BADAI LAUT SELATAN : JILID-12
"Akan kami usir dengan kekerasan!" bentak cantrik Wisudo yang sudah marah.
"Uuhhh, uuhh, tidak kajen (terhormat) awakku...! Cantrik cilik kalian minta dihajar, biar kalian rasakan kesaktian Cekel Aksomolo!" Tiba-tiba kakek ini menggerakkan tasbih hitamnya, diputar-putar di udara dan terdengarlah suara nyaring dan aneh.
Tadinya cantrik Wisudo dan lima orang saudaranya menyangka bahwa kakek yang seperti orang gila itu hendak menyerang mereka dengan hantaman tasbih, akan tetapi ternyata tasbih itu hanya diputar-putar di atas kepala dan sama sekali kakek itu tidak menyerang mereka. Tentu saja mereka merasa heran dan geli, mengira bahwa kakek ini benar-benar miring otaknya. Akan tetapi mendadak cantrik Wisudo merasa betapa suara yang berkeritikan dan aneh itu kini mengaung-ngaung dan menyerang telinga dan menimbulkan rasa nyeri seakan-akan telinganya ditusuk-tusuk lidi! Kagetlah Wisudo, dan lebih lagi kagetnya melihat seorang di antara saudaranya sudah roboh terguling, mengaduh-aduh karena telinga kirinya mengeluarkan darah!
Cepat cantrik Wisudo menjatuhkan diri duduk bersila mengerahkan kekuatan batinnya. Saudara-saudaranya juga cepat mencontoh perbuatan Wisudo, hanya seorang cantrik yang masih berdiri, bahkan kini bingung menolong cantrik yang telinga kirinya berdarah. Cantrik ini adalah cantrik Wistoro. Cantrik Wistoro bingung sekali melihat akibat yang amat hebat, karena biarpun sudah bersila mengerahkan tenaga batin, tetap saja cantrik-cantrik Bayuwismo itu tidak tahan terhadap suara mujijat dari tasbih itu.
Memang hebat bukan main akibat suara ini. Para cantrik, kecuali Wistoro, sudah duduk bersila meramkan mata. Namun, seorang demi seorang tak kuat bertahan, mulailah darah menetes-netes keluar dari dalam telinga mereka dan yang paling akhir, cantrik Wisudo sendiri yang ilmunya paling tinggi diantara saudara-saudaranya, juga tidak tahan lagi dan kedua telinganya mengeluarkan darah dari luka di dalam karena kendangan telinga mereka telah pecah oleh suara mujijat.
Cekel Aksomolo tertawa terkekeh-kekeh. Akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak heran ketika ia melihat seorang diantara para cantrik itu tidak apa-apa, tidak terpengaruh oleh suara tasbihnya. Cantrik Wistoro ini sama sekali tidak mengeluarkan darah dari kedua telinganya, bahkan kini ia sibuk merawat saudara-saudaranya, mengusap dan membersihkan darah yang keluar dari telinganya, sambil matanya kadang-kadang melotot ke arah Cekel Aksomolo!
Tentu saja Cekel Aksomolo terkejut sekali! Ia tidak percaya ada seorang cantrik yang mampu menahan suara tasbihnya, maka ia melangkah mendekati dan kini ia menggoyangkan tasbihnya lebih keras lagi, dekat telinga cantrik Wistoro! Para cantrik lainnya hanya memandang, mereka sudah tidak lagi terpengaruh suara tasbih karena sudah tak dapat mendengar, hanya merasakan nyerinya bekas kendangan telinga yang pecah. Biarpun diserang suara sedemikian hebatnya, cantrik Wistoro enak-enak saja, sama sekali tidak mengerahkan tenaga batin untuk menahan, akan tetapi sedikitpun ia tidak terpengaruh!
Bimbanglah hati Cekel Aksomolo! Betapa pun saktinya seorang lawan, kalau diserang suara tasbihnya dari jarak sedekat itu dengan telinga, pula tanpa pengerahan tenaga sakti untuk melawan, tak mungkin akan kuat bertahan. Akan tetapi cantrik muda ini enak-enak saja. Dapat dibayangkan betapa saktinya cantrik ini! Ataukah tasbihnya yang kehilangan keampuhan?
Pada saat itu Jokowanengpati sudah melompat keluar dari pondok setelah sia-sia melakukan penggeledahan. Begitu keluar ia terkejut mendengar suara berkeritikan yang amat kecil dan tinggi nadanya, menyerang telinganya serasa jarum menusuk. Cepat ia mengeluarkan benda pemberian Cekel Aksomolo dan menyumpal kedua telinganya. Dengan alat penahan ini, tanpa pengerahan tenaga sakti ia dapat mendekat. Ia pun ikut terheran-heran melihat seorang cantrik muda yang tak dikenalnya sedang merawat lima orang cantrik lain yang rebah tidak karuan dengan telinga berdarah, dan melihat Cekel Aksomolo membunyikan tasbih di dekat telinga cantrik muda itu, ia makin heran lalu mendekat.
Cekel Aksomolo menghentikan bunyi tasbihnya dan menghapus keringat dengan ujung lengan baju. Menggerakkan tasbih mengeluarkan suara mujijat membutuhkan pengerahan tenaga sakti yang besar dan dia tadi sudah bersusah payah dalam penasarannya untuk merobohkan Wistoro, namun sia-sia. Kini ia mengulur tangan membuka penutup telinga yang ia pakai sendiri sambil menjenguk ke arah lubang telinga Wistoro untuk melihat kalau-kalau cantrik itu menggunakan alat penutup lubang telinga. Akan tetapi sama sekali tidak. Ketika ia mengincar ke arah lubang kedua telinga cantrik itu, ia hanya melihat tai telinga dan bulu-bulu telinga! Makin penasaranlah dia. Kalau begini, tentu tasbihku yang kehilangan keampuhannya. Maka ia mendekatkan tasbih di depan telinga kanannya, lalu mengguncang tasbih itu.
"Ttrrrriiiikk!"
Dan akhirnya... Cekel Aksomolo roboh terguling! Cepat-cepat ia melompat bangun dan matanya berair. Sakit sekali rasa telinga kanannya sampai air matanya keluar. Ternyata tasbihnya masih ampuh, tenaga saktinya masih hebat! Akan tetapi mengapa cantrik muda itu tidak terpengaruh? Ia menutupi lagi telinganya dan mendekati cantrik Wistoro, menggerakkan tasbih di dekat telinganya.
"Ttriiiik!"
Wistoro tidak terguncang sama sekali, hanya menoleh dan memandang dengan mata melotot.
"Uuuhhh-huh-huh, kiranya engkau memiliki ilmu juga!" Akhirnya Cekel Aksomolo berkata sambil menghentikan bunyi tasbihnya dan melepas penutup telinga. Jokowanengpati juga membuka penutup telinganya. Wistoro diam saja, hanya mulai memapah saudara-saudaranya memasuki pondok, seorang demi seorang. Kemudian ia pergi keluar lagi dan duduk bersila di depan pintu pondok, sama sekali tidak mempedulikan Cekel Aksomolo yang menantang-nantangnya.
"Hayo berdiri, cantrik bungkik! Hayo kita bertanding untuk menentukan keunggulan!" Cekel Aksomolo mencak-mencak dan memutar-mutar tasbihnya di atas kepala sampai mengeluarkan suara seperti lebah mengamuk. Namun Wistoro yang ditantang itu hanya duduk bersila tanpa bergerak.
Melihat lagak Cekel Aksomolo, diam-diam Jokowanengpati mendongkol. Ia sudah merasa kecewa sekali melihat kenyataan bahwa Resi Bhargowo, Pujo dan Kartikosari tidak berada di tempat itu. Perjalanannya sia-sia belaka, bahaya yang mengancam dirinya belum dapat dilenyapkan. Kekecewaan itu menjadi rasa mendongkol ketika melihat betapa Cekel Aksomolo jagoannya itu kini mencak-mencak dan marah-marah terhadap seorang cantrik yang tiada artinya!
"Sudahlah, eyang Cekel. Untuk apa melayani cantrik? Marilah kita pergi dari sini, kita cari Resi Bhargowo dan Pujo sampai dapat." Ia membujuk.
"Dia menghinaku benar-benar! Dia tidak memandang mata kepadaku! Suara sakti tasbihku dianggap kentut saja! Tantanganku dianggap angin lalu! Biar dia sakti mandraguna putera dewata sekali pun, akan mampus dia bertanding melawan Cekel Aksomolo yang mbaurekso Wilis!"
Jokowanengpati memegang lengan kanan kakek yang mencak-mencak itu sambil berbisik dekat telinganya, "Eyang Cekel, percuma eyang melayani dia! Dia itu adalah seorang yang tuli dan gagu!"
