Joko Wandiro, anak perempuan itu telah menerjang dan menghantam dadanya dengan kepalan tangannya yang kecil. Serangan ini amat cepat dan juga sama sekali tidak disangka-sangka, maka Joko Wandiro tidak sempat mengelak lagi.
"Bukk!"
Joko Wandiro roboh terjengkang, mengelus dadanya yang terpukul karena merasa sakit. Benar-benar ia heran luar biasa bagaimana ada seorang anak perempuan memiliki pukulan yang begini ampuh, cukup kuat sehingga ia sesak bernapas. Gerakannya cepat sekali dan melihat cara anak ini memukul, jelas bahwa anak ini memiliki ilmu berkelahi yang sama sekali tidak rendah! Melihat Joko Wandiro hanya jatuh terduduk saja oleh pukulannya tadi, anak perempuan itu marah-marah,
"Kau masih belum rebah mampus?" teriaknya dan kini dengan gerakan yang benar-benar dahsyat dan cepat dia telah menendang ke arah muka Joko Wandiro yang masih terheran-heran. Akan tetapi kali ini Joko Wandiro tidak berani berlaku lengah. Cepat ia mengelak dan meloncat bangun.
"Wah, kau ini bocah setan begini galak dan keji!"
Joko Wandiro berseru karena anak itu sudah menerjangnya lagi kalang-kabut. Sebuah pukulan secara aneh sekali telah bersarang di perutnya membuat ia terhuyung ke belakang. Hebat dan cepat gerakan anak perempuan itu. Kalau ia tadi menangkis lalu membalas tentu ia akan dapat mendahului, akan tetapi karena Joko Wandiro tidak mau menyerang anak perempuan, maka ia lagi-lagi terkena pukulan. Perutnya menjadi mulas dan ia mulai marah.
"Kau ini bukan bocah perempuan, kau seperti kucing mabok!" katanya dan menangkis kuat-kuat, bahkan balas menampar ke arah pipi anak itu. Anak itu mengelak sambil meloncat mundur, kedua pipinya yang tadi terkena tamparan itu menjadi merah sekali,
"Apa kau bilang?" Telunjuknya yang kecil menuding ke arah hidung Joko Wandiro, seperti hendak menusuk lubang hidungnya. "Aku kucing? Kalau begitu kau monyet! Kau celeng goteng! Kau kirik (anak anjing) bungkik!"
"Wah-wah, galak dan tukang maki. Kau ini bocah manakah sih begini kurang ajar? Hayo pergi, kalau tidak tentu kutempiling kau!" Joko Wandiro marah, melangkah maju dan mengancam dengan kedua tangan terkepal.
"Kau berani menempiling aku? Coba! Hayo coba! Dua kali sudah kuhantam engkau, yang ketiga kalinya tentu kau takkan dapat bangun lagi!"
Anak perempuan itu memekik dan menyerang lagi lebih dahsyat dari pada tadi. Joko Wandiro yang sudah marah dan penasaran, menangkis dan balas menyerang. Alangkah kaget dan herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa gerakan anak perempuan ini sama dengan gerakan-gerakannya!
Sementara itu Kartikosari merupakan lawan yang kuat bagi Cekel Aksomolo. Biarpun kakek itu memiliki tasbih mujijat, namun Kartikosari dapat menghadapinya dengan baik. Kedua tangan wanita ini ampuh sekali, apalagi dibantu dengan tendangan-tendangan kaki yang tak terduga-duga. Setelah serangan-serangannya gagal dan ia mendapat kenyataan bahwa kakek bongkok itu tidaklah selemah yang ia kira semula, Kartikosari mencabut sebatang keris kecil dari pinggangnya dan kini dengan keris di tangan kanan untuk menyerang, tangan kirinya berusaha mencengkeram dan merampas tasbih.
Kagetlah Cekel Aksomolo. Tak disangkanya wanita muda yang cantik jelita ini demikian perkasa. Dan ketika ada dua sinar golok menyambar sebagai tanda bahwa Ki Tejoranu sudah maju pula mengeroyoknya, diam-diam Cekel Aksomolo mengeluh. Menghadapi wanita cantik ini saja ia sudah repot dan andai kata dapat menang juga akan makan waktu lama, apalagi sekarang ditambah sepasang golok Ki Tejoranu yang cukup ampuh, bisa- bisa ia mati konyol! Maka ia tiba-tiba membunyikan tasbihnya dan menyerang hebat.
Ki Tejoranu yang sudah terluka hebat itu cepat meloncat mundur dan Kartikosari juga kaget dan cepat mundur memasang kuda-kuda. Saat itu dipergunakan oleh Cekel Aksomolo untuk mencelat ke belakang dan melarikan diri. Ki Tejoranu cepat maju dan memberi hormat kepada Kartikosari, berkata kagum,
"Nona yang gagah pelkasa telah menolong saya olang tua yang tiada guna, sungguh melupakan budi besal."
Akan tetapi Kartikosari tidak menjawab karena perhatiannya tertarik oleh gerakan-gerakan di belakangnya. Ketika ia menoleh, ia melihat dua orang anak itu masih saling serang dengan gerakan cepat. Ia tertegun sejenak, kagum menyaksikan gerakan mereka yang jelas sealiran. Akan tetapi ia pun dapat melihat bahwa anak perempuan itu yang lebih banyak menyerang, sedangkan anak laki-laki itu lebih banyak mengalah, menangkis dan mengelak.
"Endang! Berhenti, jangan pukul orang!"
Suaranya merdu akan tetapi berpengaruh karena anak perempuan itu meloncat mundur, mencibirkan bibir bawah yang merah kepada Joko Wandiro sambil berkata perlahan,
"Untung kau, ibu melarang, kalau tidak... hemmm...!"
Joko Wandiro mendongkol, akan tetapi lega hatinya karena tidak harus melayani anak perempuan liar dan galak ini. Ia menengok dan memandang wanita itu penuh kagum. Kartikosari sudah menghadapi Ki Tejoranu lagi sambil mengeluarkan pertanyaan halus,
"Kau terluka, paman?"
Ki Tejoranu menoleh ke arah pundak kirinya. Ia tadi sudah merobek baju di sebelah kiri dan tahu bahwa pundaknya terluka biji tasbih yang berbisa sehingga pundaknya memperlihatkan luka menghitam.
"Ah, telkena senjata ganitli yang belbisa. Kakek itu benal jahat."
Kartikosari agak geli hatinya mendengar omongan yang pelo itu, dan ia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang asing.
"Syukur kalau kau dapat mengobatinya sendiri, kalau tidak, saya mempunyai obat widosari (semacam boreh) yang baik untuk memunahkan bisa."
"Telima kasih. Tidak usah, bisanya tidak amat jahat, tidak sejahat Cekel Aksomolo."
"Ah, dia Cekel Aksomolo? Pantas begitu sakti. Nah, paman, harap kau tinggalkan kami dan kuharap kau tidak usah sebut-sebut kehadiranku di sini."
Ki Tejoranu memandang penuh perhatian, lalu mengangguk-angguk.
"Nona telah menolong, saya tidak akan lupa."
Kemudian ia melangkah menghampiri Joko Wandiro dan mengangguk-angguk pula memberi hormat. "Saudala kecil amat gagah calon ksatlia, kelak kita beltemu lagi. Selamat... selamat...!" pergilah kakek itu dengan gerakan cepat sekali.
Kartikosari membalikkan tubuh memandang Joko Wandiro yang juga memandangnya dengan matanya yang tajam. "Eh, bocah, siapa namamu dan mengapa kau bertanding melawan anakku? Kau tadi tahu betapa aku telah menolongmu, mengapa kau membalas pertolongan orang dengan cara demikian?"
