BADAI LAUT SELATAN : JILID-39
Wirokolo terbahak tertawa menyaksikan hal yang dianggapnya lucu itu.
Dengan berindap ia melangkah maju dan pada saat Endang meloncat ke
samping menghindarkan tubrukan dua orang lawannya dari depan dan
belakang, tiba-tiba ia merasa rambutnya dijambak orang dan tubuhnya
sudah menggantung di tangan Wirokolo yang menyambaknya!
"Ha-ha-ha! Bocah ayu manis, galaknya seperti kucing, ha ha!"
Wirokolo tertawa bergelak, membiarkan anak itu menendang dan memukul. Endang marah sekali. Biarpun tubuhnya tergantung dan kepalanya terasa pedas karena rambutnya dijambak, namun ia tidak tinggal diam, kaki tangannya bergerak menyerang. Celakanya, raksasa mengerikan ini tubuhnya jauh lebih kebal dari pada yang dua tadi.
"Lepaskan aku, kau orang tua tak tahu malu!" Ia berteriak-teriak.
"Ha-ha-ha-ha! Kalau tidak kulepaskan, kau mau apa, cah ayu? Hayo kau mengaku lebih dulu, siapa kau ini dan dengan siapa kau datang ke pulau ini."
Endang Patibroto yang cerdik segera mengerti bahwa menghadapi kakek ini tidak bisa menggunakan kekasaran. Maka ia lalu tersenyum amat manis dan berkata, suaranya lembut dan merdu, "Kakek yang baik, kau benar-benar sakti mandraguna. Aku takluk dan kagum melihat kesaktianmu. Aku sering mendengar bahwa seorang kakek sakti mandraguna pantang menghina seorang anak-anak."
"Ha-ha-ha, kau benar. Ha-ha-ha!" Senang hati Wirokolo. Anak ini terang bukan bocah biasa, suaranya merdu dan pujiannya enak di hati dan telinga.
"Kau lepaskanlah aku, kakek yang sakti, nanti aku ceritakan siapa aku ini."
Dengan senyum di bibir, dengan pandang mata bersinar-sinar, dan dengan suara merdu Endang dapat mengalahkan Wirokolo. Sambil tertawa-tawa, diikuti pula oleh sepasang Gagak yang kini juga tertawa-tawa, ia melepaskan rambut Endang.
Endang Patibroto membereskan rambutnya yang mawut oleh jambakan tadi. Di dalam hatinya ia merasa marah dan panas sekali, akan tetapi hal ini tidak ia perlihatkan pada wajahnya yang berseri. Biarpun usianya baru dua belas tahun, namun sudah jelas terbayang kecantikan wajah Endang, dan tubuhnya juga mulai membentuk keindahan seperti bunga mekar. Manis sekali ketika ia membereskan rambutnya dengan kedua tangan.
"Ha-ha-ha, rambutmu hitam dan halus sekali...!" Wirokolo mengusap kepalanya sambil memuji.
"Genduk, pipimu segar kemerahan!" Gagak Kunto juga memuji sambil mengusap pipi.
"Beberapa tahun lagi engkau tentu menjadi seorang gadis jelita, denok ayu, ha-ha-ha!" Gagak Rudro juga memuji dan mencubit dagu Endang.
Menghadapi tangan-tangan nakal ini, kemarahan Endang meluap. Tadinya ia hanya hendak menggunakan siasat bersikap lunak agar mereka lalai untuk kemudian mencari jalan dan kesempatan untuk melarikan diri melapor kepada gurunya. la maklum bahwa ia tidak akan menang menghadapi mereka ini. Akan tetapi setelah mereka ini memuji-muji dan tangan mereka mulai nakal, mengelus dan mendatangkan rasa jijik, ia marah sekali dan lupa bahwa mereka itu sama sekali bukan lawannya. Kalah atau menang ia tidak peduli lagi, yang penting kelakuan mereka yang ia anggap kurang ajar ini harus dihukum!
"Lepas tangan! Ada apa kalian meraba-raba?" bentaknya, mukanya tidak berseri lagi, mulutnya kehilangan senyum dan matanya memancarkan sinar marah. Endang makin menarik kalau sedang marah-marah begini. Mulut yang manis itu cemberut, matanya seperti bintang dan kulit muka yang halus itu menjadi kemerahan.
Tiga orang kakek itu makin senang hatinya untuk menggoda. Sambil tertawa-tawa mereka sengaja mengusap, meraba dan mencubit untuk membuat anak itu makin marah. Endang Patibroto tak kuasa menahan kemarahannya. Kini ia menyerang dengan pukulan-pukulan tangannya. Ia mengerahkan Aji Pethit Nogo, meloncat dengan 脌ji Bayu Tantra.
Kedua ilmunya ini sudah disempurnakan di bawah gemblengan Resi bhargowo, dan gurunya yang baru, Dibyo Mamangkoro yang melihat bahwa muridnya telah mempelajari ilmu-ilmu yang hebat, tidak melenyapkannya malah memperkuatnya dengan aji-aji yang lain. Karena kini Endang menyerang untuk membunuh, maka ia memilih bagian yang berbahaya, bahkan tidak ragu-ragu untuk menyerang pusar dan bawah perut!
Tiga orang kakek itu diam-diam terkejut juga. Akan tetapi mereka tidak kehilangan kegembiraan mereka. Dengan mengelak atau menangkis, mereka membuat Endang jatuh bangun. Siapa saja diantara mereka bertiga yang diserangnya, tentu dapat mengelak lalu mendorongnya jatuh, atau menangkis lalu nembetotnya roboh tertelungkup. sungguh mereka bertiga mengalami saat yang gembira sekali sebagai hiburan atas kekalahan mereka di Jalatunda.
Makin hebat Endang mengamuk, makin gembiralah mereka yang mengelak dan menangkis sambil tertawa-tawa. Kasihan Endang yang jatuh bangun sampai lututnya lecet-lecet. Pada saat itu, Wirokolo menangkap pundaknya. Muka yang besar dan penuh rambut dengan mata lebar mulut nenyeringai menjijikkan itu dekat sekali dengan muka Endang.
"Ha-ha-ha, cah ayu, aku minta ambung, ya? Ha-ha-ha!"
"Ha-ha-ha! Bagus, beri kami cium manis!"
Gagak Kunto dan Gagak Rudro juga tertawa-tawa. Endang tak tahan lagi. Tangan kanannya merogoh ke balik baju, menggenggam gagang keris pusaka Brojol Luwuk, menghunusnya lalu menerjang sambil membentak nyaring, "Mampuslah orang-orang kurang ajar!"
Suara ketawa mereka seketika terhenti. Wajah tiga orang itu menjadi pucat sekali dan serentak mereka membanting tubuh ke belakang lalu bergulingan menjauh dengan penuh ketakutan.
"Eh, jangan... jangan...! teriak Gagak Kunto.
"Aduh, celaka...!" Gagak Rudro berseru ketika ia jatuh bangun dan tubuhnya menggigil, matanya seakan-akan silau oleh cahaya yang bersinar keluar dari keris pusaka Brojol Luwuk.
Wirokolo sendiri sungguhpun seorang sakti mandraguna, selama hidupnya belum pernah ia menghadapi sebuah keris pusaka yang mempunyai wibawa sedahsyat ini. Ketika keris itu tadi ditodongkan, ia merasa seakan-akan diserang lahar panas yang dimuntahkan kawah gunung berapi. Ketika ia bergulingan ke belakang menjauhkan diri kemudian meloncat kembali, ia mendapat kenyataan bahwa lima ekor ular berbisa yang tadinya melingkar di leher, kedua tangan dan kakinya, telah terlepas dan menjadi bangkai hangus di atas tanah!
Baru hawanya saja sudah sedemikian ampuhnya, apa lagi kalau tubuh terkena pusaka mujijat itu. Ia bergidik. Maklum bahwa gadis cilik ini memegang keris yang amat ampuh dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan, lenyap semua sikap main-main pada Wirokolo dan dua orang pembantunya.
Sepasang Gagak itu kini sudah mengeluarkan suara bergaok menyeramkan seperti suara burung gagak, sedangkan Wirokolo sudah menggosok-gosok kedua tangannya sampai mengepulkan asap karena ia telah mengerahkan ajinya Anolo Hasto (Tangan Berapi) untuk menghadapi keris pusaka di tangan Endang!