"Hahh...?! Demi iblis puncak Wilis! Huuh-huh-huh, dasar pikun! Pantas saja suara sakti tasbihku tidak mempengaruhinya! Kiranya kedua telinganya sudah bobrok! Yang sudah bobrok, mana bisa rusak lagi?" Cekel Aksomolo menggaruk-garuk belakang telinganya, mukanya merah karena malu.
"Sudahlah, eyang. Lebih baik kita pergi mencari Resi Bhargowo dan Pujo. Kurasa mereka tidak pergi jauh dari sini."
Karena takut kakek itu melakukan perbuatan edan-edanan lagi, Jokowanengpati menuntunnya pergi dari situ, kembali ke tempat pasukan yang menanti. Diam-diam ia menyesal juga mengapa kakek ini melukai para cantrik yang sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan urusan mereka, para cantrik yang seperti juga cantrik-cantrik gurunya, merupakan orang-orang yang tekun mempelajari ilmu kebatinan sambil melayani sang pertapa.
Dengan tangan hampa Jokowanengpati bersama Cekel Aksomolo meninggalkan Sungapan, diikuti oleh pasukan yang mengawal. Di sepanjang jalan mereka bertanya-tanya kepada para penduduk di dusun pasisir, namun tak seorangpun di antara mereka tahu ke mana perginya Resi Bhargowo. Ada yang melihat kakek pertapa itu berjalan kaki seorang diri, akan tetapi tidak ada yang tahu hendak kemana. Juga tentang Pujo dan Kartikosari, tidak ada orang yang mengetahuinya.
Namun Jokowanengpati tidak putus harapan. Pemuda ini maklum bahwa sebelum Resi Bhargowo dan Pujo ditumpas, hidupnya selalu akan terancam bahaya. Atau lebih aman lagi kalau la bisa mendapatkan Kartikosari! Mengingat dan membayangkannya saja membuat Jokowanengpati menggigil. Wanita hebat! Belum pernah selama hidupnya ia mendapatkan seorang wanita seperti Kartikosari. Akan tetapi juga wanita berbahaya, karena hanya Kartikosari seoranglah yang akan dapat membuka rahasianya, akan dapat mengenalnya sekali melihat jari tangan kirinya. Karena itu, wanita ini perlu dipaksa menjadi miliknya selamanya, atau dibunuh!
Karena ada Cekel Aksomolo di sampingnya, tanpa ragu-ragu Jokowanengpati menuruni tebing dan mendatangi gua. Gua Siluman di mana pada malam hari itu, setahun yang lalu, ia menggagahi Kartikosari. Akan tetapi guha itu kosong, kosong dan sunyi. Sejenak hatinya ikut kosong dan sunyi ketika ia berdiri di mulut guha. Terbayanglah semua peristiwa di malam gelap itu, terngiang di telinganya jerit dan rintih Kartikosari, dan pada saat itu rindu dendam menenggelamkan hatinya. Kartikosari, di manakah engkau sekarang, manis?
Pertanyaan hatinya ini dijawab oleh gulungan ombak yang memecah batu karang, menggelepar seperti halilintar. Jokowanengpati bergidik, merasa serem. Seakan-akan suara itu merupakan geraman marah yang mengancamnya. Tergesa-gesa ia mengajak Cekel Aksomolo untuk mendaki naik kembali meninggalkan guha yang menimbulkan kenangan nikmat, juga menimbulkan rasa ngeri dan serem itu…..
********************
Setelah sebulan lamanya mencari-cari tanpa hasil, akhirnya Jokowanengpati mengajak rombongan kembali ke Selopenangkep. Sebetulnya ia masih ingin mencari sampai dapat, akan tetapi Cekel Aksomolo mengomel saja menyatakan kesal dan bosan berkeliaran di tepi laut, kedua karena waktu untuk mengadakan pertemuan besar antara para tokoh sakti yang akan bersekutu dengan Adipati Joyowiseso sudah dekat, maka terpaksa mereka beramai kembali ke Selopenangkep.
Pada suatu hari tibalah rombongan ini dalam sebuah hutan penuh pohon randu alas dan jati. Untuk menghibur hati yang kesal, Jokowanengpati mengajak rombongannya menggunakan kesempatan terluang untuk sekalian berburu binatang. Oleh karena itu mereka sengaja mencari jalan melalui gunung yang banyak hutannya. Semua pendapatan berburu dimakan dagingnya di tempat dan dalam perburuan ini, Cekel Aksomolo memperlihatkan kepandaiannya. Kalau para pengawal berburu binatang dengan anak panah, sedangkan Jokowanengpati yang memiliki Aji Bayu Sakti dapat mengejar dan membunuh kijang dengan pukulan tangannya, adalah kakek sakti ini hanya dengan segenggam isi mlanding sekali lempar berhasil menjatuhkan belasan ekor burung terkukur atau kepodang yang sedang terbang lewat di atas!
Akan tetapi hutan-hutan di Pegunungan Kidul tidaklah kaya dengan binatang. Apalagi hutan randu alas yang mereka masuki pagi hari itu, amat sunyi. Tidak ada kijang, tidak ada babi hutan, yang ada hanya monyet dan harimau. Memburu harimau sangat sukar karena begitu rombongan itu memasuki hutan, semua harimau sudah lari bersembunyi jauh. Adapun monyet-monyet merupakan binatang yang tak mereka sukai dagingnya.
"Sayang sekali perjalananku jauh-jauh dari Wilis sia-sia belaka." Untuk ke sekian kalinya Cekel Aksomolo mengomel.
Tak enak hati Jokowanengpati. Memang sudah jauh-jauh ia mengundang orang tua sakti ini, kiranya sekarang hanya diajak berputar-putar mencari orang tanpa hasil sampai sebulan lebih. "Agaknya benar dugaan eyang bahwa Resi Bhargowo dan Pujo sudah mendengar akan kedatangan kita. Resi Bhargowo tentu takut mendengar bahwa eyang ikut datang, maka lebih dulu menyingkir dan bersembunyi. Kalau tidak demikian, tentu ada penduduk yang mengetahui di mana dia pergi. Agaknya mereka semua pergi dengan diam-diam."
Cekel Aksomolo menggeleng-geleng kepalanya. "Aku pernah bertemu dengan gurumu, Ki Empu Bharodo, akan tetapi Resi Bhargowo hanya baru kudengar suaranya saja. Akan tetapi mengingat dia itu adik seperguruan Empu Bharodo kurasa tak mungkin ia takut menghadap lawan yang belum pernah dicobanya."
"Betapa pun saktinya, dia pasti akan mati konyol bertanding melawan eyang," Jokowanengpati memuji. "Guru saya sendiri takkan menang melawan eyang."
Kakek tua renta itu memang seorang yang haus akan puji dan umpak. Ia terkekeh senang. "Jelek-jelek, kalau hanya menghadapi Resi Bhargowo saja, tasbih ini pasti masih sanggup menghancurkan kepalanya!"
Pada saat itu terdengar bunyi tertawa meringkik. Kiranya seekor kera jantan sedang mengenjot-enjot batang pohon di atas mereka sambil terkekeh-kekeh entah apa yang ditertawakan dan entah binatang Itu sedang tertawa ataukah menangis, akan tetapi lagaknya seperti seorang anak kecil bermain-main sambil tertawa. Agaknya kelakuan kera itu menggemaskan hati Cekel Aksomolo. Dari atas kuda ia menggerakkan tangannya, dikebutkan ke atas dan kera itu memekik lalu terguling jatuh terbanting ke bawah. Dari hidung, mulut dan telinganya mengalir darah dan ia mati seketika!
"Huh, sayang dia bukan Resi Bhargowo! Resi Bhargowo, di mana engkau? Muncullah di sini, aku siap menghadapimu, Resi Bhargowo...!" Cekel Aksomolo dengan tingkah sombong menantang-nantang memanggil Resi Bhargowo.
Tiba-tiba dari atas pohon melayang turun bayangan orang. Jokowanengpati dan Cekel Aksomolo terkejut memandang gerakan orang itu gesit sekali dan ternyata dia adalah seorang kakek yang sudah tua sekali, rambut dan jenggotnya putih semua, pakaiannya juga putih, kakinya telanjang. Tanpa menghiraukan mereka yang duduk di atas kuda, kakek ini mengeluarkan suara ngak-ngak nguk-nguk seperti kera, langsung menghampiri kera yang terbanting mati, lalu menangis! Masih terisak-isak kakek tua itu membongkar dan menggali tanah, kemudian mengubur bangkai kera dan menangis lagi!