Joko Wandiro menundukkan mukanya, tak kuasa menentang kilatan sinar mata wanita itu, lalu menguatkan hati karena merasa tidak bersalah, memandang lagi dan menjawab, "Bibi yang baik, nama saya Joko Wandiro. Saya sama sekali tidak mengajak berkelahi boc.. ehh, adik ini, melainkan saya hanya membela diri karena diserang kalang-kabut. Selain itu, tadi saya tidak tahu bahwa dia... dia anak bibi. Maafkan, bibi."
Senang hati Kartikosari melihat anak tampan dan bertubuh tegap ini bicara secara jujur dan pandai membawa diri pula. Ia mengangguk-angguk dan berkata, "Gerakanmu bertanding tadi, dari siapa kau belajar?"
Kartikosari setengah menduga bahwa anak ini kalau bukan murid Pujo tentulah murid ayahnya, Resi Bhargowo. Akan tetapi alangkah herannya ketika ia mendengar jawaban yang tegas.
"Dari ayah saya."
"Ayahmu...? Siapakah nama ayahmu?"
"Namanya Pujo."
Berdegup jantung dalam dada Kartikosari. Lalu ia melirik ke arah puterinya, membanding-bandingkan. Anak laki -laki ini jelas lebih tua dari pada anaknya. Akan tetapi ia masih belum puas.
"Berapa usiamu sekarang?"
"Kata ayah usia saya dua belas tahun, bibi."
"Hemm, kalau begitu tak mungkin Pujo beristeri lagi dan mempunyai anak ini," pikir Kartikosari agak lega.
Akan tetapi mengapa Pujo bisa memiliki putera yang lebih tua dari pada anaknya?
"Siapakah ibumu?"
Joko Wandiro menggigit bibir, menekan perasaannya yang sakit, lalu menggeleng kepala. "Saya saya tidak tahu, bibi, mungkin sudah tidak ada di dunia ini..."
"Oohhhh... di mana dia sekarang?"
"Siapa, bibi?"
"Pujo itu, di mana dia?"
"Ayah?"
"Hemm, ya. Di mana dia?"
"Bibi mengenal ayah?" Joko Wandiro girang.
"Mengenal Pujo?" Kartikosari mengulang pertanyaan ini.
Bibirnya tersenyum akan tetapi hatinya serasa diremas-remas. Dia mengenal Pujo? Sungguh pertanyaan yang menggelikan, tapi juga menyedihkan. "Tentu saja. Di mana dia sekarang?"
"Ayah sejak dahulu tinggal di muara Sungai Lorog, bibi."
Mendengar ini Kartikosari serentak timbul niat di hatinya untuk menjumpai suaminya. Sudah lama sekali ia merindukan suaminya yang tercinta. Sekarangpun ia baru saja meninggalkan Karangracuk di pantai selatan untuk melakukan balas dendam, untuk mencari Wisangjiwo dan mencari suaminya. Ia menyimpan dendamnya sampai sepuluh tahun adalah karena ia ingin memperdalam ilmunya dan di samping itu, ia pun tidak dapat meninggalkan Endang Patibroto yang masih kecil.
Kini anaknya sudah berusia sepuluh tahun, sudah cukup besar dan kuat diajak melakukan perjalanan jauh. Siapa kira, suaminya itu berada di muara Sungai Lorog, di pantai Laut Selatan pula yang tidak berapa jauhnya dari tempat tinggalnya sendiri. Apalagi kalau melakukan perjalanan dari Karangracuk terus menyusuri sepanjang pantai Laut Selatan menuju ke timur, dengan ilmu lari cepat agaknya dalam waktu dua hari saja paling lama tentu akan sampai!
"Endang, kau kembalilah ke pantai bersama anak ini. Ibumu akan pergi selama sepekan. Kalian berdua tunggu kembaliku di pantai dan jangan berkelahi lagi!"
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah Kartikosari dari depan kedua anak itu. Joko Wandiro masih termenung karena kagum melihat gerakan yang luar biasa cepatnya itu dan ia kaget ketika tiba-tiba punggungnya disodok siku dari belakang Ia menoleh dan ternyata yang menyikunya adalah anak perempuan tadi! Anak itu memandangnya, penuh tantangan.
"Mau apa kau?" Ia menegur marah.
Anak perempuan itu menjelajahi tubuhnya dari kaki ke kepala dengan pandang mata menilai, lalu berkata, "Sekarang ibuku telah pergi. Hayo kita lanjutkan adu tebalnya kulit kerasnya tulang!"
Mau tak mau Joko Wandiro tersenyum. Anak perempuan ini memang luar biasa sekali dan ia tidak bisa mengharapkan lain dari anak seorang wanita sakti seperti tadi. Anak ini agaknya dimanja dan tak pernah mau kalah, pikirnya. Ia maklum bahwa kalau ia bersungguh-sungguh, biarpun tidak mudah namun ia pasti akan dapat menangkan anak perempuan ini. Akan tetapi anak ini adalah anak wanita cantik tadi yang telah menolong nyawanya, bagaimana ia dapat menjadi lawan? Kalau sampai kesalahan pukul, bukankah ibunya akan marah kalau pulang nanti? Dan pula, ia tidak tega untuk memukul kulit yang kelihatannya halus tipis itu.
"Eh, ditantang berkelahi kok malah mesam-mesem (senyum-senyum)! Hayo, kalau kau memang laki-laki gagah. Kalau bisa kalahkan Endang Patibroto barulah kau benar-benar perkasa!"
Anak perempuan itu berdiri memasang kuda-kuda, menggerak-gerakkan kedua tangannya yang jari-jarinya dibuka seperti kuku burung elang. Terdengar bunyi angina perlahan bercuitan dari jari-jari ini dan diam-diam Joko Wandiro terkejut. Itulah ilmu pukulan yang luar biasa ampuhnya! Mengapa tadi anak itu tidak mengeluarkan ilmu pukulan ini? Dia merasa ragu- ragu apakah akan mampu menghadapi tangan yang telah memiliki tenaga sakti seperti itu.
Tentu saja ia tidak tahu bahwa karena tidak mau kalah, Endang Patibroto ini sengaja memperlihatkan ilmu simpanan yang ia pelajari dari ibunya. Ilmu ini adalah ciptaan ibunya sendiri yang mengambil inti gerakan burung-burung walet dan elang laut. Ibunya telah mengancamnya agar jangan menggunakan ilmu ini karena selain belum sempurna dipelajari, juga ilmu ini hanya boleh digunakan kalau keadaan betul-betul mendesak. Kini ibunya tidak ada maka timbul keberaniannya untuk memamerkan di depan Joko Wandiro!
"Sudahlah, aku terima kalah. Ibumu begitu baik menolongku, mengapa engkau begini galak?"
Setelah berkata demikian, Joko Wandiro membalikkan tubuhnya lalu duduk di atas sebuah batu hitam besar di bawah pohon asem. Di dekat kakinya banyak terdapat buah-buah asem yang rontok, buahnya sudah matang. Dipilihnya beberapa biji dan dikupasnya perlahan, lalu dimakannya daging asem yang matang berwarna merah kehitaman itu. Rasanya masam-masam manis. Rasa masam membuat kedua pelupuk matanya bergetar dan melihat ini, Endang Patibroto tak dapat menahan lagi air liurnya. Menyaksikan orang makan yang asam-masam memang bisa membikin mulut kemecer (mengeluarkan liur)! Joko Wandiro melihat betapa anak perempuan itu beberapa kali menelan ludah, tersenyum dan memilih beberapa buah asem matang, mengangsurkannya kepada Endang Patibroto.
"Enak yang kemampo (setengah matang) begini!"
Endang Patibroto masih memasang kuda-kuda. Melihat betapa orang yang ditantangnya tidak menyambut tantangannya malah menawarkan buah asem kemampo ia tertegun. Selama ini tidak banyak ia bergaul dengan orang lain. Ibunya melarangnya. Buah asempun belum pernah ia memakannya, kecuali buah asem yang dipergunakan ibunya membumbui ikan, itupun dimakan sebagai bumbu. Sikap dan senyum Joko Wandiro membuat ia kehilangan semangat bertempur, dan akhirnya ia menerima pemberian itu, duduk agak menjauhi dan mulai makan buah asem. Memang enak masam-masam manis. Akan tetapi rasa masam membuat kedua matanya kiyer-kiyer (tergetar setengah terpejam).