Endang Patibroto sendiri tertegun menyaksikan kehebatan tiga orang lawannya itu. Betapa kedua tangan Wirokolo keluar asap dan bara apinya. Betapa kedua orang yang bersuara seperti gagak itu tampak mengerikan sikapnya, yang seorang memegang tombak yang ke dua memegang ruyung besar! Akan tetapi ia tidak gentar. Jelas bahwa tiga orang itu tadi ngeri dan ketakutan menghadapi keris pusakanya! Hal ini membesarkan hatinya dan dengan keris siap di tangan, ia berlaku awas. Pada saat yang sangat tegang itu, tiba-tiba terdengar suara bekakakan dari Jauh.
"Huah-hah-hah! Aku sudah mendengar suara Si Gagak Kembar dan Wirokolo! Kalian tidak lekas-lekas menghadapi aku, mengapa berlambat-lambatan?"
Belum habis suara itu bergema, tahu-tahu orangnya sudah muncul, yaitu Dibyo Mamangkoro sendiri. Betapa kagetnya melihat muridnya menghunus sebuah keris yang bersinar-sinar berhadapan dengan Wirokolo dan Gagak Kembar yang juga sudah siap bertanding mati-matian! Seketika lenyap seri dan tawa pada wajah kakek raksasa ini. Cepat ia melompat maju dan berkata,
"Heeee! Endang muridku sayang! Apa yang kau lakukan ini? Aduh... wah... bukan main pusakamu itu... eh... simpan, Endang. Simpan dulu keris pusaka itu. Hebat...!"
Dibyo Mamangkoro sendiri terkejut bukan main ketika ia merasa betapa dahsyatnya wibawa keris pusaka itu yang membuat jantungnya berdebar keras, dan barulah ia menarik napas lega ketika keris itu disimpan oleh Endang di balik bajunya. Dibyo Mamangkoro merangkulnya, mengelus rambutnya dan berkata lirih,
"Muridku... sayangku... mengapa kau tidak bilang bahwa kau memiliki Brojol Luwuk...?!"
"Pusaka sakti Brojol Luwuk...?"
Wirokolo dan kedua orang Gagak Kembar berseru dan mata mereka terbelalak memandang ke arah Endang. Jelas tampak betapa mereka terheran, dan mengilar ketika mendengar bahwa pusaka ampuh tadi adalah Ki Brojol Luwuk, pusaka Mataram yang hanya mereka dengar dalam dongeng sebagai pusaka yang tiada taranya di dunia ini. Melihat hasrat memancar jelas sekali dari muka tiga orang itu, Dibyo Mamangkoro yang masih merangkul muridnya segera membentak,
"Kalian bertiga apakah mendadak sudah menjadi gila? Ki Brojol Luwuk adalah pusaka milik muridku. Kenapa kalian tiga orang tua bangka mau mampus tadi hendak bertanding melawan muridku, Endang Patibroto? Sungguh bagus sekali, ya? Tiga orang kakek tua bangka hendak mengeroyok seorang bocah. Di mana kegagahan kalian?"
Tiga orang itu menjadi makin kaget sekali. Tidak mereka sangka seujung rambutpun bahwa anak perempuan itu adalah murid Dibyo Mamangkoro!
"Aduh... maafkan kami, kakang Dibyo Mamangkoro! Sungguh mati kami tidak tahu bahwa anak ini adalah murid keponakanku sendiri. Siapa yang mengira begitu? Selamanya kakang tidak mempunyai murid. Bagaimana sekarang secara mendadak mempunyai murid begini elok?"
"Ini urusanku sendiri, tak perlu kau mencampuri! lngat, inilah Endang Patibroto, muridku yang kelak akan menggantikan aku. Muridku inilah yang kelak akan memimpin kalian semua, menghancurkan musuh-musuhku, menggegerken Kahuripan. Apalagi Ki Brojol Luwuk berada di tangannya. Huah-ha-hah!" Kemudian ia berhenti tertawa secara mendadak, menudingkan telunjuknya yang besar ke arah Gagak Kembar dan membentak,
"Kalian berani tadi melawan dan kurang ajar kepada gusti puterimu?"
Tiba-tiba Gagak Kunto dan Gagak Rudro menjadi pucat dan mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Dibyo Mamangkoro.
"Karena hamba berdua tidak tahu, telah bersikap kurang ajar terhadap... gusti puteri, mohon paduka suka memberi ampun..."
"Huah-ha-hah! Enak saja minta ampun. Kalian patut dihajar!"
Tiba-tiba tangan yang menuding itu membuat gerakan mendorong dan... dua orang raksasa yang berlutut itu lalu terjengkang ke belakang. Dibyo Mamangkoro menggerak-gerakkan kedua tangannya ke arah mereka. Sungguh aneh dan rnengagumkan sekali dan jelas membuktikan betapa hebatnya tenaga sakti Dibyo Mamangkoro.
Pukulan jarak jauh kedua tangannya itu mampu menjatuh bangunkan dua orang yang terhitung orang-orang berkepandaian tinggi. Gagak Kunto dan Gagak Rudro berkali-kali terbanting sehingga babak belur. Mereka mengaduh-aduh dan sama sekali tidak berdaya, seperti dua helai daun kering dipermainkan angin. Ketika Dibyo Mamangkoro menghentikan gerakan tangannya, mereka rebah miring dengan napas terengah-engah.
"Kau puas, muridku?" Dibyo Mamangkoro bertanya kepada Endang yang hanya menonton saja.
Endang mengangguk. "Mereka itu tidak dibunuh, sungguh masih amat baik nasibnya!"
Wirokolo adalah seorang yang buas dan ganas. Namun mendengar ucapan seenaknya keluar dari mulut yang mungil itu, tengkuknya terasa dingin juga. Tidak salah lagi, pikirnya, kakak seperguruannya telah menemukan seorang murid yang hebat! Setelah Gagak Kembar dapat bangun dan berlutut lagi, Dibyo Mamangkoro bertanya,
"Nah, sekarang ceritakan bagaimana hasilmu menyerbu Jalatunda, adiku Wirokolo?"
Dengan suara bernada penyesalan, Wirokolo menceritakan pengalamannya di Jalatunda. Menceritakan betapa lima orang anak buah Gagak Kembar semua kalah oleh seorang anak laki-laki yang agaknya cucu murid Resi Bhargowo, kemudian betapa Gagak Kembar sendiri kalah melawan Resi Bhargowo.
"Terpaksa aku turun tangan sendiri, kakang Dibyo. Biarpun dalam ilmu sihir, aku tidak mampu menghadapi Empu Bharodo, namun dalam pertandingan, Empu Bharodo dan Resi Bhargowo masih belum mampu mengalahkan aku. Airlangga yang sudah menjadi pertapa itu telah menjadi seorang yang lemah dan tidak mau berkelahi. Sebetulnya aku sudah mendapat kesempatan baik sekali untuk membunuhnya. Siapa kira si jahanam Narotama muncul..."
"Narotama...? Keparat!" Dibyo Mamangkoro berjingkrak marah. "Lalu bagaimana? Apakah dia masih sekuat dahulu?"
Wirokolo menarik napas panjang. "Dia hebat, kakang. Agaknya malah lebih kuat dari pada dahulu. Aku tahu bahwa aku bukan tandingannya, maka terpaksa kami mundur."
Dibyo Mamangkoro menggendong kedua tangan di punggung, lalu berjalan kian kemari dengan kening berkerut. Dari mulutnya keluar suara menggereng seperti harimau kelaparan. Tiba-tiba ia berhenti dan kembali merangkul pundak Endang.
"Kita tunggu waktu dan kesempatan! Kita tunggu muridku dewasa. Dengan kepandaiannya dan dengan keris pusaka Brojol Luwuk di tangannya aku yakin Kahuripan akan hancur lebur kelak. Huah-ha-ha!"
Wirokolo dan Gagak Kembar hanya sehari tinggal di pulau itu. Mereka segera pergi dari pulau, kembali ke tempat mereka sendiri, yaitu di lembah Citandui. Mereka sebagai anak buah Dibyo Mamangkoro dipesan untuk mempersiapkan diri, mengumpulkan tenaga bantuan yang bersakit hati terhadap Kahuripan, dan menyelidiki keadaan Kahuripan. Jika ada perubahan di Kahuripan, mereka dipesan agar mengabarkan ke Nusakambangan.
Sementara itu semenjak mengalami peristiwa pertempuran melawan paman gurunya sendiri, Endang Patibrpto maklum bahwa di dunia ini banyak sekali orang pandai dan kalau ia tidak tekun belajar, menguras semua ilmu yang dimiliki gurunya, kelak tentu ia akan menemui banyak kesulitan dari orang pandai.