"Heh-heh, kau ini orang gila ataukah kera mabok kecubung?" Cekel Aksomolo menegur karena merasa mendongkol melihat si kakek itu sama sekali tidak mempedulikannya, sedangkan cara mengubur bangkai kera itu merupakan perbuatan yang terang-terangan berlawanan dan mencela perbuatannya membunuh kera tadi.
Kini kakek itu membalikkan tubuh dan memandang penuh perhatian. Hanya sejenak saja ia memandang Cekel Aksomolo, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan Jokowanengpati, ia segera bertanya, suaranya parau, "Apakah engkau yang bernama Pujo anak mantu Resi Bhargowo?"
Jokowanengpati terkejut dan diam-diam timbul harapan hatinya untuk mendengar dari kakek aneh ini di mana adanya Resi Bhargowo. Maka ia lalu menjawab, "Kalau aku betul Pujo bagaimana dan kalau bukan bagaimana?"
"Krrrr! Krrrrr! Betul sombong... sombong sekali...!" Kakek putih itu berjingkrak-jingkrak lalu bertanya kepada Cekel Aksomolo, "Dan engkau ini tua bangka buruk apakah seorang cantrik pengikut Resi Bhargowo?"
"Uuhh-huh-huh, sialan awakku! Eh , kera monyet ketek kunyuk lutung!" la memaki. "Kalau benar bagaimana kalau bukan bagaimana?" Ia meniru jawaban Jokowanengpati.
Kakek tua aneh itu bukan lain adalah Resi Telomoyo, pertapa di puncak Gunung Telomoyo. Dia memang berwatak aneh dan edan-edanan, kadang-kadang seperti seekor kera. Akan tetapi ia amat marah kalau melihat seekor kera diganggu, maka sekarang ia marah bukan main melihat seekor kera dibunuh secara keji Agaknya karena ia pemuja Hanoman, tokoh kera sakti, ia lalu menganggap binatang kera sebagai segolongannya dan amat menyayang binatang ini. Mendengar jawaban-jawaban itu ia makin marah dan berjingkrak, mengeluarkan gerangan-gerengan seperti seekor kera jantan marah.
"Cantrik tua mau mampus! Tanpa sebab kau membunuh seekor kera yang tidak berdosa. Biarlah kubunuh juga engkau dan kau lihat siapakah di antara kau dan kera tadi yang akan mendapat tempat lebih nikmat di alam halus!"
Baru saja ucapannya habis, tubuhnya sudah meloncat dan ia menerkam Cekel Aksomolo yang masih duduk di atas kuda! Menyaksikan gerakan orang yang amat cekatan ini dan sambaran angin pukulan amat dahsyat keluar dari tangan yang hendak mencengkeram, Cekel Aksomolo terkejut sekali dan cepat ia menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Bressss!"
Hebat sekali tenaga sakti kedua orang tokoh tua ini, sama dahsyat dan kuatnya berjumpa di tengah udara dan akibatnya, keduanya terpental seperti disambar halilintar! Resi Telomoyo terpental dan berjungkir balik sampai lima kali di udara, baru tubuhnya turun ke arah tanah sejauh lima meter. Adapun Cekel Aksomolo juga terpental dari atas kudanya, melayang seperti sebuah layang-layang putus talinya, dan turun ke atas tanah seperti sehelai daun kering sambil menyumpah-nyumpah!
Sejenak keduanya saling pandang dari jarak sepuluh meter, Saling pandang dengan terheran-heran dan kedua mulut mereka tiada hentinya mengeluarkan bunyi aneh. Resi Telomoyo mengeluarkan suara meringkik-ringkik sedangkan Cekel Aksomolo menyumpah-nyumpah. Dua puluh empat orang pengawal yang melihat pertandingan dimulai, cepai melompat tutun dari kuda masing-masing dan lari mendekati, mencabut pedang dan golok lalu mengurung tempat pertandingan, siap untuk mengeroyok kakek seperti kera itu. Adapun Jokowanengpati diam-diam merasa gembira sekali karena agaknya kini Cekel Aksomolo bertemu tanding.
Betapa pun juga, ia ingin mendengar dari kakek aneh ini apa sebabnya mencari Pujo dan apakah kakek ini mengetahui tempat sembunyi Resi Bhargowo Di samping itu, ia pun bersiap-siap untuk mengeroyok jika Cekel Aksomolo tidak mampu mengalahkan lawannya. Untuk menguji kepandaian kakek aneh ini, ia lalu memberi tanda kepada kepala pasukan untuk maju menangkap Resi Telomoyo. Kepala pasukan memberi aba-aba dan dua belas orang pengawal serentak maju dengan senjata di tangan mengurung kakek yang sudah mulai menggaruk-garuk punggung seperti seekor kera.
"Orang tua, menyerahlah untuk kami belenggu!" bentak kepala pengawal, diam-diam merasa sungkan juga harus mengerahkan dua belas orang anak buahnya hanya untuk menangkap seorang kakek kurus tua renta yang bertangan kosong.
"Ha-ha-ha-ha, apakah kalau kaki tanganku sudah dibelenggu, kalian merasa akan menang? Majulah, aku melawanmu dengan tangan dan kaki terangkap seperti dibelenggu!"
Resi Telomoyo berkata sambil tertawa dan benar saja, ia merangkapkan kedua tangan dan juga kedua kakinya, berdiri agak membongkok dan matanya yang kecil itu melirik-lirik nakal seperti mata seekor kera. Tentu saja sikap ini membuat para pengawal menjadi marah dan juga geli, mengira bahwa kakek ini tentulah seorang yang sudah miring otaknya atau sudah pikun dan linglung saking tuanya.
Karena itu,kepala pasukan memberi aba-aba, "Serbu dan tangkap dia, boleh pukul tapi jangan bunuh!"
Bagaikan berlomba mencari jasa, dua belas orang pasukan pengawal itu menubruk maju, pedang dan golok dibalikkan karena mereka hanya ingin menggunakan punggung senjata yang tidak tajam saja. Sambil tertawa mengejek dan berteriak-teriak, mereka menyerbu ke depan. Tiba-tiba tubuh kakek itu mencelat ke atas dengan keadaan tegak dan dari atas ia membalik turun. Benar saja seperti janjinya, ia tidak pernah melepas kedua tangan dan kakinya yang tetap menjadi satu, akan tetapi begitu tubuhnya bergerak menyambar-nyambar ke bawah, terdengar teriakan-teriakan ngeri dan robohlah dua belas orang itu satu demi satu, roboh karena dihantam siku atau lutut, bahkan ada yang roboh karena gempuran kepala si kakek yang berambut putih! Mereka roboh tumpang-tindih, mengerang-erang dan merintih-rintih tanpa dapat bangun kembali sedangkan Resi Telomoyo sudah berdiri kembali di tempat tadi, Pertempuran ini tidak lebih satu menit lamanya!
"Rrriiiiikkkk... ttrrriiikkk...!"
Tiada hentinya bunyi berkeritik yang amat nyaring ini dan kiranya Cekel Aksomolo sudah melangkah maju dan memutar tasbihnya yang mengeluarkan suara sakti untuk merobohkan kakek lawan tangguh itu. Jokowanengpati terkejut sekali karena tidak mempergunakan alat penutup telinga, maka ia cepat-cepat mengerahkan ilmu dan ajiannya, mengerahkan tenaga sakti dalam tubuh, menyalurkan hawa panas tenaga sakti itu kearah sepanjang telinganya untuk menolak pengaruh suara mujijat.
Sejenak Resi Tolomoyo yang diserang langsung oleh suara itu, bergoyang-goyang tubuhnya, kemudian ia meringkik-ringkik dan menggereng-gereng sambil berloncatan, makin lama suaranya makin cepat dan nyaring, mengimbangi suara tasbih sehingga terjadilah adu suara yang sama sekali tidak merdu di antara keduanya, didorong oleh tenaga sakti tingkat tinggi. Kasihan adalah nasib sisa dua belas orang yang belum roboh. Begitu mendengar suara berkeritik dari tasbih Cekel Aksomolo, mereka menggigil. Kali ini Cekel Aksomolo tidak menggunakan nada suara tinggi halus untuk memecahkan kendangan telinga, melainkan mempergunakan nada suara keras untuk mengguncang jantung.
Dua belas orang itu menjambak-jambak dada yang terasa sakit dan tak lama kemudian mereka sudah terjungkal roboh dan berkelojotan seperti cacing yang terkena abu, dan betapa pun mereka menutupi telinga, suara itu tetap menerobos masuk dan seakan-akan menusuk-nusuk jantung. Apalagi setelah kakek rambut putih itu mengeluarkan suara pula yang amat tidak enak didengar, keadaan mereka makin tersiksa. Adapun dua belas orang pengawal yang lain tidaklah begitu menderita.