"lihhh, kecut sekali!" katanya.
Joko Wandiro tertawa karena lucu sekali melihat anak itu terkiyer-kiyer seperti itu. Endang Patibroto juga tertawa dan lenyaplah semua sisa rasa permusuhan dari dalam dada Endang.
"Namamu siapa?" tanya Endang sambil mengelamuti buah asem, matanya ketap-ketip menatap wajah Joko, mata yang seperti bintang.
"Namaku Joko Wandiro, dan kau?"
"Endang Patibroto "
"Wah, namamu bagus, terutama Patibroto itu..."
"Dan namamu buruk, lebih-lebih Wandiro itu!"
Keduanya terdiam, hanya saling pandang. Karena keduanya sejak kecil jarang bergaul dengan anak-anak berbeda kelamin, pernah melihatpun dalam kelompok banyak, maka kini mereka saling berhadapan merupakan pengalaman pertama dan keduanya merasa seakan-akan menghadapi sesuatu yang aneh dan membutuhkan perhatian.
Setelah kini Endang Patibroto tidak marah lagi, wajahnya tampak manis dan menyenangkan sekali bagi Joko Wandiro. Terutama sepasang mata yang lebar seperti bintang itu. Melihat gadis cilik itu duduknya mendeprok di atas rumput, Joko Wandiro menepuk-nepuk batu hitam di sebelahnya dan berkata, "Endang, marilah duduk di sini, enak duduk di sini."
Endang Patibroto menggeleng-geleng kepala.
"Di sini lebih enak!"
Wandiro menahan senyum. Anak ini benar-benar keras kepala. Rumput itu agak basah dan kotor, bagaimana enak diduduki? "Mungkin lebih enak, akan tetapi hati-hati, kalau ada ulat berbulu dan semut api menggigit kakimu!"
Seketika Endang melompat bangun dan menggerak-gerakkan kedua pundaknya karena ngeri dan jijik, lalu berjalan perlahan menghampiri Wandiro, duduk di atas batu.
"Kau bilang tadi ibumu sudah tiada...?"
Joko Wandiro mengangguk sunyi, matanya redup dan keningnya agak berkerut. Melihat ini, Endang Patibroto cepat-cepat menyambung, "Ibuku masih ada, akan tetapi ayahku pun sudah tiada. Engkau tak beribu, aku tak berbapa, jadi sama nilainya. Kita sama-sama anak yatim."
Joko Wandiro mengangguk-angguk, wajahnya masih muram. Dalam hatinya ia membantah. Kau mana tahu, pikirnya. Kehilangan ibu bukanlah suatu hal yang amat menyakitkan hati, akan tetapi mendengar ibu diperkosa orang!
"Joko, kenapa kau diam saja? Seperti arca!"
Teguran disertai sentuhan pada lengannya ini menyadarkan Joko Wandiro. Ia menoleh dan melihat anak perempuan itu tersenyum. Akibatnya luar biasa sekali. Seketika lenyap semua renungan buruk dan bagaikan terkena aliran aneh wajah Joko Wandiro juga murah cerah, tersenyum dan kemudian keduanya tertawa girang!
"Hayo kita berangkat!"
"Berangkat? Ke mana?"
"Ihh, bagaimana sih engkau ini? Bukankah tadi ibu berpesan agar kita kembali ke pantai, ke pondok kami dan menanti ibu di sana selama sepekan? Marilah!"
Joko Wandiro menggeleng kepala.
"Tidak, aku harus lekas pulang. Ayah akan mencari-cari dan menanti-nantiku."
"Eh, mengapa begitu? Kau dengar tadi. Ibuku sedang pergi mencari ayahmu, tentu ibuku akan memberi tahu bahwa engkau berada di sini bersamaku."
"Mengapa ibumu mencari ayahku?"
"Siapa tahu?" Tiba-tiba gadis cilik itu tertawa geli, matanya yang lebar memancarkan sinar berseri dan ia berkata, "Siapa tahu, ayahmu dan ibuku itu sahabat-sahabat baik dan...eh, kalau saja mereka bersatu"
"Hah...?" Joko Wandiro terbelalak heran dan kaget, tidak segera dapat menangkap maksud kata-kata yang tersendat-sendat itu.
"Ibuku menjadi ibumu, ayahmu menjadi ayahku. Bukankah itu baik sekali? Kau mendapatkan ibu baru, aku mendapatkan ayah baru, dan kita menjadi kakak-beradik!"
Serentak gadis cilik itu menari-nari kegirangan, berjingkrak-jingkrak dan berputaran amatlah lincahnya. Joko Wandiro tertegun dan termenung. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, dalam hati ia tidak setuju, akan tetapi menyaksikan kegembiraan gadis cilik ini, ia tidak tega untuk membantahnya.
"Hayo kita berangkat ke pantai!" akhirnya Endang mengajaknya.
Dia menggeleng kepala. "Kurasa lebih baik aku pulang sekarang."
Endang Patibroto cemberut dan membanting-banting kaki kirinya, merajuk.
"Apakah kau tidak mau menemaniku? Kau membiarkan aku sendirian pulang ke pantai yang sunyi dan jauh? Apakah kau tidak suka menjadi kakakku?"
Di dalam suara anak perempuan ini terkandung isak tertahan, terkandung rindu akan kasih sayang saudara yang tak pernah dirasainya, terkandung rasa rindu akan teman bermain yang tak pernah pula dirasainya. Joko Wandiro terharu, apalagi kalau mengingat betapa ibu gadis cilik ini telah menyelamatkannya dari pada bahaya maut. Ia mengeraskan hati. Biarlah aku dimarahi ayah kalau perlu. Kasihan dia ini. Ia mengangguk dan berkata tegas,
"Baiklah. Kutemani kau sampai ibumu pulang."
Endang Patibroto bersorak, lalu menyambar tangan Joko Wandiro, ditariknya dan diajaknya lari menuju ke selatan, keluar dari dalam hutan itu. Joko Wandiro hanya tersenyum-senyum dan ia makin tertarik kepada gadis cilik yang amat lincah, galak, mudah marah dan mudah gembira, berwatak aneh ini. Akan tetapi tidak lama kedua orang anak ini berlari-lari sambil tertawa- tawa gembira. Belum juga habis hutan itu mereka tembusi, tiba-tiba mereka berhenti lari dan berdiri terbelalak kaget.
Di depan mereka menghadang lima orang laki-laki tinggi besar yang semua membawa golok di tangan, dengan sikap mengancam memandang mereka berdua. Mereka itu adalah lima orang perampok yang tiga hari yang lalu bersama Cekel Aksomolo. Mereka mengejar dan mencari jejak Ki Tejoranu yang menuju ke hutan ini, maka sampailah mereka ke dalam hutan ini. Sungguh tak mereka sangka bahwa yang mereka temukan bukanlah Ki Tejoranu yang mereka cari-cari, melainkan Joko Wandiro bocah yang pernah membuat mereka kalang-kabut. Tentu saja dapat dibayangkan kemarahan mereka melihat anak ini. Terutama sekali perampok bermata juling yang pernah jatuh bangun oleh Joko Wandiro. Kemarahannya memuncak dan hatinya girang bukan main melihat bocah ini sekarang berada di depannya.
"Hoh-hoh-hoh, keketulan sekali! Kelinci muda mendekati mulut harimau kelaparan! Hayo, anak setan, kau akan lari ke mana sekarang?" bentaknya, goloknya siap membacok. "Uwah, Ki roko, cincang saja tubuhnya si bocah iblis!" seru perampok baju hitam di belakangnya.
"Hayo, kita bunuh dia, akan tetapi bocah ayu itu jangan dibunuh! Kuncup bunga yang belum mekar itu sayang kalau dibunun, ha-ha-hah!" kata perampok ke tiga yang wajahnya pucat.