Di lain pihak, setelah mendapat kenyataan bahwa muridnya secara aneh telah memiliki keris pusaka Ki Brojol Luwuk, Dibyo Mamangkoro menjadi makin sayang kepada muridnya! Makin besar hatinya, dan makin tebal keyakinannya bahwa muridnya ini kelak akan lebih berhasil dari padanya dalam usaha meruntuhkan Kahuripan…..
********************
Kita tinggalkan dulu Endang Patibroto yang tekun menerima gemblengan ilmu kesaktian dari Dibyo Mamangkoro. Mari kita mengikuti perjalanan Jokowanengpati yang melarikan diri menunggang kuda menuju ke selatan. Melihat perang dihentikan oleh Sang Prabu Airlangga sendiri, Jokowanengpati maklum bahwa perdamaian antara kedua pangeran tentu akan terjadi. Dan ia telah melihat musuh besarnya, orang-orang yang tentu tidak akan berhenti sebelum berhadapan muka dan mengadu nyawa dengannya. la melihat Pujo, Kartikosari, dan Roro Luhito, tiga orang yang menaruh dendam sedalam lautan kepadanya. Lebih dari semua itu, ia melihat Resi Bhargowo!
Kaget seperti disambar petir ketika ia tadi melihat Resi Bhargowo di sebelah Sang Prabu Airlangga. Jelas bahwa Resi Bhargowo sudah ia hantam roboh dengan penggada milik Ki Krendoyakso. Ia ingat betul betapa ia mengerahkan tenaga sekuatnya ketika melakukan pemukulan curang itu dan ia tahu pula bahwa ruyung Wesi Ireng adalah senjata pusaka yang ampuh. Terasa oleh tangannya betapa kepala resi itu terkena pukulan yang telak sehingga resi itu roboh seketika. Bagaimana sekarang Resi Bhargowo bisa muncul dalam keadaan segar sehat di samping Sang Prabu Airlangga? Tentu saja ia tidak berani bertemu muka dengan bekas paman gurunya itu. Selain itu, juga ia melihat munculnya Empu Bharodo, gurunya!
Setelah mereka itu muncul, bagaimana ia berani tinggal lebih lama lagi di kota raja? Dalam keadaan perang saudara, tentu saja ia dapat berlindung di belakang punggung Pangeran Anom. Akan tetapi setelah damai, tidak mungkin lagi. Lebih cepat pergi, lebih aman baginya. Lebih-lebih lagi kini setelah ia membunuh Wisangjiwo. Akan bertambah mereka yang benci dan mendendam kepadanya.
"Ha-ha-ha! TIdak seorangpun melihat aku pergi Mereka kini tentu sedang mencari-cari!"
Jokowanengpati terkekeh senang sambil membalapkan kudanya terus ke selatan. Setelah membalapkan kuda tiada hentinya selama dua hari dua malam, kudanya itu akhirnya roboh lemas dan mati di luar sebuah kampung. Jokowanengpati melompat turun dan menendang bangkai kuda yang telah membawanya lari selama itu.
"Huh, kuda sialan!"
Akan tetapi lega hatinya setelah mendapat kenyataan bahwa ia telah melarikan diri jauh sekali dari kota raja. Ia sudah sampai di wilayah pantai selatan. Dari kampung itu ke Laut Selatan hanya tinggal perjalanan selama satu dua jam saja. Hatinya mulai gembira. la telah berada di tempat aman, jauh dari kota raja, dan tak seorangpun mengenalnya di sini. Hari telah mendekati malam dan dengan senyum menghias bibirnya yang tampan, ia memasuki kampung itu meninggalkan bangkai kudanya tanpa menengok satu kali pun.
Manusia dengan watak seperti Jokowanengpati ini tidak mungkin dapat mengingat budi dan jasa seekor kuda. Jokowanengpati meraba-raba dadanya. Masih terasa sakit bekas pukulan Wisangjiwo. Ia tahu bahwa pukulan itu mengakibatkan luka dalam di dadanya. Akan tetapi, asal ia dapat beristirahat dan tidak mengeluarkan tenaga berat, ia akan sembuh kembali.
Pikiran ini menenangkan hatinya. Ia boleh beristirahat di kampung ini, atau besok ia akan mencari tempat yang lebih aman. Di pinggir laut. Kemudian, dari pinggir laut ini ia akan terus mencari tempat kediaman Ni Nogogini yang katanya di pinggir laut sebelah timur. Asal ia menyusuri sepanjang pantai ke timur, akhirnya tentu akan ketemu.
Akan tetapi, malam ini ia akan bermalam di dalam kampung. Perutnya lapar sekali. Ia harus mencari makanan. Tiba-tiba ia tersenyum lebar. Suara gamelan menyambut kedatangannya. Suara gamelan yang terdengar amat merdu dan indah. Kalau ada gamelan, berarti ada pesta dan kalau ada pesta, berarti ada makanan enak berlebihan!
Jokowanengpati tertawa terkekeh senang dan ia mempercepat langkahnya menuju ke arah suara gamelan. Dari jauh sudah tampak sinar lampu yang menerangi tempat pesta, juga suara banyak anak-anak di depan rumah yang berpesta. Memang tepat dugaannya. Ada orang mengadakan perayaan pesta perkawinan. Bukan lain adalah lurah kampung itu sendiri yang mengadakan pesta, untuk merayakan perkawinan puterinya! Tamu-tamu mulai berdatangan dan beberapa penari mulai mcnari sambil bersinden, diiringi suara gamelan meriah. Minuman dan hidangan dikeluarkan oleh pelayan-pelayan yang sibuk.
Jokowanengpati melangkah gagah memasuki ruangan. Biarpun ia tidak berganti pakaian, namun pakaian yang menempel di tubuhnya adalah pakaian perwira kerajaan, pakaian yang jauh lebih indah dan lebih gagah dari pada pakaian semua orang yang hadir di situ, termasuk pengantin prianya sendiri!
Semua orang cingak (memandang kagum) ketika ia masuk, dan pak lurah sendiri tergopoh-gopoh menyambutnya. Tentu saja pak lurah agak bingung karena tidak mengenal tamunya ini, tamu yang tidak diundang, namun ia harus menghormat, melihat pakaian tamunya yang jelas membayangkan seorang priyayi dari kota raja. Sambil membongkok-bongkok tuan rumah ini menyambut Joko wanengpati. Tanpa malu atau sungkan sedikitpun, Jokowanengpati bekata,
"Maaf, paman. Aku adalah seorang pelancong dari kota raja. Kudaku sakit dan mati di luar kampung. Terpaksa aku mengganggu dan datang ke sini."
"Wah, malah kebetulan sekali, raden. Kami sedang mengadakan pesta perkawinan anak kami. Silakan raden."
"Aku hanya mengganggu saja."
"Tidak, sama sekali tidak. Malah kami merasa terhormat sekali dapat rnenyambut andika sebagai tamu kehormatan! Silakan..."
Sambil mengangkat dada Jokowanengpati mendapat tempat kehormatan, dekat pengantin! Dan tentu saja ia mendapat hidangan yang istimewa sehingga sebentar saja kenyanglah perutnya. Mulai terasa olehnya keletihan tubuh akibat pertempuran dan perjalanan jauh. Tanpa segan-segan lagi ia beberapa kali menguap sambil menutup mulut dengan kepalan tangan. Telinganya yang tajam menangkap suara ketawa wanita, ketawa ditahan, akan tetapi sangat merdu dalam pendengaran Jokowanengpati.
Ia melirik dan tahu bahwa yang menahan tawa itu tadi adalah si pengantin wanita! Puteri bapak lurah. Hemm, baru sekarang ia menaruh perhatian. Bentuk tubuh yang padat ramping. Kulit yang agak hitam, akan tetapi bersih dan halus. la melirik ke bawah. Dari bawah kain itu tampak tumit yang halus dan indah bentuknya, mata kaki dan ujung betis yang merit dengan lengkung sempurna. Kembali ia melirik ke atas. Sayang, pengantin wanita itu mukanya tertutup, tak dapat dilihat. Akan tetapi seorang wanita dengan perawakan seperti Itu tak mungkin buruk rupa. Apalagi puteri pak lurah yang wajahnya tampan.
Suara ketawa pengantin wanita itu menambah lamunan Jokowanengpati yang sudah mulai terpengaruh minuman tuwak (arak). Setelah sepasang pengantin diiring masuk kekamar, Jokowanengpati juga minta kepada tuan rumah agar supaya malam itu ia diberi tempat untuk mengaso.