Mereka telah terluka parah dan kelemahan tubuh mereka membuat mereka segera roboh pingsan begitu mendengar suara sakti, Cekel Aksomolo makin penasaran dan juga marah, apalagi setelah melihat betapa selain kakek putih itu tidak terpengaruh oleh suara tasbihnya, juga semua pengawal sudah roboh, bahkan Jokowanengpati dalam keadaan setengah samadhi sehingga takkan dapat membantunya.
Dalam gebrakan pertama ini dia sudah rugi. Karena itu, dengan gemas ia menghentikan suara tasbihnya dan membentak, "Kunyuk tua manusia monyet liar! Siapakah engkau berani main-main di depanku? Apakah kehendakmu? Apakah kau sudah bosan hidup?"
"Ha-ha-ha, aku memang bosan hidup, akan tetapi bukan engkau yang menentukan! Apa engkau pun belum bosan, cantrik tua bangka? Tubuhmu sudah bongkok, pipimu sudah peyot, kulitmu sudah keriput, akan tetapi matamu masih memancarkan nafsu! Ha-ha-ha, aku tidak ada waktu untuk melayanimu, yang kuperlukan si Pujo ini!"
Begitu berhenti ucapannya, secepat kilat menyambar, Resi Telomoyo sudah menggerakkan tubuhnya berkelebat ke arah Jokowanengpati yang sudah sejak tadi bersiap-siap.
"Aiihhh...?" Terkejut sekali Resi Telomoyo ketika melihat sambarannya tidak berhasil, dapat dielakkan oleh pemuda itu dengan gerakan yang tangkas sekali.
Tidak aneh, karena Jokowanengpati bukanlah pemuda sembarangan, ia adalah bekas murid terkasih Empu Bharodo yang sudah menurunkan ilmu meringankan tubuh Bayu Sakti! Jokowanengpati memang seorang pemuda yang memiliki watak tinggi hati, tidak mau kalah dan memandang rendah orang lain. Terhadap Resi Telomoyo tentu saja ia tidak mau memandang rendah dan sudah dapat menduga bahwa kakek seperti kera ini memiliki ilmu kesaktian tinggi, akan tetapi ia belum puas kalau belum mencobanya sendiri.
Pula, dia adalah seorang pemuda cerdik. Andai kata di sampingnya tidak ada Cekel Aksomolo yang dapat diandalkan untuk membantu dan menolongnya apabila ia terancam bahaya, agaknya sikapnya terhadap lawan sakti ini akan lain lagi. Kini, melihat betapa ia mampu mengelak terhadap terkaman si kakek putih, hatinya menjadi besar dan sambil membalikkan tubuhnya ia bersiap dengan kuda-kuda yang kokoh kuat.
Begitu kakek rambut putih itu menubruk lagi. ia mengelak ke kiri sambil balas menghantam dengan tangan kanan ke arah dada, disusul dupakan kaki kiri ke arah lutut kanan lawan. Pukulan tangan Jokowanengpati amatlah ampuhnya karena ia mempergunakan aji pukulan Siyung Warak yang mengandung penuh tenaga sakti dan sanggup menghancurkan batu gunung! Juga pukulan kakinya amat dahsyat, apalagi yang dijadikan sasaran adalah lutut. Betapa pun saktinya seseorang, apabila, sambungan lututnya terlepas, tentu akan menjadi pincang dan berkurang kegesitannya.
Namun, betapa kagetnya hati Jokowanengpati ketika pukulan tangan kanannya itu bertemu dengan daging dada yang lunak dan membuat tenaga pukulannya seakan-akan tenggelam ke dalam air yang tak berdasar, adapun tendangannya yang menyusul itu sama sekali tidak mengenai sasaran. Cepat ia menarik pukulannya dan melompat ke belakang dengan muka pucat. Tahulah ia bahwa lawan yang tua ini benar-benar merupakan tandingan berat yang memiliki tenaga dalam yang sukar diukur tingkatnya!
"Ha-ha-ha, sebegitu saja kepandaianmu? Lebih baik kau menurut saja kubawa!" Kembali Resi Telomoyo menubruk hendak menangkap lawannya yang muda dan gesit, namun kembali Jokowanengpati dapat mengelak mempergunakan Ilmu Bayu Saktinya.
Sambil mengelak ia tidak mau tinggal diam. Ia maklum akan kekuatan kakek ini, akan tetapi juga dapat menduga bahwa kakek ini memiliki bagian-bagian tubuh yang tidak kebal, buktinya tadi tendangan yang diarahkan kepada sambungan lutut, tidak berani kakek itu menerimanya. Kini Jokowanengpati menyerbu dan mainkan Ilmu Silat Jonggring Saloko yang ia warisi dari gurunya.
Empu Bharodo memang seorang sakti yang terkenal dengan dua macam ilmunya, yaitu Bayu Sakti sebagai ilmu meringankan tubuh yang membuat pertapa itu dianggap dapat terbang saking tingginya ilmunya ini, dan kedua adalah Ilmu Tombak Jonggring Saloko. Ilmu tombak ini kabarnya belum pernah menemui tanding dan juga ilmu tombak ini merupakan rahasia yang tidak diturunkan kepada muridnya oleh Empu Bharodo.
Akan tetapi sebagai pecahan ilmu tombak ini diciptakanlah ilmu pukulan tangan Jonggring Saloko dan ilmu inilah yang ia turunkan kepada muridnya. Karena Jokowanengpati mempergunakan ilmu pukulan Jonggring Saloko, sebuah ilmu yang diciptakan oleh Empu Bharodo sendiri, tentu saja amatlah ampuhnya. Apalagi karena ilmu ini dimainkan dengan dasar Aji Bayu Sakti yang membuat geraknya menjadi cepat seperti kilat sedangkan ke dalam kedua tangannya ia isi dengan aji pukulan Siyung Warak, maka pada saat itu pemuda ini benar-benar tak boleh dipandang ringan!
"Bagus! Hebat juga!" Berkali-kali Resi Telomoyo memuji.
Dia benar-benar kagum sekali, dan harus mengaku dalam hati bahwa belum pernah ia bertemu lawan sekuat ini, apalagi lawan seorang rnuda. Kalau saja ia tidak menang kuat ilmu dalamnya dan tidak lebih matang ajiannya, agaknya sukar untuk menanggulangi sepak terjang setangkas ini. Ah, pantas saja muridnya, Roro Luhito yang manis, yang mungil dan denok, tergila-gila kepada pemuda ini. Tidak aneh. Memang pemuda pilihan, pemuda gemblengan yang patut sekali menjadi suami Roro Luhito muridnya! Aku harus dapat menangkapnya dan membawanya ke depan Roro Luhito, pikir sang resi. Oleh karena itu ia tidak mau main-main lebih lama lagi biarpun ingin ia menguji sampai di mana hebatnya kepandaian pemuda ini.
Segera ia mengeluarkan seruan meringkik, tubuhnya bergoyang-goyang kedua lengannya dikembangkan dan jari-jari tangannya terbuka, matanya mendelik mulutnya terbuka menyeringai. Inilah Ilmu Sosro Satwo (Seribu Binatang) yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali! Seketika Jokowanengpati meremang tengkuknya karena Aji Sosro Satwo yang dipergunakan Resi Telomoyo itu memang memancarkan wibawa yang mujijat.
Sebelum pemuda ini dapat menenteramkan hatinya, ia sudah diserbu hebat. Kedua lengan tangan resi itu seakan-akan telah menjadi puluhan banyaknya dan Jokowanengpati mendengar suara bermacam binatang liar di sekelilingnya! Ia hanya dapat mengerahkan Bayu Sakti, mundur-mundur sambil mengelak dan menangkis sedapatnya.
"Werrrr..., ssyyuuuut...!"
Sinar hitam meluncur ke depan menyambar kepala Resi Telomoyo yang cepat melompat mundur karena hawa sambaran benda bersinar hitam itu luar biasa sekali pengaruhnya. Ternyata Cekel Aksomolo yang sudah maju. Kakek pertapa Gunung Wilis ini berkata, "Mundurlah, raden. Biarlah aku yang maju. Hayo, kunyuk tua manusia kera, majulah. Akulah lawanmu, tua sama tua! Huh-huh!"
Resi Telomoyo sudah menjadi marah sekali, akan tetapi ia pun merasa heran. Mengapa ada seorang cantrik yang agaknya lebih sakti dari pada Pujo? Ia merasa direndahkan kalau hanya dilawan oleh seorang cantrik saja. Maka sambil menggeram keras ia menerjang maju dengan pukulan Kapi Dibyo. Kedua tangannya menghantam dengan hawa pukulan jarak jauh yang cukup merobohkan lawan dari jarah jauh tanpa menyentuh orangnya. Akan tetapi Cekel Aksomolo tertawa dan menyambut lawan dengan hantaman tasbihnya yang ampuh.....