Melihat lagak para perampok yang tertawa-tawa dan air ludah mereka menyemprot-nyemprot itu, Endang Patibroto ketakutan. Benar ia seorang anak yang sejak kecil menerima gemblengan ibunya di pantai Laut Selatan, akan tetapi belum pernah ia bertemu dengan orang-orang yang begini buas dan berwajah menyeramkan. Para petani yang pernah ia temui berwajah sabar dan manis budi, tidak seperti binatang buas sikapnya.
Rasa takut membuat ia cepat bersembunyi di belakang Joko Wandiro dan telapak tangannya dingin ketika ia memegang lengan temannya. Juga Joko Wandiro merasa terkejut, gelisah. Ia sendiri tidak takut menghadapi lima orang buas itu, akan tetapi sekarang ia bersama Endang Patibroto yang harus ia lindungi. Keringat dingin menitik turun dari dahinya ketika bocah pemberani ini mendorong temannya supaya mundur sambil membentak.
"Kalian berlima mau apakah? Di antara kalian dan aku tidak ada urusan apa-apa, apa kesalahanku sehingga kalian mengancam hendak membunuhku?"
"Ho-ho-ho-ha-ha-ha! Kau ketakutan sekarang, anak setan?"
Si juling tertawa mengejek dan mengangkat goloknya menakut-nakuti. Joko Wandiro siap waspada, memasang kuda-kuda dan menjawab,
"Aku tidak takut karena aku tidak bersalah apa-apa. Orang yang berbuat salah, dialah yang akan ketakutan selama hidupnya!" Ia meniru wejangan ayahnya.
"Huah-ha-ha, bocah sombong, bocah setan. Kematian sudah di depan mata, lekas kau berlutut minta ampun di depan kakiku!" Si juling mengancam lagi.
"Kalau aku bersalah, tanpa kau paksa aku suka minta ampun. Akan tetapi apakah kesalahanku?"
"Kau berani membantah? Minta kucincang kepalamu?"
Golok itu diangkat tinggi-tinggi, mulutnya menyeringai lebar memperlihatkan gigi yang besar-besar dan kuning, matanya makin menjuling lagi sehingga seakan menjadi satu di pinggir hidung. Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan sesosok bayangan berkelebat dari belakang tubuh Joko Wandiro. Bayangan itu menubruk ke depan dan...
"Cesssss...!"
Sebuah cundrik (keris kecil) menancap di perut perampok mata juling itu. Cepat gerakan Endang Patibroto ini dan sama sekali tidak pernah tersangka oleh perampok mata juling, bahkan tidak tersangka oleh Joko Wandiro yang menjadi kaget sekali. Cepat pula Endang Patibroto mencelat ke belakang mencabut cundriknya dan…
"Currrrr…!" darah merah muncrat-muncrat dari perut yang gendut.
"...apa...? Aduhh... wah...!"
Si mata juling mendekap perutnya dengan tangan kiri, matanya sejenak terbelalak mengawasi darahnya yang mengucur melalui celah-celah jari tangannya, kemudian ia terbelalak memandang gadis cilik yang berdiri di samping Joko Wandiro dengan cundrik di tangan, cundrik yang merah ujungnya karena darah! Kini Endang Patibroto sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan sepasang matanya yang lebar itu nampak beringas dan liar.
"Endang... kau... kenapa kau lakukan itu...?"
Joko Wandiro bertanya gagap. Dia sendiri juga seorang anak gemblengan, akan tetapi selama hidupnya belum pernah ia melukai orang sampai darah bercucuran dari perutnya seperti itu, maka ia pun merasa ngeri. Akan tetapi Endang Patibroto menjawab tegas, "Dia mau membunuhmu, si keparat! Biar kubunuh mereka semua!"
Jawaban ini selain mengagetkan Joko Wandiro, juga membuat para perampok itu marah sekali. Bahkan perampok muka pucat yang tadi tertarik oleh kecantikan wajah gadis cilik ini, sekarang menjadi marah sekali.
"Bunuh mereka! Bunuh kedua setan cilik ini!"
Si mata juling yang lebih dulu mengamuk. Goloknya menyambar dan kini yang ia terjang bukannya Joko Wandiro, melainkan Endang Patibroto yang telah melukai perutnya. Namun gadis cilik yang masih kanak-kanak, baru berusia sepuluh tahun itu memiliki gerakan yang amat gesit sehingga bacokan golok si juling meluncur mengenai tanah. Ia terengah-engeh, mendengus-dengus dan mencari-cari. Ternyata anak perempuan itu sudah meloncat dua meter jauhnya di sebelah kiri. Ia menggereng dan menerjang lagi, kini goloknya ia obat-abitkan sekuat tenaga sehingga merupakan gulungan sinar yang menghalang anak itu meloncat.
Endang Patibroto sejak kecil belajar ilmu silat, akan tetapi ia masih belum ada pengalaman sama sekali, maka melihat golok itu berkelebat ke kanan kiri, ia menjadi bingung. Sambil melangkah maju ia nekat menangkis dengan cundriknya.
"Cringgg..!" Cundrik itu terlepas dari tangannya, meluncur dan menancap ke atas tanah, tiga meter jauhnya.
"Heh-heh-heh, kucincang kepalamu, bocah keparat!" Si mata juling marah sekali, akan tetapi tiba-tiba tubuh Endang Patibroto sudah berkelebat ke depan, kemudian menggerakkan kedua tangannya seperti cakar burung.
Dua tangannya dengan jari-jari mencengkeram persis kaki burung elang itu membuat gerakan ke arah lengan besar si mata juling yang memegang golok, kemudian mencengkeram, yang kiri bergerak mundur yang kanan maju.
"Kreeeeekkkkk!"
Si mata juling berteriak keras sekali, goloknya terlepas dan lengan kanannya itu robek berikut kulit dan dagingnya! Demikian hebatnya ilmu simpanan yang diajarkan oleh Kartikosari kepada puterinya itu. Baru anak kecil berusia sepuluh tahun saja dengan ilmu ini sudah dapat merobek kulit, daging, dan baju lengan seorang yang kuat seperti perampok mata juling!
Sejenak perampok itu terbelalak, meringis kesakitan, lalu terhuyung-huyung mundur dengan muka ketakutan. Siapa yang takkan ngeri menghadapi bocah perempuan demikian kecilnya akan tetapi yang telah merobek perut dan lengannya? Apalagi darah yang terlalu banyak keluar membuat kepalanya pening dan pandang matanya berkunang. Akhirnya roboh terjerembab di bawah pohon.
Adapun empat orang perampok lain kini sudah menghujani Joko Wandiro dengan bacokan-bacokan golok. Mereka penasaran sekali karena sebegitu lama belum juga mereka mampu menyentuh anak itu dengan golok mereka. Memang mengagumkan sekali gerakan Joko Wandiro. Anak ini cerdik sekali dan maklum bahwa empat orang lawannya kuat-kuat pula memegang senjata tajam, ia tidak mau melawan dengan kekerasan, melainkan cepat menggunakan Aji Bayu Tantra, yaitu ilmu meringankan tubuh sambil berloncatan ke sana ke mari, mengelak ke kanan kiri, menyelinap di antara kilatan dan sambaran golok.....
Pada saat itu, ia merasa ada angin bertiup di belakangnya dan disusul napas terengah seorang manusia. Joko Wandiro cepat membalikkan tubuhnya, siap menghadapi serangan lawan. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat seorang anak perempuan sebaya dengannya, hanya satu dua tahun lebih muda, anak yang berwajah seperti bulan dan bermata seperti bintang, berdiri dengan napas terengah-engah memandang pertempuran. Agaknya anak ini telah berlari jauh dan cepat maka sampai terengah-engah napasnya.
Melihat anak ini memandang pertempuran dengan mata terbelalak, Joko Wandiro menyangka dia ketakutan dan ngeri, maka katanya, "Kau siapa? Anak kecil tidak boleh di sini, berbahaya. Tidak kaulihat ada orang bertempur? Pergilah!"