Bapak lurah menyambut permintaan ini dengan penuh hormat dan gembira. Maka diantarnyalah Jokowanengpati ke dalam sebuah kamar di ruang belakang kelurahan. Pesta berlangsung terus karena menjelang tengah malam dimulai pesta tayuban, di mana para tamu yang sudah agak mabok itu ikut pula menari bersama para penari yang cantik-cantik.
Gamelan dipukul makin keras, suasana makin meriah. Suasana yang riuh dan meriah di ruangan depan di mana pesta berlangsung inilah yang membuat semua orang tidak tahu betapa lewat tengah malam itu terdengar suara gaduh di dalam kamar pengantin. Tidak ada yang mendengar jerit tangis pengantin wanita, dan tidak ada yang tahu pula betapa sesaat kemudian pengantin pria terlempar dari pintu kamar, jatuh di atas lantai depan pintu tak bergerak lagi. Baik pihak tuan rumah maupun pihak tamu semua telah minum tuwak terlalu banyak.
Di ruangan depan, orang-orang bersenang dan bergembira melewati batas, tertawa, bersorak, menggoda penari yang kadang-kadang menjerit manja menyeling suara gamelan yang tak kunjung henti. Sedangkan di ruangan dalam, di kamar pengantin yang menyendiri dan sunyi, maut merajalela!
Dapat dibayangkan betapa kaget tuan rumah sekeluarga ketika pada pagi harinya mereka mendapatkan pengantin pria menggeletak di luar kamar pengantin dalam keadaan mengerikan, kepala pecah dan tak bernyawa lagi! Bapak lurah dan keluarganya menyerbu ke dalam kamar pengantin dan terbelalak memandang puterinya yang malam tadi menjadi pengantin, kini dalam keadaan telanjang bulat mati pula menggantung diri di dalam kamar pengantin!
Jerit tangis melengking dan Ibu lurah serta beberapa orang lain roboh pingsan. Gegerlah keadaan dalam kalurahan, kacau-balau dan panik. Bapak lurah dengan mata jelalatan melompat keluar dari kamar pengantin lalu lari ke belakang, menuju kamar tamu di mana malam tadi ia mengantar tamunya, priyayi dari kota raja. Pintu kamar itu masih tertutup, akan tetapi bapak lurah segera menyerbu masuk dan mendorong pintu kamar. Daun pintu terbuka dan... tidak ada seorangpun dalam kamar itu!
"Si keparat...! Manusia iblis...!
Bapak lurah makin beringas, lari menyambar tombaknya dari kamar dan ia jelilatan mencari-cari keluar masuk kelurahan. Namun bayangan tamunya itu tidak kelihatan lagi. Akhirnya ia menangisi jenasah puterinya yang sudah diturunkan orang.
Jokowanengpati berjalan seenaknya menuju ke selatan. Mulutnya tersenyum-senyum, hatinya gembira. Ia bebas dari musuh-musuh besarnya yang berkumpul di kota raja. Tiada satupun yang ia takuti di daerah pantai selatan ini. Puteri pak lurah itu benar manis tepat seperti dugaannya. Sungguh baik nasibnya. Kudanya mati di luar kampung, kebetulan kepala kampung mengadakan pesta sehingga ia mendapat hidangan sampai kenyang, mendapat tempat penginapan tanpa bayar, bahkan mendapat kawan puteri pak lurah yang manis!. Teringat akan ini, ia tertawa menyeringai. Terpaksa ia membunuh pengantin pria yang hendak melawan. Dan tadi ia meninggalkan pengantin wanita, pengantinnya yang manis, dalam keadaan banjir air mata.
Jokowanengpati berjalan tidak tergesa-gesa. Peduli apa orang-orang kampung itu. Kalau ada yang mengejarnyapun ia tidak takut. Masa depannya cerah. Ia akan bersembunyi di daerah pantai ini, mengunjungi dusun-dusun yang kaya akan gadis-gadis dusun yang manis-manis. Ia akan bersembunyi sambil menanti sampai keadaan di kota raja beres, sampai tiba saatnya dan terbuka kesempatan baginya untuk mengabdi kepada Pangeran Anom sehingga keselamatannya terlindung.
Kalau sudah bosan di daerah sunyi, kalau sudah tidak ada perawan dusun yang menarik perhatiannya, ia akan menyusuri pantai ke timur, mencari Ni Nogogini. Tuhan Maha Adil. Maha Kuasa. Kuasa memberkahi, kuasa pula menghukum. Perbuatan terkutuk yang dilakukan Jokowanengpati di dusun, berarti penundaan pelariannya sejak senja sampai pagi.
Hal ini berarti pula bahwa pelariannya terlambat sehingga memberi kesempatan kepada para pengejarnya untuk menebus kekalahan waktu. Andai kata Jokowanengpati tidak berhenti di dusun dan terus melanjutkan larinya dengan aji lari cepat, terus menyusuri pantai ke timur, tentu para pengejarnya akan kehilangan jejak dan takkan dapat menyusulnya. Akan tetapi, iblis telah menyelewengkannya ke dalam dusun itu, di mana ia melakukan perbuatan keji dan terkutuk terhadap pengantin wanita sehingga mengakibatkan tewasnya pengantin pria dan matinya pengantin wanita karena bunuh diri.
Tidak seperti Jokowanengpati yang terus menekan dan memaksa kudanya sehingga mati kelelahan di luar dusun, Kartikosari dan Roro Luhito yang melakukan pengejaran, selalu berhenti memberi kesempatan kepada kuda mereka untuk mengaso, makan rumput atau minum air. Karena inilah maka mereka ketinggalan jauh oleh Jokowanengpati. Akan tetapi dua orang wanita ini hanya berhenti untuk memberi kesempatan kuda mereka mengaso saja, dan mereka menggunakan kesempatan ini pula untuk melepas lelah sebentar.
Setelah itu mereka berangkat lagi, tidak peduli panas terik siang hari dan dingin gelap malam hari. Inilah sebabnya maka ketika Jokowanengpati membuang waktu semalam untuk melakukan perbuatan terkutuk di kelurahan dusun itu, dua orang wanita pengejar ini telah dapat menebus kekalahan waktu ketinggalan.
Pada pagi itu, ketika kelurahan geger karena peristiwa terkutuk akibat perbuatan Jokowanengpati, Kartikosari dan Roro Luhito memasuki dusun itu. Mereka berdua memasuki dusun dan berdebar hati mereka melihat bangkai kuda di luar dusun. Besar dugaan mereka bahwa itulah kuda tunggangan Jokowanengpati, yang mati karena kelelahan di luar dusun. Kalau begitu, agaknya si keparat itu berada dalam dusun ini!
Akan tetapi mereka melihat keadaan yang geger dan kacau. Orang-orang dusun itu lari ke sana ke mari seperti orang mencari-cari, dengan mata jelilatan dan semua orang yang berada di jalan membawa senjata. Dua orang wanita ini terus menjalankan kuda ke arah pusat keributan, yaitu didepan rumah yang besar dan yang terhias seperti ada perayaan di situ, dihias janur-janur kuning dan daun-daun waringin.
Kartikosari dan Roro Luhito ialu melompat turun dari atas kuda masing-masing, siap hendak bertanya apa gerangan yang nerjadi, dan terutama sekali bertanya kalau-kalau penduduk di situ ada yang melihat seorang laki-laki asing, yaitu Jokowanengpati. Akan tetapi beium juga mereka membuka suara, tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua berlari keluar dari dalam rumah, tangannya memegang sebatang tombak. Begitu melihat dua orang wanita ini, laki-laki setengah tua itu segera membentak,
"Ini dia! Ini tentu teman-teman si keparat dari kota raja! Mereka tentu bukan orang baik-baik!" Setelah membentak demikian, serta-merta ia menerjang dengan tombaknya. Karena Kartikosari berada di depan, maka wanita inilah yang langsung mendapat serangan bapak lurah, laki-laki setengah tua itu.
"Eh-eh, sabar dulu, paman. Apakah yang terjadi?" seru Kartikosari sambil mengelak.
Akan tetapi, melihat betapa wanita itu dengan mudah mengelak dari serangan tombaknya, bapak lurah makin curiga dan segera berseru, "Saudara-saudara, kepung mereka berdua ini! Tentu mereka ini teman-teman si keparat itu!"