"Uuhhh, uuhh, tidak kajen (terhormat) awakku...! Cantrik cilik kalian minta dihajar, biar kalian rasakan kesaktian Cekel Aksomolo!" Tiba-tiba kakek ini menggerakkan tasbih hitamnya, diputar-putar di udara dan terdengarlah suara nyaring dan aneh.
Tadinya cantrik Wisudo dan lima orang saudaranya menyangka bahwa kakek yang seperti orang gila itu hendak menyerang mereka dengan hantaman tasbih, akan tetapi ternyata tasbih itu hanya diputar-putar di atas kepala dan sama sekali kakek itu tidak menyerang mereka. Tentu saja mereka merasa heran dan geli, mengira bahwa kakek ini benar-benar miring otaknya. Akan tetapi mendadak cantrik Wisudo merasa betapa suara yang berkeritikan dan aneh itu kini mengaung-ngaung dan menyerang telinga dan menimbulkan rasa nyeri seakan-akan telinganya ditusuk-tusuk lidi! Kagetlah Wisudo, dan lebih lagi kagetnya melihat seorang di antara saudaranya sudah roboh terguling, mengaduh-aduh karena telinga kirinya mengeluarkan darah!
Cepat cantrik Wisudo menjatuhkan diri duduk bersila mengerahkan kekuatan batinnya. Saudara-saudaranya juga cepat mencontoh perbuatan Wisudo, hanya seorang cantrik yang masih berdiri, bahkan kini bingung menolong cantrik yang telinga kirinya berdarah. Cantrik ini adalah cantrik Wistoro. Cantrik Wistoro bingung sekali melihat akibat yang amat hebat, karena biarpun sudah bersila mengerahkan tenaga batin, tetap saja cantrik-cantrik Bayuwismo itu tidak tahan terhadap suara mujijat dari tasbih itu.
Memang hebat bukan main akibat suara ini. Para cantrik, kecuali Wistoro, sudah duduk bersila meramkan mata. Namun, seorang demi seorang tak kuat bertahan, mulailah darah menetes-netes keluar dari dalam telinga mereka dan yang paling akhir, cantrik Wisudo sendiri yang ilmunya paling tinggi diantara saudara-saudaranya, juga tidak tahan lagi dan kedua telinganya mengeluarkan darah dari luka di dalam karena kendangan telinga mereka telah pecah oleh suara mujijat.
Cekel Aksomolo tertawa terkekeh-kekeh. Akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak heran ketika ia melihat seorang diantara para cantrik itu tidak apa-apa, tidak terpengaruh oleh suara tasbihnya. Cantrik Wistoro ini sama sekali tidak mengeluarkan darah dari kedua telinganya, bahkan kini ia sibuk merawat saudara-saudaranya, mengusap dan membersihkan darah yang keluar dari telinganya, sambil matanya kadang-kadang melotot ke arah Cekel Aksomolo!
Tentu saja Cekel Aksomolo terkejut sekali! Ia tidak percaya ada seorang cantrik yang mampu menahan suara tasbihnya, maka ia melangkah mendekati dan kini ia menggoyangkan tasbihnya lebih keras lagi, dekat telinga cantrik Wistoro! Para cantrik lainnya hanya memandang, mereka sudah tidak lagi terpengaruh suara tasbih karena sudah tak dapat mendengar, hanya merasakan nyerinya bekas kendangan telinga yang pecah. Biarpun diserang suara sedemikian hebatnya, cantrik Wistoro enak-enak saja, sama sekali tidak mengerahkan tenaga batin untuk menahan, akan tetapi sedikitpun ia tidak terpengaruh!
Bimbanglah hati Cekel Aksomolo! Betapa pun saktinya seorang lawan, kalau diserang suara tasbihnya dari jarak sedekat itu dengan telinga, pula tanpa pengerahan tenaga sakti untuk melawan, tak mungkin akan kuat bertahan. Akan tetapi cantrik muda ini enak-enak saja. Dapat dibayangkan betapa saktinya cantrik ini! Ataukah tasbihnya yang kehilangan keampuhan?
Pada saat itu Jokowanengpati sudah melompat keluar dari pondok setelah sia-sia melakukan penggeledahan. Begitu keluar ia terkejut mendengar suara berkeritikan yang amat kecil dan tinggi nadanya, menyerang telinganya serasa jarum menusuk. Cepat ia mengeluarkan benda pemberian Cekel Aksomolo dan menyumpal kedua telinganya. Dengan alat penahan ini, tanpa pengerahan tenaga sakti ia dapat mendekat. Ia pun ikut terheran-heran melihat seorang cantrik muda yang tak dikenalnya sedang merawat lima orang cantrik lain yang rebah tidak karuan dengan telinga berdarah, dan melihat Cekel Aksomolo membunyikan tasbih di dekat telinga cantrik muda itu, ia makin heran lalu mendekat.
Cekel Aksomolo menghentikan bunyi tasbihnya dan menghapus keringat dengan ujung lengan baju. Menggerakkan tasbih mengeluarkan suara mujijat membutuhkan pengerahan tenaga sakti yang besar dan dia tadi sudah bersusah payah dalam penasarannya untuk merobohkan Wistoro, namun sia-sia. Kini ia mengulur tangan membuka penutup telinga yang ia pakai sendiri sambil menjenguk ke arah lubang telinga Wistoro untuk melihat kalau-kalau cantrik itu menggunakan alat penutup lubang telinga. Akan tetapi sama sekali tidak. Ketika ia mengincar ke arah lubang kedua telinga cantrik itu, ia hanya melihat tai telinga dan bulu-bulu telinga! Makin penasaranlah dia. Kalau begini, tentu tasbihku yang kehilangan keampuhannya. Maka ia mendekatkan tasbih di depan telinga kanannya, lalu mengguncang tasbih itu.
"Ttrrrriiiikk!"
Dan akhirnya... Cekel Aksomolo roboh terguling! Cepat-cepat ia melompat bangun dan matanya berair. Sakit sekali rasa telinga kanannya sampai air matanya keluar. Ternyata tasbihnya masih ampuh, tenaga saktinya masih hebat! Akan tetapi mengapa cantrik muda itu tidak terpengaruh? Ia menutupi lagi telinganya dan mendekati cantrik Wistoro, menggerakkan tasbih di dekat telinganya.
"Ttriiiik!"
Wistoro tidak terguncang sama sekali, hanya menoleh dan memandang dengan mata melotot.
"Uuuhhh-huh-huh, kiranya engkau memiliki ilmu juga!" Akhirnya Cekel Aksomolo berkata sambil menghentikan bunyi tasbihnya dan melepas penutup telinga. Jokowanengpati juga membuka penutup telinganya. Wistoro diam saja, hanya mulai memapah saudara-saudaranya memasuki pondok, seorang demi seorang. Kemudian ia pergi keluar lagi dan duduk bersila di depan pintu pondok, sama sekali tidak mempedulikan Cekel Aksomolo yang menantang-nantangnya.
"Hayo berdiri, cantrik bungkik! Hayo kita bertanding untuk menentukan keunggulan!" Cekel Aksomolo mencak-mencak dan memutar-mutar tasbihnya di atas kepala sampai mengeluarkan suara seperti lebah mengamuk. Namun Wistoro yang ditantang itu hanya duduk bersila tanpa bergerak.
Melihat lagak Cekel Aksomolo, diam-diam Jokowanengpati mendongkol. Ia sudah merasa kecewa sekali melihat kenyataan bahwa Resi Bhargowo, Pujo dan Kartikosari tidak berada di tempat itu. Perjalanannya sia-sia belaka, bahaya yang mengancam dirinya belum dapat dilenyapkan. Kekecewaan itu menjadi rasa mendongkol ketika melihat betapa Cekel Aksomolo jagoannya itu kini mencak-mencak dan marah-marah terhadap seorang cantrik yang tiada artinya!
"Sudahlah, eyang Cekel. Untuk apa melayani cantrik? Marilah kita pergi dari sini, kita cari Resi Bhargowo dan Pujo sampai dapat." Ia membujuk.
"Dia menghinaku benar-benar! Dia tidak memandang mata kepadaku! Suara sakti tasbihku dianggap kentut saja! Tantanganku dianggap angin lalu! Biar dia sakti mandraguna putera dewata sekali pun, akan mampus dia bertanding melawan Cekel Aksomolo yang mbaurekso Wilis!"
Jokowanengpati memegang lengan kanan kakek yang mencak-mencak itu sambil berbisik dekat telinganya, "Eyang Cekel, percuma eyang melayani dia! Dia itu adalah seorang yang tuli dan gagu!"