Tangannya bergerak mendorong ke arah pundak untuk menakut-nakuti dan menyuruh anak itu pergi, akan tetapi hanya dengan gerakan miringkan tubuh, dorongannya tidak mengenai sasaran dan anak perempuan itu kini memandangnya dengan mata marah dan mulut cemberut.
"Lagaknya seperti orang tua saja! Apakah kau juga bukan anak kecil? Tentu kau anak monyet itu!"
Dan tiba-tiba sekali, benar-benar di luar dugaan Joko Wandiro, anak perempuan itu telah menerjang dan menghantam dadanya dengan kepalan tangannya yang kecil. Serangan ini amat cepat dan juga sama sekali tidak disangka-sangka, maka Joko Wandiro tidak sempat mengelak lagi.
"Bukk!"
Joko Wandiro roboh terjengkang, mengelus dadanya yang terpukul karena merasa sakit. Benar-benar ia heran luar biasa bagaimana ada seorang anak perempuan memiliki pukulan yang begini ampuh, cukup kuat sehingga ia sesak bernapas. Gerakannya cepat sekali dan melihat cara anak ini memukul, jelas bahwa anak ini memiliki ilmu berkelahi yang sama sekali tidak rendah! Melihat Joko Wandiro hanya jatuh terduduk saja oleh pukulannya tadi, anak perempuan itu marah-marah,
"Kau masih belum rebah mampus?" teriaknya dan kini dengan gerakan yang benar-benar dahsyat dan cepat dia telah menendang ke arah muka Joko Wandiro yang masih terheran-heran. Akan tetapi kali ini Joko Wandiro tidak berani berlaku lengah. Cepat ia mengelak dan meloncat bangun.
"Wah, kau ini bocah setan begini galak dan keji!"
Joko Wandiro berseru karena anak itu sudah menerjangnya lagi kalang-kabut. Sebuah pukulan secara aneh sekali telah bersarang di perutnya membuat ia terhuyung ke belakang. Hebat dan cepat gerakan anak perempuan itu. Kalau ia tadi menangkis lalu membalas tentu ia akan dapat mendahului, akan tetapi karena Joko Wandiro tidak mau menyerang anak perempuan, maka ia lagi-lagi terkena pukulan. Perutnya menjadi mulas dan ia mulai marah.
"Kau ini bukan bocah perempuan, kau seperti kucing mabok!" katanya dan menangkis kuat-kuat, bahkan balas menampar ke arah pipi anak itu. Anak itu mengelak sambil meloncat mundur, kedua pipinya yang tadi terkena tamparan itu menjadi merah sekali,
"Apa kau bilang?" Telunjuknya yang kecil menuding ke arah hidung Joko Wandiro, seperti hendak menusuk lubang hidungnya. "Aku kucing? Kalau begitu kau monyet! Kau celeng goteng! Kau kirik (anak anjing) bungkik!"
"Wah-wah, galak dan tukang maki. Kau ini bocah manakah sih begini kurang ajar? Hayo pergi, kalau tidak tentu kutempiling kau!" Joko Wandiro marah, melangkah maju dan mengancam dengan kedua tangan terkepal.
"Kau berani menempiling aku? Coba! Hayo coba! Dua kali sudah kuhantam engkau, yang ketiga kalinya tentu kau takkan dapat bangun lagi!"
Anak perempuan itu memekik dan menyerang lagi lebih dahsyat dari pada tadi. Joko Wandiro yang sudah marah dan penasaran, menangkis dan balas menyerang. Alangkah kaget dan herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa gerakan anak perempuan ini sama dengan gerakan-gerakannya!
Sementara itu Kartikosari merupakan lawan yang kuat bagi Cekel Aksomolo. Biarpun kakek itu memiliki tasbih mujijat, namun Kartikosari dapat menghadapinya dengan baik. Kedua tangan wanita ini ampuh sekali, apalagi dibantu dengan tendangan-tendangan kaki yang tak terduga-duga. Setelah serangan-serangannya gagal dan ia mendapat kenyataan bahwa kakek bongkok itu tidaklah selemah yang ia kira semula, Kartikosari mencabut sebatang keris kecil dari pinggangnya dan kini dengan keris di tangan kanan untuk menyerang, tangan kirinya berusaha mencengkeram dan merampas tasbih.
Kagetlah Cekel Aksomolo. Tak disangkanya wanita muda yang cantik jelita ini demikian perkasa. Dan ketika ada dua sinar golok menyambar sebagai tanda bahwa Ki Tejoranu sudah maju pula mengeroyoknya, diam-diam Cekel Aksomolo mengeluh. Menghadapi wanita cantik ini saja ia sudah repot dan andai kata dapat menang juga akan makan waktu lama, apalagi sekarang ditambah sepasang golok Ki Tejoranu yang cukup ampuh, bisa- bisa ia mati konyol! Maka ia tiba-tiba membunyikan tasbihnya dan menyerang hebat.
Ki Tejoranu yang sudah terluka hebat itu cepat meloncat mundur dan Kartikosari juga kaget dan cepat mundur memasang kuda-kuda. Saat itu dipergunakan oleh Cekel Aksomolo untuk mencelat ke belakang dan melarikan diri. Ki Tejoranu cepat maju dan memberi hormat kepada Kartikosari, berkata kagum,
"Nona yang gagah pelkasa telah menolong saya olang tua yang tiada guna, sungguh melupakan budi besal."
Akan tetapi Kartikosari tidak menjawab karena perhatiannya tertarik oleh gerakan-gerakan di belakangnya. Ketika ia menoleh, ia melihat dua orang anak itu masih saling serang dengan gerakan cepat. Ia tertegun sejenak, kagum menyaksikan gerakan mereka yang jelas sealiran. Akan tetapi ia pun dapat melihat bahwa anak perempuan itu yang lebih banyak menyerang, sedangkan anak laki-laki itu lebih banyak mengalah, menangkis dan mengelak.
"Endang! Berhenti, jangan pukul orang!"
Suaranya merdu akan tetapi berpengaruh karena anak perempuan itu meloncat mundur, mencibirkan bibir bawah yang merah kepada Joko Wandiro sambil berkata perlahan,
"Untung kau, ibu melarang, kalau tidak... hemmm...!"
Joko Wandiro mendongkol, akan tetapi lega hatinya karena tidak harus melayani anak perempuan liar dan galak ini. Ia menengok dan memandang wanita itu penuh kagum. Kartikosari sudah menghadapi Ki Tejoranu lagi sambil mengeluarkan pertanyaan halus,
"Kau terluka, paman?"
Ki Tejoranu menoleh ke arah pundak kirinya. Ia tadi sudah merobek baju di sebelah kiri dan tahu bahwa pundaknya terluka biji tasbih yang berbisa sehingga pundaknya memperlihatkan luka menghitam.
"Ah, telkena senjata ganitli yang belbisa. Kakek itu benal jahat."
Kartikosari agak geli hatinya mendengar omongan yang pelo itu, dan ia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang asing.
"Syukur kalau kau dapat mengobatinya sendiri, kalau tidak, saya mempunyai obat widosari (semacam boreh) yang baik untuk memunahkan bisa."
"Telima kasih. Tidak usah, bisanya tidak amat jahat, tidak sejahat Cekel Aksomolo."
"Ah, dia Cekel Aksomolo? Pantas begitu sakti. Nah, paman, harap kau tinggalkan kami dan kuharap kau tidak usah sebut-sebut kehadiranku di sini."
Ki Tejoranu memandang penuh perhatian, lalu mengangguk-angguk.
"Nona telah menolong, saya tidak akan lupa."
Kemudian ia melangkah menghampiri Joko Wandiro dan mengangguk-angguk pula memberi hormat. "Saudala kecil amat gagah calon ksatlia, kelak kita beltemu lagi. Selamat... selamat...!" pergilah kakek itu dengan gerakan cepat sekali.