Mendapat komando ini, serentak orang-orang kampung segera mengepung dengan sikap mengancam. Melihat keadaan yang tidak baik ini, Roro Luhito yang cerdik berlaku sigap. Dia cepat-cepat melompat maju ke arah bapak lurah yang kembali sudah menusukkan tombaknya.....
"Ha-ha-ha! Bocah ayu manis, galaknya seperti kucing, ha ha!"
Wirokolo tertawa bergelak, membiarkan anak itu menendang dan memukul. Endang marah sekali. Biarpun tubuhnya tergantung dan kepalanya terasa pedas karena rambutnya dijambak, namun ia tidak tinggal diam, kaki tangannya bergerak menyerang. Celakanya, raksasa mengerikan ini tubuhnya jauh lebih kebal dari pada yang dua tadi.
"Lepaskan aku, kau orang tua tak tahu malu!" Ia berteriak-teriak.
"Ha-ha-ha-ha! Kalau tidak kulepaskan, kau mau apa, cah ayu? Hayo kau mengaku lebih dulu, siapa kau ini dan dengan siapa kau datang ke pulau ini."
Endang Patibroto yang cerdik segera mengerti bahwa menghadapi kakek ini tidak bisa menggunakan kekasaran. Maka ia lalu tersenyum amat manis dan berkata, suaranya lembut dan merdu, "Kakek yang baik, kau benar-benar sakti mandraguna. Aku takluk dan kagum melihat kesaktianmu. Aku sering mendengar bahwa seorang kakek sakti mandraguna pantang menghina seorang anak-anak."
"Ha-ha-ha, kau benar. Ha-ha-ha!" Senang hati Wirokolo. Anak ini terang bukan bocah biasa, suaranya merdu dan pujiannya enak di hati dan telinga.
"Kau lepaskanlah aku, kakek yang sakti, nanti aku ceritakan siapa aku ini."
Dengan senyum di bibir, dengan pandang mata bersinar-sinar, dan dengan suara merdu Endang dapat mengalahkan Wirokolo. Sambil tertawa-tawa, diikuti pula oleh sepasang Gagak yang kini juga tertawa-tawa, ia melepaskan rambut Endang.
Endang Patibroto membereskan rambutnya yang mawut oleh jambakan tadi. Di dalam hatinya ia merasa marah dan panas sekali, akan tetapi hal ini tidak ia perlihatkan pada wajahnya yang berseri. Biarpun usianya baru dua belas tahun, namun sudah jelas terbayang kecantikan wajah Endang, dan tubuhnya juga mulai membentuk keindahan seperti bunga mekar. Manis sekali ketika ia membereskan rambutnya dengan kedua tangan.
"Ha-ha-ha, rambutmu hitam dan halus sekali...!" Wirokolo mengusap kepalanya sambil memuji.
"Genduk, pipimu segar kemerahan!" Gagak Kunto juga memuji sambil mengusap pipi.
"Beberapa tahun lagi engkau tentu menjadi seorang gadis jelita, denok ayu, ha-ha-ha!" Gagak Rudro juga memuji dan mencubit dagu Endang.
Menghadapi tangan-tangan nakal ini, kemarahan Endang meluap. Tadinya ia hanya hendak menggunakan siasat bersikap lunak agar mereka lalai untuk kemudian mencari jalan dan kesempatan untuk melarikan diri melapor kepada gurunya. la maklum bahwa ia tidak akan menang menghadapi mereka ini. Akan tetapi setelah mereka ini memuji-muji dan tangan mereka mulai nakal, mengelus dan mendatangkan rasa jijik, ia marah sekali dan lupa bahwa mereka itu sama sekali bukan lawannya. Kalah atau menang ia tidak peduli lagi, yang penting kelakuan mereka yang ia anggap kurang ajar ini harus dihukum!
"Lepas tangan! Ada apa kalian meraba-raba?" bentaknya, mukanya tidak berseri lagi, mulutnya kehilangan senyum dan matanya memancarkan sinar marah. Endang makin menarik kalau sedang marah-marah begini. Mulut yang manis itu cemberut, matanya seperti bintang dan kulit muka yang halus itu menjadi kemerahan.
Tiga orang kakek itu makin senang hatinya untuk menggoda. Sambil tertawa-tawa mereka sengaja mengusap, meraba dan mencubit untuk membuat anak itu makin marah. Endang Patibroto tak kuasa menahan kemarahannya. Kini ia menyerang dengan pukulan-pukulan tangannya. Ia mengerahkan Aji Pethit Nogo, meloncat dengan 脌ji Bayu Tantra.
Kedua ilmunya ini sudah disempurnakan di bawah gemblengan Resi bhargowo, dan gurunya yang baru, Dibyo Mamangkoro yang melihat bahwa muridnya telah mempelajari ilmu-ilmu yang hebat, tidak melenyapkannya malah memperkuatnya dengan aji-aji yang lain. Karena kini Endang menyerang untuk membunuh, maka ia memilih bagian yang berbahaya, bahkan tidak ragu-ragu untuk menyerang pusar dan bawah perut!
Tiga orang kakek itu diam-diam terkejut juga. Akan tetapi mereka tidak kehilangan kegembiraan mereka. Dengan mengelak atau menangkis, mereka membuat Endang jatuh bangun. Siapa saja diantara mereka bertiga yang diserangnya, tentu dapat mengelak lalu mendorongnya jatuh, atau menangkis lalu nembetotnya roboh tertelungkup. sungguh mereka bertiga mengalami saat yang gembira sekali sebagai hiburan atas kekalahan mereka di Jalatunda.
Makin hebat Endang mengamuk, makin gembiralah mereka yang mengelak dan menangkis sambil tertawa-tawa. Kasihan Endang yang jatuh bangun sampai lututnya lecet-lecet. Pada saat itu, Wirokolo menangkap pundaknya. Muka yang besar dan penuh rambut dengan mata lebar mulut nenyeringai menjijikkan itu dekat sekali dengan muka Endang.
"Ha-ha-ha, cah ayu, aku minta ambung, ya? Ha-ha-ha!"
"Ha-ha-ha! Bagus, beri kami cium manis!"
Gagak Kunto dan Gagak Rudro juga tertawa-tawa. Endang tak tahan lagi. Tangan kanannya merogoh ke balik baju, menggenggam gagang keris pusaka Brojol Luwuk, menghunusnya lalu menerjang sambil membentak nyaring, "Mampuslah orang-orang kurang ajar!"
Suara ketawa mereka seketika terhenti. Wajah tiga orang itu menjadi pucat sekali dan serentak mereka membanting tubuh ke belakang lalu bergulingan menjauh dengan penuh ketakutan.
"Eh, jangan... jangan...! teriak Gagak Kunto.
"Aduh, celaka...!" Gagak Rudro berseru ketika ia jatuh bangun dan tubuhnya menggigil, matanya seakan-akan silau oleh cahaya yang bersinar keluar dari keris pusaka Brojol Luwuk.
Wirokolo sendiri sungguhpun seorang sakti mandraguna, selama hidupnya belum pernah ia menghadapi sebuah keris pusaka yang mempunyai wibawa sedahsyat ini. Ketika keris itu tadi ditodongkan, ia merasa seakan-akan diserang lahar panas yang dimuntahkan kawah gunung berapi. Ketika ia bergulingan ke belakang menjauhkan diri kemudian meloncat kembali, ia mendapat kenyataan bahwa lima ekor ular berbisa yang tadinya melingkar di leher, kedua tangan dan kakinya, telah terlepas dan menjadi bangkai hangus di atas tanah!
Baru hawanya saja sudah sedemikian ampuhnya, apa lagi kalau tubuh terkena pusaka mujijat itu. Ia bergidik. Maklum bahwa gadis cilik ini memegang keris yang amat ampuh dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan, lenyap semua sikap main-main pada Wirokolo dan dua orang pembantunya.
Sepasang Gagak itu kini sudah mengeluarkan suara bergaok menyeramkan seperti suara burung gagak, sedangkan Wirokolo sudah menggosok-gosok kedua tangannya sampai mengepulkan asap karena ia telah mengerahkan ajinya Anolo Hasto (Tangan Berapi) untuk menghadapi keris pusaka di tangan Endang!
Endang Patibroto sendiri tertegun menyaksikan kehebatan tiga orang lawannya itu. Betapa kedua tangan Wirokolo keluar asap dan bara apinya. Betapa kedua orang yang bersuara seperti gagak itu tampak mengerikan sikapnya, yang seorang memegang tombak yang ke dua memegang ruyung besar! Akan tetapi ia tidak gentar. Jelas bahwa tiga orang itu tadi ngeri dan ketakutan menghadapi keris pusakanya! Hal ini membesarkan hatinya dan dengan keris siap di tangan, ia berlaku awas. Pada saat yang sangat tegang itu, tiba-tiba terdengar suara bekakakan dari Jauh.