"Hahh...?! Demi iblis puncak Wilis! Huuh-huh-huh, dasar pikun! Pantas saja suara sakti tasbihku tidak mempengaruhinya! Kiranya kedua telinganya sudah bobrok! Yang sudah bobrok, mana bisa rusak lagi?" Cekel Aksomolo menggaruk-garuk belakang telinganya, mukanya merah karena malu.
"Sudahlah, eyang. Lebih baik kita pergi mencari Resi Bhargowo dan Pujo. Kurasa mereka tidak pergi jauh dari sini."
Karena takut kakek itu melakukan perbuatan edan-edanan lagi, Jokowanengpati menuntunnya pergi dari situ, kembali ke tempat pasukan yang menanti. Diam-diam ia menyesal juga mengapa kakek ini melukai para cantrik yang sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan urusan mereka, para cantrik yang seperti juga cantrik-cantrik gurunya, merupakan orang-orang yang tekun mempelajari ilmu kebatinan sambil melayani sang pertapa.
Dengan tangan hampa Jokowanengpati bersama Cekel Aksomolo meninggalkan Sungapan, diikuti oleh pasukan yang mengawal. Di sepanjang jalan mereka bertanya-tanya kepada para penduduk di dusun pasisir, namun tak seorangpun di antara mereka tahu ke mana perginya Resi Bhargowo. Ada yang melihat kakek pertapa itu berjalan kaki seorang diri, akan tetapi tidak ada yang tahu hendak kemana. Juga tentang Pujo dan Kartikosari, tidak ada orang yang mengetahuinya.
Namun Jokowanengpati tidak putus harapan. Pemuda ini maklum bahwa sebelum Resi Bhargowo dan Pujo ditumpas, hidupnya selalu akan terancam bahaya. Atau lebih aman lagi kalau la bisa mendapatkan Kartikosari! Mengingat dan membayangkannya saja membuat Jokowanengpati menggigil. Wanita hebat! Belum pernah selama hidupnya ia mendapatkan seorang wanita seperti Kartikosari. Akan tetapi juga wanita berbahaya, karena hanya Kartikosari seoranglah yang akan dapat membuka rahasianya, akan dapat mengenalnya sekali melihat jari tangan kirinya. Karena itu, wanita ini perlu dipaksa menjadi miliknya selamanya, atau dibunuh!
Karena ada Cekel Aksomolo di sampingnya, tanpa ragu-ragu Jokowanengpati menuruni tebing dan mendatangi gua. Gua Siluman di mana pada malam hari itu, setahun yang lalu, ia menggagahi Kartikosari. Akan tetapi guha itu kosong, kosong dan sunyi. Sejenak hatinya ikut kosong dan sunyi ketika ia berdiri di mulut guha. Terbayanglah semua peristiwa di malam gelap itu, terngiang di telinganya jerit dan rintih Kartikosari, dan pada saat itu rindu dendam menenggelamkan hatinya. Kartikosari, di manakah engkau sekarang, manis?
Pertanyaan hatinya ini dijawab oleh gulungan ombak yang memecah batu karang, menggelepar seperti halilintar. Jokowanengpati bergidik, merasa serem. Seakan-akan suara itu merupakan geraman marah yang mengancamnya. Tergesa-gesa ia mengajak Cekel Aksomolo untuk mendaki naik kembali meninggalkan guha yang menimbulkan kenangan nikmat, juga menimbulkan rasa ngeri dan serem itu…..
********************
Setelah sebulan lamanya mencari-cari tanpa hasil, akhirnya Jokowanengpati mengajak rombongan kembali ke Selopenangkep. Sebetulnya ia masih ingin mencari sampai dapat, akan tetapi Cekel Aksomolo mengomel saja menyatakan kesal dan bosan berkeliaran di tepi laut, kedua karena waktu untuk mengadakan pertemuan besar antara para tokoh sakti yang akan bersekutu dengan Adipati Joyowiseso sudah dekat, maka terpaksa mereka beramai kembali ke Selopenangkep.
Pada suatu hari tibalah rombongan ini dalam sebuah hutan penuh pohon randu alas dan jati. Untuk menghibur hati yang kesal, Jokowanengpati mengajak rombongannya menggunakan kesempatan terluang untuk sekalian berburu binatang. Oleh karena itu mereka sengaja mencari jalan melalui gunung yang banyak hutannya. Semua pendapatan berburu dimakan dagingnya di tempat dan dalam perburuan ini, Cekel Aksomolo memperlihatkan kepandaiannya. Kalau para pengawal berburu binatang dengan anak panah, sedangkan Jokowanengpati yang memiliki Aji Bayu Sakti dapat mengejar dan membunuh kijang dengan pukulan tangannya, adalah kakek sakti ini hanya dengan segenggam isi mlanding sekali lempar berhasil menjatuhkan belasan ekor burung terkukur atau kepodang yang sedang terbang lewat di atas!
Akan tetapi hutan-hutan di Pegunungan Kidul tidaklah kaya dengan binatang. Apalagi hutan randu alas yang mereka masuki pagi hari itu, amat sunyi. Tidak ada kijang, tidak ada babi hutan, yang ada hanya monyet dan harimau. Memburu harimau sangat sukar karena begitu rombongan itu memasuki hutan, semua harimau sudah lari bersembunyi jauh. Adapun monyet-monyet merupakan binatang yang tak mereka sukai dagingnya.
"Sayang sekali perjalananku jauh-jauh dari Wilis sia-sia belaka." Untuk ke sekian kalinya Cekel Aksomolo mengomel.
Tak enak hati Jokowanengpati. Memang sudah jauh-jauh ia mengundang orang tua sakti ini, kiranya sekarang hanya diajak berputar-putar mencari orang tanpa hasil sampai sebulan lebih. "Agaknya benar dugaan eyang bahwa Resi Bhargowo dan Pujo sudah mendengar akan kedatangan kita. Resi Bhargowo tentu takut mendengar bahwa eyang ikut datang, maka lebih dulu menyingkir dan bersembunyi. Kalau tidak demikian, tentu ada penduduk yang mengetahui di mana dia pergi. Agaknya mereka semua pergi dengan diam-diam."
Cekel Aksomolo menggeleng-geleng kepalanya. "Aku pernah bertemu dengan gurumu, Ki Empu Bharodo, akan tetapi Resi Bhargowo hanya baru kudengar suaranya saja. Akan tetapi mengingat dia itu adik seperguruan Empu Bharodo kurasa tak mungkin ia takut menghadap lawan yang belum pernah dicobanya."
"Betapa pun saktinya, dia pasti akan mati konyol bertanding melawan eyang," Jokowanengpati memuji. "Guru saya sendiri takkan menang melawan eyang."
Kakek tua renta itu memang seorang yang haus akan puji dan umpak. Ia terkekeh senang. "Jelek-jelek, kalau hanya menghadapi Resi Bhargowo saja, tasbih ini pasti masih sanggup menghancurkan kepalanya!"
Pada saat itu terdengar bunyi tertawa meringkik. Kiranya seekor kera jantan sedang mengenjot-enjot batang pohon di atas mereka sambil terkekeh-kekeh entah apa yang ditertawakan dan entah binatang Itu sedang tertawa ataukah menangis, akan tetapi lagaknya seperti seorang anak kecil bermain-main sambil tertawa. Agaknya kelakuan kera itu menggemaskan hati Cekel Aksomolo. Dari atas kuda ia menggerakkan tangannya, dikebutkan ke atas dan kera itu memekik lalu terguling jatuh terbanting ke bawah. Dari hidung, mulut dan telinganya mengalir darah dan ia mati seketika!
"Huh, sayang dia bukan Resi Bhargowo! Resi Bhargowo, di mana engkau? Muncullah di sini, aku siap menghadapimu, Resi Bhargowo...!" Cekel Aksomolo dengan tingkah sombong menantang-nantang memanggil Resi Bhargowo.
Tiba-tiba dari atas pohon melayang turun bayangan orang. Jokowanengpati dan Cekel Aksomolo terkejut memandang gerakan orang itu gesit sekali dan ternyata dia adalah seorang kakek yang sudah tua sekali, rambut dan jenggotnya putih semua, pakaiannya juga putih, kakinya telanjang. Tanpa menghiraukan mereka yang duduk di atas kuda, kakek ini mengeluarkan suara ngak-ngak nguk-nguk seperti kera, langsung menghampiri kera yang terbanting mati, lalu menangis! Masih terisak-isak kakek tua itu membongkar dan menggali tanah, kemudian mengubur bangkai kera dan menangis lagi!
"Heh-heh, kau ini orang gila ataukah kera mabok kecubung?" Cekel Aksomolo menegur karena merasa mendongkol melihat si kakek itu sama sekali tidak mempedulikannya, sedangkan cara mengubur bangkai kera itu merupakan perbuatan yang terang-terangan berlawanan dan mencela perbuatannya membunuh kera tadi.