Kartikosari membalikkan tubuh memandang Joko Wandiro yang juga memandangnya dengan matanya yang tajam. "Eh, bocah, siapa namamu dan mengapa kau bertanding melawan anakku? Kau tadi tahu betapa aku telah menolongmu, mengapa kau membalas pertolongan orang dengan cara demikian?"
Joko Wandiro menundukkan mukanya, tak kuasa menentang kilatan sinar mata wanita itu, lalu menguatkan hati karena merasa tidak bersalah, memandang lagi dan menjawab, "Bibi yang baik, nama saya Joko Wandiro. Saya sama sekali tidak mengajak berkelahi boc.. ehh, adik ini, melainkan saya hanya membela diri karena diserang kalang-kabut. Selain itu, tadi saya tidak tahu bahwa dia... dia anak bibi. Maafkan, bibi."
Senang hati Kartikosari melihat anak tampan dan bertubuh tegap ini bicara secara jujur dan pandai membawa diri pula. Ia mengangguk-angguk dan berkata, "Gerakanmu bertanding tadi, dari siapa kau belajar?"
Kartikosari setengah menduga bahwa anak ini kalau bukan murid Pujo tentulah murid ayahnya, Resi Bhargowo. Akan tetapi alangkah herannya ketika ia mendengar jawaban yang tegas.
"Dari ayah saya."
"Ayahmu...? Siapakah nama ayahmu?"
"Namanya Pujo."
Berdegup jantung dalam dada Kartikosari. Lalu ia melirik ke arah puterinya, membanding-bandingkan. Anak laki -laki ini jelas lebih tua dari pada anaknya. Akan tetapi ia masih belum puas.
"Berapa usiamu sekarang?"
"Kata ayah usia saya dua belas tahun, bibi."
"Hemm, kalau begitu tak mungkin Pujo beristeri lagi dan mempunyai anak ini," pikir Kartikosari agak lega.
Akan tetapi mengapa Pujo bisa memiliki putera yang lebih tua dari pada anaknya?
"Siapakah ibumu?"
Joko Wandiro menggigit bibir, menekan perasaannya yang sakit, lalu menggeleng kepala. "Saya saya tidak tahu, bibi, mungkin sudah tidak ada di dunia ini..."
"Oohhhh... di mana dia sekarang?"
"Siapa, bibi?"
"Pujo itu, di mana dia?"
"Ayah?"
"Hemm, ya. Di mana dia?"
"Bibi mengenal ayah?" Joko Wandiro girang.
"Mengenal Pujo?" Kartikosari mengulang pertanyaan ini.
Bibirnya tersenyum akan tetapi hatinya serasa diremas-remas. Dia mengenal Pujo? Sungguh pertanyaan yang menggelikan, tapi juga menyedihkan. "Tentu saja. Di mana dia sekarang?"
"Ayah sejak dahulu tinggal di muara Sungai Lorog, bibi."
Mendengar ini Kartikosari serentak timbul niat di hatinya untuk menjumpai suaminya. Sudah lama sekali ia merindukan suaminya yang tercinta. Sekarangpun ia baru saja meninggalkan Karangracuk di pantai selatan untuk melakukan balas dendam, untuk mencari Wisangjiwo dan mencari suaminya. Ia menyimpan dendamnya sampai sepuluh tahun adalah karena ia ingin memperdalam ilmunya dan di samping itu, ia pun tidak dapat meninggalkan Endang Patibroto yang masih kecil.
Kini anaknya sudah berusia sepuluh tahun, sudah cukup besar dan kuat diajak melakukan perjalanan jauh. Siapa kira, suaminya itu berada di muara Sungai Lorog, di pantai Laut Selatan pula yang tidak berapa jauhnya dari tempat tinggalnya sendiri. Apalagi kalau melakukan perjalanan dari Karangracuk terus menyusuri sepanjang pantai Laut Selatan menuju ke timur, dengan ilmu lari cepat agaknya dalam waktu dua hari saja paling lama tentu akan sampai!
"Endang, kau kembalilah ke pantai bersama anak ini. Ibumu akan pergi selama sepekan. Kalian berdua tunggu kembaliku di pantai dan jangan berkelahi lagi!"
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah Kartikosari dari depan kedua anak itu. Joko Wandiro masih termenung karena kagum melihat gerakan yang luar biasa cepatnya itu dan ia kaget ketika tiba-tiba punggungnya disodok siku dari belakang Ia menoleh dan ternyata yang menyikunya adalah anak perempuan tadi! Anak itu memandangnya, penuh tantangan.
"Mau apa kau?" Ia menegur marah.
Anak perempuan itu menjelajahi tubuhnya dari kaki ke kepala dengan pandang mata menilai, lalu berkata, "Sekarang ibuku telah pergi. Hayo kita lanjutkan adu tebalnya kulit kerasnya tulang!"
Mau tak mau Joko Wandiro tersenyum. Anak perempuan ini memang luar biasa sekali dan ia tidak bisa mengharapkan lain dari anak seorang wanita sakti seperti tadi. Anak ini agaknya dimanja dan tak pernah mau kalah, pikirnya. Ia maklum bahwa kalau ia bersungguh-sungguh, biarpun tidak mudah namun ia pasti akan dapat menangkan anak perempuan ini. Akan tetapi anak ini adalah anak wanita cantik tadi yang telah menolong nyawanya, bagaimana ia dapat menjadi lawan? Kalau sampai kesalahan pukul, bukankah ibunya akan marah kalau pulang nanti? Dan pula, ia tidak tega untuk memukul kulit yang kelihatannya halus tipis itu.
"Eh, ditantang berkelahi kok malah mesam-mesem (senyum-senyum)! Hayo, kalau kau memang laki-laki gagah. Kalau bisa kalahkan Endang Patibroto barulah kau benar-benar perkasa!"
Anak perempuan itu berdiri memasang kuda-kuda, menggerak-gerakkan kedua tangannya yang jari-jarinya dibuka seperti kuku burung elang. Terdengar bunyi angina perlahan bercuitan dari jari-jari ini dan diam-diam Joko Wandiro terkejut. Itulah ilmu pukulan yang luar biasa ampuhnya! Mengapa tadi anak itu tidak mengeluarkan ilmu pukulan ini? Dia merasa ragu- ragu apakah akan mampu menghadapi tangan yang telah memiliki tenaga sakti seperti itu.
Tentu saja ia tidak tahu bahwa karena tidak mau kalah, Endang Patibroto ini sengaja memperlihatkan ilmu simpanan yang ia pelajari dari ibunya. Ilmu ini adalah ciptaan ibunya sendiri yang mengambil inti gerakan burung-burung walet dan elang laut. Ibunya telah mengancamnya agar jangan menggunakan ilmu ini karena selain belum sempurna dipelajari, juga ilmu ini hanya boleh digunakan kalau keadaan betul-betul mendesak. Kini ibunya tidak ada maka timbul keberaniannya untuk memamerkan di depan Joko Wandiro!
"Sudahlah, aku terima kalah. Ibumu begitu baik menolongku, mengapa engkau begini galak?"
Setelah berkata demikian, Joko Wandiro membalikkan tubuhnya lalu duduk di atas sebuah batu hitam besar di bawah pohon asem. Di dekat kakinya banyak terdapat buah-buah asem yang rontok, buahnya sudah matang. Dipilihnya beberapa biji dan dikupasnya perlahan, lalu dimakannya daging asem yang matang berwarna merah kehitaman itu. Rasanya masam-masam manis. Rasa masam membuat kedua pelupuk matanya bergetar dan melihat ini, Endang Patibroto tak dapat menahan lagi air liurnya. Menyaksikan orang makan yang asam-masam memang bisa membikin mulut kemecer (mengeluarkan liur)! Joko Wandiro melihat betapa anak perempuan itu beberapa kali menelan ludah, tersenyum dan memilih beberapa buah asem matang, mengangsurkannya kepada Endang Patibroto.