"Huah-hah-hah! Aku sudah mendengar suara Si Gagak Kembar dan Wirokolo! Kalian tidak lekas-lekas menghadapi aku, mengapa berlambat-lambatan?"
Belum habis suara itu bergema, tahu-tahu orangnya sudah muncul, yaitu Dibyo Mamangkoro sendiri. Betapa kagetnya melihat muridnya menghunus sebuah keris yang bersinar-sinar berhadapan dengan Wirokolo dan Gagak Kembar yang juga sudah siap bertanding mati-matian! Seketika lenyap seri dan tawa pada wajah kakek raksasa ini. Cepat ia melompat maju dan berkata,
"Heeee! Endang muridku sayang! Apa yang kau lakukan ini? Aduh... wah... bukan main pusakamu itu... eh... simpan, Endang. Simpan dulu keris pusaka itu. Hebat...!"
Dibyo Mamangkoro sendiri terkejut bukan main ketika ia merasa betapa dahsyatnya wibawa keris pusaka itu yang membuat jantungnya berdebar keras, dan barulah ia menarik napas lega ketika keris itu disimpan oleh Endang di balik bajunya. Dibyo Mamangkoro merangkulnya, mengelus rambutnya dan berkata lirih,
"Muridku... sayangku... mengapa kau tidak bilang bahwa kau memiliki Brojol Luwuk...?!"
"Pusaka sakti Brojol Luwuk...?"
Wirokolo dan kedua orang Gagak Kembar berseru dan mata mereka terbelalak memandang ke arah Endang. Jelas tampak betapa mereka terheran, dan mengilar ketika mendengar bahwa pusaka ampuh tadi adalah Ki Brojol Luwuk, pusaka Mataram yang hanya mereka dengar dalam dongeng sebagai pusaka yang tiada taranya di dunia ini. Melihat hasrat memancar jelas sekali dari muka tiga orang itu, Dibyo Mamangkoro yang masih merangkul muridnya segera membentak,
"Kalian bertiga apakah mendadak sudah menjadi gila? Ki Brojol Luwuk adalah pusaka milik muridku. Kenapa kalian tiga orang tua bangka mau mampus tadi hendak bertanding melawan muridku, Endang Patibroto? Sungguh bagus sekali, ya? Tiga orang kakek tua bangka hendak mengeroyok seorang bocah. Di mana kegagahan kalian?"
Tiga orang itu menjadi makin kaget sekali. Tidak mereka sangka seujung rambutpun bahwa anak perempuan itu adalah murid Dibyo Mamangkoro!
"Aduh... maafkan kami, kakang Dibyo Mamangkoro! Sungguh mati kami tidak tahu bahwa anak ini adalah murid keponakanku sendiri. Siapa yang mengira begitu? Selamanya kakang tidak mempunyai murid. Bagaimana sekarang secara mendadak mempunyai murid begini elok?"
"Ini urusanku sendiri, tak perlu kau mencampuri! lngat, inilah Endang Patibroto, muridku yang kelak akan menggantikan aku. Muridku inilah yang kelak akan memimpin kalian semua, menghancurkan musuh-musuhku, menggegerken Kahuripan. Apalagi Ki Brojol Luwuk berada di tangannya. Huah-ha-hah!" Kemudian ia berhenti tertawa secara mendadak, menudingkan telunjuknya yang besar ke arah Gagak Kembar dan membentak,
"Kalian berani tadi melawan dan kurang ajar kepada gusti puterimu?"
Tiba-tiba Gagak Kunto dan Gagak Rudro menjadi pucat dan mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Dibyo Mamangkoro.
"Karena hamba berdua tidak tahu, telah bersikap kurang ajar terhadap... gusti puteri, mohon paduka suka memberi ampun..."
"Huah-ha-hah! Enak saja minta ampun. Kalian patut dihajar!"
Tiba-tiba tangan yang menuding itu membuat gerakan mendorong dan... dua orang raksasa yang berlutut itu lalu terjengkang ke belakang. Dibyo Mamangkoro menggerak-gerakkan kedua tangannya ke arah mereka. Sungguh aneh dan rnengagumkan sekali dan jelas membuktikan betapa hebatnya tenaga sakti Dibyo Mamangkoro.
Pukulan jarak jauh kedua tangannya itu mampu menjatuh bangunkan dua orang yang terhitung orang-orang berkepandaian tinggi. Gagak Kunto dan Gagak Rudro berkali-kali terbanting sehingga babak belur. Mereka mengaduh-aduh dan sama sekali tidak berdaya, seperti dua helai daun kering dipermainkan angin. Ketika Dibyo Mamangkoro menghentikan gerakan tangannya, mereka rebah miring dengan napas terengah-engah.
"Kau puas, muridku?" Dibyo Mamangkoro bertanya kepada Endang yang hanya menonton saja.
Endang mengangguk. "Mereka itu tidak dibunuh, sungguh masih amat baik nasibnya!"
Wirokolo adalah seorang yang buas dan ganas. Namun mendengar ucapan seenaknya keluar dari mulut yang mungil itu, tengkuknya terasa dingin juga. Tidak salah lagi, pikirnya, kakak seperguruannya telah menemukan seorang murid yang hebat! Setelah Gagak Kembar dapat bangun dan berlutut lagi, Dibyo Mamangkoro bertanya,
"Nah, sekarang ceritakan bagaimana hasilmu menyerbu Jalatunda, adiku Wirokolo?"
Dengan suara bernada penyesalan, Wirokolo menceritakan pengalamannya di Jalatunda. Menceritakan betapa lima orang anak buah Gagak Kembar semua kalah oleh seorang anak laki-laki yang agaknya cucu murid Resi Bhargowo, kemudian betapa Gagak Kembar sendiri kalah melawan Resi Bhargowo.
"Terpaksa aku turun tangan sendiri, kakang Dibyo. Biarpun dalam ilmu sihir, aku tidak mampu menghadapi Empu Bharodo, namun dalam pertandingan, Empu Bharodo dan Resi Bhargowo masih belum mampu mengalahkan aku. Airlangga yang sudah menjadi pertapa itu telah menjadi seorang yang lemah dan tidak mau berkelahi. Sebetulnya aku sudah mendapat kesempatan baik sekali untuk membunuhnya. Siapa kira si jahanam Narotama muncul..."
"Narotama...? Keparat!" Dibyo Mamangkoro berjingkrak marah. "Lalu bagaimana? Apakah dia masih sekuat dahulu?"
Wirokolo menarik napas panjang. "Dia hebat, kakang. Agaknya malah lebih kuat dari pada dahulu. Aku tahu bahwa aku bukan tandingannya, maka terpaksa kami mundur."
Dibyo Mamangkoro menggendong kedua tangan di punggung, lalu berjalan kian kemari dengan kening berkerut. Dari mulutnya keluar suara menggereng seperti harimau kelaparan. Tiba-tiba ia berhenti dan kembali merangkul pundak Endang.
"Kita tunggu waktu dan kesempatan! Kita tunggu muridku dewasa. Dengan kepandaiannya dan dengan keris pusaka Brojol Luwuk di tangannya aku yakin Kahuripan akan hancur lebur kelak. Huah-ha-ha!"
Wirokolo dan Gagak Kembar hanya sehari tinggal di pulau itu. Mereka segera pergi dari pulau, kembali ke tempat mereka sendiri, yaitu di lembah Citandui. Mereka sebagai anak buah Dibyo Mamangkoro dipesan untuk mempersiapkan diri, mengumpulkan tenaga bantuan yang bersakit hati terhadap Kahuripan, dan menyelidiki keadaan Kahuripan. Jika ada perubahan di Kahuripan, mereka dipesan agar mengabarkan ke Nusakambangan.
Sementara itu semenjak mengalami peristiwa pertempuran melawan paman gurunya sendiri, Endang Patibrpto maklum bahwa di dunia ini banyak sekali orang pandai dan kalau ia tidak tekun belajar, menguras semua ilmu yang dimiliki gurunya, kelak tentu ia akan menemui banyak kesulitan dari orang pandai.