Kini kakek itu membalikkan tubuh dan memandang penuh perhatian. Hanya sejenak saja ia memandang Cekel Aksomolo, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan Jokowanengpati, ia segera bertanya, suaranya parau, "Apakah engkau yang bernama Pujo anak mantu Resi Bhargowo?"
Jokowanengpati terkejut dan diam-diam timbul harapan hatinya untuk mendengar dari kakek aneh ini di mana adanya Resi Bhargowo. Maka ia lalu menjawab, "Kalau aku betul Pujo bagaimana dan kalau bukan bagaimana?"
"Krrrr! Krrrrr! Betul sombong... sombong sekali...!" Kakek putih itu berjingkrak-jingkrak lalu bertanya kepada Cekel Aksomolo, "Dan engkau ini tua bangka buruk apakah seorang cantrik pengikut Resi Bhargowo?"
"Uuhh-huh-huh, sialan awakku! Eh , kera monyet ketek kunyuk lutung!" la memaki. "Kalau benar bagaimana kalau bukan bagaimana?" Ia meniru jawaban Jokowanengpati.
Kakek tua aneh itu bukan lain adalah Resi Telomoyo, pertapa di puncak Gunung Telomoyo. Dia memang berwatak aneh dan edan-edanan, kadang-kadang seperti seekor kera. Akan tetapi ia amat marah kalau melihat seekor kera diganggu, maka sekarang ia marah bukan main melihat seekor kera dibunuh secara keji Agaknya karena ia pemuja Hanoman, tokoh kera sakti, ia lalu menganggap binatang kera sebagai segolongannya dan amat menyayang binatang ini. Mendengar jawaban-jawaban itu ia makin marah dan berjingkrak, mengeluarkan gerangan-gerengan seperti seekor kera jantan marah.
"Cantrik tua mau mampus! Tanpa sebab kau membunuh seekor kera yang tidak berdosa. Biarlah kubunuh juga engkau dan kau lihat siapakah di antara kau dan kera tadi yang akan mendapat tempat lebih nikmat di alam halus!"
Baru saja ucapannya habis, tubuhnya sudah meloncat dan ia menerkam Cekel Aksomolo yang masih duduk di atas kuda! Menyaksikan gerakan orang yang amat cekatan ini dan sambaran angin pukulan amat dahsyat keluar dari tangan yang hendak mencengkeram, Cekel Aksomolo terkejut sekali dan cepat ia menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Bressss!"
Hebat sekali tenaga sakti kedua orang tokoh tua ini, sama dahsyat dan kuatnya berjumpa di tengah udara dan akibatnya, keduanya terpental seperti disambar halilintar! Resi Telomoyo terpental dan berjungkir balik sampai lima kali di udara, baru tubuhnya turun ke arah tanah sejauh lima meter. Adapun Cekel Aksomolo juga terpental dari atas kudanya, melayang seperti sebuah layang-layang putus talinya, dan turun ke atas tanah seperti sehelai daun kering sambil menyumpah-nyumpah!
Sejenak keduanya saling pandang dari jarak sepuluh meter, Saling pandang dengan terheran-heran dan kedua mulut mereka tiada hentinya mengeluarkan bunyi aneh. Resi Telomoyo mengeluarkan suara meringkik-ringkik sedangkan Cekel Aksomolo menyumpah-nyumpah. Dua puluh empat orang pengawal yang melihat pertandingan dimulai, cepai melompat tutun dari kuda masing-masing dan lari mendekati, mencabut pedang dan golok lalu mengurung tempat pertandingan, siap untuk mengeroyok kakek seperti kera itu. Adapun Jokowanengpati diam-diam merasa gembira sekali karena agaknya kini Cekel Aksomolo bertemu tanding.
Betapa pun juga, ia ingin mendengar dari kakek aneh ini apa sebabnya mencari Pujo dan apakah kakek ini mengetahui tempat sembunyi Resi Bhargowo Di samping itu, ia pun bersiap-siap untuk mengeroyok jika Cekel Aksomolo tidak mampu mengalahkan lawannya. Untuk menguji kepandaian kakek aneh ini, ia lalu memberi tanda kepada kepala pasukan untuk maju menangkap Resi Telomoyo. Kepala pasukan memberi aba-aba dan dua belas orang pengawal serentak maju dengan senjata di tangan mengurung kakek yang sudah mulai menggaruk-garuk punggung seperti seekor kera.
"Orang tua, menyerahlah untuk kami belenggu!" bentak kepala pengawal, diam-diam merasa sungkan juga harus mengerahkan dua belas orang anak buahnya hanya untuk menangkap seorang kakek kurus tua renta yang bertangan kosong.
"Ha-ha-ha-ha, apakah kalau kaki tanganku sudah dibelenggu, kalian merasa akan menang? Majulah, aku melawanmu dengan tangan dan kaki terangkap seperti dibelenggu!"
Resi Telomoyo berkata sambil tertawa dan benar saja, ia merangkapkan kedua tangan dan juga kedua kakinya, berdiri agak membongkok dan matanya yang kecil itu melirik-lirik nakal seperti mata seekor kera. Tentu saja sikap ini membuat para pengawal menjadi marah dan juga geli, mengira bahwa kakek ini tentulah seorang yang sudah miring otaknya atau sudah pikun dan linglung saking tuanya.
Karena itu,kepala pasukan memberi aba-aba, "Serbu dan tangkap dia, boleh pukul tapi jangan bunuh!"
Bagaikan berlomba mencari jasa, dua belas orang pasukan pengawal itu menubruk maju, pedang dan golok dibalikkan karena mereka hanya ingin menggunakan punggung senjata yang tidak tajam saja. Sambil tertawa mengejek dan berteriak-teriak, mereka menyerbu ke depan. Tiba-tiba tubuh kakek itu mencelat ke atas dengan keadaan tegak dan dari atas ia membalik turun. Benar saja seperti janjinya, ia tidak pernah melepas kedua tangan dan kakinya yang tetap menjadi satu, akan tetapi begitu tubuhnya bergerak menyambar-nyambar ke bawah, terdengar teriakan-teriakan ngeri dan robohlah dua belas orang itu satu demi satu, roboh karena dihantam siku atau lutut, bahkan ada yang roboh karena gempuran kepala si kakek yang berambut putih! Mereka roboh tumpang-tindih, mengerang-erang dan merintih-rintih tanpa dapat bangun kembali sedangkan Resi Telomoyo sudah berdiri kembali di tempat tadi, Pertempuran ini tidak lebih satu menit lamanya!
"Rrriiiiikkkk... ttrrriiikkk...!"
Tiada hentinya bunyi berkeritik yang amat nyaring ini dan kiranya Cekel Aksomolo sudah melangkah maju dan memutar tasbihnya yang mengeluarkan suara sakti untuk merobohkan kakek lawan tangguh itu. Jokowanengpati terkejut sekali karena tidak mempergunakan alat penutup telinga, maka ia cepat-cepat mengerahkan ilmu dan ajiannya, mengerahkan tenaga sakti dalam tubuh, menyalurkan hawa panas tenaga sakti itu kearah sepanjang telinganya untuk menolak pengaruh suara mujijat.
Sejenak Resi Tolomoyo yang diserang langsung oleh suara itu, bergoyang-goyang tubuhnya, kemudian ia meringkik-ringkik dan menggereng-gereng sambil berloncatan, makin lama suaranya makin cepat dan nyaring, mengimbangi suara tasbih sehingga terjadilah adu suara yang sama sekali tidak merdu di antara keduanya, didorong oleh tenaga sakti tingkat tinggi. Kasihan adalah nasib sisa dua belas orang yang belum roboh. Begitu mendengar suara berkeritik dari tasbih Cekel Aksomolo, mereka menggigil. Kali ini Cekel Aksomolo tidak menggunakan nada suara tinggi halus untuk memecahkan kendangan telinga, melainkan mempergunakan nada suara keras untuk mengguncang jantung.
Dua belas orang itu menjambak-jambak dada yang terasa sakit dan tak lama kemudian mereka sudah terjungkal roboh dan berkelojotan seperti cacing yang terkena abu, dan betapa pun mereka menutupi telinga, suara itu tetap menerobos masuk dan seakan-akan menusuk-nusuk jantung. Apalagi setelah kakek rambut putih itu mengeluarkan suara pula yang amat tidak enak didengar, keadaan mereka makin tersiksa. Adapun dua belas orang pengawal yang lain tidaklah begitu menderita.