"Enak yang kemampo (setengah matang) begini!"
Endang Patibroto masih memasang kuda-kuda. Melihat betapa orang yang ditantangnya tidak menyambut tantangannya malah menawarkan buah asem kemampo ia tertegun. Selama ini tidak banyak ia bergaul dengan orang lain. Ibunya melarangnya. Buah asempun belum pernah ia memakannya, kecuali buah asem yang dipergunakan ibunya membumbui ikan, itupun dimakan sebagai bumbu. Sikap dan senyum Joko Wandiro membuat ia kehilangan semangat bertempur, dan akhirnya ia menerima pemberian itu, duduk agak menjauhi dan mulai makan buah asem. Memang enak masam-masam manis. Akan tetapi rasa masam membuat kedua matanya kiyer-kiyer (tergetar setengah terpejam).
"lihhh, kecut sekali!" katanya.
Joko Wandiro tertawa karena lucu sekali melihat anak itu terkiyer-kiyer seperti itu. Endang Patibroto juga tertawa dan lenyaplah semua sisa rasa permusuhan dari dalam dada Endang.
"Namamu siapa?" tanya Endang sambil mengelamuti buah asem, matanya ketap-ketip menatap wajah Joko, mata yang seperti bintang.
"Namaku Joko Wandiro, dan kau?"
"Endang Patibroto "
"Wah, namamu bagus, terutama Patibroto itu..."
"Dan namamu buruk, lebih-lebih Wandiro itu!"
Keduanya terdiam, hanya saling pandang. Karena keduanya sejak kecil jarang bergaul dengan anak-anak berbeda kelamin, pernah melihatpun dalam kelompok banyak, maka kini mereka saling berhadapan merupakan pengalaman pertama dan keduanya merasa seakan-akan menghadapi sesuatu yang aneh dan membutuhkan perhatian.
Setelah kini Endang Patibroto tidak marah lagi, wajahnya tampak manis dan menyenangkan sekali bagi Joko Wandiro. Terutama sepasang mata yang lebar seperti bintang itu. Melihat gadis cilik itu duduknya mendeprok di atas rumput, Joko Wandiro menepuk-nepuk batu hitam di sebelahnya dan berkata, "Endang, marilah duduk di sini, enak duduk di sini."
Endang Patibroto menggeleng-geleng kepala.
"Di sini lebih enak!"
Wandiro menahan senyum. Anak ini benar-benar keras kepala. Rumput itu agak basah dan kotor, bagaimana enak diduduki? "Mungkin lebih enak, akan tetapi hati-hati, kalau ada ulat berbulu dan semut api menggigit kakimu!"
Seketika Endang melompat bangun dan menggerak-gerakkan kedua pundaknya karena ngeri dan jijik, lalu berjalan perlahan menghampiri Wandiro, duduk di atas batu.
"Kau bilang tadi ibumu sudah tiada...?"
Joko Wandiro mengangguk sunyi, matanya redup dan keningnya agak berkerut. Melihat ini, Endang Patibroto cepat-cepat menyambung, "Ibuku masih ada, akan tetapi ayahku pun sudah tiada. Engkau tak beribu, aku tak berbapa, jadi sama nilainya. Kita sama-sama anak yatim."
Joko Wandiro mengangguk-angguk, wajahnya masih muram. Dalam hatinya ia membantah. Kau mana tahu, pikirnya. Kehilangan ibu bukanlah suatu hal yang amat menyakitkan hati, akan tetapi mendengar ibu diperkosa orang!
"Joko, kenapa kau diam saja? Seperti arca!"
Teguran disertai sentuhan pada lengannya ini menyadarkan Joko Wandiro. Ia menoleh dan melihat anak perempuan itu tersenyum. Akibatnya luar biasa sekali. Seketika lenyap semua renungan buruk dan bagaikan terkena aliran aneh wajah Joko Wandiro juga murah cerah, tersenyum dan kemudian keduanya tertawa girang!
"Hayo kita berangkat!"
"Berangkat? Ke mana?"
"Ihh, bagaimana sih engkau ini? Bukankah tadi ibu berpesan agar kita kembali ke pantai, ke pondok kami dan menanti ibu di sana selama sepekan? Marilah!"
Joko Wandiro menggeleng kepala.
"Tidak, aku harus lekas pulang. Ayah akan mencari-cari dan menanti-nantiku."
"Eh, mengapa begitu? Kau dengar tadi. Ibuku sedang pergi mencari ayahmu, tentu ibuku akan memberi tahu bahwa engkau berada di sini bersamaku."
"Mengapa ibumu mencari ayahku?"
"Siapa tahu?" Tiba-tiba gadis cilik itu tertawa geli, matanya yang lebar memancarkan sinar berseri dan ia berkata, "Siapa tahu, ayahmu dan ibuku itu sahabat-sahabat baik dan...eh, kalau saja mereka bersatu"
"Hah...?" Joko Wandiro terbelalak heran dan kaget, tidak segera dapat menangkap maksud kata-kata yang tersendat-sendat itu.
"Ibuku menjadi ibumu, ayahmu menjadi ayahku. Bukankah itu baik sekali? Kau mendapatkan ibu baru, aku mendapatkan ayah baru, dan kita menjadi kakak-beradik!"
Serentak gadis cilik itu menari-nari kegirangan, berjingkrak-jingkrak dan berputaran amatlah lincahnya. Joko Wandiro tertegun dan termenung. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, dalam hati ia tidak setuju, akan tetapi menyaksikan kegembiraan gadis cilik ini, ia tidak tega untuk membantahnya.
"Hayo kita berangkat ke pantai!" akhirnya Endang mengajaknya.
Dia menggeleng kepala. "Kurasa lebih baik aku pulang sekarang."
Endang Patibroto cemberut dan membanting-banting kaki kirinya, merajuk.
"Apakah kau tidak mau menemaniku? Kau membiarkan aku sendirian pulang ke pantai yang sunyi dan jauh? Apakah kau tidak suka menjadi kakakku?"
Di dalam suara anak perempuan ini terkandung isak tertahan, terkandung rindu akan kasih sayang saudara yang tak pernah dirasainya, terkandung rasa rindu akan teman bermain yang tak pernah pula dirasainya. Joko Wandiro terharu, apalagi kalau mengingat betapa ibu gadis cilik ini telah menyelamatkannya dari pada bahaya maut. Ia mengeraskan hati. Biarlah aku dimarahi ayah kalau perlu. Kasihan dia ini. Ia mengangguk dan berkata tegas,
"Baiklah. Kutemani kau sampai ibumu pulang."
Endang Patibroto bersorak, lalu menyambar tangan Joko Wandiro, ditariknya dan diajaknya lari menuju ke selatan, keluar dari dalam hutan itu. Joko Wandiro hanya tersenyum-senyum dan ia makin tertarik kepada gadis cilik yang amat lincah, galak, mudah marah dan mudah gembira, berwatak aneh ini. Akan tetapi tidak lama kedua orang anak ini berlari-lari sambil tertawa- tawa gembira. Belum juga habis hutan itu mereka tembusi, tiba-tiba mereka berhenti lari dan berdiri terbelalak kaget.
Di depan mereka menghadang lima orang laki-laki tinggi besar yang semua membawa golok di tangan, dengan sikap mengancam memandang mereka berdua. Mereka itu adalah lima orang perampok yang tiga hari yang lalu bersama Cekel Aksomolo. Mereka mengejar dan mencari jejak Ki Tejoranu yang menuju ke hutan ini, maka sampailah mereka ke dalam hutan ini. Sungguh tak mereka sangka bahwa yang mereka temukan bukanlah Ki Tejoranu yang mereka cari-cari, melainkan Joko Wandiro bocah yang pernah membuat mereka kalang-kabut. Tentu saja dapat dibayangkan kemarahan mereka melihat anak ini. Terutama sekali perampok bermata juling yang pernah jatuh bangun oleh Joko Wandiro. Kemarahannya memuncak dan hatinya girang bukan main melihat bocah ini sekarang berada di depannya.