Di lain pihak, setelah mendapat kenyataan bahwa muridnya secara aneh telah memiliki keris pusaka Ki Brojol Luwuk, Dibyo Mamangkoro menjadi makin sayang kepada muridnya! Makin besar hatinya, dan makin tebal keyakinannya bahwa muridnya ini kelak akan lebih berhasil dari padanya dalam usaha meruntuhkan Kahuripan…..
********************
Kita tinggalkan dulu Endang Patibroto yang tekun menerima gemblengan ilmu kesaktian dari Dibyo Mamangkoro. Mari kita mengikuti perjalanan Jokowanengpati yang melarikan diri menunggang kuda menuju ke selatan. Melihat perang dihentikan oleh Sang Prabu Airlangga sendiri, Jokowanengpati maklum bahwa perdamaian antara kedua pangeran tentu akan terjadi. Dan ia telah melihat musuh besarnya, orang-orang yang tentu tidak akan berhenti sebelum berhadapan muka dan mengadu nyawa dengannya. la melihat Pujo, Kartikosari, dan Roro Luhito, tiga orang yang menaruh dendam sedalam lautan kepadanya. Lebih dari semua itu, ia melihat Resi Bhargowo!
Kaget seperti disambar petir ketika ia tadi melihat Resi Bhargowo di sebelah Sang Prabu Airlangga. Jelas bahwa Resi Bhargowo sudah ia hantam roboh dengan penggada milik Ki Krendoyakso. Ia ingat betul betapa ia mengerahkan tenaga sekuatnya ketika melakukan pemukulan curang itu dan ia tahu pula bahwa ruyung Wesi Ireng adalah senjata pusaka yang ampuh. Terasa oleh tangannya betapa kepala resi itu terkena pukulan yang telak sehingga resi itu roboh seketika. Bagaimana sekarang Resi Bhargowo bisa muncul dalam keadaan segar sehat di samping Sang Prabu Airlangga? Tentu saja ia tidak berani bertemu muka dengan bekas paman gurunya itu. Selain itu, juga ia melihat munculnya Empu Bharodo, gurunya!
Setelah mereka itu muncul, bagaimana ia berani tinggal lebih lama lagi di kota raja? Dalam keadaan perang saudara, tentu saja ia dapat berlindung di belakang punggung Pangeran Anom. Akan tetapi setelah damai, tidak mungkin lagi. Lebih cepat pergi, lebih aman baginya. Lebih-lebih lagi kini setelah ia membunuh Wisangjiwo. Akan bertambah mereka yang benci dan mendendam kepadanya.
"Ha-ha-ha! TIdak seorangpun melihat aku pergi Mereka kini tentu sedang mencari-cari!"
Jokowanengpati terkekeh senang sambil membalapkan kudanya terus ke selatan. Setelah membalapkan kuda tiada hentinya selama dua hari dua malam, kudanya itu akhirnya roboh lemas dan mati di luar sebuah kampung. Jokowanengpati melompat turun dan menendang bangkai kuda yang telah membawanya lari selama itu.
"Huh, kuda sialan!"
Akan tetapi lega hatinya setelah mendapat kenyataan bahwa ia telah melarikan diri jauh sekali dari kota raja. Ia sudah sampai di wilayah pantai selatan. Dari kampung itu ke Laut Selatan hanya tinggal perjalanan selama satu dua jam saja. Hatinya mulai gembira. la telah berada di tempat aman, jauh dari kota raja, dan tak seorangpun mengenalnya di sini. Hari telah mendekati malam dan dengan senyum menghias bibirnya yang tampan, ia memasuki kampung itu meninggalkan bangkai kudanya tanpa menengok satu kali pun.
Manusia dengan watak seperti Jokowanengpati ini tidak mungkin dapat mengingat budi dan jasa seekor kuda. Jokowanengpati meraba-raba dadanya. Masih terasa sakit bekas pukulan Wisangjiwo. Ia tahu bahwa pukulan itu mengakibatkan luka dalam di dadanya. Akan tetapi, asal ia dapat beristirahat dan tidak mengeluarkan tenaga berat, ia akan sembuh kembali.
Pikiran ini menenangkan hatinya. Ia boleh beristirahat di kampung ini, atau besok ia akan mencari tempat yang lebih aman. Di pinggir laut. Kemudian, dari pinggir laut ini ia akan terus mencari tempat kediaman Ni Nogogini yang katanya di pinggir laut sebelah timur. Asal ia menyusuri sepanjang pantai ke timur, akhirnya tentu akan ketemu.
Akan tetapi, malam ini ia akan bermalam di dalam kampung. Perutnya lapar sekali. Ia harus mencari makanan. Tiba-tiba ia tersenyum lebar. Suara gamelan menyambut kedatangannya. Suara gamelan yang terdengar amat merdu dan indah. Kalau ada gamelan, berarti ada pesta dan kalau ada pesta, berarti ada makanan enak berlebihan!
Jokowanengpati tertawa terkekeh senang dan ia mempercepat langkahnya menuju ke arah suara gamelan. Dari jauh sudah tampak sinar lampu yang menerangi tempat pesta, juga suara banyak anak-anak di depan rumah yang berpesta. Memang tepat dugaannya. Ada orang mengadakan perayaan pesta perkawinan. Bukan lain adalah lurah kampung itu sendiri yang mengadakan pesta, untuk merayakan perkawinan puterinya! Tamu-tamu mulai berdatangan dan beberapa penari mulai mcnari sambil bersinden, diiringi suara gamelan meriah. Minuman dan hidangan dikeluarkan oleh pelayan-pelayan yang sibuk.
Jokowanengpati melangkah gagah memasuki ruangan. Biarpun ia tidak berganti pakaian, namun pakaian yang menempel di tubuhnya adalah pakaian perwira kerajaan, pakaian yang jauh lebih indah dan lebih gagah dari pada pakaian semua orang yang hadir di situ, termasuk pengantin prianya sendiri!
Semua orang cingak (memandang kagum) ketika ia masuk, dan pak lurah sendiri tergopoh-gopoh menyambutnya. Tentu saja pak lurah agak bingung karena tidak mengenal tamunya ini, tamu yang tidak diundang, namun ia harus menghormat, melihat pakaian tamunya yang jelas membayangkan seorang priyayi dari kota raja. Sambil membongkok-bongkok tuan rumah ini menyambut Joko wanengpati. Tanpa malu atau sungkan sedikitpun, Jokowanengpati bekata,
"Maaf, paman. Aku adalah seorang pelancong dari kota raja. Kudaku sakit dan mati di luar kampung. Terpaksa aku mengganggu dan datang ke sini."
"Wah, malah kebetulan sekali, raden. Kami sedang mengadakan pesta perkawinan anak kami. Silakan raden."
"Aku hanya mengganggu saja."
"Tidak, sama sekali tidak. Malah kami merasa terhormat sekali dapat rnenyambut andika sebagai tamu kehormatan! Silakan..."
Sambil mengangkat dada Jokowanengpati mendapat tempat kehormatan, dekat pengantin! Dan tentu saja ia mendapat hidangan yang istimewa sehingga sebentar saja kenyanglah perutnya. Mulai terasa olehnya keletihan tubuh akibat pertempuran dan perjalanan jauh. Tanpa segan-segan lagi ia beberapa kali menguap sambil menutup mulut dengan kepalan tangan. Telinganya yang tajam menangkap suara ketawa wanita, ketawa ditahan, akan tetapi sangat merdu dalam pendengaran Jokowanengpati.
Ia melirik dan tahu bahwa yang menahan tawa itu tadi adalah si pengantin wanita! Puteri bapak lurah. Hemm, baru sekarang ia menaruh perhatian. Bentuk tubuh yang padat ramping. Kulit yang agak hitam, akan tetapi bersih dan halus. la melirik ke bawah. Dari bawah kain itu tampak tumit yang halus dan indah bentuknya, mata kaki dan ujung betis yang merit dengan lengkung sempurna. Kembali ia melirik ke atas. Sayang, pengantin wanita itu mukanya tertutup, tak dapat dilihat. Akan tetapi seorang wanita dengan perawakan seperti Itu tak mungkin buruk rupa. Apalagi puteri pak lurah yang wajahnya tampan.
Suara ketawa pengantin wanita itu menambah lamunan Jokowanengpati yang sudah mulai terpengaruh minuman tuwak (arak). Setelah sepasang pengantin diiring masuk kekamar, Jokowanengpati juga minta kepada tuan rumah agar supaya malam itu ia diberi tempat untuk mengaso.