Mereka telah terluka parah dan kelemahan tubuh mereka membuat mereka segera roboh pingsan begitu mendengar suara sakti, Cekel Aksomolo makin penasaran dan juga marah, apalagi setelah melihat betapa selain kakek putih itu tidak terpengaruh oleh suara tasbihnya, juga semua pengawal sudah roboh, bahkan Jokowanengpati dalam keadaan setengah samadhi sehingga takkan dapat membantunya.
Dalam gebrakan pertama ini dia sudah rugi. Karena itu, dengan gemas ia menghentikan suara tasbihnya dan membentak, "Kunyuk tua manusia monyet liar! Siapakah engkau berani main-main di depanku? Apakah kehendakmu? Apakah kau sudah bosan hidup?"
"Ha-ha-ha, aku memang bosan hidup, akan tetapi bukan engkau yang menentukan! Apa engkau pun belum bosan, cantrik tua bangka? Tubuhmu sudah bongkok, pipimu sudah peyot, kulitmu sudah keriput, akan tetapi matamu masih memancarkan nafsu! Ha-ha-ha, aku tidak ada waktu untuk melayanimu, yang kuperlukan si Pujo ini!"
Begitu berhenti ucapannya, secepat kilat menyambar, Resi Telomoyo sudah menggerakkan tubuhnya berkelebat ke arah Jokowanengpati yang sudah sejak tadi bersiap-siap.
"Aiihhh...?" Terkejut sekali Resi Telomoyo ketika melihat sambarannya tidak berhasil, dapat dielakkan oleh pemuda itu dengan gerakan yang tangkas sekali.
Tidak aneh, karena Jokowanengpati bukanlah pemuda sembarangan, ia adalah bekas murid terkasih Empu Bharodo yang sudah menurunkan ilmu meringankan tubuh Bayu Sakti! Jokowanengpati memang seorang pemuda yang memiliki watak tinggi hati, tidak mau kalah dan memandang rendah orang lain. Terhadap Resi Telomoyo tentu saja ia tidak mau memandang rendah dan sudah dapat menduga bahwa kakek seperti kera ini memiliki ilmu kesaktian tinggi, akan tetapi ia belum puas kalau belum mencobanya sendiri.
Pula, dia adalah seorang pemuda cerdik. Andai kata di sampingnya tidak ada Cekel Aksomolo yang dapat diandalkan untuk membantu dan menolongnya apabila ia terancam bahaya, agaknya sikapnya terhadap lawan sakti ini akan lain lagi. Kini, melihat betapa ia mampu mengelak terhadap terkaman si kakek putih, hatinya menjadi besar dan sambil membalikkan tubuhnya ia bersiap dengan kuda-kuda yang kokoh kuat.
Begitu kakek rambut putih itu menubruk lagi. ia mengelak ke kiri sambil balas menghantam dengan tangan kanan ke arah dada, disusul dupakan kaki kiri ke arah lutut kanan lawan. Pukulan tangan Jokowanengpati amatlah ampuhnya karena ia mempergunakan aji pukulan Siyung Warak yang mengandung penuh tenaga sakti dan sanggup menghancurkan batu gunung! Juga pukulan kakinya amat dahsyat, apalagi yang dijadikan sasaran adalah lutut. Betapa pun saktinya seseorang, apabila, sambungan lututnya terlepas, tentu akan menjadi pincang dan berkurang kegesitannya.
Namun, betapa kagetnya hati Jokowanengpati ketika pukulan tangan kanannya itu bertemu dengan daging dada yang lunak dan membuat tenaga pukulannya seakan-akan tenggelam ke dalam air yang tak berdasar, adapun tendangannya yang menyusul itu sama sekali tidak mengenai sasaran. Cepat ia menarik pukulannya dan melompat ke belakang dengan muka pucat. Tahulah ia bahwa lawan yang tua ini benar-benar merupakan tandingan berat yang memiliki tenaga dalam yang sukar diukur tingkatnya!
"Ha-ha-ha, sebegitu saja kepandaianmu? Lebih baik kau menurut saja kubawa!" Kembali Resi Telomoyo menubruk hendak menangkap lawannya yang muda dan gesit, namun kembali Jokowanengpati dapat mengelak mempergunakan Ilmu Bayu Saktinya.
Sambil mengelak ia tidak mau tinggal diam. Ia maklum akan kekuatan kakek ini, akan tetapi juga dapat menduga bahwa kakek ini memiliki bagian-bagian tubuh yang tidak kebal, buktinya tadi tendangan yang diarahkan kepada sambungan lutut, tidak berani kakek itu menerimanya. Kini Jokowanengpati menyerbu dan mainkan Ilmu Silat Jonggring Saloko yang ia warisi dari gurunya.
Empu Bharodo memang seorang sakti yang terkenal dengan dua macam ilmunya, yaitu Bayu Sakti sebagai ilmu meringankan tubuh yang membuat pertapa itu dianggap dapat terbang saking tingginya ilmunya ini, dan kedua adalah Ilmu Tombak Jonggring Saloko. Ilmu tombak ini kabarnya belum pernah menemui tanding dan juga ilmu tombak ini merupakan rahasia yang tidak diturunkan kepada muridnya oleh Empu Bharodo.
Akan tetapi sebagai pecahan ilmu tombak ini diciptakanlah ilmu pukulan tangan Jonggring Saloko dan ilmu inilah yang ia turunkan kepada muridnya. Karena Jokowanengpati mempergunakan ilmu pukulan Jonggring Saloko, sebuah ilmu yang diciptakan oleh Empu Bharodo sendiri, tentu saja amatlah ampuhnya. Apalagi karena ilmu ini dimainkan dengan dasar Aji Bayu Sakti yang membuat geraknya menjadi cepat seperti kilat sedangkan ke dalam kedua tangannya ia isi dengan aji pukulan Siyung Warak, maka pada saat itu pemuda ini benar-benar tak boleh dipandang ringan!
"Bagus! Hebat juga!" Berkali-kali Resi Telomoyo memuji.
Dia benar-benar kagum sekali, dan harus mengaku dalam hati bahwa belum pernah ia bertemu lawan sekuat ini, apalagi lawan seorang rnuda. Kalau saja ia tidak menang kuat ilmu dalamnya dan tidak lebih matang ajiannya, agaknya sukar untuk menanggulangi sepak terjang setangkas ini. Ah, pantas saja muridnya, Roro Luhito yang manis, yang mungil dan denok, tergila-gila kepada pemuda ini. Tidak aneh. Memang pemuda pilihan, pemuda gemblengan yang patut sekali menjadi suami Roro Luhito muridnya! Aku harus dapat menangkapnya dan membawanya ke depan Roro Luhito, pikir sang resi. Oleh karena itu ia tidak mau main-main lebih lama lagi biarpun ingin ia menguji sampai di mana hebatnya kepandaian pemuda ini.
Segera ia mengeluarkan seruan meringkik, tubuhnya bergoyang-goyang kedua lengannya dikembangkan dan jari-jari tangannya terbuka, matanya mendelik mulutnya terbuka menyeringai. Inilah Ilmu Sosro Satwo (Seribu Binatang) yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali! Seketika Jokowanengpati meremang tengkuknya karena Aji Sosro Satwo yang dipergunakan Resi Telomoyo itu memang memancarkan wibawa yang mujijat.
Sebelum pemuda ini dapat menenteramkan hatinya, ia sudah diserbu hebat. Kedua lengan tangan resi itu seakan-akan telah menjadi puluhan banyaknya dan Jokowanengpati mendengar suara bermacam binatang liar di sekelilingnya! Ia hanya dapat mengerahkan Bayu Sakti, mundur-mundur sambil mengelak dan menangkis sedapatnya.
"Werrrr..., ssyyuuuut...!"
Sinar hitam meluncur ke depan menyambar kepala Resi Telomoyo yang cepat melompat mundur karena hawa sambaran benda bersinar hitam itu luar biasa sekali pengaruhnya. Ternyata Cekel Aksomolo yang sudah maju. Kakek pertapa Gunung Wilis ini berkata, "Mundurlah, raden. Biarlah aku yang maju. Hayo, kunyuk tua manusia kera, majulah. Akulah lawanmu, tua sama tua! Huh-huh!"
Resi Telomoyo sudah menjadi marah sekali, akan tetapi ia pun merasa heran. Mengapa ada seorang cantrik yang agaknya lebih sakti dari pada Pujo? Ia merasa direndahkan kalau hanya dilawan oleh seorang cantrik saja. Maka sambil menggeram keras ia menerjang maju dengan pukulan Kapi Dibyo. Kedua tangannya menghantam dengan hawa pukulan jarak jauh yang cukup merobohkan lawan dari jarah jauh tanpa menyentuh orangnya. Akan tetapi Cekel Aksomolo tertawa dan menyambut lawan dengan hantaman tasbihnya yang ampuh.....
Komentar
Posting Komentar