"Hoh-hoh-hoh, keketulan sekali! Kelinci muda mendekati mulut harimau kelaparan! Hayo, anak setan, kau akan lari ke mana sekarang?" bentaknya, goloknya siap membacok. "Uwah, Ki roko, cincang saja tubuhnya si bocah iblis!" seru perampok baju hitam di belakangnya.
"Hayo, kita bunuh dia, akan tetapi bocah ayu itu jangan dibunuh! Kuncup bunga yang belum mekar itu sayang kalau dibunun, ha-ha-hah!" kata perampok ke tiga yang wajahnya pucat.
Melihat lagak para perampok yang tertawa-tawa dan air ludah mereka menyemprot-nyemprot itu, Endang Patibroto ketakutan. Benar ia seorang anak yang sejak kecil menerima gemblengan ibunya di pantai Laut Selatan, akan tetapi belum pernah ia bertemu dengan orang-orang yang begini buas dan berwajah menyeramkan. Para petani yang pernah ia temui berwajah sabar dan manis budi, tidak seperti binatang buas sikapnya.
Rasa takut membuat ia cepat bersembunyi di belakang Joko Wandiro dan telapak tangannya dingin ketika ia memegang lengan temannya. Juga Joko Wandiro merasa terkejut, gelisah. Ia sendiri tidak takut menghadapi lima orang buas itu, akan tetapi sekarang ia bersama Endang Patibroto yang harus ia lindungi. Keringat dingin menitik turun dari dahinya ketika bocah pemberani ini mendorong temannya supaya mundur sambil membentak.
"Kalian berlima mau apakah? Di antara kalian dan aku tidak ada urusan apa-apa, apa kesalahanku sehingga kalian mengancam hendak membunuhku?"
"Ho-ho-ho-ha-ha-ha! Kau ketakutan sekarang, anak setan?"
Si juling tertawa mengejek dan mengangkat goloknya menakut-nakuti. Joko Wandiro siap waspada, memasang kuda-kuda dan menjawab,
"Aku tidak takut karena aku tidak bersalah apa-apa. Orang yang berbuat salah, dialah yang akan ketakutan selama hidupnya!" Ia meniru wejangan ayahnya.
"Huah-ha-ha, bocah sombong, bocah setan. Kematian sudah di depan mata, lekas kau berlutut minta ampun di depan kakiku!" Si juling mengancam lagi.
"Kalau aku bersalah, tanpa kau paksa aku suka minta ampun. Akan tetapi apakah kesalahanku?"
"Kau berani membantah? Minta kucincang kepalamu?"
Golok itu diangkat tinggi-tinggi, mulutnya menyeringai lebar memperlihatkan gigi yang besar-besar dan kuning, matanya makin menjuling lagi sehingga seakan menjadi satu di pinggir hidung. Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan sesosok bayangan berkelebat dari belakang tubuh Joko Wandiro. Bayangan itu menubruk ke depan dan...
"Cesssss...!"
Sebuah cundrik (keris kecil) menancap di perut perampok mata juling itu. Cepat gerakan Endang Patibroto ini dan sama sekali tidak pernah tersangka oleh perampok mata juling, bahkan tidak tersangka oleh Joko Wandiro yang menjadi kaget sekali. Cepat pula Endang Patibroto mencelat ke belakang mencabut cundriknya dan…
"Currrrr…!" darah merah muncrat-muncrat dari perut yang gendut.
"...apa...? Aduhh... wah...!"
Si mata juling mendekap perutnya dengan tangan kiri, matanya sejenak terbelalak mengawasi darahnya yang mengucur melalui celah-celah jari tangannya, kemudian ia terbelalak memandang gadis cilik yang berdiri di samping Joko Wandiro dengan cundrik di tangan, cundrik yang merah ujungnya karena darah! Kini Endang Patibroto sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan sepasang matanya yang lebar itu nampak beringas dan liar.
"Endang... kau... kenapa kau lakukan itu...?"
Joko Wandiro bertanya gagap. Dia sendiri juga seorang anak gemblengan, akan tetapi selama hidupnya belum pernah ia melukai orang sampai darah bercucuran dari perutnya seperti itu, maka ia pun merasa ngeri. Akan tetapi Endang Patibroto menjawab tegas, "Dia mau membunuhmu, si keparat! Biar kubunuh mereka semua!"
Jawaban ini selain mengagetkan Joko Wandiro, juga membuat para perampok itu marah sekali. Bahkan perampok muka pucat yang tadi tertarik oleh kecantikan wajah gadis cilik ini, sekarang menjadi marah sekali.
"Bunuh mereka! Bunuh kedua setan cilik ini!"
Si mata juling yang lebih dulu mengamuk. Goloknya menyambar dan kini yang ia terjang bukannya Joko Wandiro, melainkan Endang Patibroto yang telah melukai perutnya. Namun gadis cilik yang masih kanak-kanak, baru berusia sepuluh tahun itu memiliki gerakan yang amat gesit sehingga bacokan golok si juling meluncur mengenai tanah. Ia terengah-engeh, mendengus-dengus dan mencari-cari. Ternyata anak perempuan itu sudah meloncat dua meter jauhnya di sebelah kiri. Ia menggereng dan menerjang lagi, kini goloknya ia obat-abitkan sekuat tenaga sehingga merupakan gulungan sinar yang menghalang anak itu meloncat.
Endang Patibroto sejak kecil belajar ilmu silat, akan tetapi ia masih belum ada pengalaman sama sekali, maka melihat golok itu berkelebat ke kanan kiri, ia menjadi bingung. Sambil melangkah maju ia nekat menangkis dengan cundriknya.
"Cringgg..!" Cundrik itu terlepas dari tangannya, meluncur dan menancap ke atas tanah, tiga meter jauhnya.
"Heh-heh-heh, kucincang kepalamu, bocah keparat!" Si mata juling marah sekali, akan tetapi tiba-tiba tubuh Endang Patibroto sudah berkelebat ke depan, kemudian menggerakkan kedua tangannya seperti cakar burung.
Dua tangannya dengan jari-jari mencengkeram persis kaki burung elang itu membuat gerakan ke arah lengan besar si mata juling yang memegang golok, kemudian mencengkeram, yang kiri bergerak mundur yang kanan maju.
"Kreeeeekkkkk!"
Si mata juling berteriak keras sekali, goloknya terlepas dan lengan kanannya itu robek berikut kulit dan dagingnya! Demikian hebatnya ilmu simpanan yang diajarkan oleh Kartikosari kepada puterinya itu. Baru anak kecil berusia sepuluh tahun saja dengan ilmu ini sudah dapat merobek kulit, daging, dan baju lengan seorang yang kuat seperti perampok mata juling!
Sejenak perampok itu terbelalak, meringis kesakitan, lalu terhuyung-huyung mundur dengan muka ketakutan. Siapa yang takkan ngeri menghadapi bocah perempuan demikian kecilnya akan tetapi yang telah merobek perut dan lengannya? Apalagi darah yang terlalu banyak keluar membuat kepalanya pening dan pandang matanya berkunang. Akhirnya roboh terjerembab di bawah pohon.
Adapun empat orang perampok lain kini sudah menghujani Joko Wandiro dengan bacokan-bacokan golok. Mereka penasaran sekali karena sebegitu lama belum juga mereka mampu menyentuh anak itu dengan golok mereka. Memang mengagumkan sekali gerakan Joko Wandiro. Anak ini cerdik sekali dan maklum bahwa empat orang lawannya kuat-kuat pula memegang senjata tajam, ia tidak mau melawan dengan kekerasan, melainkan cepat menggunakan Aji Bayu Tantra, yaitu ilmu meringankan tubuh sambil berloncatan ke sana ke mari, mengelak ke kanan kiri, menyelinap di antara kilatan dan sambaran golok.....
Komentar
Posting Komentar