Bapak lurah menyambut permintaan ini dengan penuh hormat dan gembira. Maka diantarnyalah Jokowanengpati ke dalam sebuah kamar di ruang belakang kelurahan. Pesta berlangsung terus karena menjelang tengah malam dimulai pesta tayuban, di mana para tamu yang sudah agak mabok itu ikut pula menari bersama para penari yang cantik-cantik.
Gamelan dipukul makin keras, suasana makin meriah. Suasana yang riuh dan meriah di ruangan depan di mana pesta berlangsung inilah yang membuat semua orang tidak tahu betapa lewat tengah malam itu terdengar suara gaduh di dalam kamar pengantin. Tidak ada yang mendengar jerit tangis pengantin wanita, dan tidak ada yang tahu pula betapa sesaat kemudian pengantin pria terlempar dari pintu kamar, jatuh di atas lantai depan pintu tak bergerak lagi. Baik pihak tuan rumah maupun pihak tamu semua telah minum tuwak terlalu banyak.
Di ruangan depan, orang-orang bersenang dan bergembira melewati batas, tertawa, bersorak, menggoda penari yang kadang-kadang menjerit manja menyeling suara gamelan yang tak kunjung henti. Sedangkan di ruangan dalam, di kamar pengantin yang menyendiri dan sunyi, maut merajalela!
Dapat dibayangkan betapa kaget tuan rumah sekeluarga ketika pada pagi harinya mereka mendapatkan pengantin pria menggeletak di luar kamar pengantin dalam keadaan mengerikan, kepala pecah dan tak bernyawa lagi! Bapak lurah dan keluarganya menyerbu ke dalam kamar pengantin dan terbelalak memandang puterinya yang malam tadi menjadi pengantin, kini dalam keadaan telanjang bulat mati pula menggantung diri di dalam kamar pengantin!
Jerit tangis melengking dan Ibu lurah serta beberapa orang lain roboh pingsan. Gegerlah keadaan dalam kalurahan, kacau-balau dan panik. Bapak lurah dengan mata jelalatan melompat keluar dari kamar pengantin lalu lari ke belakang, menuju kamar tamu di mana malam tadi ia mengantar tamunya, priyayi dari kota raja. Pintu kamar itu masih tertutup, akan tetapi bapak lurah segera menyerbu masuk dan mendorong pintu kamar. Daun pintu terbuka dan... tidak ada seorangpun dalam kamar itu!
"Si keparat...! Manusia iblis...!
Bapak lurah makin beringas, lari menyambar tombaknya dari kamar dan ia jelilatan mencari-cari keluar masuk kelurahan. Namun bayangan tamunya itu tidak kelihatan lagi. Akhirnya ia menangisi jenasah puterinya yang sudah diturunkan orang.
Jokowanengpati berjalan seenaknya menuju ke selatan. Mulutnya tersenyum-senyum, hatinya gembira. Ia bebas dari musuh-musuh besarnya yang berkumpul di kota raja. Tiada satupun yang ia takuti di daerah pantai selatan ini. Puteri pak lurah itu benar manis tepat seperti dugaannya. Sungguh baik nasibnya. Kudanya mati di luar kampung, kebetulan kepala kampung mengadakan pesta sehingga ia mendapat hidangan sampai kenyang, mendapat tempat penginapan tanpa bayar, bahkan mendapat kawan puteri pak lurah yang manis!. Teringat akan ini, ia tertawa menyeringai. Terpaksa ia membunuh pengantin pria yang hendak melawan. Dan tadi ia meninggalkan pengantin wanita, pengantinnya yang manis, dalam keadaan banjir air mata.
Jokowanengpati berjalan tidak tergesa-gesa. Peduli apa orang-orang kampung itu. Kalau ada yang mengejarnyapun ia tidak takut. Masa depannya cerah. Ia akan bersembunyi di daerah pantai ini, mengunjungi dusun-dusun yang kaya akan gadis-gadis dusun yang manis-manis. Ia akan bersembunyi sambil menanti sampai keadaan di kota raja beres, sampai tiba saatnya dan terbuka kesempatan baginya untuk mengabdi kepada Pangeran Anom sehingga keselamatannya terlindung.
Kalau sudah bosan di daerah sunyi, kalau sudah tidak ada perawan dusun yang menarik perhatiannya, ia akan menyusuri pantai ke timur, mencari Ni Nogogini. Tuhan Maha Adil. Maha Kuasa. Kuasa memberkahi, kuasa pula menghukum. Perbuatan terkutuk yang dilakukan Jokowanengpati di dusun, berarti penundaan pelariannya sejak senja sampai pagi.
Hal ini berarti pula bahwa pelariannya terlambat sehingga memberi kesempatan kepada para pengejarnya untuk menebus kekalahan waktu. Andai kata Jokowanengpati tidak berhenti di dusun dan terus melanjutkan larinya dengan aji lari cepat, terus menyusuri pantai ke timur, tentu para pengejarnya akan kehilangan jejak dan takkan dapat menyusulnya. Akan tetapi, iblis telah menyelewengkannya ke dalam dusun itu, di mana ia melakukan perbuatan keji dan terkutuk terhadap pengantin wanita sehingga mengakibatkan tewasnya pengantin pria dan matinya pengantin wanita karena bunuh diri.
Tidak seperti Jokowanengpati yang terus menekan dan memaksa kudanya sehingga mati kelelahan di luar dusun, Kartikosari dan Roro Luhito yang melakukan pengejaran, selalu berhenti memberi kesempatan kepada kuda mereka untuk mengaso, makan rumput atau minum air. Karena inilah maka mereka ketinggalan jauh oleh Jokowanengpati. Akan tetapi dua orang wanita ini hanya berhenti untuk memberi kesempatan kuda mereka mengaso saja, dan mereka menggunakan kesempatan ini pula untuk melepas lelah sebentar.
Setelah itu mereka berangkat lagi, tidak peduli panas terik siang hari dan dingin gelap malam hari. Inilah sebabnya maka ketika Jokowanengpati membuang waktu semalam untuk melakukan perbuatan terkutuk di kelurahan dusun itu, dua orang wanita pengejar ini telah dapat menebus kekalahan waktu ketinggalan.
Pada pagi itu, ketika kelurahan geger karena peristiwa terkutuk akibat perbuatan Jokowanengpati, Kartikosari dan Roro Luhito memasuki dusun itu. Mereka berdua memasuki dusun dan berdebar hati mereka melihat bangkai kuda di luar dusun. Besar dugaan mereka bahwa itulah kuda tunggangan Jokowanengpati, yang mati karena kelelahan di luar dusun. Kalau begitu, agaknya si keparat itu berada dalam dusun ini!
Akan tetapi mereka melihat keadaan yang geger dan kacau. Orang-orang dusun itu lari ke sana ke mari seperti orang mencari-cari, dengan mata jelilatan dan semua orang yang berada di jalan membawa senjata. Dua orang wanita ini terus menjalankan kuda ke arah pusat keributan, yaitu didepan rumah yang besar dan yang terhias seperti ada perayaan di situ, dihias janur-janur kuning dan daun-daun waringin.
Kartikosari dan Roro Luhito ialu melompat turun dari atas kuda masing-masing, siap hendak bertanya apa gerangan yang nerjadi, dan terutama sekali bertanya kalau-kalau penduduk di situ ada yang melihat seorang laki-laki asing, yaitu Jokowanengpati. Akan tetapi beium juga mereka membuka suara, tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua berlari keluar dari dalam rumah, tangannya memegang sebatang tombak. Begitu melihat dua orang wanita ini, laki-laki setengah tua itu segera membentak,
"Ini dia! Ini tentu teman-teman si keparat dari kota raja! Mereka tentu bukan orang baik-baik!" Setelah membentak demikian, serta-merta ia menerjang dengan tombaknya. Karena Kartikosari berada di depan, maka wanita inilah yang langsung mendapat serangan bapak lurah, laki-laki setengah tua itu.
"Eh-eh, sabar dulu, paman. Apakah yang terjadi?" seru Kartikosari sambil mengelak.
Akan tetapi, melihat betapa wanita itu dengan mudah mengelak dari serangan tombaknya, bapak lurah makin curiga dan segera berseru, "Saudara-saudara, kepung mereka berdua ini! Tentu mereka ini teman-teman si keparat itu!"
Mendapat komando ini, serentak orang-orang kampung segera mengepung dengan sikap mengancam. Melihat keadaan yang tidak baik ini, Roro Luhito yang cerdik berlaku sigap. Dia cepat-cepat melompat maju ke arah bapak lurah yang kembali sudah menusukkan tombaknya.....
Komentar
Posting Komentar